Koreksi Teori Big Bang Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah | PUSTAKA SYABAB
Koreksi Teori Big Bang Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah DOWNLOAD PDF ATAU WORD Pendahuluan Astronomi dan ilmu alam termasuk ilmu y...
Koreksi Teori Big Bang Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah
Pendahuluan
Astronomi dan
ilmu alam termasuk ilmu yang menarik perhatian. Kebanyakan kita memiliki
pemahaman yang sama dalam memahami bumi dan langit, sesuai dengan apa yang
diajarkan di semua jenjang pendidikan.
Akan tetapi,
setelah membandingkannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita menemukan
beberapa hal yang bertolak belakang atau beberapa koreksi di beberapa segi,
seperti teori big bang tentang asal mula penciptaan alam semesta.
Buku sederhana
ini mencoba untuk mengkajinya lebih dalam dan semoga kajian ini dikaji ulang
oleh orang-orang yang datang setelah saya.
Sebenarnya buku
ini adalah cuplikan dari buku saya berjudul Al-Qur’an Sumber Segala Ilmu.
Karena saya memandang penting dan bagus, maka saya sendirikan dalam buku ini.
Bagi yang ingin
melihat referensi kepustakaannya, bisa merujuk sendiri ke buku tersebut yang
bisa diunduh PDFnya di www.terjemahmatan.com .
Surabaya, Shofar 1443 H
Nor Kandir
/
1 |
Antara Big Bang
dengan Wahyu
Selama ratusan tahun, para ilmuwan menyakini kekekalan
langit dan bumi, tidak bermula dan tidak
berakhir, yang mereka istilahkan Steady State Theory. Di
penghujung abad ke-20 sains modern mengungkapkan kenyataan bahwa manusia hidup
di alam yang berkembang dan berubah, bermula dan akan berakhir. Mereka
mengamati fenomena mengejutkan bahwa matahari setiap detik kehilangan massa
sekitar 4,6 miliar ton yang berubah menjadi energi panas dan berpindahnya
energi panas dari benda panas ke benda dingin. Hal ini meyakinkan mereka bahwa
alam semesta ini suatu saat akan musnah, entah kapan, mereka tidak mampu
menjawabnya.
Mereka pun merumuskan teori-teori awal terciptanya alam
semesta dan tidak ada satu pun yang diterima karena tidak bisa menjelaskannya
secara ilmiah kecuali sebuah teori yang dikuatkan oleh para ilmuwan, yaitu
Teori Ledakan Besar (Big Bang Theory). Teori ini menyatakan bahwa alam
semesta ini awalnya berasal dari gumpalan massa yang sangat padat dan panas.
Kemudian karena tekanan panas yang memuncak, massa ini mengalami ledakan besar
(bing bang) menjadi serpihan-serpihan alam semesta: tata surya, galaksi,
nebula, planet, dan sebagainya yang terus mengembang. Ledakan Besar ini
diperkirakan terjadi sekitar 15 milyar tahun lalu.[1]
Sekarang mari kita bandingkan teori ini dengan ayat
al-Qur`an:
«أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ
شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ»
“Apakah orang-orang kafir itu belum mengetahui bahwa
langit-langit dan bumi itu dulunya sesuatu yang padu (ratqan) lalu kami
pisahkan keduanya, dan kami jadikan kehidupan segala sesuatu dari air. Maka,
apakah mereka tidak beriman?”[2]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) memberikan penjelasan
yang menakjubkan tentang ayat ini, “Maksudnya, semua benda dahulunya saling
merekat, menyatu, dan tersusun satu sama lain. Kemudian langit-langit Allâh
jadikan tujuh dan bumi pun tujuh. Allâh memisah langit dunia dan bumi dengan
udara. Lalu langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tanaman. Oleh karena
itu, Allâh berfirman, “Dan kami jadikan kehidupan segala sesuatu dari air.
Maka, apakah mereka tidak beriman?” Maksudnya, apakah mereka tidak
menyaksikan bahwa makhluk-makhluk ini terjadi dari fase ke fase yang
menunjukkan keberadaan Sang Pencipta yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
فَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَة ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدٌ ...
Pada segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa
Dia adalah esa
Sufyan ats-Tsauri berkata, dari ayahnya, dari ‘Ikrimah,
dia berkata, ‘Ibnu ‘Abbas pernah ditanya, apakah tercipta malam dulu atau
siang? Lalu menjawab, ‘Bagaimana menurutmu keadaan saat langit-langit dan bumi
menyatu, bukankah yang ada di antara keduanya hanya kegelapan?’ Akhirnya mereka
pun tahu bahwa malam lebih dahulu daripada siang.’”[3]
Ayat-ayat al-Qur`an selalu mendahului lafazh malam
daripada siang yang menunjukkan ketepatan tafsiran Tarjamatul Qur`an Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Misalnya firman Allâh subhanahu wa
ta’ala:
«وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ»
“Dan Dia-lah yang
telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan.”[4]
Yang menakjubkan lagi, ternyata sains modern juga
menyebutkan hal yang sama, malam lebih dahulu ada sebelum siang.
