Terjemah Usul fit Tafsir - Syaikh Ibnu Utsaimin
https://www.terjemahmatan.com/2018/11/terjemah-usul-fit-tafsir-syaikh-ibnu-utsaimin.html?m=0
Terjemah Usul fit Tafsir - Syaikh Ibnu Utsaimin
DASAR
ILMU TAFSIR
الأصول في التفسير
Disusun Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Darul Musthofa, cet-1 1437
H/2016 M
Penerbit : Pustaka Syabab
Editor : Tim Pustaka
Syabab
Layout : Tim Pustaka
Syabab
Penerjemah : Nor
Kandir
Cetakan : Ke-1, Rabiul
Awwal 1440 H/Nopember 2018
|
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENERJEMAH
Segala puji bagi
Allah dan semoga sholawat serta salam terlimpah untuk RasulNya, keluarganya,
dan para Sahabatnya.
Ini adalah buku
ringkas tentang dasar-dasar ilmu tafsir yang disusun oleh Al-Allamah Ibnu
Utsaimin yang dikenal sebagai ulama Rabbani yang dalam keilmuannya, dan ringkas
serta padat dalam berkarya.
Saat saya hendak
menerjemahkan kitab ini, saya mencari terjemahan di internet dan menemukan
hasil terjemahan sebagian dari kitab ini lalu kusempurnakan semua babnya.
Semoga Allah membalas penerjemah tersebut dan memberi balasan kepada kita dan
semua yang terlibat dalam menyebarkan terjemahan ini.
Catatan di
footnote adalah komentar dari saya pribadi yang menjelaskan sebagian kata
sulit. Demikian semoga bermanfaat.[]
Surabaya, Robiul
Awwal 1440 H
Nor Kandir
MUQODDIMAH
Sesungguhnya segala puji milik Allah.
Kami memujiNya, meminta pertolongan kepadaNya, dan
meminta ampunan kepadaNya. Dan kami berlindung dari kejahatan diri kami dan
kejelekan perbuatan kami. Siapa yang Allah berikan petunjuk, maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya. Dan siapa yang
Allah sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk untuknya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah, tidak ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusanNya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rosulullah, keluarganya,
para Sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Amma
ba’du:
Di antara
perkara terpenting dalam mempelajari setiap bidang ilmu adalah seorang
mempelajari ilmu itu dari ushul-nya, yaitu hal pokok yang sangat
mendasar dari ilmu itu. Karena hal ini akan sangat membantu dalam memahami dan
men-takhrij (mengeluarkan) ilmu itu secara benar berdasarkan ushul
tersebut. Sehingga ilmu yang diperolehnya dibangun di atas landasan yang kuat
dan sandaran yang kokoh. Pepatah
mengatakan:
مَنْ حُرِمَ الأُصُولَ
حُرِمَ الوُصُولَ
“Barangsiapa
yang meninggalkan ushul, ia tidak akan sampai pada tujuan.”
Di antara bidang ilmu yang paling
agung, bahkan yang paling agung dan paling mulia, adalah ilmu tafsir yang
merupakan penjelas makna kalam Allah ‘Azza wa Jalla. Para ulama telah
meletakkan dasar-dasar ilmu tafsir, sebagaimana mereka telah melakukannya dalam
ilmu hadits dan ilmu fiqih.
Saya menulis ilmu tafsir ini sebagai buku pegangan para mahasiswa di Universitas
Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah. Kemudian ada orang yang meminta agar
saya menulis risalah ini secara terpisah dalam sebuah buku sehingga lebih mudah
disajikan dengan bahasan yang lengkap. Maka sayapun mengabulkan permintaan itu.
Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan manfaat atas risalah saya ini.
Secara ringkas, isi buku ini adalah
sebagai berikut:
Al-Qur’an Al-Karim
1.
Kapan permulaan turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan siapa Malaikat yang membawa wahyu kepada beliau.
2.
Ayat Al-Qur’an yang pertama kali
diturunkan.
3.
Turunnya ayat Al-Qur’an ada dua
macam: sababi dan ibtida’i.
4.
Ayat-ayat Al-Qur’an ada yang makkiyyah dan ada yang madaniyyah,
penjelasan tentang hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, dan
urutan-urutan dalam Al-Qur’an.
5.
Penulisan Al-Qur’an dan pemeliharaannya pada masa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
6.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakr dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘Anhuma.
Tafsir
1.
Makna tafsir secara bahasa dan
istilah, penjelasan tentang hukumnya, dan manfaat ilmu tafsir.
2.
Kewajiban bagi seorang Muslim dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3.
Sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Kalamullah, yaitu berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an.
b. Sunnah Rosul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena
Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah penyampai risalah dari
Allah dan orang yang paling mengetahui makna dan maksud firman Allah yang
disebutkan di dalam KitabNya.
c. Perkataan Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, terutama Sahabat
yang memiliki ilmu dan perhatian dalam tafsir, karena Al-Qur’an turun dengan
bahasa dan di masa mereka.
d. Perkataan para Kibar Tabi’in (Tabi’in senior) yang
perhatian mengambil tafsir dari para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum.
e. Tuntutan kata-kata berupa makna menurut syariat atau
bahasa, sesuai konteks kalimat. Jika makna syar’i dan makna lughowi (bahasa)
berbeda, maka yang diambil adalah makna syar’i, kecuali bila ada dalil yang
lebih menguatkan makna lughowi.
4.
Ikhtilaf (perbedaan) yang terdapat
dalam tafsir yang ma’tsur (nukilan dari riwayat).
5.
Penerjemahan Al-Qur’an: meliputi definisi, pembagian, dan hukum setiap bagiannya.
6.
Biografi singkat lima orang yang terkenal dalam bidang tafsir, di antaranya tiga Sahabat
dan dua Tabi’in.
7.
Pembagian Al-Qur’an dari sisi muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar/serupa).
a. Sikap orang-orang yang kokoh ilmunya (Ar-Rosikhuuna
fil ilmi) dan sikap orang-orang yang condong pada kesesatan (fi
quluubihim zaigh) terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
b. Ayat-ayat
mutasyabihat ada dua macam: hakiki dan nisbi.
c. Hikmah di balik ayat muhkam dan mutasyabih dalam Al-Qur’an.
8.
Anggapan adanya pertentangan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, beserta jawaban dan contohnya.
9.
Al-Qosam (sumpah): definisi, alat-nya, dan faedahnya.
10.
Al-Qoshosh (kisah): definisi, tujuan, hikmah di balik
pengulangan dan perbedaan panjang pendeknya cerita, serta penggunaan metode
dalam cerita.
11.
Cerita Isra’iliyaat yang disisipkan
di dalam penafsiran Al-Qur’an dan sikap ulama terhadapnya.
12.
Dhomir (kata ganti):
definisi, sumber rujukan, isim zhohir menempati posisi isim dhomir
dan faedahnya, pengalihan dhomir dan faedahnya, dhomir fashl
(terpisah) dan faedahnya.[]
AL-QUR’ANUL KARIM
1. [Definisi Al-Qur’an]
Al-Qur’an secara bahasa adalah masdar (kata bentukan) dari qoro-a dengan makna membaca
atau dengan makna mengumpulkan. Anda mengatakan qoro-a qur-an wa qur’aanan seperti halnya jika Anda
mengatakan ghofaro ghufron wa ghufroonan. Makna pertama
[membaca] adalah bentuk masdar dengan makna isim maf’ul, yaitu bermakna yang dibaca. Sedangkan makna kedua [mengumpulkan]
adalah bentuk masdar dengan makna isim fa’il, yaitu bermakna penghimpun karena menghimpun kabar-kabar dan hukum-hukum.[1]
Secara istilah,
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada RosulNya dan penutup para
NabiNya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dimulai dengan
surat Al-Faatihah, dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Allah Ta’ala
berfirman:
﴿إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلاً﴾
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad)
dengan berangsur-angsur.” (QS. Al-Insaan: 23)
﴿إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ﴾
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12]: 2)
Allah Ta’alaa benar-benar melindungi Al-Qur’an yang agung dari perubahan,
tambahan, pengurangan dan penggantian. Allah ‘Azza wa Jalla menjamin
dengan pemeliharaanNya sebagaimana Allah berfirman:
﴿إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ﴾
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Oleh karena itu,
telah berlaku pada banyak masa, tidak ada seorangpun dari orang-orang yang
memusuhi Al-Qur’an mencoba untuk melakukan perubahan dalam Al-Qur’an, atau
menambah atau mengurangi atau mengganti kecuali Allah Ta’ala membongkar
aibnya, dan membuka kejelekan-kejelekan perkaranya.
