Penggugur Amal - Seluruh dan Sebagian | Pustaka Syabab
Penggugur Amal - Seluruh dan Sebagian
DAFTAR ISI
23.
Menisbatkan Diri kepada yang Bukan Haknya
MUQODDIMAH
Allâh tidak menerima ibadah hamba kecuali
harus terpenuhi dua syarat: ikhlas dan ittiba. Dikatakan ikhlas jika
ditujukan hanya untuk Allâh, dan dikatakan ittiba jika ibadahnya
dikerjakan sesuai petunjuk Rasulullah ﷺ. Untuk mencapai dua syarat
ibadah ini, tentu sangat sulit. Jika seorang hamba mampu mewujudkannya –dan ini
sangat sulit– ia wajib menjaganya agar tidak hangus. Sungguh menderita orang
yang susah payah beramal dengan sungguh-sungguh dengan memenuhi syarat dan
rukun ibadahnya serta ikhlas dan ittiba, tetapi kemudian amalnya hangus
dan dijadikan debu yang beterbangan sehingga tidak bisa ditimbang di Mizan. Allâh
berfirman:
﴿وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ
هَبَاءً مَنْثُورًا﴾
“Dan Kami hadapikan segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan.” (QS. Al-Furqon [25]: 23)
﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا * الَّذِينَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا﴾
“Katakanlah: ‘Maukah kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia (gugur) amal kebaikannya dalam kehidupan dunia
ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah beramal sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 103-104)
Penggugur amal adalah sesuatu yang jika
dilakukan akan menjadikan pahala dari amal shalihnya terhapus, baik secara
menyeluruh atau tertentu.
Faktor penggugur ada dua tinjauan:
1. Faktor dalam;
yaitu tidak terpenu-hinya syarat dan rukun suatu ibadah. Misalkan shalat tanpa
wudhu maka shalatnya batal dengan sendirinya. Gerakannya dari takbir hingga
salam tidak dianggap, karena tidak terpenuhinya wudhu yang merupakan syarat
shalat. Syarat dan rukun ibadah ini banyak dibahas di kitab-kitab fiqih dan
kebanyakan orang sudah mengetahuinya. Adapun buku yang di tangan pembaca ini,
tidak membahas penggugur jenis ini.
2. Faktor luar; yaitu apa yang tidak berkaitan langsung
dengan ibadah. Misalkan memakai parfum ke masjid bagi wanita, maka hal ini
membatalkan pahala shalatnya hingga ia mandi dan hilang aromanya. Pahala shalat
ini terhapus meskipun si wanita tersebut sudah memenuhi syarat dan rukun
shalat. Inilah yang dimaksud dengan penggugur faktor luar, dan inilah yang
dibahas di buku ini, karena banyak kalangan yang tidak mengetahuinya sehingga
perlu dikaji lebih mendalam.
Penggugur amal ada dua macam, yaitu penggugur
kulli dan penggugur juz’i. Penggugur kulli adalah sesuatu
yang jika dilakukan maka ia menghapus semua amal shalih yang pernah
dikerjakannya selama hidupnya, dari A-Z. Misalkan murtad; ia menghapus seluruh
amal yang pernah dikerjakannya selama menjadi Muslim: baik shalatnya, puasanya,
zakatnya, sedekahnya, haji dan umrahnya, dan amalan kebaikan lainnya.
Adapun penggugur juz’i, adalah
amalan yang jika dikerjakan maka menghapus amal tertentu, tidak berdampak pada
amal-amal shalih lainnya yang pernah dikerjakannya. Misalkan melakukan mann
(menyebut-menyebut pemberian), maka ia menghapus sedekah yang disisipi mann
saja, adapun sedekah lainnya maka tidak terkena dampaknya.[]
A. PENGGUGUR KULLI
Penggugur kulli yang menghapus seluruh amal kebaikan ada dua macam, yaitu yang menghapus
hingga tidak tersisa iman sama sekali, dan yang menghapus semua amal kebaikan tetapi
masih tersisa pokok imannya, karena penggugur tersebut tidak mengeluarkannya
dari Islam. Jenis kulli yang kedua ini dimasukkan ke bab Penggugur Juz’i, sehingga bab Penggugur Kulli ini hanya fokus
membahas amalan yang membatalkan amal beserta pokok iman hingga menjadikannya di
Akhirat kekal di Neraka selama-lamanya.
Dari sini kita tahu, akan penting dan
daruratnya mengetahui dengan baik bab ini, dengan harapan semoga kita dijaga Allâh
darinya dan tidak menjadikan kita termasuk penghuni kekal di Neraka
selama-lamanya.
Penggugur kulli ada 4, yaitu kufur,
syirik, riddah, dan nifaq. Semua orang yang di sisi Allâh termasuk orang kafir,
musyrik, murtad, dan munafik adalah hangus semua amal kebaikannya dan di
Akhirat kekal di Neraka selama-lamanya.
1. Kufur (Kafir)
Kufur adalah tidak meyakini atau tidak
menerima atau menentang salah satu atau keseluruhan dari rukun iman yang enam.
Siapa yang melakukannya maka ia kafir dan batal seluruh amal kebaikannya. Allâh
berfirman:
﴿وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Barang siapa yang kafir sesudah
maka hapuslah amalannya dan ia di hari Akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah [5]: 5)
﴿الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ﴾
“Orang-orang yang kafir dan
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allâh, Allâh menghapus
perbuatan-perbuatan mereka.” (QS. Muhammad [47]: 1)
﴿وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ﴾
“Dan orang-orang yang
kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allâh menghapus amal-amal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 8)
﴿إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَشَاقُّوا
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا
وَسَيُحْبِطُ أَعْمَالَهُمْ﴾
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan
menghalangi (manusia) dari jalan Allâh serta memusuhi Rasul setelah petunjuk
itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudarat kepada Allâh sedikit
pun. Dan Allâh akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 32)
Orang kafir ada dua jenis, yaitu orang
kafir yang memusuhi umat Islam dan terang-terangan menghalangi manusia dari
jalan Allâh, contohnya Abu Jahal dan Abu Lahab. Kedua, orang kafir yang
tidak menampakkan permusuhan kepada umat Islam bahkan terkadang mendukung
dakwah Islam, contohnya Abu Thalib. Semua orang dari dua jenis ini terhapus
amal kebaikannya, dan ada tambahan siksa untuk orang kafir jenis pertama di
atas, sebagaimana yang Allâh firmankan:
﴿الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا
فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ﴾
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi
(manusia) dari jalan Allâh, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas
siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.” (QS. An-Nahl [16]: 88)
Meskipun amal kebaikan mereka terhapus,
tetapi dengan kemurahan Allâh, Dia membedakan orang kafir yang berbuat baik
kepada makhluk dengan yang berbuat kerusakan. Orang kafir yang berbuat baik
kepada makhluk (seperti bersedekah, memberi makan, berbakti kepada orang tua)
dan yang berakhlak mulia (seperti jujur dan amanah dalam berbisnis) maka Allâh
lancarkan dunianya. Merekalah orang-orang yang mendapatkan dunia, tetapi di
Akhirat mereka tidak mendapatkan bagian apapun kecuali Neraka. Allâh berfirman:
﴿مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ
لَهُمْ فِي الاَخِرَةِ إِلاَ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di Akhirat, kecuali Neraka dan
lenyaplah di Akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11]: 15-16)
﴿مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ
لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا﴾
“Barang siapa menghendaki kehidupan
sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami
kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahanam;
ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra [17]: 18)
﴿وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ
فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ﴾
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan
di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagian pun di Akhirat.” (QS. Asy-Syura [42]: 20)
﴿فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا
لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ﴾
“Maka di antara manusia ada orang yang
berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,’ dan tiadalah baginya
bagian di Akhirat.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 200)
Dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ لاَ يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً، يُعْطَى بِهَا فِي
الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الاَخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ
مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الاَخِرَةِ،
لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا»
“Allâh tidak menzhalimi sedikitpun dari
kebaikan orang beriman. Dengan itu Allâh beri ia rezki di dunia dan
dibalas pahala di Akhirat. Adapun orang kafir, ia diberi makan dengan kebaikan
amal yang pernah dikerjakannya di dunia karena Allâh hingga ketika ia berpindah ke Akhirat ia tidak memiliki
kebaikan yang perlu dibalas.” (HR. Muslim no. 2808)
Di Akhirat, mereka hanya mendapatkan
bagian Neraka, karena kenikmatannya sudah dihabiskan di dunia berupa kesehatan
dan harta melimpah. Allâh berfirman:
﴿وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ
طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ
عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا
كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ﴾
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang
kafir dihadapkan ke Neraka (kepada mereka dikatakan): ‘Kamu telah menghabiskan
rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang
menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
karena kamu telah fasik.’” (QS. Al-Ahqaf [46]: 20)
Wujud Amal Orang Kafir di Akhirat
Amal orang kafir dijadikan Allâh dalam
tiga keadaan: angin, debu, dan fatamorgana.
Pertama, angin.
Angin tidak bisa ditimbang, begitu juga amal mereka tidak bisa ditimbang. Atau
angin tersebut begitu kencang sehingga merusak tanaman. Allâh berfirman:
﴿مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ
رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ
وَمَا ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ﴾
“Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan
di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung
hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri
sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allâh tidak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Ali Imran [3]: 117)
Kedua, debu.
Debu adalah butiran tanah dan ia begitu ringan saat ditimbang, lantas bagaimana
lagi jika debu tersebut beterbangan pada hari angin bertiup kencang? Begitulah
amal orang kafir. Allâh berfirman:
﴿مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ
بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ
هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ﴾
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya,
amalan-amalan mereka adalah seperti debu yang ditiup angin dengan keras pada
suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit
pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah
kesesatan yang jauh.”
(QS. Ibrahim [16]: 18)
Ketiga, fatamorgana;
yaitu bayang-bayang seakan dikira air oleh orang yang sangat kehausan, tetapi
setelah didatangi ternyata tidak ada apa-apa. Begitulah perumpamaan orang
kafir, di saat mereka membutuhkan pahala dan mereka menyangka akan memetiknya
ternyata Allâh batalkan semua sehingga ia tidak mendapatkan apa-apa. Allâh
berfirman:
﴿وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ
الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ
فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ﴾
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal
mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apa pun. Dan di dapatinya (ketetapan) Allâh di sisinya,
lalu Allâh memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allâh
adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nur [24]: 39)
Bagaimana Jika Orang Kafir Bertaubat dan Masuk Islam?
Dengan kemurahan Allâh, jika baik
ke-Islamannya maka seluruh keburukannya diganti menjadi pahala. Allâh
berfirman:
﴿وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ
ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا * يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ
فِيهِ مُهَانًا * إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾
“Dan orang-orang yang tidak menyembah
tuhan yang lain beserta Allâh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allâh
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang
siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa
(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia
akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allâh
dengan kebajikan. Dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqon [25]: 68-70)
Dari Ibnu Abza, ia bertanya kepada Ibnu
Abbas tentang ayat ini lalu dijawab:
لَمَّا نَزَلَتْ قَالَ أَهْلُ
مَكَّةَ: فَقَدْ عَدَلْنَا بِاللَّهِ، وَقَدْ قَتَلْنَا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَتَيْنَا الفَوَاحِشَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: ﴿إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا
صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا﴾
“Ketika turun ayat ini, penduduk Makkah
berkata, ‘Kami telah menyekutukan Allâh, kami telah membunuh jiwa yang
diharamkan Allâh kecuali dengan haq, dan kami melakukan zina.’ Maka Allâh
menurunkan ayat, ‘Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan
mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allâh dengan kebajikan.
Dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (HR. Al-Bukhari no. 4765
dan Muslim no. 3023)
Dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنِّي لَأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ، وَآخِرَ
أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا: رَجُلٌ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُقَالُ:
اعْرِضُوا عَلَيْهِ صِغَارَ ذُنُوبِهِ، وَارْفَعُوا عَنْهُ كِبَارَهَا، فَتُعْرَضُ
عَلَيْهِ صِغَارُ ذُنُوبِهِ، فَيُقَالُ: عَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا،
وَعَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: نَعَمْ، لاَ يَسْتَطِيعُ
أَنْ يُنْكِرَ وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ كِبَارِ ذُنُوبِهِ أَنْ تُعْرَضَ عَلَيْهِ، فَيُقَالُ
لَهُ: فَإِنَّ لَكَ مَكَانَ كُلِّ سَيِّئَةٍ حَسَنَةً، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ عَمِلْتُ
أَشْيَاءَ لاَ أَرَاهَا هَا هُنَا» فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ
نَوَاجِذُهُ
“Sungguh aku benar-benar mengetahui orang
yang terakhir masuk Surga dan terakhir keluar dari Neraka, yaitu lelaki yang
didatangkan pada hari Kiamat lalu dikatakan, ‘Paparkan kepadanya dosa-dosa
kecilnya dan angkat (hapus) dosa-dosa besarnya.’ Lalu dipaparkanlah dosa-dosa
kecilnya lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu pernah melakukan di hari A dosa ini
dan itu, dan kamu pernah melakukan di hari B dosa ini dan itu.’ Jawanya,
‘Benar.’ Dia tidak tidak bisa mengelak dan ia ketakutan sekali jika dosa-dosa
besarnya dipaparkan juga. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Setiap dosa ini diganti
kebaikan (pahala) untukmu.’ Dia berkata, ‘Ya Rabbi, aku pernah melakukan
dosa-dosa lain (besar) tetapi kenapa tidak kulihat di sini?’ Kulihat Rasulullah ﷺ tertawa hingga nampak giri
gerahamnya.” (HR. Muslim no. 190)
Dari Abu Said
Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ
كُلَّ حَسَنَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا، وَمُحِيَتْ عَنْهُ كُلُّ سَيِّئَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا،
ثُمَّ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا»
“Jika hamba masuk Islam lalu bagus
ke-Islamannya maka semua kebaikan yang pernah dilakukannya (semasa kafir)
ditulis, dihapus semua keburukan yang dahulu dikerjakannya. Kemudian
setelah itu berlaku ketentuan dimana satu kebaikan dilipatkan sepuluh
semisalnya hingga 700 lipat. Adapun keburukan maka dibalas yang semisalnya
saja, kecuali jika Allâh mengampuninya.” (Shahih: HR. An-Nasai no. 4998)
Dari Hakim
bin Hizam Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa ia berkata kepada Rasulullah ﷺ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ
أَشْيَاءَ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الجَاهِلِيَّةِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَتَاقَةٍ،
وَصِلَةِ رَحِمٍ، فَهَلْ فِيهَا مِنْ أَجْرٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلَمْتَ عَلَى
مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ»
Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku
tentang amal shalih yang pernah aku kerjakan di masa jahiliyah berupa sedekah,
memerdekakan budak, atau silaturahmi, apakah ada pahalanya? Rasulullah ﷺ menjawab, “Kamu masuk Islam
beserta pahala kebaikan yang dulu kamu kerjakan.” (HR. Al-Bukhari
no. 1436)
Di antara bentuk amalan kufur adalah mengingkari
Al-Qur’an, mengingkari takdir, membenarkan ramalan.
a. Mendustakan Al-Qur’an
Allâh berfirman:
﴿وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَلِقَاءِ الْآخِرَةِ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui Akhirat, sia-sialah perbuatan
mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Al-A’raf
[7]: 147)
﴿إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ
بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ * أُولَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada ayat-ayat Allâh dan membunuh para Nabi yang memang tidak
dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka
gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu
adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan Akhirat, dan
mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran [3]: 21-22)
Mengingkari dan mendustakan ayat-ayat Allâh,
bentuknya seperti tidak mempercayai sebagian isinya, tidak berhukum dengannya
dengan keyakinan tidak layak dijadikan hukum atau menganggap perundangan buatan
manusia lebih baik.
Yang benar, justru sebaliknya, Al-Qur’an
jujur dalam beritanya dan adil dalam hukum-hukumnya sehingga layak dijadikan
pedoman, bukan didustakan. Allâh berfirman:
﴿وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا، لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu
(Al-Qur'an,) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS.
Al-An’am [6]: 115)
b. Menentang Rasul
Allâh
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ
فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ
لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan
kamu tidak menyadari.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 2)
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: ketika turun ayat ini, Tsabit bin Qois berdiam di rumahnya sambil
berkata: amalku hangus dan aku termasuk penghuni Neraka. Dia tidak lagi menemui
Nabi ﷺ
sehingga beliau menanyakannya kepada Saad bin Muadz, “Wahai Abu Amr, apa
yang terjadi dengan Tsabit?” Saad berkata, “Dia memang tetanggaku
tetapi aku tidak tahu keluhannya.” Lantas Saad menemuinya lalu menyampaikan
ucapan Rasulullah tentangnya lalu Tsabit berkata, “Turun ayat dan kalian sudah
mengerti kalau aku adalah orang yang paling tinggi suaranya kepada Rasulullah ﷺ. Aku penghuni Neraka.” Saad menyampaikan berita itu kepada Nabi ﷺ lalu Rasulullah ﷺ bersabda:
«بَلْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ»
“Bahkan ia
termasuk penghuni Surga.” (HR. Muslim no. 119)
Dari hadits
ini menjadi jelas bahwa mengangkat suara yang membatalkan amal adalah
penentangan dan penyelisihan perintah Rasulullah dan tidak mentaatinya baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Allâh
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ﴾
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allâh
dan taatilah Rasul dan jangan kalian membatalkan amal kalian.” (QS. Muhammad [47]: 33)
c. Mengingkari Takdir
Mengingkari takdir adalah dua macam, yaitu
meyakini segala sesuatu terjadi dengan sendirinya tanpa takdir Allâh, seperti
pemikiran kaum Qodariyah; dan meyakini manusia dipaksa laksana kapas yang
diterbangkan angin ke mana angin bertiup, seperti pemikiran Jabariyah. Kedua
pemikiran ini adalah pengingkaran dan pendustaan takdir, karena sama dengan
mengingkari dan mendustakan nash-nash takdir.
Adapun Ahlus Sunnah mengimani takdir yang
baik dan yang buruk, karena berdalil dengan sabda Nabi ﷺ atas pertanyaan Jibril tentang
iman:
«أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلاِئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ،
وَرُسُلِهِ، وَالْيَومِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»
“Anda beriman kepada Allâh, para Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, dan Anda beriman kepada takdir
yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim no. 8)
Contoh takdir buruk adalah sakit dan
miskin, bahkan tidaklah terjadi pencurian, pembunuhan, dan perzinahan kecuali
atas takdir Allâh. Allâh yang menciptakan manusia dan perbuatan mereka,
sebagaimana firman-Nya:
﴿وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Padahal Allâh-lah yang menciptakan kamu
dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 96)
Akan tetapi Allâh tidak menyukai kekufuran
dan maksiat, meskipun Allâh mentakdirkannya. Allâh berfirman:
﴿إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ
الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ﴾
“Jika
kamu kafir, maka sesungguhnya Allâh tidak memerlukanmu (jika beriman) dan Dia
tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia
meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar [39]: 7)
Memang Allâh yang menciptakan perbuatan
manusia tetapi manusia tidak dipaksa berbuat maksiat, bahkan mereka
melakukannya dengan kehendak sendiri tanpa paksaan dari siapapun. Dengan itu,
ia berhak dihukum.
Mudahnya, pabrik memproduksi dan membuat
pisau, lalu ada orang yang menggunakannya dalam keburukan. Yang dicela apakah
pabriknya atau pelaku keburukan? Tentu pelaku keburukan. Untuk itu Nabi ﷺ tidak mengalamatkan keburukan
kepada Allâh, meskipun Allâh yang menciptakannya:
«وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ»
“Semua kebaikan di Tangan-Mu, dan
keburukan tidak dialamatkan kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 771)
Allâh mentakdirkan keburukan untuk sebuah
hikmah. Misalkan sakit, dari satu sisi ia adalah keburukan dan dari sisi lain
ia adalah kebaikan. Sakit dikatakan keburukan karena menyakitkan diri
penderita, dan sakit dikatakan kebaikan karena menjadikan gugurnya dosa,
terangkatnya derajat, dan hamba dekat kepada Allâh.
Penjelasan ini tidak dipahami betul oleh mereka,
sehingga sebagian mereka secara tidak sadar termasuk golongan pengingkar takdir
yang menyebabkan gugurnya semua amal kebaikannya: shalatnya, puasanya, dan
segala kebaikan lainnya, karena ia juga membatalkan ke-Islamannya. Allâh
berfirman:
Rasulullah ﷺ bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لَهُمْ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً: عَاقٌّ،
وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ»
“Tiga orang yang tidak Allâh terima
amalnya baik amal sunnah maupun wajibnya yaitu orang yang durhaka kepada orang
tua, orang yang melakukan mann dalam sedekah, dan pendusta takdir.” (Hasan:
HR. Ibnu Abi Ashim no. 323)
Dari Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab,
Abdullah bin Mas’ud, dan Hudzaifah bin Yaman, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ
عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا
لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ
لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ
مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ»
“Andai Allâh
menyiksa seluruh penduduk langit dan penduduk bumi, niscaya Dia menyiksa mereka
tanpa dikatakan zhalim. Andai Dia merahmati mereka maka rahmat itu lebih baik
bagi mereka melebihi amal shalih mereka. Andai kamu berinfak emas seperti
gunung Uhud maka Allâh tidak akan menerimanya darimu hingga kamu beriman kepada
takdir. Kamu meyakini bahwa apa yang akan menimpamu tidak akan meleset darimu
dan apa yang tidak menimpamu tidak mengenaimu. Andai kamu mati dalam keadaan
selain keyakinan ini maka kamu pasti masuk Neraka.” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 4699)
Ketika
terjadi pengingkaran takdir di akhir masa generasi Sahabat, para Tabiin
bersegera menuju para Sahabat meminta fatwa tentang masalah ini. Yahya bin Ya’mar berkata, “Orang pertama yang
melakukan bid’ah tentang takdir adalah Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Aku dan
Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari pergi haji atau umrah dan kami berandai-andai
bertemu salah seorang dari Sahabat Nabi ﷺ untuk meminta fatwa berkenaan
dengan perkataan mereka tentang takdir. Kami bertemu Abdullah bin Umar bin
Khathab yang masuk masjid. Maka kami mengikutinya dari kanan dan kiri. Temanku
menyerahkan kesempatan bertanya kepadaku lalu aku berkata, ‘Wahai Abu
Abdirrahman (Ibnu Umar), muncul di negeri kami sekelompok manusia yang hafal
Al-Qur’an, rajin mengumpulkan ilmu –ia menyebutkan kelebihan-kelebihan lainnya-
akan tetapi mereka berpendapat tidak ada takdir dan setiap perkara diketahui Allâh
setelah terjadi.” Maka Ibnu Umar berkata:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ
فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ
بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا،
فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Apabila kamu bertemu mereka maka kabarkan
kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka belepas diri
dariku. Demi Dzat yang Ibnu Umar bersumpah dengan-Nya, andai mereka berinfak
emas sepenuh gunung Uhud maka Allâh tidak akan menerimanya hingga beriman
kepada takdir.” (HR. Muslim no. 8)
d. Membenarkan Ramalan
Ramalan adalah menerka alam ghoib dengan
benda angkasa atau benda di bumi (garis tanah, garis tangan, membaca air,
menbaca cangkir dan semisalnya). Termasuk ramalan adalah apa yang dikenal di
zaman sekarang dengan nama zodiak dan ilmu weton (penentuan nasib nikah dengan
angka kelahiran). Ini dikerjakan oleh para dukun dan paranormal. Ini perbuatan
kufur dan membatalkan pahala sekaligus keimanan.
Yang tahu perkara ghoib hanya Allâh,
sebagaimana firman-Nya:
﴿قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا
اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allâh,’ dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml [27]: 65)
Bahkan para Nabi sekalipun, mereka tidak
tahu perkara ghoib. Kalaupun mereka tahu maka mereka diberitahu Allâh,
sebagaimana firman-Nya:
﴿عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا * إِلَّا
مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
رَصَدًا﴾
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang
ghoib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghoib itu. Kecuali
kepada Rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(Malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin [72]: 26-27)
Andai Nabi Muhammad tahu perkara ghoib,
maka beliau akan selalu menang dalam peperangan dan tidak pernah terluka. Allâh
berfirman:
﴿قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ
اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ
السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang
dikehendaki Allâh. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghoib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-A’raf [7]: 188)
Maka dukun dan paranormal adalah kafir dan
perbuatannya adalah kufur. Orang yang mendatanginya, shalatnya selama 40 hari
tidak diterima Allâh.
Dari sebagian istri-istri Nabi ﷺ, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ
صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Siapa mendatangi paranormal (dukun) lalu
bertanya tentang apapun, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230)
Ancaman ini
bagi yang mendatangi dan bertanya, adapun yang menambahnya dengan
membenarkannya maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad
ﷺ.