Jika ada yang bertanya, “Apakah ayat ini boleh disebut
ayat Big Bang?” Jawabannya, tidak boleh. “Bukankah sesuai sekali dengan teori
Big Bang?” Ini pertanyaan yang bagus sekali dan penjelasannya sebagai berikut:
Ayat hanya memberi informasi bahwa langit dan bumi pernah
menyatu. Adapun teori Big Bang, disamping menyebutkan langit dan bumi menyatu
juga menyebutkan hal-hal lainnya yang sama sekali tidak dijelaskan nash atau
justru menyelisihi nash. Oleh karena itu, kita membenarkan penelitian mereka
bahwa langit dan bumi pernah menyatu karena sesuai dengan nash, tetapi kita
mengingkari beberapa hal dalam teori ini, yaitu:
1.
Perkiraan usia alam semesta
15 miliar.
2.
Konsekuensi Big Bang
bahwa bumi tercipta bersamaan atau sebelum langit, matahari, dan benda angkasa
lainnya.
3.
Klaim mereka bahwa bumi
mengelilingi matahari karena bumi terbuat dari pecahan matahari.
4.
Klaim mereka bahwa sebelum
peristiwa Big Bang belum ada materi dan energi.
Semua yang disebutkan di atas menyelisihi nash shahih
sehingga kita menyikapinya seperti menyikapi kabar Bani Isra`il poin ke-2,
yaitu mendustakannya dan tidak menerimanya. Adapun konsekuensi hukum dari teori
ini yang tidak didustakan nash dan tidak pula dibenarkan, maka disikapi dengan
poin ke-3, misalkan konsekuensi hukum bahwa teori ini secara tidak langsung
memberi pemahaman bahwa benda-benda langit semuanya tercipta dari gumpalan
massa yang superpanas tersebut; terdapat banyak galaksi di luar galaksi kita
yang tak terhitung jumlahnya; dan seterusnya.
/
2 |
Benarkah Usia Alam Semesta 15 Miliar Tahun?
Usia alam semesta adalah waktu yang dihitung dari mulai
terjadinya ledakan besar. Mereka mengklaim bahwa usia alam semesta adalah 13,75
± 0,11 miliar tahun (anggaplah 14 miliar). 13,75 miliar adalah masa terjadinya
ledakan hingga dingin dan stabil, dan
110 juta adalah masa stabil dan munculnya tanda kehidupan hingga
sekarang.
Yang benar usia alam semesta tidak sebanyak itu. Al-Qur`an
tidak menyinggung usia alam semesta, tetapi masa penciptaan alam semesta
disinggung, yaitu 6 hari, masa Allâh menciptakan langit, bumi, dan segala yang
ada di antara keduanya. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman sebanyak 7
kali bahwa langit dan bumi tercipta dalam 6 hari:
«وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ»
“Dan sungguh Kami telah menciptakan langit-langit dan
bumi serta apa yang ada di antara keduanya dalam 6 hari.”[5]
“Langit-langit dan bumi serta apa yang ada di antara
keduanya” menunjukkan alam semesta. Ini berarti alam semesta diciptakan
Allâh selama 6 hari. Namun, hari di sini maksudnya hari akhirat,
bukan hari dunia. Satu hari akhirat sama dengan 1.000 hari dunia. Dalilnya
adalah firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا
تَعُدُّونَ»
“Dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhan-mu seperti
1.000 tahun menurut perhitungan kalian.”[6]
Jadi, jika dihitung menurut perhitungan kita, masa
penciptaan alam semesta adalah 6.000 tahun. Ini dipegang oleh Ibnu ‘Abbas,
Mujahid, ‘Ikrimah, Ibnu Jarir, Imam Ahmad, dan lainnya. Adapun jumhur, mereka
memahami seperti hari biasa, yaitu 6 hari dunia sebagaimana hari-hari kita.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan, “Para ahli
tafsir berbeda pendapat mengenai maksud 6 hari ini menjadi 2 pendapat. Jumhur
berpendapat seperti hari-hari biasa kita. Adapun Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Mujahid, adh-Dhahhak, dan Ka’ab al-Ahbar berpendapat bahwa
masing-masing hari tersebut seperti seribu hari menurut perhitungan manusia.
Ini diriwayatkan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan pendapat ini dipilih Imam
Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah, dan dipilih
juga oleh Ibnu Jarir dan sekelompok ‘ulama muta`akhkhirin (belakangan). Allahu
a’lam.”[7]
Masa penciptaan alam semesta hingga masa sekarang tidak
sebanyak menurut klaim mereka. Perhatikan hadits shahih berikut ini.
