Mengenal Jin, Iblis, dan Setan - Nor Kandir - PUSTAKA SYABAB
Mengenal Jin, Iblis, dan Setan - Nor Kandir - PUSTAKA SYABAB Download PDF or WORD BAB 1: IMAM KEPADA GHOIB Sifat Orang Beriman Di antara s...
Mengenal Jin, Iblis, dan Setan - Nor Kandir - PUSTAKA SYABAB
BAB 1: IMAM
KEPADA GHOIB
Sifat Orang Beriman
Di antara sifat orang beriman adalah percaya dan menerima setiap kabar
dari Allah dan Rosul-Nya tentang perkara ghoib. Allah berfirman:
﴿الم * ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴾
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghoib, yang mendirikan sholat
dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS.
Al-Baqorah [2]: 1-3)
Sebaliknya, mendustakan perkara ghoib yang dikabarkan Allah dan Rosul-Nya adalah kekufuran dan
mengeluarkan orang dari Islam, karena berarti mendustakan Allah dan Rosul-Nya.
Orang beriman dilarang ragu sedikitpun terhadap kabar dari Allah dan Rosul-Nya.
Allah berfirman:
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا﴾
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu.” (QS.
Al-Hujurat [49]: 15)
Di antara perkara ghoib tersebut adalah jin. Allah berfirman:
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ﴾
“Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat
[51]: 56)
Ini dalil tegas akan keberadaan jin, dan ia mirip dengan manusia dalam
beberapa aspek karena kemiripan mereka dalam perintah dan larangan. Mereka bisa
hidup bisa mati, bisa lapar bisa kenyang, bisa berbicara, bisa melihat, bisa
mendengar, dan berkeluarga. Semua ini untuk menunjang mereka dalam beribadah
kepada Allah, untuk tujuan inilah Allah menciptakan dua makhluk ini.
Keberadaan jin tidak boleh diingkari, karena mengingkari keberadaan jin
akan berkonsekuensi mengingkari firman-firman Allah yang mengabarkan eksistensi
(keberadaan) jin sebagai alam tersendiri, selain alam Malaikat dan alam manusia.
Bahkan di dalam Al-Qur’an ada surat khusus yang membahas jin dan dinamai surat
Al-Jin, surat ke-71 sebanyak 28 ayat.
Ketidakmampuan manusia melihat jin bukanlah alasan mengingkarinya.
Bukankah manusia mempercayai adanya arus listrik, udara, dan ruh? Apakah mereka
bisa melihatnya? Ini menunjukkan bahwa keberadaan sesuatu tidak mengharuskan
bisa dilihat. Bukankah Allah ada meski tidak bisa dilihat di dunia? Bukankah
Anda percaya adanya Surga meski tidak melihatnya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah $ (w. 728 H)
berkata, “Tidak ada seorang pun dari para ulama yang mengingkari akan
keberadaan jin dan tidak pula mengingkari bahwa Muhammad ﷺ diutus Allah kepada mereka
juga. Sekelompok orang musyrik juga menetapkan keberadaan jin. Adapun Ahli
Kitab dari Yahudi dan Nashoro, mereka menetapkan jin seperti kaum Muslimin,
meskipun ada pula sekelompok orang dari mereka yang mengingkarinya, sebagaimana
di kalangan kaum Muslimin juga mengingkarinya, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah,
meskipun kebanyakan tokoh dan pengikut mereka menetapkannya.
Hal ini disebabkan keberadaan jin dikabarkan hadits-hadits yang
derajatnya mencapai mutawatir[1]
dan dikenal umum. Dan sudah diketahui bersama bahwa para jin hidup berakal dan
berbuat sesuai dengan keinginan. Bahkan mereka juga mendapatkan beban perintah
dan larangan. Mereka bukanlah sifat yang menempel pada manusia atau selainnya,
seperti yang diyakini para atheis. Tatkala kabar jin adalah mutawatir
dari para Nabi yang diketahui oleh kalangan umum dan khusus, maka mustahil bagi
orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama untuk mengingkarinya.”