Beliau bersabda:
«مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ،
فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
“Siapa yang mendatangi dukun atau tukang
ramal lalu membenarkannya maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad ﷺ.” (Shahih:
HR. Ahmad no. 9536)
2. Syirik (Musyrik)
Syirik adalah menyamakan selain Allâh
dengan Allâh dalam hak diibadahi atau hak rububiyah (mencipta, memiliki, dan
mengatur alam semesta). Dia menyembah Allâh dan juga menyembah selain Allâh. Allâh
berfirman:
﴿وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لاَ بُرْهَانَ لَهُ بِهِ
فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ﴾
“Dan barang siapa menyembah tuhan yang
lain di samping Allâh, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu,
maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang
kafir itu tiada beruntung.” (QS. Al-Mukminun [23]: 117)
Amal kebaikan orang musyrik hangus. Allâh
berfirman:
﴿مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ
خَالِدُونَ﴾
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu
memakmurkan masjid-masjid Allâh, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri
kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam Neraka.” (QS. At-Taubah [9]: 17)
Allâh menyebutkan nama-nama para Nabi dan
Rasul: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, Harun,
Zakariya, Yahya, Isa, Ilyas, Ismail, Ilyasa, Yunus, dan Luth dalam firman-Nya:
﴿وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ
دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ * وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ
دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ * وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ
* وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ
* وَمِنْ آبَائِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَإِخْوَانِهِمْ وَاجْتَبَيْنَاهُمْ وَهَدَيْنَاهُمْ
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴾
“Dan itulah hujah Kami yang Kami
berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’ub kepadanya. Kepada
keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu
(juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh)
yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Juga Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas.
Semuanya termasuk orang-orang yang shalih. Dan Ismail, Ilyasa, Yunus dan Luth.
Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), (dan Kami
lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan
saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-Nabi
dan Rasul-Rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-An’am [6]: 83-88)
Kemudian Allâh melanjutkan ayat ini dengan
firman-Nya:
﴿ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Itulah petunjuk Allâh, yang dengannya Dia
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
Seandainya mereka mempersekutukan Allâh, niscaya lenyaplah dari mereka amalan
yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 89)
Ini adalah ancaman keras akan bahaya
syirik. Ancaman ini juga ditunjukkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana firman-Nya:
﴿وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Dua ayat di atas tidak berarti bahwa ada Nabi
yang berbuat syirik, karena lafazh seandainya tidak menunjukkan telah
terjadi. Yang diinginkan dari ayat ini adalah ancaman keras terhadap
kesyirikan, yang seandainya saja para Nabi yang pahalanya melimpah dan amal
shalihnya banyak, akan terhapus jika berbuat syirik, apalagi dengan orang-orang
yang derajatnya di bawah mereka. Tentu tidak ada ampun bagi mereka.
3. Riddah (Murtad)
Orang yang beragama Islam lalu keluar
darinya maka ia disebut murtad. Amal shalih yang pernah dikerjakannya hangus. Allâh
berfirman:
﴿وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴾
“Barang siapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di Akhirat, dan mereka itulah penghuni Neraka, mereka
kekal di dalamnya.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 217)
4. Nifaq (Munafik)
Nifaq adalah menyembunyikan kekufuran dan
menampakkan keimanan. Status mereka sebagai orang beriman, tetapi hati mereka
kufur. Allâh menyebut hati mereka sebagai hati sakit, yang bermakna syak
(ragu) dengan syariat Allâh, sebagaimana firmannya:
﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ
وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ * يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ
إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ * فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ
مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ﴾
“Di antara manusia ada yang mengatakan:
‘Kami beriman kepada Allâh dan Hari kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allâh dan orang-orang
yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak
sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allâh penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah [2]: 8-10)
Sifat dominan mereka adalah keraguan,
seperti ragu kaum Muslimin akan dimenangkan Allâh, ragu janji Allâh dan Rasul-Nya,
ragu Al-Qur’an sebagai pedoman, ragu dengan syariat dan hukum Islam, ragu
kekafiran Yahudi dan Nashrani, ragu hari Kebangkitan, ragu adanya Surga dan Neraka,
dan lain-lain. Allâh berfirman:
﴿مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لاَ إِلَى هَؤُلآءِ وَلَا إِلَى هَؤُلآءِ
وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً﴾
“Mereka
dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk
kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu
(orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allâh, maka kamu sekali-kali
tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An-Nisa
[4]: 143)
﴿وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا﴾
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik
dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: ‘Allâh dan Rasul-Nya
tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 12)
Tiga sifat mereka saat berinteraksi dengan
orang beriman adalah berdusta, menyelisihi janji, dan khianat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ bersabda:
«آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ
أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ»
“Tanda orang munafik ada tiga: jika
berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkari, dan jika diberi amanah ia
berikhianat.” (HR.
Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)
Orang munafik juga ikut shalat berjamaah,
berpuasa bersama kaum Muslimin, dan ikut berjuang, serta berdzikir, tetapi
semua itu bukan karena Allâh. Allâh berfirman:
﴿إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا
قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ
اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً﴾
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allâh, dan Allâh akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat)
di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allâh kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa [4]: 142)
Semua amal kebaikan ini hangus.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
«آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ
مُسْلِمٌ»
“Tanda orang munafik ada tiga, meskipun ia
puasa dan shalat serta mengira dirinya Muslim.” (HR. Muslim no. 59)
Mereka membenci syariat Allâh sehingga Allâh
hapus amal kebaikannya. Allâh berfirman:
﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ
أَعْمَالَهُمْ﴾
“Yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allâh (Al-Qur’an) lalu Allâh menghapuskan
(pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad [47]:
8-9)
Mereka suka mengolok-olok agama sehingga Allâh
hapus amal kebaikannya. Allâh berfirman:
﴿كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ
أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ
كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا
أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ﴾
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik
adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat
daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu.
Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu
sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu
mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka
itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di Akhirat; dan mereka itulah
orang-orang yang merugi.” (QS. At-Taubah [9]: 69)
﴿يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ
بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ
* وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ
وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ
كَانُوا مُجْرِمِينَ﴾
“Orang-orang yang munafik itu
takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang
tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: ‘Teruskanlah
ejekan-ejekanmu (terhadap Allâh dan Rasul-Nya).’ Sesungguhnya Allâh akan
menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah:
‘Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak
usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan
(yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubat [9]: 64-66)
Mereka mencela keputusan Nabi ﷺ sehingga Allâh hapus amal
kebaikannya. Allâh berfirman:
﴿أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ
إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا
ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ أَشِحَّةً عَلَى الْخَيْرِ أُولَئِكَ
لَمْ يُؤْمِنُوا فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا﴾
“Mereka bakhil terhadapmu.
Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu
dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati,
dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang
tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman,
maka Allâh menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah
bagi Allâh.” (QS.
Al-Ahzab [33]: 19)
Mereka suka bergaul dan bergabung dengan
orang kafir sehingga Allâh hapus amal kebaikannya. Allâh berfirman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ * فَتَرَى الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ
فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا
عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ * وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلَاءِ
الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang
ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka
(Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana (jika
tidak bergabung dengan kalian).’ Mudah-mudahan Allâh akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka
karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam
diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: ‘Inikah orang-orang yang
bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allâh, bahwasanya mereka benar-benar
beserta kamu (seiman)?’ Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi
orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah [5]: 51-53)
Mereka suka melakukan apa yang menimbulkan
kemurkaan Allâh sehingga Allâh hapus amal kebaikannya. Allâh berfirman:
﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ
اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ﴾
“Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allâh dan (karena)
mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridaan-Nya; sebab itu Allâh menghapus
(pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 28)
Apakah amal-amalnya tetap terhapus
meskipun sudah bertaubat dari salah satu dari dosa-dosa di atas? Misalkan ada
seorang Muslim yang beribadah lebih 40 tahun, lalu ia berbuat syirik sehingga
pahalanya gugur. Lalu ia bertaubat, apakah pahalanya kembali? Ada perselisihan
ulama dalam hal ini. Pendapat yang kuat –Allâhu a’lam- adalah kembali,
sebagaimana ia kembali kepada keimanan. Hal ini berdasarkan firman Allâh:
﴿وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴾
“Barang siapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di Akhirat, dan mereka itulah penghuni Neraka, mereka
kekal di dalamnya.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 217)
Di sini Allâh mensyaratkan dihapusnya amal
ketika meninggal dalam keadaan kafir, adapun jika meninggal dalam kondisi
beriman tentu tidak terhapus.
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘Anhu,
bahwa ia berkata kepada Rasulullah ﷺ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ
أَشْيَاءَ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الجَاهِلِيَّةِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَتَاقَةٍ،
وَصِلَةِ رَحِمٍ، فَهَلْ فِيهَا مِنْ أَجْرٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلَمْتَ عَلَى
مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ»
Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku
tentang amal shalih yang pernah aku kerjakan di masa jahiliyah berupa sedekah,
memerdekakan budak, atau silaturahmi, apakah ada pahalanya? Rasulullah ﷺ menjawab, “Kamu masuk Islam
beserta pahala kebaikan yang dulu kamu kerjakan.” (HR. Al-Bukhari no. 1436)
Jika amal shalih yang dikerjakan di masa
Jahiliyah ditulis di masa Islamnya, tentu amal shalih yang dikerjakan di masa
Islamnya lebih layak ditulis. Allâhu a’lam.
Kesimpulan bab ini, perbuatan kufur,
syirik, riddah, dan nifaq i’tiqod (keyakinan) membatalkan amal secara kulli
dan mengekalkan pelakunya di Neraka, jika tidak bertaubat sebelum meninggal. Allâh
tidak menerima sedikitpun kecuali Islam, bukan kufur, syirik, murtad, dan nifaq
i’tiqod. Allâh berfirman:
﴿وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الاَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (amal shalihnya), dan dia di Akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)[]
B. PENGGUGUR JUZ’I
Penggugur juz’i yaitu perbuatan yang membatalkan pahala amal, tetapi tidak sampai keluar
dari Islam.
1. Meninggalkan Shalat Fardhu
Meninggalkan shalat fardhu adalah dosa
besar bahkan lebih besar dari dosa meninggalkan puasa, zakat, haji, bahkan dari
mencuri, berzina, durhaka kepada orang tua, dan membunuh sekalipun.
Kenapa begitu besar dosanya? Karena para
ulama sepakat bahwa meninggalkan kewajiban-kewajiban di atas yang dilakukan
karena malas, dan melanggar larangan-larangan di atas yang dilakukan tanpa
menghalalkannya, maka itu semua tidak membatalkan ke-Islamannya. Akan tetapi,
meninggalkan shalat fardhu karena malas, maka para ulama silang pendapat.
Madzhab Syafi’i berpendapat tidak keluar dari Islam, sementara madzhab Hambali
beserta beberapa ulama salaf dan khalaf berpendapat kebalikannya. Inilah yang
menjadikan ia begitu berat dosanya dan dimasukkan nomor pertama dalam bab Penggugur
Juz’i.
Sehingga, jika shalatnya baik maka
amal-amal lainnya ditulis, dan sebaliknya jika shalatnya ditinggalkan maka
amal-amal lainnya batal.
«أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ،
فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ»
“Yang pertama kali dihisab dari hamba pada
hari Kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya maka seluruh amalnya menjadi
baik baginya, dan jika jelek shalatnya maka menjadi jelek seluruh amalnya.” (Shahih:
HR. Ath-Thabrani, no. 1859)
Di antara dalil yang dijadikan hujjah sebagian
ulama akan kekafiran orang yang meninggalkan shalat adalah:
«إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ»
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang
dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
«العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا
فَقَدْ كَفَرَ»
“Perjanjian di antara kami dan mereka
adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia kafir.” (Shahih:
HR. At-Tirmidzi, no. 2621)
Seorang Tabiin bernama Abdullah bin Syaqiq
berkata:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
ﷺ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ
كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
“Sahabat Muhammad ﷺ tidak memandang ada amalan yang
jika ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” (Shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 2622)
Para Sahabat
yang berpendapat ini adalah Umar bin Khathab, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Jabir
bin Abdillah, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Darda. Adapun dari
kalangan ulama adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawai, Abdullah bin
Mubarak, dan Ibrahim An-Nakhai.
Kesimpulannya,
jika seseorang meninggalkan sholat lima waktu semuanya atau sebagian besar
darinya, maka semua amal sholihnya hangus, baik hajinya, sedekahnya, sholatnya,
puasanya, dan amal sholihnya lainnya. Jika dia bertaubat, maka tidak jadi
hangus.
Jika dia
meninggal dalam keadaan tersebut, maka ulama berselisih apakah ia dikubur di
pemakaman kaum Muslimin apa tidak? Adapun di Akhirat, hanya Allah yang tahu,
apakah ia kafir ataukah tidak.
2. Meninggalkan Shalat Ashar
Allâh
memerintahkan para hamba-Nya untuk menjaga shalat-shalat
fardhu, terutama shalat Wustho yaitu shalat Ashar. Allâh berfirman:
﴿حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ
قَانِتِينَ﴾
“Peliharalah segala shalat (mu), dan
(peliharalah) shalat Wustha. Berdirilah karena Allâh (dalam shalatmu) dengan
khusyuk.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 238)
Allâh mengancam Wail, lembah di Neraka,
bagi yang lalai shalat dengan mengakhirkan waktunya. Allâh berfirman:
﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ﴾
“Maka kecelakaanlah (Wail) bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maun [107]: 4-7)
Rasulullah ﷺ bersabda:
«الَّذِي تَفُوتُهُ صَلاَةُ العَصْرِ، كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»
“Yang
terluput shalat Ashar maka seolah-olah berkurang keluarga dan hartanya.”