Sahal bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku
melihat Nabi ﷺ
bersabda sambil berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah:
«بُعِثْتُ [أَنَا] وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ»
“Aku diutus dalam keadaan jarak hari Kiamat seperti jarak selisih dua jari ini.”[8]
Jarak yang dimaksud adalah sisa panjang antara jari tengah
dan telunjuk jika disejajarkan merapat. Ibaratnya panjang jari telunjuk adalah
masa alam semesta hingga diutusnya Nabi ﷺ dan panjang jari
tengah adalah masa alam semesta hingga datangnya hari kiamat, ini pendapat
Qatadah. Jika dipraktekan, akan terlihat jari tengah memiliki kelebihan sedikit
sekitar 10% dari jari telunjuk. 10% inilah jarak hari Nabi Muhammad ﷺ diutus hingga
datangnya hari Kiamat.
Al-Hafizh an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan, “Qatadah
berpendapat maksudnya selisih jarak antara dua jari itu. Ada pula yang
berpendapat bahwa maksudnya adalah jarak pendek seperti (selisih) jarak panjang
dua jari, dan ada pula yang berpendapat sebagai isyarat dekatnya mujâwazah
(sisa waktu terjadinya hari Kiamat).”[9]
Al-Kirmani menjelaskan, “Maksud hadits ini adalah masa
sisa hari Kiamat dibanding dengan hari-hari yang telah berlalu seperti sisa
jari tengah dibanding jari telunjuk.”[10]
Jika 13,75 miliar sama dengan 90%, maka 100% adalah 15,3
miliar. Itu artinya hari Kiamat akan terjadi menurut teori ini 15,3 - 13,75 = 1,5 miliar tahun lagi. Meskipun
datangnya hari Kiamat tidak ada yang tahu kecuali Allâh, tetapi angka ini
terlalu lama dengan beberapa alasan:
1.
Hari Kiamat disifati Allâh
dengan dekat baik di al-Qur`an maupun di hadits. Bahkan tanda-tanda hari Kiamat
sudah banyak bermunculan semenjak
diutusnya Nabi ﷺ
hingga sekarang.[11]
2.
Malaikat yang ditugasi
meniup sangkalala hari Kiamat telah menempatkannya di mulutnya dan siaga
menunggu perintah Allâh sambil mendongak ke arah ‘Arsy.
3.
Prilaku para shahabat dan
‘ulama yang takut terjadi hari Kiamat saat masih hidup, hal ini karena dipahami
hari Kiamat sudah dekat.
4.
Para ‘ulama sepakat akan
dekatnya hari Kiamat bahkan sebagian memprediksinya (tanpa meyakini
kebenarannya) semisal Ibnu Jarir ath-Thabari dan Imam as-Suyuthi, meskipun hal
ini ditentang keras oleh para ‘ulama karena datangnya hari Kiamat hanya Allâh
semata yang tahu.
/
3 |
Benarkah Langit Tercipta Sebelum Lainnya?
Teori Big Bang mengklaim bumi tercipta bersamaan
atau sebelum langit, matahari, dan benda angkasa lainnya, artinya langit
tercipta sebelum segala sesuatu. Ini adalah dugaan yang keliru dan klaim yang
tidak mendasar, karena bertentangan
dengan nash al-Qur`an, hadits, dan ijma’. Berikut dalil-dalilnya:
1.
Al-Qur`an menginformasikan
bumi lebih dulu diciptakan daripada langit:
«قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي
يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٩)
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا
أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (١٠) ثُمَّ اسْتَوَى
إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا
أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (١١) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ
الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ»
“Katakanlah, apakah kalian benar-benar kafir kepada
Yang telah menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian menjadikan
tandingan-tandingan bagi-Nya. Dialah Rabb semesta alam. Dia jadikan
gunung-gunung di atasnya dan memberkahinya serta menentukan kadar makanan
(penghuninya) dalam empat hari, sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya.
Kemudian Dia menuju[12]
kepada langit saat berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan bumi,
‘Datanglah kalian berdua dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami
datang dalam keadaan patuh.’ Kemudian Dia menciptakannya tujuh langit
dalam dua hari dan mewahyukan pada setiap langit urusannya. Kami hiasi langit
dunia dengan bintang-bintang dan sebagai penjaga. Demikianlah ketentuan yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”[13]
Allâh subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan
bumi kemudian menciptakan langit
saat berupa asap untuk diciptakan darinya. Hal ini menunjukkan penciptaan bumi
sebelum langit.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Ayat ini
menunjukkan bahwa bumi tercipta sebelum langit, karena bumi seperti pondasi
dari sebuah bangunan.”[14]
2.