Syaikhul Islam berkata juga, “Semua kaum Muslimin menetapkan keberadaan
jin, begitu pula kebanyakan dari orang-orang kafir seperti pula umumnya Ahli
Kitab, begitu pula kebanyakan musyirikin Arab dan selainnya dari keturunan Ham,
begitu pula kebanyakan bangsa Kan’an dan Yunani dari keturunan Yafits.
Kelompok-kelompok tersebut menetepkan keberadaan jin.”[2]
Hanya Bersandar Wahyu
Di antara kesalahan orang-orang yang menetapkan keberadaan jin adalah
berbicara tentang jin tanpa bimbingan wahyu atau menggunakan akal sebagai
sumber referensi, seperti yang dilakukan oleh Yunani dan orang-orang sesat yang
diikuti oleh kaum liberal. Manusia wajib meyakini bahwa ilmu mereka terbatas,
sebagaimana firman Allah:
﴿وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا
قَلِيلا﴾
“Tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa [17]: 85)
Terutama sekali perkara ghoib, hanya Allah yang tahu. Allah berfirman:
﴿قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghoib, kecuali Allah,’ dan mereka tidak mengetahui kapan mereka
akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml [27]: 65)
Bahkan para Nabi pun tidak tahu perkara ghoib, kecuali jika Allah yang
memberi tahu kepada mereka, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Jin:
﴿عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى
غَيْبِهِ أَحَدًا * إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا﴾
“Allah adalah Yang Mengetahui yang ghoib, Dia tidak memperlihatkan kepada
seorang pun tentang yang ghoib itu, kecuali kepada Rosul yang diridhoi-Nya,
maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka dan di
belakangnya.” (QS. Al-Jin [72]: 26-27)
Orang yang berbicara tentang jin dengan pendapat si A dan si B, maka ini
tercela dan termasuk dosa besar. Selayaknya seseorang berbicara sesuai apa yang
dikabarkan Allah dan Rosul-Nya, dan berhenti dan mengatakan Allahu a’lam
(hanya Allah yang tahu) terhadap apa yang tidak dikabarkan Allah dan Rosul-Nya.
Allah menempatkan berbicara tanpa wahyu dalam posisi dosa paling atas daripada
syirik, zhalim, dan zina. Allah berfirman:
﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ
تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Allah mengharamkan: (1) perbuatan yang keji, baik yang
nampak atau pun yang tersembunyi, dan (2) perbuatan dosa, (3) melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (4) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (5) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. Al-A’rōf [7]: 33)
Allah melarang mereka mengikuti pendapat ahli filsafat yang berbicara
dengan akal dan kelak akan meminta pertanggungjawaban kepada orang-orang yang
berbicara tentang ghoib tanpa ilmu, Allah berfirman:
﴿وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا﴾
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (QS. Al-Isrō [17]: 36)
/
BAB 2: MENGENAL
JIN
Jin, iblis, dan
setan adalah tiga istilah ini tidak
bisa dipisahkan, karena saling terkait. Jin adalah alam tersendiri, sebagaimana
ada alam Malaikat dan alam manusia. Jin diciptakan dari api. Adapun iblis
adalah jin yang membangkang diperintah Allah sujud kepada Adam ﷺ, sehingga iblis termasuk
bangsa jin. Sementara setan bukanlah jenis makhluk tertentu, tetapi ia adalah
sebutan untuk setiap makhluk jahat, yang bisa melekat pada jin, manusia, dan
binatang. Maka setiap jin, manusia, dan binatang yang jahat disebut setan,
sehingga setan ada dari kalangan jin, manusia, dan binatang. Dalil-dalil semua
ini akan disinggung pada pembahasannya masing-masing di bawah.
Kenapa Disebut Jin?
Jin berasal dari kata (جن)
“janna” yang artinya tersembunyi dan tertutup. Disebut jin karena sifatnya yang
tertutup dan tersembunyi dari pandangan manusia. Allah berfirman:
﴿إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ
حَيْثُ لا تَرَوْنَهُمْ﴾
“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat
yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-Arōf [7]: 27)
Lafazh janna yang berarti tertutup/tersembunyi dikuatkan oleh
firman Allah:
﴿فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى
كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ﴾
“Ketika malam telah tersembunyi (menjadi gelap), dia
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Robku.’ Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
(QS. Al-An’am [6]: 76)
Dari kata ini muncul banyak kata yang artinya berkisaran tertutup dan
tersembunyi, misalkan janin, jannah (Surga), junnah (tameng), jinnah
(gila), dan majnun (gila).