(HR. Al-Bukhari no. 553)
Karena besarnya hak shalat Ashar, maka
meninggalkannya membatalkan pahala-pahala, baik shalatnya, puasanya,
sedekahnya, dan lainnya.
Dari Abul Malih, ia berkata: kami bersama
Buraidah dalam sebuah peperangan yang sedang berkecamuk, lalu ia berkata,
بَكِّرُوا بِصَلاَةِ العَصْرِ،
فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «مَنْ تَرَكَ
صَلاَةَ العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
“Kalian segera shalat Ashar karena Nabi ﷺ bersabda, ‘Siapa yang
meninggalkan shalat Ashar maka gugur amalnya.’” (HR. Al-Bukhari no. 553)
Apakah yang batal ini seluruh pahalanya
atau sebagiannya? Ada dua pendapat:
(1) Ia menghapus seluruh
amal dari awal hingga akhir.
(2) Ia mengapus seluruh
amal di hari itu saja. Ini dipilih Ibnul Qoyyim.
3. Mencela Sahabat
Sahabat Nabi ﷺ adalah generasi terbaik dari
umat Islam yang wajib dijadikan teladan dalam beragama, bukan justru dicaci dan
dimaki. Allâh berfirman:
﴿وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ﴾
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allâh dan Allâh menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100)
﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾
“Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang Mukmin (para Sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa [4]: 115)
Allâh mengampuni para Sahabat, terutama
yang ikut berperang bersama Nabi di hari-hari sulit. Allâh berfirman:
﴿لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ
الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ
فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat
Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshor, yang mengikuti Nabi dalam
masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh
menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 117)
Allâh menyuruh seluruh orang beriman
memohonkan ampun untuk para Sahabat, sebagaimana firman Allâh:
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا
غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.’” (QS.
Al-Hasyr [59]: 10)
Dengan tingginya martabat mereka ini, Allâh
mengancam setiap orang yang mencela mereka.
Dari Anas bin Malik, ia berkata: beberapa
orang Sahabat Rasulullah berkata, “Wahai Rasulullah, kami dicaci.” Rasulullah
bersabda:
«مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ، وَالْمَلَائِكَةِ،
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا»
“Siapa yang mencaci Sahabatku maka ia
mendapatkan laknat Allâh, para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allâh tidak
menerima ibadah sunnahnya maupun wajibnya.” (Shahih:
HR. Ahmad no. 8 dalam Fadhoilus Shohabah dan Ash-Shahihah no.
2340)
Mencela jumhur Sahabat adalah kekufuran.
Adapun mencela satu Sahabat, maka dirinci: jika yang dicela bukan agamanya maka
ini dosa besar, dan jika yang cela adalah agamanya maka ini kekufuran.
4. Memvonis Ahli Maksiat
Yaitu memastikan ahli maksiat sebagai
penghuni Neraka atau memastikan Allâh tidak akan mengampuninya. Perbuatan ini
mendahului Allâh, karena hak memasukkan Neraka dan mengampuni adalah mutlak
milik Allâh, tidak boleh seorang pun mendahului Allâh dalam hal ini. Allâh
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat [49]: 1)
Yang diperbolehkan adalah memvonis secara
umum, seperti mengatakan orang kafir pasti masuk Neraka, atau siapa yang
meninggalkan dalam kekafiran maka Allâh tidak akan mengampuninya. Ini yang
dikenal dengan hukum mutlak.
Adapun hukum tunjuk hidung (mu’ayyan)
seperti mengatakan si fulan masuk Neraka, dan si fulan tidak akan diampuni
Allâh, maka hal ini dilarang, kecuali yang telah nash pastikan masuk Neraka seperti
Fir’aun, Qorun, Haman, Abu Jahal, dan Abu Lahab.
Boleh jadi Allâh mengampuni ahli maksiat
dari kaum Muslimin meskipun tanpa taubat, atau mungkin di akhir hidupnya ia
bertaubat. Hanya Allâh yang mengetahui kesudahan.
Perbuatan mendahului Allâh ini bisa
menghapus amal.
Dari Jundab bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَنَّ رَجُلًا قَالَ: وَاللَّهِ لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ، وَإِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لاَ أَغْفِرَ لِفُلَانٍ،
فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ، وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ»
“Ada
seseorang yang berkata: demi Allâh, Allâh tidak akan mengampuni fulan. Allâh
berfirman: siapa yang berani mendahului Aku bahwa Aku tidak mengampuni fulan.
Sungguh Aku telah mengampuninya dan Aku hapus amal shalihmu.” (HR. Muslim
no. 2621)
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa ia
mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
:«كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ
مُتَوَاخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي
الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ
فَيَقُولُ: أَقْصِرْ! فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ!
فَقَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللّٰهِ لاَ
يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللّٰهُ الْجَنَّةَ، فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا،
فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ:
أَكُنْتَ بِي عَالِمًا، أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟ وَقَالَ
لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي، وَقَالَ لِلْآخَرِ:
اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ»
“Ada dua bersaudara dari Bani Isra`il.
Salah satunya gemar berbuat dosa dan yang lainnya ahli ibadah. Si ahli ibadah
selalu melihat saudaranya melakukan dosa lalu berkata, ‘Berhentilah!’ Pada hari
berikutnya melakukan dosa lagi lalu dia menasihatinya lagi, ‘Berhentilah!’ Dia
berkata, ‘Biarkan saja aku! Demi Allâh, apakah kamu dikirim untuk menjadi
pengawas bagiku?’ Ahli ibadah berkata, ‘Demi Allâh, Allâh tidak akan
mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke Surga!’ Lalu keduanya meninggal,
lalu keduanya dikumpulkan di hadapan Rabb semesta alam. Allâh berkata kepada
ahli ibadah, ‘Apakah kamu merasa lebih tahu dariku ataukah kamu merasa
Mahamampu atas apa yang ada di tangan-Ku?’ Allâh berkata kepada pelaku dosa,
‘Pergi dan masuklah ke Surga dengan rahmat-Ku!’ Allâh berkata kepada (Malaikat)
tentang ahli ibadah, ‘Seretlah ia ke Neraka!’”
Abu Hurairah berkata:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
“Demi Dzat yang jiwaku di tangannya,
sungguh dia telah mengucapkan suatu ucapan yang membinasakan dunia dan Akhiratnya.”
(Shahih: HR. Abu Dawud no. 4901 dan
Ahmad no. 8292)
5. Durhaka
Allâh memerintahkan mentauhidkan-Nya dan
menjadikan bakti orang tua beriringan dengan hal itu, sebagaimana firman Allâh:
﴿وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra [17]: 23)
Juga Dia
mengiringi perintah bersyukur kepada-Nya dengan bersyukur kepada kedua orang
tua.
﴿وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا
عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ﴾
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.” (QS. Luqman
[31]: 14)
Durhaka kepada orang tua membatalkan amal.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لَهُمْ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاَ: عَاقٌّ،
وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ»
“Tiga orang yang tidak Allâh terima
amalnya baik amal sunnahnya maupun wajibnya yaitu orang yang durhaka kepada
orang tua, orang yang melakukan mann (mengungkit-ngungkit) dalam sedekah, dan
pendusta takdir.” (Hasan: HR. Ibnu Abi Ashim no. 323)
6. Membunuh
Jiwa yang dibunuh ada dua, yaitu kafir dan
Muslim. Orang kafir ada empat macam, yaitu kafir dzimmi, mu’ahad, musta’man,
dan harbi. Yang boleh dibunuh adalah kafir harbi yaitu orang kafir yang
menampakkan permusuhan kepada kaum Muslimin atau memerangi kaum Muslimin.
Adapun tiga sisanya maka Nabi ﷺ mengancam tidak mencium aroma Surga bagi yang membunuh mereka.
Adapun membunuh orang Muslim ada dua,
yaitu yang berhak dibunuh dan yang tidak berhak. Yang berhak dibunuh adalah
mereka yang terkena hukum qishoh (tuntut balas bunuh dari wali korban), pezina
muhson (telah menikah), dan murtad.
Adapun membunuh orang Muslim tanpa hak
adalah dilarang, bahkan termasuk dosa besar dan menggugurkan amal kebaikan.
Dari Ubadah bin Ash-Shamit, dari
Rasulullah ﷺ
bahwa beliau bersabda:
«مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا فَاعْتَبَطَ بِقَتْلِهِ، لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ
مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا»
“Siapa yang membunuh orang beriman dengan
perasaan gembira maka Allâh tidak menerima ibadah sunnahnya dan wajibnya.” (HR. Abu Dawud no. 4270)
Allâh mengancamnya masuk Neraka dalam masa
yang lama sekali, sebagaimana firman-Nya:
﴿وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا
فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا﴾
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang
Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allâh
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa [4]: 93)
Kecuali jika bertaubat, maka Allâh ampuni.
Karena Allâh mengampuni semua dosa jika bertaubat. Membunuh ini tidak
membatalkan keimanan, kecuali jika ia meyakini halal membunuh.
Orang Mukmin senantiasa dalam kebaikan
jika tidak berurusan dengan darah, jika sudah berurusan dengan darah kaum
Muslimin maka ia akan binasa.
«لاَ يَزَالُ الْمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا
حَرَامًا، فَإِذَا أَصَابَ دَمًا حَرَامًا بَلَّحَ»
“Orang beriman senantiasa dalam
keadaan baik selagi tidak menumpahkan darah yang haram. Apabila ia menumpahkan
darah yang haram maka binasalah ia.” (Shahih:
HR. Abu Dawud no. 4270)
Oleh karena
itu, sangat sedikit sekali pembunuh diberi taufik kepada taubat, berdasarkan
sabda beliau ﷺ:
«أَبَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ لِقَاتِلِ الْمُؤمِنِ تَوْبَةٌ»
“Allâh
enggan memberi taubat kepada orang yang membunuh orang beriman.”
(As-Shahihah no. 689)
7. Menghalangi Qishos
Qishos adalah menuntut balas atas tindakan
kezhaliman dengan balasan setimpal, seperti membunuh dengan membunuh. Allâh
berfirman:
﴿وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ
بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالأَنْفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ
قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka
di dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun)
ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang
lalim.” (QS. Al-Ma’idah
[5]: 45)
Orang yang mengalangi ditegakkannya hukum
qishos maka Allâh tidak menerima ibadah sunnahnya dan wajibanya.
Dari Ibnu Abbas secara marfu, Nabi ﷺ bersabda:
«وَمَنْ قُتِلَ عَمْدًا فَهُوَ قَوَدٌ، وَمَنْ حَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ
اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا»
“Siapa dibunuh dengan sengaja maka ia
punya hak qishos (balas). Siapa yang mengalangi tegaknya itu maka ia
mendapatkan laknat Allâh, para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allâh tidak
menerima ibadah sunnahnya dan wajibnya.” (Shahih:
HR. An-Nasai no. 4790)
8. Nusuz
Nusuz adalah seorang istri membangkang suami, terutama
menolak diajak ke ranjang, sehingga menjadikan suaminya murka kepadanya.
Mudahnya, nusuz adalah istri durhaka kepada suami, sebagaimana uquq
adalah anak durhaka kepada orang tua.
Shalat wanita yang nusuz tidak Allâh
terima.
Dari Abu Umamah, dia berkata bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الآبِقُ
حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ
وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Tiga orang yang shalatnya tidak melewati
telinganya, yaitu budak yang kabur hingga kembali, wanita yang di malam hari
suaminya murka kepadanya, dan imam yang dibenci makmumnya.” (Hasan:
HR. At-Tirmidzi no. 360)
Dari Atho bin Dinar Al-Hudzali bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُقْبَلُ مِنْهُمْ صَلَاةٌ، وَلَا تَصْعَدُ إِلَى السَّمَاءِ،
وَلَا تُجَاوِزُ رُءُوسَهُمْ: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَرَجُلٌ
صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يُؤْمَرْ، وَامْرَأَةٌ دَعَاهَا زَوْجُهَا مِنَ اللَّيْلِ
فَأَبَتْ عَلَيْهِ»
“Tiga orang yang tidak diterima shalatnya,
dan tidak naik ke langit serta tidak melewati kepala-kepala mereka: [1] lelaki
yang menjadi imam bagi kaum yang membencinya, [2] lelaki yang menshalati
jenazah tanpa diperintah, [3] wanita yang enggan diajar (senggama) suaminya di
malam hari.” (HR. Ibnu
Khuzaimah no. 1518)
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ
أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا
سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ»
“Tiga orang yang (pahala) shalat mereka
tidak terangkat ke kepala mereka meski sejengkal: [1] lelaki yang menjadi imam
suatu kaum tapi mereka membencinya, [2] istri yang di malam hari suaminya murka
kepadanya, dan [3] dua bersaudara yang saling bertengkar.” (Shahih:
HR. Ibnu Majah no. 971)
Dari Amr bin A-Harits bin Al-Mustaliq, dia
berkata: dulu dikatakan (oleh Nabi ﷺ):
«أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا اثْنَانِ: امْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا،
وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Manusia yang paling berat siksanya ada
dua, yaitu wanita yang durhaka kepada suaminya dan imam yang dibenci makmum.” Jarir berkata: Manshur berkata:
kutanyakan tentang perkara imam ini dan dijawab, “Maksud hadits ini adalah para
imam zhalim. Adapun imam yang menegakkan sunnah maka dosanya ditanggung orang
yang membencinya.” (Shahih: HR.