Nabi ﷺ mengabarkan bukan
langit yang pertama kali diciptakan:
«إِنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ خَلَقَهُ اللَّهُ الْقَلَمَ وَأَمَرَهُ
فَكَتَبَ كُلَّ شَيْءٍ»
“Sesungguhnya yang pertama kali Allâh ciptakan adalah
pena. Dia memerintahkannya untuk menulis (takdir) segala-sesuatu.”[15]
Adapun lamanya adalah 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»
“Allâh menentukan takdir semua makhluk 50.000 tahun
sebelum menciptakan langit-langit dan bumi, dan ‘Arsy-Nya di atas air.”[16]
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) menjelaskan sabda “‘Arsy-Nya
di atas air”, “Maksudnya, sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.”[17]
Dengan uap air yang menjadi asap inilah Allâh menciptakan
langit, berdasarkan hadits marfu’ Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
«وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ فَارْتَفَعَ بُخَارُ الْمَاءِ
فَفُتِقَتْ مِنْهُ السَّمَاوَاتُ»
“Dan ‘Arsy-Nya di atas air, lalu uap airnya naik lalu
dari itu terbentuk langit-langit.”[18]
‘Arsy lebih dahulu diciptakan daripada pena takdir,
sebagaimana riwayat bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
إِنَّ اللَّهَ - جَلَّ ذِكْرُهُ - خَلَقَ الْعَرْشَ فَاسْتَوَى
عَلَيْهِ، ثُمَّ خَلَقَ الْقَلَمَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَجْرِيَ بِإِذْنِهِ
“Sesungguhnya Allâh subhanahu wa ta’ala menciptakan
‘Arsy lalu tinggi di atasnya,
kemudian menciptakan pena lalu memerintahkannya untuk berjalan dengan
seizin-Nya.”[19]
Penjelasan ini sekaligus membantah anggapan mereka bahwa
sebelum peristiwa Big Bang belum ada materi dan energi.
/
4 |
Benarkah Bumi Mengelilingi Matahari?
Mereka mengklaim bahwa bumi mengelilingi matahari karena
bumi terbuat dari pecahan matahari. Ini tidaklah benar karena bertentangan
dengan nash syar’i yang justru menyatakan kebalikannya, yaitu matahari
mengelilingi bumi. Ada lima alasan untuk menjawab hal ini:
Pertama, bumi ini diam sehingga tidak mungkin
bergerak mengelilingi matahari. Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:
«وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ»
“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah langit dan bumi qiyam
dengan perintah-Nya.”[20]
Secara bahasa fi’il (تَقُومَ) berasal dari masdar
(القِيَامُ)
yang artinya berdiri atau diam. Ibnu Manzhur menyebutkan makna qiyâm
adalah diam/tetap (العَزْمُ).
Setelah menyebutkan sya’ir-sya’ir penguat makna ini, beliau melanjutkan, “Qiyâm
bermakna diam dan tetap (الْوُقُوفُ
وَالثَّبَاتُ). Jika dikatakan kepada orang yang berjalan (قِفْ لِي) artinya tetaplah di
tempatmu hingga aku datang kepadamu. Begitu pula (قُم لِي) maksudnya sama
dengan (قِفْ لِي).
Inilah tafsir firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«وَإِذا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قامُوا»
‘Dan apabila kegelapan meliputi mereka, mereka qiyâm.’[21]
Para ahli bahasa dan tafsir memaknai “mereka qiyâm”
di sini adalah mereka berhenti dan tetap di tempatnya, tidak maju dan tidak
mundur.”[22]
Al-Fairuz Abadi menyebutkan beberapa penggunaan qiyâm.
Jika digunakan untuk air artinya beku, jika untuk urusan artinya adil, jika
untuk binatang artinya berhenti. Dari situ muncul lafazh (المَقامُ) artinya tempat
meletakkan telapak kaki.[23]
Semua arti ini menunjukkan bahwa makna ayat di atas adalah
langit dan bumi diam dan tetap di tempatnya. Para ‘ulama juga berpendapat
demikian dalam menafsirkan ayat ini. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Ibnul Jauzi
menafsirkannya, “Berdiri tetap,” dan “Senantiasa diam.”[24] Al-Qurthubi menafsirkan,
“Maksudnya berdirinya dan diamnya karena kekuasaan-Nya meskipun tanpa tiang,”[25] dan yang semisal ini
disampaikan oleh ahli bahasa kenamaan al-Farra`, “Senantiasa diam karena
perintah-Nya meskipun tanpa tiang.”[26]
Kedua, justru nash syar’i menyebutkan kebalikannya,
yakni mataharilah yang mengelilingi bumi. Bukti-buktinya sangatlah jelas, dan
kami rangkum dalam tiga poin berikut:
1.