Janin disebut janin karena tersembunyi di rahim. Surga dinamai Jannah
karena pohon-pohonnya sangat rindang dan lebat hingga menutupi Surga atau
karena kenikmatan Surga tersembunyi dan tidak mampu dijangkau oleh mata,
telinga, dan hati. Tameng dinamai junnah karena digunakan untuk
menyembunyikan diri dari serangan musuh. Gila dinamai jinnah atau majnun
karena akalnya tersembunyi atau tidak normal.
Maka, secara asal jin tidak bisa dilihat oleh manusia dalam wujud
aslinya, tetapi terkadang manusia melihat jin karena jin telah berubah bentuk
dan menampakkan dirinya kepada manusia. Tidak semua jin bisa berubah bentuk dan
menampakkan diri. Hanya penyihir dari kalangan jin saja yang mampu.
Namun, ada binatang yang mampu melihat jin yaitu anjing dan keledai.
Dari Jabir bin Abdillah ڤ, dia
berkata: Rosulullah ﷺ
bersabda,
«إِذَا سَمِعْتُمْ نُبَاحَ الْكِلَابِ،
وَنَهِيقَ الْحُمُرِ بِاللَّيْلِ، فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ يَرَيْنَ مَا
لَا تَرَوْنَ»
“Jika kalian mendengar gonggongan anjing dan ringkikan keledai pada malam
hari, maka mintalah perlindungan kepada Allah, karena mereka melihat apa yang tidak
kalian lihat (yakni jin).”[3]
Bahan Penciptaan Jin
Jin diciptakan dari api. Allah berfirman:
﴿وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ﴾
“Dan Dia menciptakan jin
dari nyala api.” (QS. Ar-Rohmān [55]: 15)
Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata: Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, dan
Al-Hasan menafsirkan ayat ini:
طَرْفُ اللَّهَبِ، وَفِي رِوَايِةٍ: مِنْ خَالِصِهِ
وَأَحْسَنِهِ
“Ujung nyala api,” dalam riwayat lain, “Bagian yang paling murni dan baik
dari api.”[4]
Imam An-Nawawi (w. 676 H) berkata:
المَارِجُ: اللَّهَبُ المُخْتَلَطُ بِسَوَادِ
النَّارِ
“Makna mārij adalah nyala (gejolak) api yang bercampur dengan
hitamnya api.”[5]
Dari Aisyah ڤ, dia
berkata: Rosulullah ﷺ
bersabda,
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ،
وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam
diciptakan dari sesuatu yang sudah kalian ketahui (tanah).”[6]
Jin diciptakan sebelum Allah menciptakan Adam, berdasarkan firman Allah:
﴿وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ
صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ * وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ
نَارِ السَّمُومِ﴾
“Kami telah meciptakan
manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. Kami telah
menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al-Hijr
[15]: 26-27)
Kesimpulannya, bahan penciptaan jin adalah bagian ujung dari nyala api
yang berwarna hitam dan sangat panas.
Fisik Jin
Karena jin termasuk perkara ghoib maka kita tidak boleh berbicara kecuali
apa yang dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an atau lewat sabda Rosul-Nya.
Al-Qur’an mengabarkan bahwa jin memiliki hati, mata, telinga, berbicara,
makan, minum, menikah.
Tentang hati, mata, dan telinga jin, Allah berfirman:
﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا
مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ
لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ﴾
“Kami jadikan untuk isi Neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’rōf [7]: 179)
Tentang jin berbicara, Allah berfirman:
﴿وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ
بِصَوْتِكَ﴾
“Dan hasunglah siapa yang
kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (bujukan).” (QS. Al-Isrō [17]: 64)
Adapun jin berbicara, makan, minum, menikah, maka semuanya telah tetap di
Al-Qur’an dan hadits shohih yang akan kita jumpai pada banyak tempat di buku
ini.