At-Tirmidzi no. 359)
Istri yang nusuz enggan diajak
senggama suaminya, dilaknat Malaikat.
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan mendengar
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ
غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ»
“Apabila lelaki mengajak istrinya ke
ranjangnya lalu ia enggan sehingga lelaki tersebut marah di malam tersebut,
maka Malaikat melaknatnya hingga Shubuh.” (HR. Al-Bukhari no. 3237 dan Muslim no. 1436)
Dari Abu Umamah, dia berkata bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الآبِقُ
حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ
وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Tiga orang yang shalatnya tidak melewati
telinganya, yaitu budak yang kabur hingga kembali, wanita yang di malam hari
suaminya murka kepadanya, dan imam yang dibenci makmumnya.” (Hasan:
HR. At-Tirmidzi no. 360)
9. Menzhalimi
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا،
فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ
مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ»
“Siapa yang menzhalimi saudaranya maka
mintalah kehalalan segera, karena di sana (Akhirat) tidak ada dinar dan dirham,
sebelum diambil pahala kebaikannya untuknya (si korban), dan jika ia tidak
memiliki pahala kebaikan maka dosa keburukan saudaranya itu dilemparkan
kepadanya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6534)
10. Pemutus Tali Rahim
Hubungan rahim (kekerabatan) adalah
hubungan karena nasab rahim seperti seseorang dengan ayah-ibunya,
kakek-neneknya, saudara-saudarinya, paman-bibinya, dan cabang-cabang dari
mereka. Orang yang memutus hubungan rahim ini diancam tidak diterima amal
ibadahnya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: aku
mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
«إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ،
فَلَا يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ»
“Amal anak Adam dilaporkan setiap hari
Kamis malam Jum’at lalu amal dari pemutus rahim tidak diterima.” (Hasan:
HR. Ahmad no. 10272)
11. Bid’ah
Bid’ah adalah perkara baru dalam agama
yang tidak pernah dicontohkan Nabi ﷺ. Bid’ah biasa dilakukan dalam
ibadah dan pelakunya mengharap pahala darinya, tetapi Allâh menolak ibadahnya,
sehingga amalan bid’ah tidak diterima dan hangus pahalanya.
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata:
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ»
“Barangsiapa
yang mengada-mengada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia
tertolak.” (HR.
Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal
itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Jika bid’ah dikerjakan di Madinah, maka
dosanya lebih besar, dan tentu ibadah bid’ah tersebut tidak diterima dan
sia-sia.
Dari ayah Ibrahim At-Taimi, ia berkata:
Ali bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami di atas mimbar membawa pedang yang
digantung padanya lembaran-lembaran, seraya berkata (sabda Rasul):
«المَدِينَةُ حَرَمٌ مِنْ عَيْرٍ إِلَى كَذَا، فَمَنْ أَحْدَثَ فِيهَا
حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ
يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلًا»
“Madinah adalah haram dari Air hingga
tempat ini. Siapa yang melakukan bid’ah di dalamnya maka dia mendapatkan laknat
Allâh, para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia (Mukminin). Allâh tidak menerima
ibadah sunnahnya dan wajibnya.” (HR. Al-Bukhari no. 7300 dan Muslim no. 1370)
12. Melindungi Ahli Bid’ah
Dari Ashim, dia berkata: aku bertanya
kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah ﷺ mengharamkan Madinah? Jawabnya:
benar, dari jarak sekian hingga sekian.” Lalu dia berkata kepadaku ucapan yang
berat bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا [أَوْ آوَى مُحْدِثًا] فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا»
“Siapa yang membuat bid’ah di Madinah atau
melindungi ahli bid’ah maka baginya laknat Allâh, Malaikat-Nya, dan seluruh
manusia (Mukminin). Allâh tidak menerima ibadah sunnah dan wajibnya pada hari
Kiamat.” (HR. Muslim no.
1366)
13. Domisili di Negeri Kafir
Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْ مُشْرِكٍ أَشْرَكَ بَعْدَ مَا أَسْلَمَ
عَمَلًا حَتَّى يُفَارِقَ الْمُشْرِكِينَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ»
“Allâh tidak menerima amalan orang musyrik
yang masuk Islam hingga memisahkan dirinya dari masyarakat musyrik menuju kaum
Muslimin.” (Hasan: Ibnu Majah no. 2536)
Allâh juga mengancam orang yang sudah
masuk Islam tetapi tidak mau pindah dari negeri kafir. Allâh berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ
قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ
تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا * إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ
لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا * فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ
أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat
dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: ‘Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah).’ Para Malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allâh itu
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya Neraka
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang
tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu
berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu,
mudah-mudahan Allâh memaafkannya. Dan adalah Allâh Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” (QS. An-Nisa
[4]: 97-99)
Sebagian ulama menjelaskan tentang
dibolehkannya tinggal di negeri kafir dengan beberapa catatan:
(1) Dia memiliki ilmu
yang kuat sehingga mampu menepis syubhat.
(2) Dia memiliki agama
yang kuat sehingga mampu menjaga diri dari syahwat.
(3) Dia mampu menampakkan
syi’ar-syi’ar Islam, seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, idul
Fithri, idul Adha, berjilbab, memelihara jenggot, dan semisalnya.
(4) Adanya kepentingan
syar’i, seperti berdakwah, belajar ilmu yang tidak ada di negeri kaum Muslimin,
dan semisalnya.
14. Memberontak Penguasa
Penguasa adalah orang yang menjadi
pemimpin kaum Muslimin yang menerapkan syariat Islam. Ia wajib didengar dan
dipatuhi. Sementara yang dimaksud memberontak di sini adalah keluar membawa
senjata hendak mengggulingkan mereka.
Adapun mengenai menasehati penguasa maka
perkara ini menjadi samar dalam penerapannya oleh kebanyakan manusia, sehingga
yang terbaik adalah ia keluar dari permasalahan ini dan menjaga diri, serta
menyerakan urusan nahi munkar ini kepada ulama.
Dari Haris Al-Asy’ari, Nabi ﷺ bersabda:
«وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ: بِالْجَمَاعَةِ، وَالسَّمْعِ،
وَالطَّاعَةِ، وَالْهِجْرَةِ، وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ
مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ
إِلَّا أَنْ يَرْجِعَ. وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ، فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ
جَهَنَّمَ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ صَامَ، وَإِنْ صَلَّى؟ قَالَ: «وَإِنْ صَامَ، وَإِنْ صَلَّى، وَزَعَمَ أَنَّهُ
مُسْلِمٌ»
“Kuperitahkan kalian lima perkara yang
diperintahkan Allâh kepadaku: berjamaah, mendengar, patuh, hijrah, dan jihad fi
sabilillah. Siapa yang memisahkan dirinya dari jamaah meskipun sejengkal maka
ia telah melepas tali Islam dari lehernya kecuali ia rujuk. Siapa yang
memanggil dengan panggilan Jahiliyah maka ia termasuk rombongan Jahannam.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
meskipun mereka puasa dan shalat?” Jawab beliau, “Meskipun puasa, meskipun
shalat dan mengaku Muslim.” (Shahih:
HR. Ahmad no. 17170)
Yang dimaksud “melepas tali Islam” adalah
melepas baiat dari pemimpin, bukan keluar dari Islam, karena dosa ini tidak
membatalkan Islam.
15. Maksiat Tersembunyi
Dari Tsauban, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا، فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
هَبَاءً مَنْثُورًا»، قَالَ ثَوْبَانُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ
لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ، وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ، قَالَ: «أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنَ
اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ
انْتَهَكُوهَا»
“Aku benar-benar tahu sekelompok umatku
yang datang para hari Kiamat dengan membawa pahala sepenuh gunung Tihamah yang
putih lalu Allâh jadikan itu laksana debu yang beterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai
Rasulullah, jelaskan siapa
mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” beliau menjawab,
“Mereka saudara kalian dan sejenis dengan kalian. Mereka shalat malam
seperti kalian, tetapi
mereka adalah kaum yang apabila bersendirian dengan larangan Allâh maka mereka
melanggarnya.” (Shahih: HR. Abu
Dawud no. 4245)
Yang nampak dari hadits ini, bahwa orang
yang bermaksiat sendirian di kamar atau tempat sunyi lainnya berakibat dihapus
semua amal shalihnya. Namun, hadits ini menjadi sulit dipahami oleh sebagian
orang saat digabungkan dengan hadits di Shahih Bukhari berikut:
Dari Ibnu Umar, aku mendengar Abu Hurairah
berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ،
وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ
وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا
وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ»
“Setiap umatku diampuni kecuali
orang-orang yang menampakkan. Di antara contoh orang yang menampakkan adalah
seseorang berbuat dosa di malam hari lalu di pagi hari membeberkannya, padahal
sudah Allah tutupi, dia berkata: ‘Hai Fulan, tadi malam aku berbuat ini dan
itu!’ Di malam hari ditutupi ia oleh Rabb-nya, tetapi di pagi hari ia justru
menyingkap tutupan Allah tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)
Hadits Abu Hurairah ini menjelaskan bahwa
orang yang menyembunyikan maksiatnya memiliki kemungkinan Allah ampuni selagi
tidak membeberkannya kepada manusia, dan ini menyelisihi yang nampak dari
hadits Tsauban di atas. Maka sebagian ulama menolak hadits Tsauban, karena syadz
(perawinya menyelisihi perawi yang lebih kuat darinya). Yang lain mencoba
menggabungkan dua hadits ini:
Pertama: Hadits
Tsauban berkaitan dengan orang munafik dan hadits Abu Hurairah berkaitan dengan
orang Muslim. Orang munafik, di antara cirinya adalah meremehkan Allah dan
ajaran RosulNya. Mereka menampakkan keshalihan saat bersama kaum Muslimin
tetapi melanggar kehormatan Allah, RosulNya, dan kaum Muslimin di saat
sendirian. Allah berfirman:
﴿يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ
مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا
يَعْمَلُونَ مُحِيطًا﴾
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi
mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada
suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan
adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 108)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz saat ditanya
tentang hadits Tsauban ini, menjawab: Itu adalah amalan orang-orang kafir.
Allah berfirman:
﴿وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ
هَبَاءً مَنْثُورًا﴾
“Dan Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan.” (QS. Al-Furqon [25]: 23)
﴿وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Seandainya mereka mempersekutukan Allâh,
niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 89)
﴿وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Barang siapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di
hari Akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah [5]:
5)
Ayat-ayat ini berkaitan dengan amalan
orang-orang kafir, yaitu yang datang pada hari Kiamat dalam keadaan musyrik
tanpa bertaubat sebelum mati maka amalannya terhapus dan menjadi debu
beterbangan.
Adapun ahli maksiat maka mereka berada
dalam bahaya, akan tetapi tidak masuk di ayat ini: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqon [25]: 23)
Ahli maksiat berada dalam bahaya tetapi
Allah kadang memaafkannya:
﴿وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾
“Dan Dia mengampuni dosa selain syirik
bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa [4]: 48)
Dia berada di bawah kehendak Allah, jika
Allah menghendaki diampuni maka dimasukkan Surga dengan Tauhidnya dan
ketaatannya, atau jika menghendaki maka Dia menyiksa sebagian ahli maksiat yang
belum bertaubat sebelum meninggal.
Adapun orang-orang yang terhapus
amal-amalnya dan menjadi debu beterbangan adalah orang-orang kafir. Kita
meminta keselamatan kepada Allah. (Selesai penjelasan Syaikh Bin Baz dalam
fatwa no. 11592)
Adapun orang beriman, terkadang syahwat
mereka mengalahkannya sehingga ia melakukan maksiat di kesendirian, hatinya
membenci maksiat dan mengingkarinya, muncul rasa penyesalan, dan terkadang ia
bertaubat setelahnya. Ia tidak suka orang lain mengetahuinya dan tidak pula
membeberkannya kepada siapapun, kecuali kepada ahli ilmu untuk meminta nasihat.
Hadits Abu Hurairah berkaitan dengan jenis maksiat seperti ini.