Allah mensifatinya (Al-Qur’an) dengan
sifat yang banyak. Hal ini menunjukkan kepada keagungannya, barokahnya,
pengaruhnya dan kandungannya. Al-Qur’an adalah sebagai hakim bagi segala yang
datang sebelumnya dari kitab-kitab yang
diturunkan Allah Ta’alaa.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَلَقَدْ
آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung.” (QS. Al-Hijr: 87)
﴿ وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيدِ﴾
“Demi Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS. Qof: 1)
Allah juga
berfirman:
﴿كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Shod: 29)
﴿وَهَذَا
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ﴾
“Dan ini adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia
dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155)
﴿إِنَّهُ
لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia.” (QS. Al-Waaqi’ah: 77)
﴿إِنَّ
هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ﴾
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (QS. Al-Israa’:
9)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
﴿لَوْ
أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعاً مُتَصَدِّعاً
مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan ketakutannya kepada
Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
﴿وَإِذَا
مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ
إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ
يَسْتَبْشِرُونَ * وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ
رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُون﴾
“Dan apabila diturunkan suatu surat,
maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turannya) surat ini?’ Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa
gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka
dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah
ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah: 124-125)
﴿وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ﴾
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (QS. Al-An’aam: 19)
﴿فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً﴾
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap
mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqaan: 52)
Dan Allah Ta’ala
berfirman:
﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى
وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ﴾
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)
﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ﴾
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (QS. Al-Maidah: 48)
Al-Qur’anul
Karim adalah sumber dari syari’at Islam yang Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam diutus dengannya kepada seluruh manusia. Allah
berfirman:
﴿تَبَارَكَ
الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً﴾
“Maha suci Allah yang telah
menurunkan Al-Furqaan
(Al-Qur’an) kepada hambaNya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.” (QS. Al-Furqoon: 1)
﴿الر كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ * اللَّهِ الَّذِي لَهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ
شَدِيدٍ﴾
“Alif, laam, roo. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya
kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang
dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji. Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di
bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.” (QS. Ibrahiim: 1-2)
Sunnah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah sumber syari’at juga seperti yang telah ditetapkan
Al-Qur’an. Allah
Ta’alaa berfirman:
﴿مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً﴾
“Barangsiapa yang mentaati Rosul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah,
dan barangsiapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisaa:
80)
﴿وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾
“Barangsiapa mendurhakai Allah dan RosulNya
maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
﴿وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾
“Apa
yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr:
7)
﴿قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌرَحِيمٌ﴾
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)
2. Ayat Al-Qur’an yang Pertama Kali Turun
Ayat Al-Qur’an
yang pertama kali turun secara mutlak adalah potongan lima ayat pertama dalam surat
Al-Alaq, yaitu firman Allah Ta’ala:
﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ
الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ﴾
“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu
yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah! Dan Rabbmu adalah Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan dengan
pena. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Setelah itu, wahyu terhenti beberapa
lama. Kemudian, turunlah lima ayat pertama surat Al-Muddatstsir,
yakni firman Allah Ta’ala:
﴿يَاأَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
(4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ﴾
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah,
lalu berilah peringatan. Dan Rabbmu, agungkanlah. Dan pakaianmu, sucikanlah.
Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir: 1-5)
Di dalam Shahihain
(Al-Bukhari dan Muslim), dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha tentang
permulaan turunnya wahyu, dia berkata “Sampai datang kepada beliau (Rosulullah)
haq (wahyu), sementara itu beliau berada di gua Hira. Lalu datanglah
Malaikat (Jibril), lantas dia berkata ‘Bacalah!’ Maka Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata: ‘Aku tidak bisa
membaca.’ Lalu A’isyah melanjutkan hadits dan di dalam hadits
tersebut: ‘Kemudian beliau membaca:
﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ
الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ﴾
Di dalam Shahihain
pula terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘Anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda menceritakan tentang
terhentinya wahyu:
بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ
صَوْتاً مِنَ السَّمَاءِ...
“Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit…” kemudian Jabir melanjutkan hadits, dan di dalam hadits
tersebut: “Maka Allah Ta’ala menurunkan:
﴿يَاأَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
(4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ﴾
Dalam riwayat di
atas, disebut sebagai ayat yang pertama kali turun. Yang dimaksud
pertama kali turun disini adalah pertama kali turun ditinjau dari sisi
tertentu, sehingga ia turun terkait dengan hal-hal tertentu. Sebagai contoh
hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu di dalam Shahihain ketika Abu
Salamah bin Abdurrahman bertanya kepadanya,
“Ayat
manakah yang turun pertama kali dari Al-Qur’an?” Jabir menjawab: “Al-Muddatstsir.” Abu Salamah berkata: “Aku telah diberi tahu bahwa ayat yang pertama kali turun
adalah Al-Alaq.” Maka Jabir mengatakan, “Tidaklah aku kabarkan kepadamu kecuali apa yang telah
dikatakan oleh Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Aku beri’tikaf di gua Hira. Tatkala aku telah
menyelesaikannya maka turunlah…” lalu beliau
(Jabir) melanjutkan hadits, di dalam hadits tersebut:
“Maka
aku mendatangi Khadijah, akupun berkata kepadanya ‘Selimuti aku, guyurlah aku
dengan air dingin!’ Dan turunlah
ayat kepadaku (Al-Muddatsir).”
Maka, ayat yang
pertama kali turun yang disebutkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘Anhu ialah
ditinjau dari sisi turunnya ayat setelah terputusnya wahyu, atau dari sisi ayat
yang pertama kali turun saat pengangkatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sebagai Rosul, karena ayat yang turun dalam surat Al-Alaq adalah ayat yang
menetapkan beliau menjadi Nabi dan ayat yang turun dalam surat Al-Muddatstsir
adalah ayat yang menetapkan beliau menjadi Rosul di dalam ayat, “Berdiri dan
berilah peringatan.” Oleh karena itu, para ulama’ mengatakan: Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam diangkat sebagai Nabi dengan surat Al-Alaq dan beliau
diangkat sebagai Rosul dengan surat Al-Muddatstsir. Wallahu a’lam.
3. Turunnya Al-Qur’an: Ibtida’i dan Sababi
Turunnya
Al-Qur’an dibagi menjadi dua:
Pertama: ibtida’i,
yaitu turunnya tanpa didahului sebab tertentu, dan kebanyakan ayat-ayat
Al-Qur’an seperti ini. Misalnya firman Allah:
﴿وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ
وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ﴾
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah:
‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karuniaNya kepada kami, pastilah
kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. At-Taubah: 75)
Ayat ini turun
secara ibtida’i yang menjelaskan tabiat orang-orang munafik. Adapun yang
mengatakan ia turun berkenaan dengan Tsa’labah bin Hathib dalam kisah terkenal
yang panjang yang disebutkan oleh para ahli tafsir dan diceritakan oleh para
penceramah, maka statusnya lemah, tidak benar sama-sekali.
Kedua: sababi,
yaitu turunnya didahului sebab tertentu. Sebab-sebab tersebut adalah:
(1)
Adakalanya berupa pertanyaan yang dijawab langsung oleh Allah, seperti
firmanNya:
﴿يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ﴾
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: ‘Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. Al-Baqoroh: 189)
(2)
Atau terjadi peristiwa yang membutuhkan penjelasan dan peringatan, seperti
ayat:
﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ
إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ * لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ
عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ﴾
“Dan jika kamu bertanya kepada mereka (orang munafik), pasti mereka
menjawab, ‘Kami hanya bercanda dan bermain-main. Katakanlah: ‘Apakah dengan
Allah, ayat-ayatNya dan RosulNya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran
mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain yang tidak
bertobat) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Dua ayat ini turun berkenaan dengan seorang munafik yang berkata saat
perang Tabuk di sebuah majlis, ‘Kami tidak pernah melihat orang-orang yang
seperti qori kita, yang rakus perutnya, dusta lisannya, dan penakut saat
bertemu musuh.’ Yang dimaksud adalah Rosulullah dan para Sahabatnya. Maka kabar
itu sampai ke Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu turunlah
ayat tersebut. Datanglah orang itu meminta maaf kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lalu Al-Qur’an menjawab:
﴿أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ
كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾
“Apakah terhadap Allah, ayat-ayatNya, dan RosulNya kalian berolok-olok.
Tidak perlu minta maaf. Kalian sudah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubat: 65)
(3)
Atau terjadi peristiwa yang membutuhkan penjelasan hukumnya, seperti ayat:
﴿قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا
إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ﴾
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan juga kepada Allah. Dan
Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Al-Mujadalah [58]: 1)
Faidah Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui asbabun
nuzul sangat penting sekali karena mengandung banyak faidah, di antaranya:
(1)
Menjelaskan bahwa Al-Qur’an turun dari Allah, karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kadang ditanya sesuatu lalu diam tidak menjawab hingga
turun wahyu, atau ketidakjelasan perkara yang terjadi lalu turun wahyu yang
menjelaskannya. Contoh untuk yang pertama adalah firman Allah:
﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ
الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً﴾
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isro [17]: 85)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
‘Anhu: Ada orang Yahudi bertanya, ‘Wahai Abul Qosim (Nabi) apa itu ruh?’