Pembagian Jin
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyanni ﭬ dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«الْجِنُّ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ: صِنْفٌ
لَهُمْ أَجْنِحَةٌ يَطِيرُونَ فِي الْهَوَاءِ، وَصِنْفٌ حَيَّاتٌ وَكِلَابٌ، وَصِنْفٌ
يَحِلُّونَ وَيَظْعَنُونَ»
“Jin ada tiga golongan, yaitu golongan yang memiliki sayap yang terbang
di udara, golongan ular dan anjing, dan golongan yang berdomisili dan suka
berpindah-pindah tempat.”[7]
/
BAB 3: MENGENAL
IBLIS
Kenapa Disebut Iblis?
Sebagian ahli
bahasa mengatakan kata iblis (إبليس) berasal dari (أبلس) yang artinya menyesal dan
berputus asa, sebab ia berputus asa dari rohmat Allah, yaitu ketika Allah sudah
memvonisnya sesat dan masuk Neraka. Allah berfirman:
﴿قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُومًا مَدْحُورًا
لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ﴾
“Allah
berfirman: ‘Keluarlah kamu
dari Surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di
antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi Neraka Jahanam
dengan kamu semuanya.’” (QS. Al-Arōf
[7]: 18)
Al-Hafizh Ibnu
Katsir berkata:
وَسَمَّاهُ "إِبْلِيسَ" إِعْلَامًا
لَهُ بِأَنَّهُ قَدْ أبْلَس مِنَ الرَّحْمَةِ
“Dia dinamakan iblis
sebagai pemberitahuan kepadanya bahwa dirinya sudah berputus asa dari rohmat.”[8]
Makna ini
dikuatkan dalam firman Allah:
﴿فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ
فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا
أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ﴾
“Maka tatkala
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.
Al-An’am [6]: 44)
Telah dijelaskan
di awal buku bahwa setan adalah setiap sebutan untuk makhluk yang sangat jahat
dan membangkang perintah Allah. Dari sini, terkadang nash menyebut iblis dengan
panggilan setan, seperti pada surat Ibrohim ayat 22.
Iblis dari Malaikat atau Jin?
Sebagian kitab
tafsir dan ahli sejarah berpendapat iblis dari bangsa Malaikat dan yang lain
berpendapat dari bangsa jin. Yang terbaik adalah mengembalikan keputusan kepada
wahyu. Allah berfirman:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ
فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ﴾
“Tentang
sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syūrā [42]: 10)
Al-Qur’an secara
tegas menyatakan bahwa iblis dari bangsa jin. Allah berfirman:
﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا
لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ
رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ
عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلا﴾
“Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka
sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia
mendurhakai perintah Rob-nya.
Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain
daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai
pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Kahfi [18]: 50)
Ketika Allah
mengatakan iblis dari golongan jin maka itu artinya ia bukan dari golongan Malaikat
dan manusia, karena Nabi ﷺ
membedakan tiga golongan ini, satu dengan lainnya berbeda bahan penciptaanya.