Allâh subhanahu wa
ta’ala mengisyaratkan matahari mengelilingi bumi, seperti firman-Nya:
«قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ
الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ»
“Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allâh mendatangkan
matahari dari timur, maka datangkanlah (wahai Namrud) ia dari barat!’”[27]
Sisi pendalilannya, seandainya yang bergerak bumi tentulah
yang dikatakan Ibrahim kepada raja Namrud, “Sesungguhnya Allâh menggerakkan
bumi ke arah barat matahari, maka datangkanlah ia dari arah timur matahari!’
Ini menunjukkan bahwa matahari yang berputar mengelilingi bumi.
Juga firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا
أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ»
“Maka tatkala dia (Ibrahim) melihat matahari terbit,
dia berkata, ‘Inilah Rabb-ku. Ini lebih besar.’ Namun, tatkala dia (matahari) terbenam
(أَفَلَتْ),
dia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian
sekutukan.’”[28]
Sisi pendalilannya, tatkala Allâh menjadikan matahari
terbenam, ini menunjukkan yang terbenam adalah dzat mataharinya bukan panasnya,
bayangannya, atau sinarnya, karena tidak ada qarinah (indikasi) yang
memalingkan kepada hal-hal tersebut. Demikian itu adalah kaidah dasar nahwu
yang disepakati seluruh ahli bahasa ‘Arab. Misalkan ungkapan “Muhammad datang”
(جَاءَ
مُحَمَّدٌ), maka dipahami yang datang diri Muhammad, bukan ayahnya,
suratnya, kendaraannya, atau lainnya. Tidak boleh makna ini dibawa ke makna
lainnya kecuali adanya qarinah (misalkan badal isytimal) yang
menghalangi dari makna sebenarnya, contohnya “Muhammad datang, suratnya” (جَاءَ مُحَمَّدٌ رِسَالَتُهُ).
Di sini dipahami yang datang suratnya bukan diri Muhammad karena adanya qarinah
berupa badal isytimal.
2.
Nabi Muhammad ﷺ juga mengisyaratkan
matahari yang bergerak mengelilingi bumi, misalkan sabda beliau ﷺ:
«غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ
يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا،
وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا،
وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا،
فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ،
فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا
عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ»
“Seorang nabi berperang. Dia berkata kepada kaumnya,
‘Tidak boleh mengikutiku seseorang yang memiliki istri dan ingin menggaulinya
tetapi belum sempat menggaulinya, tidak pula seseorang yang membangun rumah dan
belum memasang atapnya, dan tidak pula seseorang yang membeli domba atau unta
bunting dan sedang menunggu kelahiran anaknya.’ Dia pun pergi berperang dan
mendekat ke sebuah desa untuk shalat ‘Ashar, atau lebih dekat lagi. Dia berkata
kepada matahari, ‘Sesungguhnya kamu diperintah dan aku pun diperintah. Ya
Allâh tahanlah ia dari kami!’ Lalu dia ditahan sehingga Allâh memberi
kemenangan kepadanya.’”[29]
Dalam riwayat lain:
«أَيَّتُهَا الشَّمْسُ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ
بِحُرْمَتِي عَلَيْكِ، إِلَّا رَكَدْتِ سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ»
“Wahai matahari, sesungguhnya kamu diperintah dan
aku pun diperintah. Karena kehormatanku atasmu, berhentilah sejenak dari siang
hari.”[30]
Dalam hadits ini jelas sekali, Nabi Yusya’ bin Nun ‘alahissalam
meyakini matahari yang bergerak berputar sehingga terjadi malam dan siang.
Aturan perang waktu itu, jika matahari telah tenggelam perang berhenti, padahal
keadaan waktu itu sedang berpihak kepada Nabi Yusya’ dan kaumnya sedikit lagi.
Seandainya bumi yang bergerak, tentulah beliau akan berdo’a, “Ya Allâh tahanlah
gerakan bumi,” atau, “Hai bumi, berhentilah sesaat agar aku bisa menuntaskan
peperangan. Sesungguhnya kamu berputar karena perintah Allâh dan aku pun
berperang karena perintah Allâh!” Ini menunjukkan bahwa mataharilah yang
mengelilingi bumi.
Ketiga, hal ini (bumi diam, tidak mengelilingi
matahari) merupakan pendapat jumhur ‘ulama seperti Imam al-Isfirayini, Ibnu
Hazm, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, al-Hafizh Ibnu Hajar, Syaikh Bin Baz,
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh ad-Duwais, dan lain-lain. Bahkan, al-Qurthubi
menukil bahwa paham ini juga diyakini ahli kitab zaman dulu, sebagaimana ucapan
beliau, “Yang diyakini umat Islam dan ahli kitab adalah pendapat bahwa bumi
berhenti, diam, dan terhampar. Sementara gerakannya biasanya terjadi karena
gempa.”[31] Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Di sini terdapat penjelasan bahwa matahari beredar setiap hari dan
malam. Ini jelas sekali bertentangan dengan klaim para astronom.”[32]
Keempat, akal sehat menolak bumi mengelilingi
matahari. Seandainya memang bumi berputar mengelilingi matahari dengan
kecepatan 107.500 km/jam, itu artinya sama dengan 39 kali lipat kecepatan
pesawat tempur tercepat dunia MIG29M yang hanya mampu melaju 2.750 km/jam.