Beliau diam, tidak menjawab sedikitpun. Aku pun tahu bahwa sedang turun wahyu
ke beliau. Aku tetap di tempatku. Ketika wahyu selesai turun, beliau membaca:
﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي﴾
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku.” (QS. Al-Isro [17]: 85)
Contoh untuk kasus kedua, seperti firman Allah:
﴿يَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى
الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ مِنْهَا الأذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah,
benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya.’
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rosul-Nya dan bagi orang-orang
Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 8)
(2)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Zaid bin Arqom mendengar Abdullah
bin Ubay sang penghulu orang munafik mengatakan itu. Yang dia maksud dengan
‘orang kuat’ adalah dirinya dan ‘orang yang terhina’ adalah Rosulullah dan
Sahabatnya. Maka Zaid mengabarkan hal itu kepada pamannya, lalu ia mengabarkan
itu kepada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyuruh Zaid datang lalu ia mengabarkan apa yang ia
dengar, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh Abdullah bin
Ubay dan sahabatnya datang. Mereka bersumpah tidak mengucapkannya, dan Rosulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerimanya. Maka Allah menurunkan ayat
yang membenarkan Zaid dalam ayat ini. Maka menjadi jelasnya perkara tersebut
bagi Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
(3)
Menjelaskan perhatian Allah kepada RosulNya dalam membelanya, seperti
firmanNya:
﴿وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا
نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً﴾
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa A- Qur'an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya
dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqon [25]: 32)
Begitu pula ayat-ayat tentang cerita bohong (Aisyah selingkuh). Ayat
tersebut membela ranjang beliau dan membersihkannya dari apa yang dikotori oleh
para tukang penyebar berita bohong.
(4)
Menjelaskan perhatian Allah dalam menghilangkan kesulitan hamba-hambaNya.
Contohnya adalah ayat Tayammum. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa kalung
Aisyah hilang saat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
suatu safar. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam singgah untuk
mencarinya sementara manusia (pasukan) singgah tanpa perbekalan air yang
memadai. Mereka mengadu kepada Abu Bakar. Singkat cerita, Allah menurunkan ayat
Tayammum sehingga mereka semua bertayammum. Usaid bin Hudhair berkata, ‘Ini
bukan keberkahan pertama kalian, wahai keluarga Abu Bakar!’ Hadits ini
disebutkan Al-Bukhari dengan panjang lebar.
(5)
Memahami ayat dengan benar. Contohnya adalah ayat:
﴿إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ
شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ
يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Shofa dan Marwah adalah sebagian dari syi`ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 158)
Yang nampak dari ayat ‘tidak ada dosa baginya’ menunjukkan hukum sai
maksimal mubah. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ashim bin Sulaiman dia berkata:
Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang Shofa dan Marwah, dia menjawab: Kami
dahulu memandang keduanya termasuk perbuatan jahiliyah. Kami pun tidak
melakukannya saat beragama Islam lalu Allah menurunkan ayat: “Sesungguhnya Shofa
dan Marwah adalah sebagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah
haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai
antara keduanya.” Dari sini kita tahu bahwa maksud ‘tidak ada dosa’ bukan
menjelaskan asal hukum sai, tetapi menjelaskan peniadaan tindakan mereka tidak
melakukan sai karena menganggap perkara jahiliyah. Hukum sai sendiri dijelaskan
dalam firmannya, ‘Ia termasuk syiar Allah.’”
Lafazh
Umum dan Sebab Khusus
Apabila ayat
turun karena suatu sebab sementara lafazhnya umum maka ia mencakup sebab dan
setiap yang tercakup dalam lafazh tersebut. Sebab, Al-Qur’an diturunkan sebagai
syariat universal yang mencakup semua umat. Yang menjadi acuan adalah lafazh
umum bukan sebab khusus.
Contohnya adalah
ayat li’an (menuduh istri berzina), yaitu firman Allah Ta’ala:
﴿وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ
إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ
لَمِنَ الصَّادِقِينَ * وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ
مِنَ الْكَاذِبِينَ * وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ
بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ
كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ﴾
“Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk
orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur
[24]: 6-9)
Di dalam Shahih
Al-Bukhari disebutkan Hilal bin Umayah menuduh istrinya berzina dengan Syarik
bin Sahma lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Datangkan
bukti atau kamu yang akan dicambuk.” Hilal menjawab, “Demi Dzat yang
mengutus Anda dengan kebenaran, aku benar-benar benar, dan benar-benar Allah
akan menurunkan ayat yang akan membebaskanku dari had ini.” Lalu Jibril turun
dan menurunkan ayat di atas.
Ayat ini turun
disebabkan tuduhan Hilal kepada istrinya, tetapi ayat ini diberlakukan kepada
semua orang, dengan dalil yang diriwayatkan Al-Bukhari, dari Sahl bin Saad Radhiyallahu
‘Anhu: Uwaimir Al-Ajlani mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
lalu berkata: Wahai Rosulullah, jika ada seseorang melihat istrinya bersama
lelaki lain lalu membunuhnya sehingga kalian mengqisosnya, atau bagaimana
seharusnya ia bersikap? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Allah telah menurunkan ayat berkaitan dengan dirimu dan istrimu.” Maka beliau
memerintahkan keduanya saling melaknat seperti yang disebutkan dalam KitabNya.
Dia pun melaknat istrinya. Al-Hadits.
Dalam hadits ini
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan ayat ini diberlakukan
untuk Hilal bin Umayah dan selain dirinya.
4. Makkiyyah dan Madaniyyah
Al-Quran turun
kepada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama 23 tahun secara
berangsur-angsur. Kebanyakan dihabiskan di Makkah. Allah berfirman:
﴿وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ
وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً﴾
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Isro [17]: 106)
Oleh karena itu,
para ulama membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian: makkiyyah dan madaniyyah.
Makkiyyah adalah apa yang turun kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sebelum hijroh ke Madinah, sementara madaniyyah
adalah apa yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah
hijroh ke Madinah.
Dari definisi
ini, kita katakan firman Allah:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا﴾
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama
bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Ia termasuk madaniyyah
meskipun turun kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat Haji Wada
di Arofah (Makkah).
Dalam Shahih
Al-Bukhari, dari Umar ia berkata:
«قَدْ عَرَفْنَا
ذَلِكَ اليَوْمَ، وَالمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ»
“Kami tahu hari
itu dan tempat turunnya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu
saat beliau berdiri di Arofah di hari Jum’at.” (HR. Al-Bukhari no. 45)
Perbedaan makkiyyah
dan madaniyyah dari sisi uslub (susunan kalimat) dan tema:
Dari sisi uslub
1.
Umumnya uslub makkiyyah begitu kuat, keras kepada yang diajak
bicara, karena umumnya yang diajak bicara adalah orang-orang yang berpaling dan
sombong. Mereka tidak patut disikapi kecuali dengan cara ini. Silahkan Anda
baca surat Al-Muddatstsir dan Al-Qomar.
Adapun madaniyyah, umumnya uslubnya lembut, santun kepada
yang diajak bicara. Sebab, umumnya yang diajak bicara adalah orang-orang yang
menerima dan patuh. Silahkan Anda baca surat Al-Maidah.
2.
Umumnya makkiyyah pendek ayatnya dan kuat hujjahnya, karena umumnya
yang diajak bicara adalah orang-orang yang menentang dan keras, maka mereka
diajak bicara sesuai dengan kondisi mereka. Silahkan Anda baca surat At-Thur.
Adapun madaniyyah, umumnya panjang ayatnya, menyinggung hukum, tanpa
banyak hujjah, karena kondisi mereka sesuai dengannya. Silahkan baca surat Al-Baqoroh.
Adapun dari sisi
tema:
1.
Umumnya makkiyyah menetapkan Tauhid dan Aqidah, khususnya yang
berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari Kebangkitan, karena
umumnya yang diajar bicara adalah orang-orang yang mengingkarinya.
Adapun madaniyyah, umumnya tentang perincian ibadah dan muamalah,
karena yang diajak bicara umumnya orang-orang yang sudah terpatri Tauhid dan
Aqidah yang benar di jiwa mereka. Oleh karena itu mereka lebih membutuhkan
perincian ibadah dan muamalah.
2.
Dalam madaniyyah, ada penjelasan jihad, hukumnya, tentang
orang-orang munafik dan keadaan mereka sesuai dengan kondisi saat itu, di mana
pada saat itu disyariatkan jihad dan munculnya kemunafikan. Ini berbeda dengan makkiyyah.
Faidah Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah
Mengetahui makkiyyah dan madaniyyah termasuk jenis ilmu yang
sangat penting, karena berisi banyak faidah, di antaranya:
(1)
Nampak ketinggian balaghoh Al-Qur’an, di mana ia
berbicara kepada setiap kaum sesuai dengan keadaan mereka baik dari sisi ketegasan
maupun kelembutan.
(2)
Nampak ketinggian syariat Islam di mana Al-Qur’an
menempuh jalan setahap demi setahap, dari yang paling penting sesuai dengan
keadaan yang diajak bicara dan menyiapkan mereka untuk menerima dan tunduk.