Hadits ini juga dipekuat dengan hadits
Ibnu Umar berikut:
﴿إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي المُؤْمِنَ، فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ،
فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ
رَبِّ، حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ، وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ،
قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ اليَوْمَ، فَيُعْطَى
كِتَابَ حَسَنَاتِهِ﴾
“Sesungguhnya Allah mendekatkan orang
beriman lalu memasang satir yang menutupinya (sehingga tidak dilihat banyak
orang), seraya berkata: ‘Apakah kamu mengakui dosa ini? Apakah kamu mengakui
dosa ini?’ Dia menjawab, ‘Ya, wahai Rabb.’ Hingga tatkala ia mengakui dosa-dosanya
dan menyangka akan binasa, Allah berfirman: ‘Di dunia kututupi dosamu, dan hari
ini kuampuni dosamu.’ Lalu Kitab kebaikannya diberikan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 2441 dan Muslim no.
2768)
FirmanNya: “Di dunia kututupi dosamu”
menujukkan si hamba memiliki dosa-dosa tersembunyi yang hanya diketahui Allah
dan dirinya, karena Allah menutupinya, tetapi Allah mengampuninya dan tidak
menghapus amal-amalnya.
Kedua: Makna “kholwah”
dalam hadits Tsauban tidak bermakna “bersembunyi” tetapi menyendiri dari satu
kelompok, meskipun berkumpul dengan kelompok lain, seperti sifat orang
munafik yang saat berpisah dari kaum Muslimin dan menuju sesama mereka,
digunakan lafazh kholwah dalam ayat:
﴿وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا
إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ﴾
“Dan bila mereka berjumpa dengan
orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman.’ Dan bila
mereka berkholwat (menyendiri) kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya
kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 14)
Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,
“Yang nampak bagi saya bahwa ‘Mereka berkholwat dengan larangan Allah’
bukan maknanya bersembunyi, tetapi ketika ada kesempatan maka mereka menerjang
larangan Allah.” (Silsilatul Huda wal Nur, no. 226)
Pertanyaan: Bagaimana
jika setelah bertaubat masih terjerumus lagi? Maka dosa yang terakhir butuh
ditaubati lagi, demikian seterusnya seorang hamba berada di antara dosa dan
taubat.
Dari Abu Hurairah: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا - وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا
- فَقَالَ: رَبِّ أَذْنَبْتُ - وَرُبَّمَا قَالَ: أَصَبْتُ - فَاغْفِرْ لِي، فَقَالَ
رَبُّهُ: أَعَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ؟
غَفَرْتُ لِعَبْدِي، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا، أَوْ أَذْنَبَ
ذَنْبًا، فَقَالَ: رَبِّ أَذْنَبْتُ - أَوْ أَصَبْتُ - آخَرَ، فَاغْفِرْهُ؟ فَقَالَ:
أَعَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ؟ غَفَرْتُ
لِعَبْدِي، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا، وَرُبَّمَا قَالَ:
أَصَابَ ذَنْبًا، قَالَ: قَالَ: رَبِّ أَصَبْتُ - أَوْ قَالَ أَذْنَبْتُ - آخَرَ، فَاغْفِرْهُ
لِي، فَقَالَ: أَعَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ؟
غَفَرْتُ لِعَبْدِي ثَلاَثًا، فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ»
“Ada seorang hamba berbuat dosa lalu ia
berkata: ‘Ya Rabbi, aku berbuat dosa maka ampuni aku.’ Allah menjawab: ‘HambaKu
mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksanya.
Kuampuni hambaKu.’ Kemudian berlalu masa yang Allah kehendaki lalu ia kembali
berbuat dosa lalu berkata: ‘Ya Rabbi, aku berbuat dosa maka ampuni aku.’ Allah
menjawab: ‘HambaKu mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan
menyiksanya. Kuampuni hambaKu.’ Kemudian berlalu masa yang Allah kehendaki lalu
ia kembali berbuat dosa lalu berkata: ‘Ya Rabbi, aku berbuat dosa maka ampuni
aku.’ Allah menjawab: ‘HambaKu mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang
mengampuni dosa dan menyiksanya. Kuampuni hambaKu (tiga kali), silahkan berbuat
sesukanya[1].’” (HR. Al-Bukhari no. 7507 dan Muslim no. 2758)
Imam Nawawi menjelaskan:
وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ
ظَاهِرَةٌ فِي الدَّلَالَةِ لَهَا وَأَنَّهُ لَوْ تَكَرَّرَ الذَّنْبُ مِائَةَ مَرَّةٍ
أَوْ أَلْفَ مَرَّةٍ أَوْ أَكْثَرَ وَتَابَ فِي كُلِّ مَرَّةٍ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ
وَسَقَطَتْ ذُنُوبُهُ وَلَوْ تَابَ عَنِ الْجَمِيعِ تَوْبَةً وَاحِدَةً بَعْدَ جَمِيعِهَا
صَحَّتْ تَوْبَتُهُ
“Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa
seandainya dosa berulang 100x atau 1.000x bahkan lebih dari itu, dan ia
bertaubat pada setiap dosa maka diterima taubatnya dan gugur dosanya. Seandainya
bertaubat sekali dari semua dosa setelah tekumpul banyak, juga sah taubatnya.”
(Syarah Shahih Muslim, 17/75)
Kesimpulannya, hadits
Tsauban berkaitan dengan orang munafik yang di antara sifatnya selalu berbuat
dosa di saat ada kesempatan karena merendahkan kedudukan Allah di mata mereka.
Adapun orang beriman, maka hatinya mengingkari dosa tetapi terkadang syahwat
mengalahkannya lalu menyesal dan bertaubat kepadaNya.
Pembahasan ini saya masukkan di Bab Juz’i
karena sebagian penulis memasukkanya kepada Kulli. Yang benar, bagi
orang kafir adalah Kulli, dan bagi orang beriman adalah Juz’i dan
terkadang Allah mengampuninya. Allahu a’lam.
16. Riya dan Sum’ah
Riya dari kata roo-a (melihat) adalah beramal dengan ditampakkan agar dilihat manusia, seperti shalat, puasa,
sedekah, haji, dan jihad. Sementara sum’ah
dari kata sami-a (mendengar), karena
tujuan sum’ah adalah agar amal
shalihnya didengar manusia, seperti
bacaan Al-Qur’an, dzikirnya, nasihatnya, termasuk pula menyebut-nyebut prestasi
ibadahnya.
Banyak dalil
dari Al-Quran dan As-Sunnah yang mencela riya, di antaranya adalah firman Allâh:
﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ
* الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ * وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ﴾
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maun [107]: 4-7)
Allâh berfirman:
﴿فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا﴾
“Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi
[18]: 110)
Imam At-Tirmidzi berkata:
عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ
قَالَ: «إِنَّ الرِّيَاءَ شِرْكٌ» وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذِهِ الآيَةَ: ﴿وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا﴾، قَالَ: لاَ يُرَائِي
“Dari Nabi ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya
riya adalah Syirik.” Sungguh sebagian ahli ilmu menafsirkan ayat ini: ‘Janganlah berbuat Syirik dalam beribadah
kepada Rabb-nya dengan apapun,’ yaitu jangan riya.” (Al-Jami At-Tirmidzi no. 1535, 4/110)
Tentang riya, diriwayatkan dari Mahmud bin
Labid bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ» قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ
الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا
جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ
فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً»
“Sesungguhnya
yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah Syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu Syirik kecil
wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Riya. Allâh
berfirman kepada mereka pada hari Kiamat saat seluruh manusia sudah dibalas
atas amal shalih mereka: ‘Pergilah kalian kepada yang kalian pamer (riya)
sewaktu di dunia. Perhatikanlah, apakah kalian mendapatkan balasan dari
mereka?” (Hasan: HR. Ahmad no.
23630)
«إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الأَوَّلِينَ وَالأَخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ، نَادَى مُنَادٍ: مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ
لِلَّهِ، فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ»
“Ketika Allâh menghimpun semua makhluk
dari yang pertama sampai terakhir di hari yang tidak diragukan, ada yang
berseru: siapa yang pernah menyekutukan dalam beramal yang seharusnya untuk Allâh,
mintalah pahala kepadanya karena Allâh sangat tidak butuh sekutu.“ (Shahih: HR. Ibnu Majah
no. 4203)
Dari Mahmud bin Labid, ia berkata: Nabi ﷺ keluar seraya bersabda:
«أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَشِرْكَ السَّرَائِرِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا شِرْكُ
السَّرَائِرِ؟ قَالَ: «يَقُومُ الرَّجُلُ
فَيُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ جَاهِدًا لِمَا يَرَى مِنْ
نَظَرِ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَذَلِكَ شِرْكُ السَّرَائِرِ»
“Wahai
sekalian manusia, waspadalah kalian pada Syirik tersembunyi.” Sahabat bertanya, “Apa itu Syirik
tersembunyi?” Jawab beliau, “Seseorang
berdiri shalat lalu diperbagus shalatnya dengan sungguh-sungguh karena melihat
pandangan manusia yang tertuju kepadanya. Itulah Syirik tersembunyi.” (Shahih: HR. Ibnu Khuzaimah no. 937.
Dishahihkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Tentang sum’ah, diriwayatkan dari Jundab Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ
بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ»
“Siapa
yang sum’ah maka Allâh akan sum’ah kepadanya, dan siapa yang riya maka Allâh
riya kepadanya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2986)
Makna Allâh
sum’ah kepadanya adalah menampakkan hakikat ibadahnya kepada manusia bahwa
dirinya bukan beribadah karena Allâh tetapi karena ingin didengar manusia untuk pujian mereka. Sementara makna Allâh riya kepadanya adalah menampakkan
hakikat ibadahnya kepada manusia bahwa dirinya bukan beribadah karena Allâh
tetapi karena ingin dilihat manusia
untuk pujian mereka.
Riya dalam ibadah ada dua keadaan, yaitu:
(1)
Seseorang meniatkan ibadahnya murni karena manusia
atau selain Allâh, maka ini Syirik besar yang mengeluarkan dari Islam, karena
menjadikan sekutu bagi Allâh dalam ibadah.
(2)
Seseorang ibadah karena Allâh, tetapi Syirik
datang di tengah ibadah. Jika ibadah tersebut berdiri sendiri maka ibadah
pertama sah dan ibadah yang dimasuki riya batal. Misalkan seseorang yang
bersedekah di pagi hari karena Allâh lalu disore hari sedekah lagi karena riya,
maka sedekah pertama sah dan sedekah kedua batal. Begitu juga untuk kasus
membaca Al-Qur’an. Adapun untuk ibadah yang tidak bisa dipisahkan maka ada dua
keadaan:
a. Jika dia berusaha menolaknya maka riya tersebut
sia-sia, misalkan seseorang shalat karena Allâh lalu di tengah shalat riya
datang dan dia berusaha menepisnya, maka hal ini tidak membahayakannya.
b. Kedua, jika saat riya datang ia tidak berusaha
menolaknya tetapi justru merasa tentram maka shalatnya gugur, karena shalat
termasuk ibadah yang satu paket. Bukankah jika seseorang tidak membaca
Al-Fatihah, maka seluruh gerakan shalatnya sampai salam tidak sah?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ
الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ»
“Allâh Tabaraka wa Ta’ala: Aku adalah Dzat
yang paling tidak butuh sekutu. Siapa yang menyekutukanKu dalam amalnya maka
Aku tinggalkan ia dan sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985)
17. Bertengkar Sesama Muslim
Pertengkaran di antara sesama Muslim
menjadikan Allâh murka dan tidak mengampuni keduanya.
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ،
فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا،
أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا»
“Pintu-pintu
Surga terbuka hari Senin dan Kamis. Setiap hamba yang tidak menyekutukan Allâh
dengan apapun diampuni, kecuali seseorang yang sedang bersengketa dengan
saudaranya. Dikatakan: tundalah dua orang ini hingga keduanya berdamai.
Tundalah dua orang ini hingga berdamai. Tundalah dua orang ini hingga
berdamai.” (HR. Muslim no. 2565)
Juga pahala shalat mereka berdua tidak
diterima.
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ
أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا
سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ»
“Tiga orang yang (pahala) shalat mereka
tidak terangkat ke kepala mereka meski sejengkal: [1] lelaki yang menjadi imam
suatu kaum tapi mereka membencinya, [2] istri yang di malam hari suaminya murka
kepadanya, dan [3] dua bersaudara yang saling bertengkar.” (Shahih:
HR. Ibnu Majah no. 971)
Bagaimana jika hanya sepihak yang memusuhi
dan menzhaliminya? Maka dosanya hanya ditangggung yang memusuhi. Ibadah sunnah
dan wajibnya tidak diterima, dan ia diancam masuk Neraka untuk beberapa masa
yang Allâh kehendaki lalu dimasukkan Surga karena keimanannya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: ada orang
yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Si fulanah rajin shalat malam
dan puasa siang hari, namun lisannya suka menyakiti tetangganya.” Beliau menjawab:
«لاَ خَيْرَ فِيهَا هِيَ فِي النَّارِ»
“Dia tidak memiliki kebaikan, ia di Neraka.” Dia bertanya lagi, “Si fulanah yang lain
shalat fardhu dan puasa Ramadhan dan sedekah ala kadarnya karena hanya itu yang
dimilikinya, dan ia tidak menyakiti siapapun.” Beliau menjawab:
«هِيَ فِي الْجَنَّةِ»
“Dia di Surga.” (HR. Al-Hakim no. 7304)
18. Menakuti Penduduk Madinah
Madinah memiliki tempat di hati Nabi ﷺ, begitu pula para penduduknya.