Seandainya benar demikian, niscaya tidak akan ada lagi kehidupan di dunia
karena semua benda terpental, berbenturan, atau minamal penuh goncangan.
Mengapa hal ini tidak terjadi jika memang bumi berputar
revolusi? Masih ingatkah gempa di Jepang beberapa tahun lalu yang hanya
beberapa skala ritcher mampu meluluhlantahkan negeri sakura tersebut? Masih
ingatkah gempa Tsunami yang meluapkan air laut ke daratan Aceh, padahal hanya
benturan “ringan” antar lempengan dasar laut? Lantas, bagaimana jadinya jika
gerakan bumi lebih besar dari itu?
Andai benar bumi melakukan gerakan revolusi, pastilah
orang yang melompat tidak akan jatuh tepat di bawahnya, tetapi bergeser jauh ke
arah berlawanan dengan arah gerak revolusi bumi. Juga, pastilah pesawat terbang
dari Saudi menuju Indonesia tidak akan bisa kembali ke Saudi, begitu juga
sebaliknya, minimal salah satu tempat ditempuh lebih cepat dan tempat lainnya
ditempuh lebih dekat, tetapi kenyataan berbicara lain, yaitu jarak Saudi –
Indonesia sama tidak berubah sesuai dengan kecepatan pesawat terbangnya. Juga,
pastilah pesawat ruang angkasa yang lepas landas tidak akan bisa kembali ke
landasannya semula.
Kata mereka, “Benda-benda bumi tidak terpental karena bumi
memiliki gaya gravitasi dan gaya sentrifugal yang menarik benda-benda di
sekitarnya.”
Kita jawab, seberapa besar gaya gravitasi bumi hingga
mampu menarik semua benda tetap di atasnya atau tertarik ke intinya? Jika benar
demikian, pastilah orang tidak akan mampu melompat bahkan sekedar mengangkat
kaki kanannya; pastilah pesawat terbang tidak akan mampu terbang; pastilah pesawat ruang angkasa
tidak akan mampu lepas landas, terutama pesawat ruang angkasa yang keluar dari
orbit gravitasi bumi seperti pesawat satelit.
Penjelasan yang cukup meretakkan taring kesombongan Barat
adalah penjelasan Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya saat menafsirkan firman
Allâh subhanahu wa ta’ala:
«الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً»
“Yang telah menjadikan bumi untuk kalian sebagai
hamparan dan langit sebagai atap.”[33]
Ar-Razi berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allâh subhanahu
wa ta’ala di sini menyebutkan bahwa bumi sebagai hamparan. Yang semakna
dengan ayat ini adalah, ‘Dan siapakah yang menjadikan bumi sebagai tempat
menetap dan menjadikan celah-celahnya sebagai sungai,’[34] juga, ‘Dia-lah yang
menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan.’[35]
Ketahuilah bahwa keberadaan bumi sebagai hamparan harus
terpenuhi beberapa syarat. Syarat pertama adalah bumi harus diam. Seandainya
dia bergerak, tentu akan bergerak lurus atau berputar. Seandainya bergerak
lurus, bumi tidak mungkin bisa dijadikan hamparan untuk kita, karena orang yang
melompat dari tempat tinggi mustahil jatuh ke bumi karena bumi ke bawah dan
orang itu juga ke bawah, sementara bumi lebih berat daripada manusia. Jika dua
benda jatuh maka yang paling berat lebih cepat dari satunya, dan yang lambat
tidak akan bisa mencapai yang cepat. Sehingga mustahil seseorang sampai ke
tanah. Hal ini menetapkan bahwa seandainya bumi bergerak tidak akan menjadi
hamparan.
Adapun seandainya bumi bergerak putar, niscaya bumi tidak
bisa dimanfaatkan sama sekali. Misalkan gerakan bumi ke arah timur dan
seseorang ingin bergerak ke arah barat, pasti gerakan bumi yang lebih cepat itu
menyebabkannya tetap di tempatnya dan tidak mungkin mencapai tempat yang
dituju. Oleh karena itu, tatkala orang tersebut kenyataannya mencapai
tujuannya, kita pun mengetahui bahwa bumi itu tidak bergerak, baik gerak lurus
maupun gerak putar, tetapi diam.”[36]
Kelima, yang unik di sini bahwa di dalam al-Qur`an
Allâh subhanahu wa ta’ala selalu menggandengkan antara matahari dengan
bulan (minimal 15 kali), dan menggandengkan antara langit dengan bumi (minimal
sebanyak 148 kali), tetapi tidak pernah antara matahari dengan bumi sekalipun.