Dari Aisyah ڤ, dia
berkata: Rosulullah ﷺ
bersabda,
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ،
وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam
diciptakan dari sesuatu yang sudah kalian ketahui (tanah).”[9]
Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata: Al-Hasan Al-Bashri berkata:
مَا كَانَ إِبْلِيسُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ طَرْفَةَ
عَيْنٍ قَط، وَإِنَّهُ لَأَصْلُ الْجِنِّ، كَمَا أَنَّ آدَمَ أَصْلُ الْإِنْسِ
“Iblis sama
sekali bukan dari kalangan Malaikat, meski sekejap mata. Dia adalah nenek
moyang jin, sebagaimana Adam adalah nenek moyang manusia.”[10]
Maka, batallah
orang yang beranggapan bahwa iblis dari kalangan Malaikat. Malaikat dan iblis
memiliki banyak perbedaan, di antaranya:
Pertama, Malaikat disifat Allah sebagai makhluk
yang senantiasa taat perintah dan tidak pernah durhaka, sementara iblis
kebalikannya. Allah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ﴾
“Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Kedua, Malaikat disifati sebagai makhluk yang
banyak beribadah dan tidak pernah letih, berbeda dengan iblis. Allah berfirman:
﴿وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَمَنْ عِنْدَهُ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا يَسْتَحْسِرُونَ * يُسَبِّحُونَ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ﴾
“Dan
kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan Malaikat-Malaikat yang
di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada
(pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada
henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiyā
[21]: 19-20)
Ketiga, Malaikat disifati dengan tidak makan dan
minum serta tidak beranak pinak, berbeda dengan iblis. Allah berfirman:
﴿وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ
بِالْبُشْرَى قَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ
حَنِيذٍ * فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ
مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ﴾
“Dan
sesungguhnya utusan-utusan Kami (Malaikat-Malaikat) telah datang kepada Ibrahim
dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: ‘Salaman’ (Selamat). Ibrohim
menjawab: ‘Salamun’ (Selamatlah), maka tidak lama
kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka
tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut
kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (Malaikat-Malaikat)
yang diutus kepada kaum Lut.” (QS. Hūd
[11]: 69-70)
Kisah Iblis Menggoda Adam
Allah yang Maha Benar menceritakan:
﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لا تَعْلَمُونَ﴾
“Ingatlah ketika Rob-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa
Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Rob berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ (QS. Al-Baqorah [2]:
30)
Maksud Malaikat adalah para jin yang lebih dulu tinggal di bumi dan
berbuat kerusakan. Mereka beranggapan manusia sifatnya seperti jin sehingga
berucap seperti itu.
Kemudian Allah mewujudkan kehendak-Nya dengan menciptakan Adam dengan
kedua Tangan-Nya dan mengajari Adam berbagai hal, seperti dalam firman-Nya:
﴿وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ
عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
* قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
الْحَكِيمُ * قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ﴾
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka
menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. Allah
berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah
kepada mereka nama-nama benda ini.’
Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah
berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 30-33)
Setelah itu, Adam dianugrahi Allah istri bernama Hawa yang diciptakan
dari tulang rusuk Adam ‘Alaihissalam. Mereka bersenang-senang di Surga
lalu diuji Allah agar jangan mendekati sebuah pohon. Inilah pohon larangan.
Allah menceritakan:
﴿وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ
الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ
فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ﴾
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu Surga ini,
dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu
sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang lalim.’ (QS. Al-Baqoroh [2]: 35)
Sebelum Allah menciptakan Adam, Allah sudah mengumumkan ke penduduk
langit bahwa Dia akan menciptakan Adam dan memerintahkan mereka untuk bersujud
sebagai tanda taat kepada Allah dan tanda penghormatan kepada Adam. Allah
menceritakan:
﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا
لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah
kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqoroh [2]:
34)
Malaikat di sini adalah Malaikat yang ada di bumi. Abul Aliyah $ mengatakan tentang firman Allah di atas:
لِلْمَلَائِكَةِ الَّذِينَ كَانُوا فِي الأَرْضِ
“Kepada para Malaikat yang berada di bumi.”[11]
Adam dan Hawa menurut tetapi iblis datang dan menggoda mereka. Ia
meyakinkan bahwa mereka dilarang dari pohon itu hanya agar mereka tidak kekal
di Surga seperi Malaikat. Lalu iblis menamakan pohon itu sebagai pohon khuldi
(pohon kekekalan). Allah menceritakan:
﴿فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ
هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لا يَبْلَى * فَأَكَلا مِنْهَا فَبَدَتْ
لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى
آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى * ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى * قَالَ
اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي
هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى﴾
“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai
Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang
tidak akan binasa?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah
bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
(yang ada di) Surga, dan durhakalah Adam kepada Rob dan sesatlah ia. Kemudian Robnya memilihnya maka Dia menerima
tobatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari Surga bersama-sama,
sebagian keturunanmu akan saling bermusuhan. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang
mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.’” (QS. Thōhō
[20]: 120-124)
Setelah itu, Adam dan istrinya tinggal di dunia. Allah menerima taubat
Adam dan istrinya. Allah memberi Adam ‘Alaihissalam ilmu, iman, dan
kenabian. Di antara nikmat Allah adalah diberikannya Adam dan Hawa keturunan
yang menyejukkan pandangan matanya. Setiap kali Hawa hamil, anak yang keluar
kembar laki dan perempuan. Begitu seterusnya sehingga dewasa dan banyak.