Beliau mencintai kaum Anshor, penduduk Madinah. Madinah juga menjadi markas
ilmu di sepanjang zaman, terutama di zaman fitnah.
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ الإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى المَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الحَيَّةُ
إِلَى جُحْرِهَا»
“Sesungguhnya iman benar-benar akan
bersarang menuju Madinah sebagaimana ular bersarang menuju lubangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1876 dan Muslim no.
147)
Maka menakuti penduduknya adalah dosa
besar dan beliau mengancamnya dengan tidak diterima amal ibadahnya.
Dari As-Saib bin Khollad bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ أَخَافَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَخَافَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
وَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ
اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا»
“Siapa yang menakut-nakuti penduduk
Madinah maka Allâh akan menjadikannya takut, dan ia mendapatkan laknat Allâh,
para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allâh tidak menerima ibadah sunnahnya
dan wajibnya.” (Shahih: HR. Ahmad no. 16559)
Dari Ubadah bin As-Shamit, ia berkata:
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«اللَّهُمَّ مَنْ ظَلَمَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ وَأَخَافَهُمْ فَأَخِفْهُ،
وَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يُقْبَلُ
مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ»
“Ya Allâh, siapa yang menzhalimi penduduk
Madinah dan menakut-nakuti mereka maka jadikanlah ia takut, dan ia mendapatkan
laknat Allâh, para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allâh tidak menerima
ibadah sunnahnya dan wajibnya.” (Shahih: HR. Ath-Thobaroni no.
3589 dalam Al-Ausath)
19. Khianat Kepada Mujahid
Yang dimaksud di sini adalah seseorang
yang dipasrahi mujahid untuk menjaga keluarga yang ditinggalkan lalu justru ia
berkhianat berkenaan kehormatan istrinya. Hal ini membatalkan amal.
Dari Buraidah, Rasulullah ﷺ bersabda:
«حُرْمَةُ نِسَاءِ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ كَحُرْمَةِ
أُمَّهَاتِهِمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ مِنَ الْقَاعِدِينَ يَخْلُفُ رَجُلًا مِنَ الْمُجَاهِدِينَ
فِي أَهْلِهِ فَيَخُونُهُ فِيهِمْ، إِلَّا وُقِفَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَأْخُذُ
مِنْ عَمَلِهِ مَا شَاءَ، فَمَا ظَنُّكُمْ؟»
“Kehormatan wanita-wanita para mujahid
yang diamanahkan kepada orang-orang yang tidak ikut adalah seperti kehormatan
ibu-ibu mereka. Lelaki mana saja yang diamanahkan kepadanya keluarga mujahid
lalu ia berkhianat, maka ia akan diberdirikan di depannya pada hari Kiamat lalu
sang mujahid dipersilahkan mengambil amal shalihnya sekehendaknya, bagaimana
menurut kalian?” (HR.
Muslim no. 1897)
20. Mann dan Adzaa
Mann adalah menyebut-nyebut pemberian dan sifat ini
mengotori keikhlasan. Sedangkan adzaa adalah menyakiti yang diberi, dan
sifat ini adalah kezholiman. Jika sedekah dicampuri salah satu dari dua ini
maka pahalanya hangus.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ
بِالْمَنِّ وَالأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ
فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا
وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ﴾
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allâh dan hari Kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak berdebu). Mereka tidak menguasai sesuatu pun
dari apa yang mereka usahakan; dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)
«ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لَهُمْ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاَ: عَاقٌّ،
وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ»
“Tiga orang yang tidak Allâh terima
amalnya baik amal sunnahnya maupun wajibnya yaitu orang yang durhaka kepada
orang tua, orang yang melakukan mann dalam sedekah, dan pendusta takdir.” (Hasan:
HR. Ibnu Abi Ashim no. 323)
Allâh memuji orang-orang yang sedekah
tanpa melakukan mann dan adzaa, sebagaimana firman-Nya:
﴿الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لاَ
يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * قَوْلٌ مَعْرُوفٌ
وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ﴾
“Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allâh, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf
lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
si penerima). Allâh Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262-263)
Cara menghindarkan diri dari mann
dan adzaa adalah meyakini bahwa ia sedang bermuamalah kepada Allâh, bukan
untuk mencari untung dari sedekahnya kepada manusia baik berupa pujian atau
balasan. Ia membisikkan jiwanya sendiri, “Aku memberimu karena Allâh, bukan
karena mengharap balasan duniawi ataupun pujian.” Allâh berfirman:
﴿وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
* إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُورًا﴾
“Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan [76]: 8-9)
Mann dan adzaa tidak hanya berlaku kepada
sedekah harta, tetapi setiap kebaikan yang dikeluarkan, dan itulah makna umum
sedekah. Nabi ﷺ
menjadikan tersenyum sebagai sedekah, menolong sebagai sedekah, dzikir sebagai
sedekah, dan semua ibadah juga disebut sedekah. Allâh berfirman tentang
orang-orang yang ingin dikembalikan ke dunia untuk beribadah tetapi menggunakan
lafazh sedekah, dalam firman-Nya:
﴿وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ
وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ﴾
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang
telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di
antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)
ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku
termasuk orang-orang yang shalih?” (QS. Al-Munafiqun [63]: 10)
Maka orang tua yang mengungkit-ngungkit
kebaikannya kepada anaknya, suami kepada istrinya, atau guru kepada muridnya,
bisa membatalkan pahala. Ya Allâh, selamatkanlah kami!
21. Ghulul
Makna asal ghulul adalah mengambil
harta rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpinnya, bahasa mudahnya adalah
penggelapan harta publik dan dia memiliki hak di dalamnya. Harta dari hasil ghulul
ini lalu disedekahkan maka Allâh tidak menerimanya, jika digunakan untuk ibadah
maka Allâh tidak menerimanya, meskipun secara tinjauan fiqih sah, tidak perlu
mengulang. Seperti memakainya untuk haji dan umrah.
Korupsi dan mencuri masuk ancaman ghulul,
bahkan lebih layak masuk, karena pada korupsi dan mencuri, si pelaku tidak
memiliki hak milik padanya sedikitpun, berbeda dengan harta ghulul yang
ia memiliki hak di sana tetapi belum dibagi.
Dari Abul Malih, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ، وَلَا
صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ»
“Allâh tidak menerima sedekah dari harta ghulul,
dan tidak pula shalat tanpa bersuci.” (HR. Ibnu Majah no. 59)
Harta ghulul ini akan dibawa dan
dipikul olehnya pada hari Kiamat. Allâh berfirman:
﴿وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا
غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ﴾
“Tidak mungkin seorang Nabi ghulul (berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa
yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran [3]: 161)
22. Candu Khomr
Khomr adalah segala minuman yang
memabukkan, sedikit maupun banyak. Minuman ini adalah hasil fermentasi dari
anggur, biji-bijian, kentang, apel, tebu, cuka, atau lainnya. Seiring
bertambahnya zaman, jenisnya pun bermacam-macam, seperti beer, wine, vodka,
cider, rum, brandy, tequila, whiskey, moonshine, alcopops, dan lainnya. Allâh
mengharamkan segala jenis khomr dan menghalalkannya di Surga, sebagai ujian
bagi manusia, dan melindungi kesehatan manusia. Allâh berfirman:
﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ
تَتَفَكَّرُونَ﴾
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih
dari keperluan.’ Demikianlah Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya
kamu berpikir.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 219)
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allâh
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa [4]: 43)
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90)
Orang yang meminum khomr sekali maka
shalatnya selama 40 hari tidak Allâh terima.
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا،
فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَادَ لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ لَهُ صَلَاةً
أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَادَ لَمْ يَقْبَلِ
اللَّهُ لَهُ صَلَاةً أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ،
فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ لَهُ صَلَاةً أَرْبَعِينَ صَبَاحًا،
فَإِنْ تَابَ لَمْ يَتُبِ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَسَقَاهُ مِنْ نَهْرِ الخَبَالِ»
“Siapa
yang minum khomr maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Jika ia
bertaubat maka Allâh terima taubatnya. Jika ia mengulanginya, maka shalatnya
tidak diterima selama 40 hari. Jika ia bertaubat maka Allâh terima taubatnya.
Jika ia mengulangi, maka shalatnya selama 40 hari tidak Allâh terima. Jika ia bertaubat maka Allâh terima
taubatnya. Jika ia mengulangi
keempat kalinya Allâh tidak menerima taubatnya dan memberinya minuman dari
sungai Khobal.”
Ibnu Umar ditanya, “Wahai Abu Abdirrahman,
apa itu sungai Khobal?” Dia menjawab:
نَهْرٌ مِنْ صَدِيدِ أَهْلِ
النَّارِ
“Yaitu sungai dari nanah penduduk Neraka.”
(Shahih: HR. At-Tirmidzi no.
1862)
Dari Abdullah
bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma,
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«وَثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ،
وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى»
“Ada tiga
orang yang tidak masuk Surga, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua,
pecandu khomr, dan mann dalam sedekah.” (Shahih: HR. An-Nasai no.
2562)
Apakah pecandu khomr kafir? Para ulama
menjelaskan bahwa khomr bukan termasuk penggugur keimanan, sehingga dua hadits
ini dimaknai, kekafirannya bukan sekedar karena kecanduan khomr, tetapi
menghalalkan khomr. Hadits kedua dipahami: tidak masuk Surga langsung, tetapi
singgah di Neraka dahulu.
Orang yang bertaubat pasti Allâh terima,
dan inilah yang nampak di dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allâh berfirman:
﴿قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا
مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ
الرَّحِيمُ﴾
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)
﴿وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ
السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ﴾
“Dan Dialah yang menerima tobat dari
hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Asy-Syura
[42]: 25)
﴿وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ
اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا﴾
“Dan barang siapa yang mengerjakan
kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allâh, niscaya
ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 110)
Maka hadits, “Jika ia mengulangi
keempat kalinya Allâh tidak menerima taubatnya,” dipahami yaitu Allâh tidak
menerima taubatnya jika bertaubat saat sakaratul maut, berdasarkan firman Allâh:
﴿وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى
إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ
وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا﴾
“Dan tidaklah tobat itu diterima Allâh
dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal
kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya
bertobat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati
sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan
siksa yang pedih.” (QS.
An-Nisa [4]: 8)
Tatakala menjelaskan sabda Rasulullah ﷺ ini:
«مُدْمِنُ الْخَمْرِ إِنْ مَاتَ، لَقِيَ اللَّهَ كَعَابِدِ وَثَنٍ»
“Pecandu
khomr jika mati maka bertemu Allâh seperti penyembah berhala.” (Hasan: HR. Ahmad 1/272)
Ibnu Hibban
berkata, “Makna hadits ini sepertinya bagi siapa yang bertemu Allâh dalam
keadaan menghalalkan khomr, karena kesamaan keduanya (pecandu khomr dan
penyembah berhala) dalam kekufuran.”
Kesimpulannya, minum khomr menjadikan
ibadah shalatnya selama 40 hari tidak diterima. Jika bertaubat maka Allâh
terima taubatnya. Jika dia mengulangi berkali-kali, Allâh tetap menerima
taubatnya jika ia bertaubat. Namun, kadang kecanduan ini mendorongnya untuk
menghalalkannya sehingga jadilah ia kafir karena hal ini. Atau ia menunda-nunda
taubat hingga sakarat lalu Allâh tidak menerima taubatnya. Ya Allâh lindungi
kami dan keluarga kami dari khomr!
23. Menisbatkan Diri kepada yang Bukan
Haknya
Yaitu anak yang menisbatkan dirinya bukan
kepada ayahnya atau budak yang menisbatkan dirinya bukan kepada majikannya. Hal
ini terlarang dan membatalkan amal, karena ada sikap menyia-nyiakan keturunan
dan hak waris, serta memutus kekerabatan dan perwalian.
Dari Ali bin Abi Thalib, dari Nabi ﷺ bersabda:
«وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ
مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ،
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا، وَلَا عَدْلًا»
“Siapa yang mengaku kepada bukan ayahnya
atau budak yang bernasab kepada bukan majikannya, maka ia mendapatkan laknat Allâh,
para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allâh tidak menerima ibadah sunnahnya
dan wajibnya.” (HR.