Ini mengisyaratkan bahwa matahari berputar sebagaimana bulan berputar, dan bumi
diam sebagaimana langit diam.
Keberadaan bumi sebagai pusat tata surya dan matahari
mengelilinginya bukanlah hal aneh, sebab di bumi terdapat orang-orang shalih,
Ka’bah, masjid, bahkan para nabi dan rasul yang merupakan kekasih Allâh. Apakah
aneh jika Allâh subhanahu wa ta’ala memuliakan bumi dengan dijadikannya
pusat tata surya kita dan semua benda langit mengelilinginya karena keberadaan
para kekasih-Nya? Adapun para penyembah matahari dan kaum paganisme, mereka
sangat senang dengan teori matahari sebagai pusat tata surya dan bumi
mengelilinginya, sebab hal itu secara tidak langsung memuliakan tuhan mereka
yang mahapanas itu. Asal Anda tahu bahwa pencetus teori heliosentris (matahari
sebagai pusat tata surya dan seluruh
benda langit mengelilinginya) adalah para penyembah berhala. Pencetus
pertama teori heliosentris adalah Pythagoras. Setelah 12 abad terpendam,
dihidupkan kembali oleh Copernicus. Tak ketinggalan Galileo yang
mengkampanyekan teori ini hingga menjagat dunia. Mereka juga meyakini bahwa
alam semesta ada dengan sendirinya, alias ateis alias menginkari Allâh Rabbul
‘Alamin. Wal’iyâdzubillah! Pahamilah!
Jika ada yang menyanggah, “Apa yang Anda sampaikan
bertentangan dengan fakta ilmiah dalam ilmu pengetahuan sains. Semua teori
sains yang Anda bantah telah dibuktikan kebenarannya. Ini menunjukkan kebatilan
bantahan Anda!”
Ini sanggahan yang bagus tetapi perlu didudukkan. Izinkan
kami untuk menyanggahnya pula dengan dua renungan berikut:
1.
Apakah penelitian mereka
pasti benar dan tidak bisa digangu gugat? Apakah akal manusia sempurna tanpa
cacat atau menyamai ilmu Allâh? Sekali-kali tidak. Sesuatu dikatakan kepastian
(benar, jujur, dan tepat sehingga diterima persaksiannya/ klaimnya) jika terpenuhi tiga syarat: [1] pernah melihat
dengan kedua matanya langsung, [2] mengetahui alam ghaib atau sakti mandraguna,
atau [3] mendengar kabar dari wahyu. Jika mereka mengklaim termasuk yang
pertama, maka kita dustakan karena mereka mustahil keluar dari tata surya lalu
melihat dengan pandangan mereka sendiri bahwa semua benda langit mengelilingi
matahari. Jika mereka mengklaim termasuk yang kedua, maka persaksian mereka
tertolak dengan sendirinya karena dukun, paranormal, tukang sihir yang
bekerjasama dengan jin, atau setan yang berubah wujud manusia tertolak
persaksiannya. Jika mereka mengklaim termasuk yang ketiga, maka kita katakan,
“Teori mereka justru bertentangan dengan wahyu.”
2.
Al-Qur`an dan as-Sunnah tidak mungkin salah, dan apakah para
‘ulama ceroboh saat berbicara tentang masalah keghaiban dan masalah besar?
Sekali-kali tidak. Mahasuci Allâh atas apa yang mereka sifatkan.
/
Sebuah Renungan
Apa yang kami
sebutkan ini mengenai seputar Big Bang, langit, matahari, dan bumi, jika
masih terasa berat karena keyakinan dulu yang sudah mendarah daging dan
turun-temurun, sejujurnya kami tidak memaksa siapapun untuk mengikutinya. Meskipun
demikian, baiknya Anda merenungi sifat-sifat orang beriman berikut ini. Mereka
disebut beriman karena mereka percaya dengan kabar-kabar dari Allâh meskipun
belum pernah melihat Allâh ataupun belum pernah menyaksikan sendiri kabar
tersebut.
«إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا»
“Sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah orang-orang
yang percaya kepada Allâh dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu.”[37]
«إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ»
“Sesungguhnya ucapan orang-orang beriman apabila diseru
kepada Allâh dan Rasul-Nya agar memutuskan perkara di antara mereka adalah
ucapan, ‘kami dengar dan kami taat,’ dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.”[38]
«وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا»
“Dan tidak patut bagi orang beriman laki-laki dan
perempuan apabila Allâh dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara bahwa
mereka memiliki pilihan lain dari urusan mereka tersebut. Barangsiapa yang
durhaka kepada Allâh dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan
yang nyata.”[39]
Allahu a’lam.