(3) Mendidik para dai
untuk menempuh jalan Al-Qur’an dalam uslub dan tema, sesuai dengan
kondisi yang diajak bicara. Yaitu memulai dari yang terpenting lalu yang
penting berikutnya, keras dalam satu kesempatan dan lembut dalam kesempatan
lain.
(4) Membedakan antara nasikh
(yang menghapus) dan mansukh (yang dihapus) lewat ayat-ayat makkiyyah
dan madaniyyah, jika terpenuhi syarat-syarat menghapus. Sebab, madaniyyah
menghapus hukum makkiyyah, karena madaniyyah datang belakangan.
5. Hikmah Turunnya Al-Qur’an Secara Berangsur-Angsur
Telah jelas dari
pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an
dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
(1)
Pengokohan hati Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla pada
surat Al-Furqan, ayat 32-33:
﴿
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً * وَلَا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا﴾
“Dan
orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya, dan
Kami membacakannya secara tertil (berangsur-angsur, perlahan-lahan, dan benar). Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang
kepadamu (membawa sesuatu yang aneh), melainkan Kami datangkan kepadamu yang
benar dan penjelasan yang paling baik.”
(2)
Memberi kemudahan bagi manusia untuk
menghapal, memahami serta mengamalkannya, karena Al-Qur’an dibacakan kepadanya
secara bertahap. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat
Al-Isra`, ayat 106:
﴿ وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى
النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً﴾
“Dan Al-Qur’an (Kami turunkan) secara berangsur-angsur agar engkau
(Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya
secara bertahap.”
(3)
Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah
diturunkan di dalam Al-Qur’an, karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya
ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam
ayat-ayat ‘ifk (berita dusta yang disebarkan sebagian orang tentang
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha) dan li’an.
(4)
Penetapan syariat secara bertahap
sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamr,
yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal
tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan
meninggalkannya secara total.
Ayat yang pertama kali turun dalam hal ini adalah ayat:
﴿
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا﴾
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqoroh: 219)
Dalam ayat tersebut ada persiapan bagi manusia akan keharaman khamr,
sehingga akal manusia akan mulai membiasakan tidak melakukan sesuatu yang
dosanya lebih besar dari manfaatnya.
Kemudian turun yang kedua kalinya firman Allah:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa [4]: 43)
Dalam ayat ini, ada latihan meninggalkan khomr di beberapa waktu yaitu
waktu-waktu sholat.
Kemudian turun yang ketiga kali firmanNya:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ * إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ
عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ * وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا
عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rosul (Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban
Rosul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maidah [5]: 90-92)
Dalam ayat ini berisi larangan khomr dalam segala waktu setelah jiwa siap.
Kemudian larangan ini berlanjut terus dalam semua waktu.
6. Tertib Al-Qur’an
Tertib Al-Qur’an
adalah membacanya secara urut sesuai yang tercantum di mushaf dan terjaga dalam
hafalan. Ia dibagi menjadi tiga macam:
Tertib Kata: di mana setiap
kata berada di tempat masing-masing, dan ini ditetapkan berdasarkan nash dan
ijma. Kami tidak mengetahui yang menyelisihi ini dalam hal kewajibannya dan
keharaman bagi yang menyelisihinya. Maka tidak boleh membaca:
لله الحمد رب العالمين
Sebagai ganti
dari:
﴿الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾ (الفاتحة: 2)
Tertib Ayat: di mana setiap
surat berada di tempat surat tersebut sesuai di mushaf. Ini ditetapkan
berdasarkan nash dan ijma. Hukumnya wajib, menurut pendapat yang rojih, dan
haram menyelisihinya. Maka kita tidak boleh membaca:
مالك يوم الدين * الرحمن الرحيم
Sebagai ganti dari ayat:
﴿الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ * مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ﴾ (الفاتحة: 4)
Dalam Shahih
Al-Bukhari disebutkan bahwa Abdullah bin Az-Zubair berkata kepada Utsman bin
Affan Radhiyallahu ‘Anhu berkenaan dengan firman Allah:
﴿وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً
لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan
istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 240)
Dimana ia telah
dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat lain, yaitu firman Allah (di ayat
sebelumnya):
﴿وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 234)
Ibnu Az-Zubair
bertanya, “Kenapa Anda tetap menulisnya?” Utsman Radhiyallahu ‘Anhu
menjawab, “Wahai putra saudaraku, aku tidak akan merubah sedikutpun dari
tempatnya.”
Imam Ahmad, Abu
Dawud, An-Nasai, dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Utsman bin Affan berkata:
Diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beberapa surat.
Jika turun ayat maka beliau memanggil penulis wahyu dan bersabda, “Letakkan
ayat ini di surat ini.”
Tertib Surat: di mana setiap
surat berada di tempatnya sesuai di mushaf, maka ini ditetapkan berdasarkan
ijtihad dan tidak wajib membacanya urut.
Dalam Shahih
Muslim dari Hudzaifah bin Yaman bahwa dia pernah sholat malam bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Beliau membaca Al-Baqoroh lalu An-Nisa lalu Ali Imran.
Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ahnaf bin Qois secara mu’allaq bahwa ia membaca (saat
jadi imam) di rakaat pertama Al-Kahfi dan para rakaat kedua Yusuf atau Yunus,
dan disebutkan bahwa ia pernah sholat Shubuh bersama Umar dengan dua surat
tersebut.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh membaca surat A sebelum surat B, begitu pula
dalam menulis. Oleh karena itu, mushaf-mushaf yang dimiliki para Sahabat
berbeda dalam tata letak penulisan surat. Namun, ketika mereka bersepakat atas
satu jenis mushaf pada zaman Utsman bin Affan maka ia menjadi sunnah Khulafa
Rasyidin, dan hadits menetapkan wajibnya mengikuti mereka.”
7. Penulisan Al-Quran dan Kodifikasinya
Penulisan dan kodifikasi
(pengumpulan) Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap
Pertama: Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pada jenjang ini
penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena
hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sangat kuat dan cepat, di
samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu
siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung
menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma,
potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para
penghapal Al-Qur’an sangat banyak. Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dari Anas bin
Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurro’. Mereka dihadang
dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim: Ri’il dan Dzakwan di
dekat sumur Ma’unah.
Namun di
kalangan para Sahabat selain mereka, masih banyak para penghapal Al-Qur’an,
seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Salim bekas budak Abu
Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu
‘Anhum.
Tahap
Kedua: Pada Zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu Tahun 12
Hijriyah
Penyebabnya: Pada
perang Yamamah banyak dari kalangan penghafal Al-Quran yang terbunuh, di
antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah, salah seorang yang Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengambil bacaan Al-Qur’an darinya. Maka Abu Bakar
Radhiyallahu ‘Anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak
hilang. Dalam kitab Shahih Al-Bukahri
disebutkan, bahwa Umar bin Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu
Bakar Radhiyallahu ‘Anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar
tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus
mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan
pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid bin Tsabit Radhiyallahu
‘Anhu. Di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu
Bakar mengatakan kepada Zaid: “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih
muda dan berakal cemerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis
wahyu untuk Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka sekarang
carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!” Zaid berkata: “Maka akupun mencari dan
mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari
hafalan orang-orang.”
Mushaf tersebut
berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga
wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsoh binti Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara panjang lebar.
Kaum Muslimin
saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka
menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar,
sampai Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan: “Orang yang
paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena dialah orang yang pertama
kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Tahap
Ketiga: Pada Zaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu Tahun
25 Hijriyah
Sebabnya: Perbedaan
kaum Muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan
mushaf-mushaf yang berada di tangan para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Hal
itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘Anhu
memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf
sehingga kaum Muslimin tidak berbeda bacaannya yang mengakibatkan bertengkar
pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah. Dalam
kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan, Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘Anhu
datang menghadap Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu dari perang
pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada
dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan: “Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah
umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala
seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang
kepada Hafsoh Radhiyallahu ‘Anhuma: “Kirimkan kepada kami mushaf yang
engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada kemudian akan kami
kembalikan kepadamu!” Hafshoh lalu mengirimkan mushaf tersebut. Kemudian Utsman
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan
Abdurrahman Ibnul Harits bin Hisyam Radhiyallahu ‘Anhum untuk
menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid bin Tsabit berasal dari kaum
Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan
kepada ketiganya: “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid bin Tsabit pada
sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an
diturunkan dengan dialek tersebut!”
Merekapun lalu
mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada
Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri
Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu
‘Anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para Sahabat Radhiyallahu
‘Anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Ali Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya dia mengatakan: “Demi Allah,
tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an
kecuali telah meminta pendapat kami semuanya.’ Utsman mengatakan: ‘Aku
berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu mushaf saja
sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan.’ Kami menjawab: ‘Alangkah
baiknya pendapatmu itu.’”