Kemudian Allah perintahkan Adam untuk menikahkan puta-putrinya sendiri dengan
aturan nikah silang. Dua saudara kembar laki-perempuan dinikahkan dengan dua
saudara kembar lain. Begitu seterusnya hingga mereka beranak pinak dan
menyebar. Mereka semua Muslim dan bertauhid kepada Allah dan baru muncul
kesyirikan pada awal masa Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Di sanalah Allah
mengangkat Nuh ‘Alaihissalam sebagai Rosul pertama untuk mengembalikan
mereka kepada tauhid.
Adam adalah bapak para manusia. Orang Barat telah keliru dan berbohong.
Nabi ﷺ
menceritakan tentang keadaan manusia di Akhirat yang meminta syafaat Nabi Adam ‘Alaihissalam
dan berkata:
«أَنْتَ أَبُو النَّاسِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ،
وَأَسْجَدَ لَكَ مَلاَئِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ، فَاشْفَعْ لَنَا
عِنْدَ رَبِّكَ حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ،
وَيَذْكُرُ ذَنْبَهُ فَيَسْتَحِي»
“Engkau adalah bapak manusia. Allah menciptakanmu dengan Tangan-Nya dan
menjadikan Malaikat bersujud kepadamu dan mengajarimu nama-nama segala sesuatu,
maka berilah kami syafaat di sisi Rabb-mu agar kami bisa terbebas dari tempat
ini.’ Adam berkata, ‘Aku bukan orang yang berhak itu.’ Adam menyebutkan dosanya
sehingga malu.’”[12]
Iblis Menangis
Dari Abu Huroiroh
ﭬ berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ
اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي، يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ - وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ:
يَا وَيْلِي - أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ
بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ»
“Apabila
keturunan Adam membaca ayat Sajdah lalu bersujud, maka setan menyingkir sambil
menangis. Dia berkata, ‘Celaka aku, keturunan Adam diperintah sujud lalu
melaksanakannya sehingga mendapatkan Surga, sementara aku dulu diperintah
bersujud lalu aku enggan sehingga aku mendapatkan Neraka.”[13]
Qotadah $ berkata, “Musuh Allah iblis hasad kepada
Adam atas pemberian-Nya kepada Adam berupa kemuliaan. Iblis berkata, ‘Aku api
sementara Adam tanah.’ Dosa pertama adalah kesombongan di mana musuh Allah
sombong bersujud kepada Adam.”[14]
Rupa Iblis
Allah mengabarkan
rupa mereka begitu jelek dan buruk. Adapun hakikatnya tidak ada yang
mengetahuinya. Allah berfirman tentang pohon zaqqum yang merupakan makanan
penduduk Neraka:
﴿إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ
* طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ﴾
“Sesungguhnya
dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar Neraka Jahim. Mayangnya (buahnya) seperti kepala
setan-setan.” (QS. Ash-Shoffāt [37]:
64-65)
Pohon zaqqum
adalah sebuah pohon yang amat buruk baik bentuknya maupun aromanya dan rasanya.
Apalagi buahnya. Dan Allah mengumpamakan buahnya seperti kepala-kepala setan.
Orang-orang
Kristen menggambarkan setan dengan makhluk berwarna hitam atau merah bertaring,
bertelinga nguncup, bertanduk, dan berekor. Ini hayalan mereka yang diyakini
turun-menurun hingga hari ini. Ini hanyalah khayalan mereka yang tidak
berdasar. Hakikat buruknya rupa setan atau iblis tidak diketahui oleh manusia,
sebagaimana mereka tidak mengetahui hakikat rupa Malaikat, kecuali Rosulullah ﷺ yang pernah melihat Jibril ‘Alaihissalam
dengan rupa asli.
/
BAB 4: MENGENAL
SETAN
Setan bukanlah
makhluk khusus, tetapi ia adalah sifat jahat kepada Allah, Rosul-Nya, dan
manusia. Setan bisa dari kalangan jin, manusia, maupun binatang yang jahat.