Muslim no. 1370)
Ali bin Abi Thalib berkata bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«مَنْ وَالَى قَوْمًا بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا
وَلاَ عَدْلًا»
“Siapa (budak) yang berloyal (bernisbat)
tanpa izin majikannya, maka ia mendapatkan laknat Allâh, para Malaikat-Nya, dan
seluruh manusia. Allâh tidak menerima ibadah sunnahnya dan wajibnya.” (HR. Al-Bukhari no. 7300 dan Muslim no.
1370)
24. Zurr
Zurr adalah kebatilan. Ucapan zurr adalah
ucapan batil seperti dusta, ghibah, dan namimah, sementara perbuatan zurr
adalah tindakan lanjutan dari ucapan zurr. Perangai ini membatalkan
pahala puasa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ
حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan
dan perbuatan zurr maka Allâh tidak memerdulikan dia meninggalkan makan dan
minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)
25. Budak yang Kabur
Dari Jarir bin Abdillah, ia menceritakan
sabda Nabi ﷺ:
«إِذَا أَبَقَ الْعَبْدُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ»
“Apabila budak kabur maka shalatnya tidak diterima.” (HR. Muslim no. 70)
Dari Abu Umamah, dia berkata bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الآبِقُ
حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ
وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Tiga orang yang shalatnya tidak melewati
telinganya, yaitu budak yang kabur hingga kembali, wanita yang di malam hari
suaminya murka kepadanya, dan imam yang dibenci makmumnya.” (Hasan:
HR. At-Tirmidzi no. 360)
Dari Jarir, ia mendengar Nabi ﷺ bersabda:
«أَيُّمَا عَبْدٍ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيهِ فَقَدْ كَفَرَ حَتَّى يَرْجِعَ
إِلَيْهِمْ»
“Budak mana saja yang kabur dari
majikannya maka ia kafir hingga kembali kepadanya.” (HR. Muslim no. 68)
Kafir di sini adalah kafir nikmat berupa
mengingkari pemiliknya sebagai majikannya.
Dari Jarir, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَيُّمَا عَبْدٍ أَبَقَ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ»
“Budak mana saja yang kabur maka
perlindungan (dzimmah) terlepas darinya.” (HR. Muslim no. 69)
Ada yang memaknai “terlepas dari
dzimmah” adalah sang majikan tidak wajib lagi memberi makan, minum, tempat
tinggal dan perlindungan. Bukan maknanya terlepas dari Islam.
26. Imam yang Dibenci Makmum
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ
أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا
سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ»
“Tiga orang yang (pahala) shalat mereka
tidak terangkat ke kepala mereka meski sejengkal: [1] lelaki yang menjadi imam
suatu kaum tapi mereka membencinya, [2] istri yang di malam hari suaminya murka
kepadanya, dan [3] dua bersaudara yang saling bertengkar.” (Shahih:
HR. Ibnu Majah no. 971)
Dari Abu Umamah, dia berkata bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«ثَلَاثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الآبِقُ
حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ
وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Tiga orang yang shalatnya tidak melewati
telinganya, yaitu budak yang kabur hingga kembali, wanita yang di malam hari
suaminya murka kepadanya, dan imam yang dibenci makmumnya.” (Hasan:
HR. At-Tirmidzi no. 360)
Alasan benci yang dianggap adalah alasan
syar’i, seperti imam tidak benar bacaannya atau tidak paham fiqih shalat atau
orang buruk dari kaumnya tetapi memaksa menjadi imam sehingga menjadikan makmum
membencinya. Adapun jika imam dibenci bukan karena itu, tetapi karena ia
mengamalkan sunnah maka justru dosanya ditanggung makmum.
Dari Amr bin A-Harits bin Al-Mustaliq, dia
berkata: dulu dikatakan (oleh Nabi ﷺ):
«أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا اثْنَانِ: امْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا،
وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Manusia yang paling berat siksanya ada
dua, yaitu wanita yang durhaka kepada suaminya dan imam yang dibenci makmum.” Jarir berkata: Manshur berkata:
kutanyakan tentang perkara imam ini dan dijawab, “Maksud hadits ini adalah para
imam zhalim. Adapun imam yang menegakkan sunnah maka dosanya ditanggung orang
yang membencinya.” (Shahih: HR.
At-Tirmidzi no. 359)
27. Berparfum ke Masjid
Memakai parfum ke masjid bagi perempuan
termasuk penggugur pahala shalat. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:
Seorang wanita melewati Abu Hurairah dan
aromanya semerbak, lalu Abu Hurairah bertanya, “Hendak kemana Anda wahai hamba Allâh?”
Dia menjawab, “Ke masjid.” Abu Hurairah bertanya, “Kamu berparfum?” Jawabnya,
“Iya.” Abu Hurairah berkata, “Pulanglah dan mandilah, karena aku pernah
mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنَ امْرَأَةٍ صَلَاةً خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ
وَرِيحُهَا تَعْصِفُ حَتَّى تَرْجِعَ فَتَغْتَسِلَ»
‘Allâh tidak menerima shalat seorang
wanita yang keluar menuju masjid berparfum hingga ia pulang dan mandi.” (Hasan:
HR. Ibnu Khuzaimah no. 1682)
Hal ini disebabkan wanita adalah fitnah
bagi kaum lelaki yang bisa mengganggu keikhlasan dan kekhusyuan shalat. Daya
pikat wanita makin berat jika ia memakai parfum. Hal ini bisa mendorong lelaki
untuk melihatnya dan membayangkannya, untuk itu Nabi ﷺ menyebut wanita itu sebagai
pezina, yakni zina mata.
Dari Al-Asy’ari, ia mengatakan Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا
مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ»
“Siapapun wanita yang memakai parfum lalu
melewati kaum lelaki agar mencium aromanya maka ia adalah pezina.” (Hasan:
HR. An-Nasai no. 5126)
Untuk itu, wanita diperintahkan
menghilangkan aroma parfumnya dengan mengganti baju jika mencukupi atau dengan
mandi jika parfum mengenai badan.
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«إِذَا خَرَجَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَلْتَغْتَسِلْ مِنَ
الطِّيبِ، كَمَا تَغْتَسِلُ مِنَ الْجَنَابَةِ»
“Apabila wanita keluar menuju masjid, maka
mandilah untuk menghilangkan aroma parfumnya, seperti mandi jinabat.” (Shahih:
HR. An-Nasai no. 5128)
Biasanya wanita memakai parfum di malam
hari saat bersama suaminya, dan ketika adzan Isya sebagian mereka ke masjid,
maka Nabi ﷺ
melarangnya kecuali aroma parfumnya dihilangkan terlebih dahulu.
Dari Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, ia
mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ صَلَاةَ الْعِشَاءِ، فَلَا تَمَسَّ طِيبًا»
“Jika kalian (kaum wanita) menghadiri
shalat Isya, maka jangan memakai parfum.” (Hasan:
HR. An-Nasai no. 5129)
28. Memelihara Anjing
Memelihara anjing bisa mengurangi pahala
seseorang setiap hari satu qiroth, kecuali anjing untuk menjaga ladang,
menjaga ternak, dan berburu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا، فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ
قِيرَاطٌ، إِلَّا كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ [أَوْ صَيْدٍ]»
“Siapa yang memelihara anjing maka ia akan
mengurangi pahala amalnya setiap hari satu qiroth, kecuali anjing untuk menjaga
ladang atau anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu.” (HR. Al-Bukhari no. 2322)
Satu qiroth adalah pahala sebesar
gunung Uhud, dan ini pahala yang besar. Untuk mendapatkan satu qiroth
pahala ia perlu menghadiri shalat jenazah atau turut menghadiri penguburannya.
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
«مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ
شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ»، قِيلَ: وَمَا القِيرَاطَانِ؟ قَالَ: «مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ»
“Siapa yang menghadiri jenazah hingga
turut menshalatinya maka ia mendapatkan satu qiroth. Siapa yang menghadiri
hingga dikuburkan maka ia mendapatkan dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa itu dua qiroth?” Jawab
beliau, “Seperti dua gunung yang besar.” (HR. Al-Bukhari no. 1325 dan
Muslim no. 945)
/
PENUTUP
Demikian penjelasan mengenai penggugur-penggugur
pahala secara kulli (keseluruhan) atau juz’i (bagian tertentu).
Yang termasuk penggugur kulli adalah kufur, syirik, riddah, dan nifaq
i’tiqod. Yang termasuk penggugur juz’i adalah:
1.
Meninggalkan Shalat Fardhu
2.
Meninggalkan Shalat Ashar
3.
Mencela Sahabat
4.
Memvonis Ahli Maksiat
5.
Durhaka
6.
Membunuh
7.
Menghalangi Qishos
8.
Nusuz
9.
Menzhalimi
10.
Pemutus Tali Rahim
11.
Bid’ah
12.
Melindungi Ahli Bid’ah
13.
Domisili di Negeri Kafir
14.
Memberontak Penguasa
15.
Maksiat Tersembunyi
16.
Riya dan Sum’ah
17.
Bertengkar Sesama Muslim
18.
Menakuti Penduduk Madinah
19.
Khianat Kepada Mujahid
20.
Mann dan Adzaa
21.
Ghulul
22.
Candu Khomr
23.
Menisbatkan Diri kepada yang Bukan Haknya
24.
Zurr
25.
Budak yang Kabur
26.
Imam yang Dibenci Makmum
27.
Berparfum ke Masjid
28. Memelihara Anjing
Setiap Muslim wajib mawas diri dan tidak
bangga diri atas prestasi ibadahnya. Ujub bisa menggugurkan pahala, dan ujub
bukan perangai hamba Allâh yang shalih. Hamba-hamba pilihan Allâh adalah yang
senantiada berada di atara takut dan berharap. Saat melihat amalnya yang tidak
maksimal (taqshir) dalam menunaikan hak Allâh maka ia takut Allâh tidak
menerimanya. Saat ia melihat luasnya rahmat Allâh dan janji-janji ampunan dan
rahmat-Nya maka ia berbaik sangka dan mengharap itu semua. Allâh berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ * وَالَّذِينَ
هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ * وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لاَ
يُشْرِكُونَ * وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ
إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ * أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ
لَهَا سَابِقُونَ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang
berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang
beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan
hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan
kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun [23]: 57-61)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia
berkata: aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang ayat ini, “Apakah mereka
orang-orang yang minum khomr dan mencuri?” Beliau menjawab:
«لاَ
يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ،
وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لاَ تُقْبَلَ مِنْهُمْ ﴿أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ﴾»
“Bukan wahai putri Ash-Shiddiq. Akan
tetapi mereka adalah orang-orang yang puasa, shalat, dan bersedekah dalam
keadaan takut tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam
kebaikan.” (Shahih:
HR. At-Tirmidzi no. 3175)
Hati mereka lebih dominaan dipenuhi rasa
takut saat membaca firman Allâh:
﴿إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ﴾
“Sesungguhnya Allâh hanya menerima (amal)
dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 27)
Abdullah bin
Ubaidillah bin Abi Mulaikah, seorang yang terpercaya dan faqih, berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ،
مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku
menjumpai 30 Sahabat Rasulullah ﷺ, semuanya mengkhawatirkan nifak atas diri
mereka. Tak ada seorang pun dari mereka yang menyatakan imannya seperti iman
Jibril dan Mikail.” (HR. Al-Bukhari,
1/18)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul
Bari (1/110-111), “Para Sahabat yang pernah dijumpai oleh Ibnu Abi
Mulaikah, yang terutama adalah Aisyah, saudarinya Asma, Ummu Salamah, Abu
Hurairah, Uqbah bin Al-Harits, Al-Musawwar bin Mahramah. Mereka itu
orang yang diambil haditsnya olehnya. Dia juga bertemu dengan sekelompok
Sahabat lainnya seperti Al-i
bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqqash. Mereka semuanya takut nifaq amal.
Tidak dinukil mereka berbeda dalam
hal itu, seolah-olah ijma. Hal itu dikarenakan terkadang seorang Mukmin diuji
dalam amalnya apa yang bisa merusaknya dari apa-apa yang menyelisihi ikhlas.
Kekhawatiran mereka (para Sahabat) tidak berarti terjatuh kepada sifat nifaq
tersebut, tetapi ungkapan itu hanyalah ekspresi besarnya wara dan taqwa mereka.
Semoga Allâh meridhai mereka.”
Semoga Allâh menerima ibadah kita,
menjaganya untuk kita, dan mengampuni dosa-dosa kita.
﴿رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾
Semoga shalawat dan salam terlimpah untuk Rasulullah ﷺ, keluarganya, para Sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari Kiamat.[] /
[1]
“Silahkan berbuat sesukanya,”
bisa bermakna: “Allah berbuat sesukaNya dalam mengampuni hamba,” atau bermakna:
“Hamba berbuat dosa terus, dan bertaubat setiap kali melakukannya maka hal ini
tidak membahayakannya.” Allahu a’lam.