Mush’ab bin
Sa’ad mengatakan: “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar
mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya,” atau dia katakan: “Tidak
ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya.”
Hal itu adalah
termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu
‘Anhu yang disepakati oleh kaum Muslimin seluruhnya. Hal itu adalah
penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.
Perbedaan antara
pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu
Anhuma adalah: Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah
menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf
agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa bertujuan membawa kaum Muslimin
untuk bersatu pada satu mushaf. Hal itu dikarenakan belum terlihat pengaruh
dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu
pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan
dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘Anhu adalah: Mengumpulkan
dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan
membawa kaum Muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya
pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an. Hasil yang
didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang
besar di tengah-tengah kaum Muslimin, di antaranya: persatuan
dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat
yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah: perpecahan
umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan. Mushaf Al-Qur’an
tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum Muslimin
serta diriwayatkan secara mutawatir. Dipelajari
oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan
kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang
menyeleweng. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit,
Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.[]
TAFSIR
1. [Definisi Tafsir]
Secara bahasa,
tafsir berasal dari kata al-fasru, yaitu menyingkap sesuatu yang
tertutup. Secara istilah, tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an
Al-Karim. Mempelajari tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
﴿كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوَا آيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُو الأَلْبَابِ﴾
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka mentadabburi (merenungi) ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad:
29)
Dan berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
﴿أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ﴾
“Maka apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an ataukah hati mereka
terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Istidllal (kesimpulan yang dipahami) dari ayat
pertama adalah bahwa Allah Ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur’an
yang penuh berkah ini adalah agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya dan
mengambil pelajaran yang terkandung di dalamnya. Tadabbur adalah
memperhatikan, mempelajari, dan merenungi lafazh-lafazh untuk mencapai
maknanya. Jika hal itu tidak dilakukan, maka luputlah hikmah diturunkannya Al-Qur’an,
dan jadilah Al-Qur’an hanya sekedar lafazh-lafazh yang menjadi bacaan rutinitas
yang tidak dapat memberikan pengaruh bagi orang-orang yang membacanya. Hal ini
disebabkan karena pengambilan ibrah (pelajaran) itu tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Istidllal (konklusi) dari ayat yang kedua adalah
bahwa Allah Ta’ala mencela orang-orang yang tidak memperhatikan Al-Qur’an,
serta mengisyaratkan bahwa hal tersebut termasuk penutup dan penghalang hati
mereka, sehingga kebenaran itu tidak sampai kepada hati mereka. Dulu, para Salaful Ummah (umat terdahulu)
berada di atas jalan yang wajib ini. Mereka mempelajari Al-Qur’an, baik lafazhnya
maupun maknanya, karena dengan cara itulah mereka mampu mengamalkan Al-Qur’an
sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala. Karena mengamalkan sesuatu
yang tidak diketahui maknanya adalah hal yang mustahil.
Berkata Abu
Abdirrahman As-Sulami, “Telah menceritakan kepada kami orang-orang yang
membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin
Mas’ud, dan juga yang lainnya; bahwa apabila mereka mempelajari dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sepuluh ayat, mereka tidak menambahnya sampai mereka
mempelajari pelajaran apa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut, kemudian
berusaha untuk mengamalkannya. Mereka berkata, ‘Maka kami mempelajari Al-Qur’an,
mengambil ilmu dari Al-Qur’an, dan sekaligus mengamalkannya.”
Berkata
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, “Sudah dimaklumi bersama bahwa orang-orang tidak
dibenarkan membaca sebuah kitab tentang suatu macam ilmu, seperti ilmu
kedokteran dan ilmu hisab, tanpa menuntut syarah (penjelasan/tafsir)
untuk hal itu. Maka bagaimana dengan Kalamullah Ta’ala yang merupakan
tali pegangan mereka, dan dengannyalah (dapat diraih) keselamatan dan
kebahagiaan mereka, serta tegaknya agama dan dunia mereka? Wajib atas ahli ilmu
untuk menjelaskan tafsir kepada umat manusia, baik dengan tulisan maupun dengan
lisan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
﴿وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ
لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia,
dan janganlah kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali
Imran [3]: 187)
Menjelaskan Al-Qur’an
kepada manusia itu bersifat menyeluruh, meliputi menjelaskan lafazh-lafazh
dan makna-maknanya. Jadi, tafsir Al-Qur’an itu termasuk janji yang akan Allah
minta pertanggungjawabannya kepada ahli ilmu untuk menjelaskannya.
Tujuan
mempelajari ilmu tafsir adalah tercapainya tujuan yang terpuji dan buah yang
mulia, yaitu membenarkan kabar-kabar Al-Qur’an dan mengambil manfaat dari
kabar-kabar tersebut serta menetapkan hukum-hukumnya sesuai dengan yang
dimaksud oleh Allah, yaitu agar dalam menyembah Allah Ta’ala didasari
atas bashirah (ilmu).
1. Kewajiban Setiap Muslim dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Kewajiban setiap
Muslim dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah hendaknya ketika menafsirkan Al-Qur’an
ia merasa dirinya adalah penerjemah Allah Ta’ala, sebagai saksi atasNya
tentang apa-apa yang Dia kehendaki dari kalamNya; sehingga dia mengagungkan
persaksian ini dan takut mengatakan tentang Allah tanpa ilmu, karena hal itu bisa
mengakibatkan dia terjerumus kepada hal-hal yang Allah haramkan yang bisa
membuatnya hina di hari Kiamat nanti. Allah Ta’ala telah berfirman:
﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا
لَمْ يُنَزّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) berbicara atas
Allah tanpa ilmu.” (QS. Al-A’raf: 33).
Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ وُجُوهُهُم مُّسْوَدَّةٌ
أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبّرِينَ﴾
“Dan
pada hari Kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta atas Allah, mukanya
menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang
yang menyombongkan diri?” (QS. Az-Zumar: 60)
2. Sumber Rujukan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an
ditafsirkan dengan Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala Dia-lah Dzat yang
menurunkan Al-Qur’an dan Dia-lah yang paling mengetahui maksud yang terkandung
dalam Al-Qur’an.
Misalkan firman
Allah Ta’ala:
﴿أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُونَ﴾
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus [11]: 62)
Dalam ayat ini,
kata auliyaa-Allah (wali-wali Allah) ditafsirkan oleh firman Allah pada
ayat berikutnya, yaitu:
﴿الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ﴾
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan bertaqwa” (QS. Yunus
[11]: 63)
Misalnya pula firman Allah Ta’ala:
﴿وَمَآ
أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ﴾
“Tahukah kamu apakah ath-thoriq (yang datang pada malam hari) itu?” (QS. Ath-Thariq: 2)
Kata ath-thooriq
ditafsirkan dengan firman Allah Ta’ala pada ayat ketiganya:
﴿النَّجْمُ الثَّاقِبُ﴾
“(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (QS. Ath-Thoriq: 3)
Contohnya lagi firman
Allah Ta’ala:
﴿وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا﴾
“Dan bumi sesudah itu dihamparkanNya.” (QS. An-Naazi’aat: 30)
Kata dahaaha
ditafsirkan dengan dua ayat sesudahnya:
﴿أَخْرَجَ مِنْهَا مَآءَهَا وَمَرْعَاهَا * وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا﴾
“Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhan,
serta gunung-gunung dipancangkanNya dengan teguh.” (QS. An-Naazi’aat: 31-32)
2. Sunnah Rosul, yakni Al-Qur’an
ditafsirkan dengan As-Sunnah, karena Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam adalah muballigh (penyampai risalah) dari Allah Ta’ala,
maka beliau adalah manusia yang paling mengetahui maksud-maksud yang terkandung
dalam firman Allah Ta’ala. Diantara contoh penafsiran Al-Qur’an
dengan As-Sunnah adalah sebagai berikut:
1). Firman Allah Ta’ala:
﴿لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ﴾
“Bagi
orang-orang yang berbuat baik ada pahala
yang terbaik (Surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus:
26)
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah menafsirkan kata ziyaadah (tambahan) dengan:
“Melihat wajah Allah Ta’ala,” sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara jelas dari hadits Abu Musa dan Ubay
bin Ka’ab, dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Ka’ab bin ‘Ujrah,
dan dalam Shahih Muslim dari Shuhaib bin Sinan dari Nabi berkata:
«فَيَكْشِفُ الحِجَابَ،
فَمَا أُعْطُوا شَيئًا أَحَبَّ إِلَيهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ»
“Maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih
mereka cintai daripada melihat Rabb mereka ‘Azza wa Jalla,” kemudian beliau membaca ayat ini:
﴿لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ﴾
“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (Surga) dan
tambahannya.” (QS. Yunus [11]: 26)
2). Firman Allah
Ta’ala:
﴿وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّن قُوَّةٍ﴾
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka quwwah (kekuatan) apa
saja yang kamu sanggupi.” (QS. Al-Anfaal:
60)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menafsirkan kata quwwah (kekuatan) dengan “melempar panah”.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu
‘Anhu.