Kenapa Disebut Setan?
Imam An-Nawawi $ berkata:
وَسُمِّيَ شَيْطَانًا لِتَمَرُّدِهِ وَعُتُوِّهِ
وَكُلُّ مَارِدٍ عَاتٍ شَيْطَانٌ وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ مُشْتَقٌّ مِنْ شَطَنَ إِذَا
بَعُدَ لِبُعْدِهِ مِنَ الْخَيْرِ وَالرَّحْمَةِ وَقِيلَ مُشْتَقٌّ مِنْ شَاطَ إِذَا
هَلَكَ وَاحْتَرَقَ
“Dinamakan
setan karena jahat dan membangkang. Setiap yang jahat dan membangkang adalah
setan. Yang tampak, lafazh setan diambil dari sya-tha-na yang artinya
jauh, karena jauh dari kebaikan dan rahmat. Adapula yang mengatakan diambil
dari lafazh syaa-tho yang artinya binasa dan terbakar.”[15]
Dari Ibnu Umar ﭭ, dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«لَا تَحَرَّوْا بِصَلَاتِكُمْ طُلُوعَ
الشَّمْسِ، وَلَا غُرُوبَهَا، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ الشَّيْطَانِ»
“Kalian jangan
sengaja sholat saat matahari terbit dan jangan pula saat terbenam, karena saat
itu matahari terbit di antara dua tanduk setan.”[16]
Imam An-Nawawi $ menjelaskan, “Ada yang berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan ‘dua tanduk setan’ adalah golongan dan pasukan
iblis. Ada yang berpendapat: kekuatan dan menyebar kerusakan. Ada yang
berpendapat dua tanduk maksudnya dua tanduk kepala sesuai zhahir lafazhnya dan
ini yang lebih kuat. Sehingga maknanya, setan mendekatkan kepalanya ke matahari
pada waktu-waktu semacam ini agar orang-orang yang sujud dari kalangan
orang-orang kafir kepada matahari seolah-olah bersujud kepada setan.”[17]
Tugas Setan
Sebagaimana di
kalangan manusia ada kaum durjana dan tukang sihir, maka di kalangan jin juga demikian
ada jin durjana dan jin tukang sihir. Merekalah setan yang suka menakut-nakuti
manusia dan menebar was-was.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا
شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ
غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ﴾
Dan demikianlah
Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Robmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An’am [6]: 112)
/
PENUTUP
Inilah sedikit
dari beberapa ayat dan hadits seputar jin, iblis, dan setan. Tentu sangat jauh
dari kata sempurna. Semoga Allah memberi kesempatan kepada saya atau siapa saja
untuk melengkapinya sehingga memberi kepuasan kepada setiap orang yang
membacanya.
Semoga Allah
menerima risalah sederhana ini. Sholawat dan salam tercurah atas Rosul-Nya,
keluarganya, dan para Sahabatnya.
/
[1]
Kabar yang sampai kepada kita lewat
banyak orang dan jalur di setiap generasi sehingga mustahil mereka sepakat
berbohong.
[2]
Majmu
Fatawaa, 19/10.
[3]
Shohih: HR. Abu Dawud no. 5103.
[4]
Al-Bidayah
wan Nihayah, 1/59.
[5]
Syarh
Shohīh Muslim, 18/123.
[6]
HR. Muslim
no. 2996.
[7]
Shohih: HR. Al-Hakim no. 3702.
[8]
Tafsir Ibnu Katsir, 7/82.
[9]
HR. Muslim
no. 2996.
[10]
Tafsir Ibnu Katsir, 1/231 dan dinilai shohih sanadnya oleh
Ibnu Katsir.
[11]
Hasan: HR.
Ibnu Abi Hatim.
[12]
HR.
Al-Bukhori no. 4476 dan Muslim no. 193.
[13]
HR. Muslim no. 81.
[14]
Shohih: HR. Ibnu Abi Hatim no. 364.
[15]
Syarah Shohih Muslim, 6/112-123.
[16]
HR. Muslim no. 828.
[17]
Syarh Shohih Muslim, 6/112.