/
[1]
Lebih jelasnya bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/big_bang.
[2]
QS. Al-Anbiyâ` [21]: 30.
[3]
Tafsîr Ibnu Katsîr (V/339).
[4]
QS. Al-Anbiyâ` [21]: 33. Jika ditotal minimal ada 17 tempat penyebutan malam
sebelum siang saat beriringan, yaitu al-Baqarah [2]: 164, ‘Ali Imrân [3]: 190,
begitu juga [6]: 13, [10]: 6, [14]: 33, [16]: 12, [17]: 12, [21]: 20 & 33,
[23]: 88, [24]: 44, [25]: 62, [28]: 73, [34]: 33, [41]: 37, [45]: 5, dan [73]:
20.
[5]
QS. Qâf [50]: 38.
[6]
QS. Al-Hajj [22]: 47.
[7]
Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/27)
olehnya.
[8]
Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 4936) dan Muslim (no. 2950). Dalam kurung tutup tambahan lafazh dari
al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, dan lainnya dalam riwayat lain.
[9]
Al-Minhâj (XVIII/89) olehnya.
[10] Fathul
Bârî (IX/442) oleh Ibnu Hajar.
[11]
Lihat QS. An-Nahl [16]: 1, al-Ahzâb [33]: 63, al-Qamar [54]: 1, dan an-Najm
[53]: 57. Juga HR. Al-Bukhari (no. 3346) dan Muslim (no. 2880), juga HR.
Al-Bukhari (no. 5231) dan Muslim (no. 2671), dan lain-lain.
[12]
Maksud menuju di sini adalah beralih
menciptakan langit. Urutannya: bumi diciptakan dalam 2 hari dalam keadaan
kosongan, lalu langit diciptakan, lalu isi bumi disempurnakan dalam 4 hari.
Maka total penciptaan langit dan bumi adalah 6 hari.
[13]
QS. Fushshilat [41]: 9-12.
[14]
Al-Bidâyah wan Nihâyah (I/29).
[15] Shahih:
HR. Abu Ya’la al-Maushili (no. 2329, IV/217) dalam Musnadnya dan ad-Darimi (I/142) dalam ar-Ra’du ‘alal Jahmiyyah
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Dinilai shahih Husain Salim Asad.
[16]
HR. Muslim (no. 2653, IV/2044),
at-Tirmidzi (no. 2156), Ahmad (no. 6579), dan Ibnu Hibban (no. 6138) dalam Shahihnya dari ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
[17]
Syarhus Suyûthî (VI/18).
[18] Shahih:
HR. Al-Hakim (no. 3840, II/540)
dalam al-Mustadrâk seraya berkata, “Hadits shahih sesuai syarat
al-Bukhari Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan disetujui
adz-Dzahabi.
[19]
HR. Ath-Thabarani (no. 10595, X/247) dalam al-Mu’jam al-Kabîr.
Al-Haitsami berkata, “Di dalamnya ada adh-Dhahhak yang dinilai dha’if oleh
sekelompok ‘ulama tetapi dinilai tsiqah Ibnu Hibban seraya berkata, ‘Dia tidak
pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbas.’ Perawi lainnya tsiqah.
[20]
QS. Ar-Rûm [30]: 25. Ayat yang serupa misalnya QS. [35]: 41, [40]: 64, dan
[27]: 61.
[21]
QS. Al-Baqarah [2]: 20.
[22] Lisânul
‘Arâb (XII/497) olehnya.
[23] Al-Qâmûs
al-Muhîth (hal. 1152) olehnya.
[24] Zâdul
Masîr (III/420) dan
Tafsîr Ibnu Katsîr (VI/310).
[25]
Tafsîr al-Qurthubî (XIV/19).
[26] Ma’ânil
Qur`ân (II/323) olehnya.
[27]
QS. Al-Baqarah [2]: 258.
[28]
QS. Al-An’âm [6]: 78.
[29] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3124, IV/86) dan Muslim (no. 1747) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[30] Shahih:
HR. Al-Hakim (no. 2618, II/151)
dalam al-Mustadrâk. Dinilai shahih al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi.
[31]
Tafsîr al-Qurthubî (IX/280).
[32] Fathul
Bârî (VI/299).
[33]
QS. Al-Baqarah [2]: 22.
[34] QS.
An-Naml [27]: 61.
[35]
QS. Az-Zukhrûf [43]: 10.
[36] Mafâtîhul
Ghaib (II/336) olehnya.
[37]
QS. Al-Hujurât [49]: 15.
[38]
QS. An-Nûr [24]: 51.
[39]
QS. Al-Ahzâb [33]: 36.