3. Ucapan Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum, yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan Sahabat Radhiyallahu
‘Anhum, terutama kalangan Sahabat yang menguasai tafsir, karena Al-Qur’an
turun dengan bahasa mereka dan pada zaman mereka, karena merekalah generasi
–setelah Nabi– yang paling jujur dalam mencari kebenaran, paling selamat dari
hawa nafsu, dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang dapat
menghalangi seseorang untuk mendapatkan taufiq dari Allah Ta’ala. Diantara
contoh penafsiran Al-Qur’an dengan ucapan Sahabat adalah sebagai berikut:
﴿وَإِن
كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَائِطِ
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ﴾
“Dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan.” (QS.
Al-Maidah: 6)
Tersebut dalam
riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa beliau
menafsirkan mulamasah (menyentuh wanita) dengan jima’ (bersetubuh).
4. Ucapan Pemuka Tabi’in, yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan ucapan para pemuka Tabi’in yang
konsisten dalam penafsiran mereka atas ayat-ayat Al-Qur’an yang selalu merujuk
kepada para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Karena Tabi’in adalah
sebaik-baik manusia setelah para Sahabat dan paling selamat dari hawa nafsu
daripada generasi sesudahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa
mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang lebih dekat kepada kebenaran
dalam memahami Al-Qur’an daripada generasi sesudahnya. Berkata Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawaa, “Apabila mereka (para
Tabi’in) bersepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan akan keberadaannya
sebagai hujjah. Akan
tetapi jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka tidak menjadi
hujjah atas sebagian yang lain dan tidak pula menjadi hujjah atas orang-orang
setelah mereka. Maka hal tersebut dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an atau
Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau perkataan Sahabat tentang hal itu.” Beliau juga berkata, “Siapa
yang menyimpang dari madzhab-madzhab para Sahabat dan para Tabi’in serta tafsir
mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal tersebut. Bahkan dia bisa
menjadi mubtadi’ (ahli bid’ah). Jika dia
adalah orang yang berijtihad (mujtahid), maka diampuni kesalahan-kesalahannya.” Kemudian beliau berkata, “Maka
barangsiapa yang menyelisihi perkataan mereka dan menafsirkan Al-Qur’an berbeda
dengan tafsir mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal dalil dan madlul
(makna).”
5. Pemaknaan kalimat dari tinjauan syar’i atau lughowi
sesuai dengan kesesuaian makna dalam kalimat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
﴿إِنَّآ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ بِمَآ أَرَاكَ اللَّهُ﴾
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan
membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa-apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS. An-Nisaa’:
105)
Dan firman Allah
Ta’ala:
﴿إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ﴾
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Az-Zukhruf:
3)
Dan firman Allah
Ta’ala:
﴿وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيّنَ
لَهُمْ﴾
“Tidakkah Kami mengutus seorang Rosul pun melainkan dengan bahasa kaumnya
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Apabila makna
syar’i dan makna lughowi (bahasa) berbeda, maka yang diambil adalah
makna syar’i, karena Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan
untuk menjelaskan bahasa, kecuali jika terdapat dalil yang lebih menguatkan makna
lughowi, maka yang dipakai adalah makna lughowi tersebut. Contoh
ayat yang mengandung perbedaan makna syar’i dan makna lughowi, kemudian
didahulukan makna syar’i antara lain:
Firman Allah Ta’ala
tentang orang-orang munafik:
﴿وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَداً﴾
“Dan janganlah kamu sekali-kali mensholati (jenazah) seorang yang mati di
antara mereka.” (QS. At-Taubah: 84)
Makna sholat
secara bahasa berarti doa, dan secara syar’i makna sholat disini adalah berdiri
di hadapan orang yang meninggal dunia untuk mendoakannya dengan syarat dan
rukun tertentu (sholat jenazah). Maka
didahulukanlah makna syar’i, karena maksud dari pembicara
adalah apa yang dipahami oleh yang diajak bicara. Adapun larangan mendoakan
mereka secara muthlaq, maka berasal dari dalil yang lainnya.
Contoh lain dari
ayat yang di dalamnya mengandung perbedaan makna syar’i dan makna lughowi,
kemudian didahulukan makna lughowi karena ada dalil yang menguatkan,
adalah firman Allah Ta’ala:
﴿خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan sholatlah (berdoalah) untuk
mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Yang dimaksud
dengan sholat di sini adalah doa, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abdullah bin Abi ‘Aufa, dia berkata, “Apabila Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dikirimi shadaqah dari suatu kaum, beliau mendoakan
mereka. Bapakku mendatangi beliau dengan membawa shadaqah, kemudian beliau
berdoa:
«اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَي»
‘Ya Allah, berikanlah sholat (keselamatan) atas keluarga Abu ‘Aufa.’”
Dan contoh ayat yang mengandung
kecocokan makna syar’i dan makna lughowi banyak sekali, seperti السَّمَآءُ (langit), الأَرْضُ (bumi), الصِّدْقُ (kejujuran), اْلكَذِبُ (kedustaan), الحَجَرُ (batu), dan الإنْسَانُ (manusia).
3. Perbedaan Yang Terjadi Di Dalam Tafsir Bil Ma`tsur
Perbedaan yang
terjadi di dalam tafsir bil ma`tsur dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi:
Pertama: Beda lafazh,
bukan makna. Hal
seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah
firman Allah Ta’ala:
﴿وَقَضَى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ﴾
“Dan
Tuhanmnu telah qodhoo supaya kamu jangan menyembah selain
Dia.” (QS. Al-Isra`: 23)
Ibnu
‘Abbas berkata, “Makna qodhoo adalah amaro
(memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah aushoo (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas
berkata, “Maknanya adalah aujaba (mewajibkan).”
Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga perbedaan
tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap makna ayat.
Kedua: Beda lafazh dan makna, sementara ayat memang mengandung dua makna yang tidak saling
bertentangan.
Maka ayat dibawa kepada dua makna tersebut dan
ditafsirkan dengan keduanya. Sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa
masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai
contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka
variasi saja. Contohnya
adalah firman Allah Ta’ala:
﴿وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ
مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ وَلَوْ شِئْنَا
لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ﴾
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai
dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya.” (QS. Al-A’raf: 175-176)
Ibnu
Mas’ud berkata, “Ia adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.”
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan, “Ia adalah seorang laki-laki dari
penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “Ia adalah seorang laki-laki
dari penduduk Balqa`.” Sinkronisasi terhadap
pendapat-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat
tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan
pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya
diketengahkan sebagai contoh/permisalan. Contoh lainnya, firmanNya:
﴿وَكَأْسًا
دِهَاقًا﴾
“Dan gelas-gelas yang dihaaqo.” (QS.
An-Naba`: 34)
Ibnu
‘Abbas berkata, “Makna dihaaqo adalah penuh.” Mujahid berkata, “Maknanya adalah
berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata, “Maknanya adalah bening.” Pada
hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab ayat
tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan
masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Ketiga: Beda lafazh dan makna, sementara ayat tidak dapat mencakup kedua makna tersebut secara
bersama-sama karena terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu,
maknanya harus diarahkan kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik
melalui petunjuk redaksinya atau lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah,
daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. An-Nahl:115)
Ibnu
‘Abbas berkata, “Makna baaghin (dengan tidak menganiaya):
terhadap bangkai, sementara ‘aadin (tidak pula melampaui batas):
di dalam memakannya.” Menurut riwayat yang lain, “Tidak
membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat
maksiat di dalam safar.”
Pendapat yang
paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah kepada makna
kedua dalam ayat tersebut.
Yang dimaksud
dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan di situ adalah melawan kondisi darurat
(sehingga tidak diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red).
Sedangkan di
dalam kondisi membangkang terhadap imam (pemimpin), dalam kondisi safar yang
diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan bangkai).
Contoh lainnya adalah firmanNya:
﴿وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ﴾
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur (jimak)
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang memegang ikatan
nikah.” (QS. Al-Baqoroh: 237)[2]
‘Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Makna orang memegang ikatan
nikah adalah suami.” Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Maknanya
adalah wali.”
Pendapat yang
kuat adalah pendapat pertama (suami) sebab maknanya menunjukkan ke arah itu,
juga karena telah diriwayatkan sebuah hadits dari Nabi mengenainya.
4. Penerjemahan Al-Qur'an
Terjemah secara bahasa,
dipakai untuk beberapa arti yang semuanya kembali kepada arti menjelaskan. Dan secara istilah, terjemah
adalah mengungkapkan perkataan dengan bahasa lain. Terjemah Al-Qur’an adalah
mengungkapkan makna-makna Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa lain.
Terjemah ada dua macam, yaitu:
Pertama: terjemah harfiyah, yaitu menerjemahkan kata
per kata. Kedua: terjemah maknawiyah atau tafsiriyah, yaitu
mengungkapkan makna perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain tanpa
memperhatikan (terikat) mufrodat (kosa-kata)
dan susunan kalimatnya.
Contohnya adalah firman Allah yang
berbunyi:
﴿إِنَّا
جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ﴾
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf [43]: 3)
Maka terjemahan
harfiyahnya adalah dengan cara menerjemahkan kata perkata di dalam ayat ini, menjadi إِنَّا, kemudian جَعَلْنَاهُ, kemudian قُرْآناً, kemudian عَرَبِيّاً, dan
seterusnya.
Adapun terjemah
maknawiyyahnya adalah dengan menerjemahkan makna ayat secara keseluruhan tanpa
memperhatikan arti tiap kata dan susunannya. Penerjemahan semacam ini lebih dekat
kepada makna tafsir ijmali (umum).
Hukum Terjemah Al-Qur’an
Menurut jumhur
ulama terjemah Al-Qur’an secara harfiyah adalah sesuatu yang mustahil
secara kenyataan dan haram secara syar’i. Sebab, dalam metode menerjemahkan
disyaratkan beberapa syarat yang tidak bisa terpenuhi dengan terjemah
harfiyyah, diantaranya:
(1)
Harus ada kesesuaian antara kosa-kata bahasa asli dengan bahasa terjemahan.
(2)
Harus ada kesesuaian antar perangkat-perangkat makna antara bahasa yang
akan diterjemahkan (bahasa aslinya) dengan bahasa terjemahannya.
(3)
Harus adanya kemiripan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan dalam
hal susunan kata dalam susunan kalimat, sifat, dan idhofah (gabungan
kata). Berkata sebagian ulama: “Terjemah harfiyah ini dapat diterapkan pada
sebagian ayat atau semisalnya. Akan tetapi meski demikian tetap diharamkan,
karena terjemah harfiyah itu tidak mungkin dapat mengungkapkan makna secara
sempurna dan tidak bisa memberi pengaruh jiwa seperti pengaruh Al-Qur’an yang
jelas (yang berbahasa Arab), dan tidak ada hal yang mendesak untuk menggunakan
terjemah secara harfiyah, karena sudah cukup dengan terjemah secara maknawiyah.
Berdasarkan
uraian di atas, meskipun dirasa memungkinkan menggunakan terjemah harfiyah
pada sebagian kata, namun hal itu tetap juga terlarang secara syar’i, kecuali
untuk menerjemahkan suatu kata yang khusus dengan bahasa orang yang diajak
bicara supaya dia memahaminya, tanpa menerjemahkan seluruh susunannya, maka hal
ini diperbolehkan.
Adapun
menerjemahkan Al-Qur’an secara maknawiyah, maka hal itu diperbolehkan, karena
tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal tersebut. Dan terkadang hal itu
justru menjadi wajib ketika menjadi perantara untuk menyampaikan Al-Qur’an dan
Islam kepada orang-orang yang tidak bisa berbahasa Arab, karena menyampaikan hal
itu adalah wajib, dan segala sesuatu yang tidak akan menjadi sempurna kecuali
dengannya, maka ia menjadi wajib hukumnya.
Akan tetapi kebolehan
terjemah Al-Qur’an maknawiyah dengan beberapa syarat berikut:
1.
Tidak menjadikan terjemahan maknawiyah tersebut sebagai pengganti dari
Al-Qur’an, sehingga merasa cukup dengan terjemah maknawiyah saja, tanpa merasa
butuh lagi kepada Al-Qur’an. Oleh karena itu Al-Qur’an harus ditulis dengan
bahasa Arab, kemudian meletakkan terjemahan tersebut di sampingnya, sehingga
kedudukannya seperti tafsir bagi ayat Al-Qur’an.
2.
Orang yang menerjemahkan harus benar-benar menguasai kedua bahasa tersebut,
yaitu bahasa asli dan bahasa terjemahan, dan apa yang dikehendaki dari kedua
bahasa tersebut sesuai bentuk kalimat.
3.
Orang yang menerjemahkan harus benar-benar mengetahui makna-makna lafazh
syar’i dalam Al-Qur’an. Terjemah Al-Qur’an tidak diterima kecuali dari
orang-orang yang dapat dipercaya untuk melakukannya, yaitu seorang Muslim yang
istiqomah di dalam agamanya.
5. Para Ahli Tafsir Terkenal dari Kalangan Sahabat
Beberapa Sahabat
dikenal sebagai ahli tafsir, di antaranya –sebagaimana yang disebutkan As-Suyuthi–
adalah empat khalifah Islam: Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar Bin Khattab, ‘Utsman
Bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Hanya saja riwayat mengenai tiga orang
pertama (selain ‘Ali) tidaklah terlalu banyak karena kesibukan mereka mengurusi
pemerintahan (kekhalifahan), di samping masih belum diperlukan adanya riwayat
mengenai hal itu karena begitu banyaknya kalangan para Sahabat yang memahami
tafsir.
Di antara kalangan para Sahabat yang
dikenal sebagai ahli tafsir juga adalah ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin
‘Abbas.
Berikut ini riwayat
hidup singkat ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah
bin ‘Abbas.
‘Ali bin Abi Thalib
Beliau adalah
anak paman Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (sepupunya) dan
suami dari putrinya, Fathimah, alias menantunya serta orang yang pertama-tama
beriman dari kalangan keluarga dekatnya. Ia lebih dikenal dengan nama ini
sedangkan Kun-yah (sapaan) nya adalah Abu Al-Hasan
dan Abu Turob. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum
diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi, terdidik di
pangkuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengikuti semua peperangan Rosulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pemegang panji di sebagian besar peperangan serta tidak pernah ketinggalan
kecuali pada perang Tabuk karena diminta Nabi tinggal untuk menjaga keluarga
beliau. Ketika itu, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata
kepadanya:
«أَلاَ تَرْضَى أَنْ
تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي»
“Tidakkah engkau rela kedudukanmu
bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi
setelahku.”
Keutamaannya
banyak sekali diriwayatkan, tidak seperti para Sahabat lainnya. Dua kelompok celaka karena salah
dalam menyikapi Ali, yaitu: (1) kelompok An-Nawaashib yang menancapkan permusuhan terhadapnya dan
berusaha menyembunyikan sama sekali keutamaannya, dab (2)
kaum Rafidhah (Syiah)
yang berlebih-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya dan mengarang-ngarang keutamaan Ali yang tidak
semestinya bahkan bila direnungi, justru banyak
cacatnya (tidak benar).
Beliau Radhiyallahu ‘Anhu
terkenal sebagai seorang yang pemberani dan pintar, berilmu dan suci hatinya.
Maka, tidak heran bila ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu berharap agar jangan sampai menghadapi permasalahan pelik tanpa melibatkan Abu Hasan.
Para Ahli Nahwu mengungkapkannya dengan istilah, “Masalah yang tanpa Abu
Hasannya.”
Diriwayatkan
dari ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya dia pernah berkata:
سَلُونِي سَلُونِي وَسَلُونِي
عَنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، فَوَاللَّهِ مَا مِنْ آيَةٍ إِلَّا وَأَنَا أَعْلَمُ
أُنْزِلَتْ بِلَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ.
“Tanyakan
kepadaku, tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku tentang Kitabullah. Demi Allah,
tidak satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah diturunkan pada malam atau
siang hari.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘Anhu berkata, “Bila ada riwayat dari periwayat yang dapat dipercaya yang
meriwayatkan dari ‘Ali, maka kami tidak akan mengambil yang lainnya.”
Diriwayatkan juga darinya (Ibnu ‘Abbas) bahwasanya dia berkata, “Apa yang aku
ambil dari tafsir Al-Qur’an, maka pastilah ia dari ‘Ali bin Abi Thalib. Ia salah
seorang dari anggota dewan syuro yang dinominasikan ‘Umar guna menunjuk
khalifah. ‘Abdurrahman menawarkan jabatan itu kepadanya namun ia menolaknya
kecuali dengan syarat-syarat yang sebagiannya tidak dapat diterimanya, kemudian
dia (‘Abdurrahman bin ‘Auf) membai’at ‘Utsman, kemudian ‘Ali dan orang-orang
pun membai’atnya. Sepeninggal ‘Utsman, Ali dibai’at untuk menjabat sebagai khalifah hingga terbunuh
sebagai syahid di Kufah pada malam 17 Ramadlan tahun 40 H.
‘Abdullah bin Mas’ud
Beliau adalah
‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Hadzali sedangkan ibunya Ummu ‘Abd yang
terkadang nasab beliau dinisbatkan kepadanya.[3]
Ia
merupakan salah seorang dari orang-orang yang masuk Islam terdahulu, berhijrah
dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya. Ia
mengambil Al-Qur’an dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebanyak
tujuh puluh-an surat. Pada permulaan Islam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah berkata kepadanya:
«إِنَّكَ لَغُلَامٌ
مُعَلِّمٌ»
“Sesungguhnya engkau adalah si anak
yang (berpredikat) pengajar.” (HR. Ahmad no. 462)
Beliau juga bersabda:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَقْرَأَ القُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ
عَبْدٍ»
“Barangsiapa yang ingin membaca
Al-Qur’an dalam kondisi masih segar sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai
bacaan Ibnu Ummu ‘Abd.” (HR. Ibnu Majah no. 138)
Di dalam Shahih Al-Bukhari
disebutkan bahwa bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Para Sahabat Rosulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengetahui bahwa aku adalah orang
yang paling mengetahui mengenai Kitabullah di kalangan mereka.” Dalam momen
yang lain, ia berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah
selainNya, tidaklah satu surat pun dari Kitabullah yang diturunkan melainkan
aku mengetahui di mana ia diturunkan, dan tidaklah satu ayat dari Kitabullah
yang diturunkan melainkan aku mengetahui pada siapa ia turun. Seandainya aku
mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai Kitabullah yang
bisa dicapai dengan onta (kendaraan), maka pasti aku akan berangkat ke sana.” Ia termasuk
Orang yang mengabdi kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang
memasangkan kedua sandalnya, mengambilkan air untuk wudhunya
dan mengambilkan bantal untuk tidurnya. Sampai-sampai Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Saat aku datang bersama saudaraku dari
Yaman, kami tinggal beberapa waktu di Madinah. Dalam masa
itu, kami menyangka ‘Abdullah sebagai anggota keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
karena kami melihat betapa seringnya ia dan ibunya menemui Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.”
Dia begitu lama mendampingi
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hingga membuatnya begitu terpengaruh
dengan petunjuk beliau. Hudzaifah berkata mengenainya, “Aku tidak mengenal
seorang pun yang lebih dekat petunjuk dan sifatnya dengan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam selain Ibnu Ummu ‘Abd (Ibnu Mas’ud).”
Ia pernah diutus ‘Umar bin Al-Khaththab ke Kufah untuk mengajarkan urusan agama kepada
penduduknya dan mengutus ‘Ammar bin Yasir sebagai Amirnya. ‘Umar mengomentari, “Sesungguhnya
keduanya termasuk orang-orang cerdas di kalangan Sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, karena itu ikutilah mereka berdua.”
Kemudian ‘Utsman mengangkatnya jadi Amir di Kufah, lalu mencopotnya dan
memeritahkannya agar kembali ke Madinah. Di Madinah ia
wafat pada tahun 32 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’ dalam usia 70-an tahun.
‘Abdullah bin
‘Abbas
Dia adalah anak
paman (sepupu) Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lahir tiga
tahun sebelum hijrah. Dia hidup bersama Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan mendampinginya karena ia adalah anak pamannya
(sepupunya), sedangkan bibinya, Maimunah, merupakan istri Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Rosulullah pernah merengkuhnya ke
dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarilah ia Al-Hikmah.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “Al-Kitab (Al-Qur’an).” Beliau juga mendoakannya ketika menyiapkan air wudhu untuk beliau, “Ya
Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.” Berkat doa yang diberkahi
ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’ nya Umat (lautan ilmu) di dalam
menyebarkan tafsir dan fiqih. Allah menganugrahinya taufiq giat mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh di dalam
menuntutnya serta bersabar di dalam menerimanya. Dengan begitu, ia meraih
kedudukan yang tinggi sampai-sampai Amirul Mukminin, ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu mengundangnya ke
majlis-majlisnya dan mengambil pendapatnya. Orang-orang Muhajirin berkata
(kepada ‘Umar), “Tidakkah engkau undang anak-anak kami sebagaimana engkau
undang Ibnu ‘Abbas?” Maka ia menjawab, “Dia itu
pemuda yang menginjak dewasa, yang memiliki lisan yang banyak bertanya dan hati
yang banyak akalnya.” Pada suatu hari, ‘Umar mengundang mereka, lalu tak berapa
lama menghadirkan Ibnu ‘Abbas bersama mereka untuk
memperlihatkan kepada mereka kebenaran langkahnya tersebut. ‘Umar berkata, “Apa
pendapat kalian mengenai firman Allah, ‘Bila
telah datang pertolongan Allah dan Penaklukan...” (surat An-Nahsr hingga selesai). Maka, sebagian mereka berkata, “Kita
diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampun kepadaNya bila kita menang.”
Sebagian lagi hanya terdiam saja. Lalu, ‘Umar pun berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Apakah kamu juga berpendapat demikian?”
Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ‘Umar bertanya, “Kalau begitu, apa yang akan kamu
katakan?” Ia menjawab, “Surat itu berkenaan
dengan ajal Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mana Allah
membeitahukan kepadanya bila telah datang pertolonganNya dan penaklukan kota
Mekkah, maka itulah tanda ajalmu (Yakni Rosulullah), karena itu sucikanlah Dia
dengan memuji Rabbmu dan minta ampunlah kepadaNya karena Dia Maha Menerima
taubat.” ‘Umar pun berkata, “Yang aku ketahui memang seperti yang engkau
ketahui itu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sebaik-baik Turjumaan
Al-Qur’an (penerjemah) adalah Ibnu ‘Abbas.
Andaikata ia seusia kami, niscaya tidak seorang pun dari kami yang
menandinginya.” Padahal, Ibnu ‘Abbas hidup
setelahnya (Ibnu Mas’ud) selama 36 tahun kemudian.
Nah, bagaimana pendapat Anda mengenai ilmu
yang diraihnya setelah itu? Ibnu ‘Umar pernah
berkata kepada salah seorang yang bertanya mengenai suatu ayat kepadanya, “Berangkatlah
menuju Ibnu ‘Abbas lalu tanyakanlah kepadanya sebab ia adalah sisa
Sahabat yang masih hidup yang paling mengetahui wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” ‘Atha` berkata, “Aku tidak pernah
melihat sekali pun ada suatu majlis yang lebih mulia dari majlis Ibnu ‘Abbas dari sisi fiqih, demikian juga yang paling agung
dari sisi wibawanya. Sesungguhnya para ahli fiqih berada di sisinya, para ahli
Qur’an berada di sisinya dan para ahli sya’ir juga berada di sisinya. Ia
menimbakan untuk mereka semua dari lembah yang luas.” (maksudnya mengajarkan
ilmu yang banyak-red) Abu Wa`il berkata, “Saat Ibnu
‘Abbas menjadi Amir haji atas perintah khalifah ‘Utsman, pernah ia berpidato
kepada kami dengan membuka surat An-Nur; ia
membaca dan menafsirkannya. Selama ia begitu, aku pun bertutur pada diriku,
‘Aku tidak pernah melihat atau pun mendengar ucapan seseorang sepertinya.
Andaikata didengar oleh orang-orang Persia, Romawi dan Turki, pastilah mereka
semua masuk Islam.” Saat ia diangkat jadi amir
haji tersebut oleh khalifah ‘Utsman itu adalah tahun 35 H, lalu diangkat jadi
penguasa di Bashrah oleh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib
namun tatkala ia (‘Ali) meninggal karena terbunuh, ia
pulang ke Hijaz (kawasan Makkah-Madinah), dan bermukim di Makkah kemudian
keluar dari sana menuju Tha`if dan wafat di sana pada tahun 68 H dalam usia 71
tahun.
6. Ahli Tafsir yang Terkenal dari Kalangan Tabi’in
Ahli Tafsir yang
terkenal dari kalangan Tabi’in begitu banyak, diantaranya:
(1)
Penduduk Makkah, mereka adalah pengikut Abdullah bin Abbas, seperti
Mujahid, Ikrimah, dan Atho bin Abi Robah.
(2)
Penduduk Madinah, mereka adalah pengikut Ubay bin Kaab, seperti Zaid bin
Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Kaab Al-Qurozhi.
(3)
Penduduk Kufah, mereka adalah pengikut Abdullah bin Mas’ud seperti Qotadah,
Alqomah, dan Asy-Sya’bi.
Kita sebutkan
biografi dua tokoh dari mereka yaitu Mujahid dan Qotadah.
Mujahid
Dia bernama
lengkap Mujahid bin Jabr Al-Makki budak yang dimerdekakan As-Saib bin Abi Saib
Al-Makhzumi. Lahir pada tahun 21 H. Mengambil Tafsir dari Ibnu Abbas. Ibnu
Ishaq meriwayatkan darinya bahwa Mujahid berkata:
عَرَضْتُ المُصْحَفَ عَلَى ابْنِ
عَبَّاسٍ ثَلَاثَ عَرَضَاتٍ مِنْ فَاتِحَتِهِ إِلَى خَاتِمَتِهِ أُوقِفُهُ عِنْدَ كُلِّ
آيَةٍ وَأَسْأَلُهُ عَنْهَا
“Aku pernah
memaparkan mushaf kepada Ibnu Abbas tiga kali dari awal Surat hingga akhir, dan
aku berhenti di setiap ayat dan bertanya kepadanya.”
Sufyan
Ats-Tsauri berkata: “Jika datang Tafsir dari Mujahid maka itu sudah
mencukupimu.
Asy-Syafii dan
Al-Bukhari memegang teguh tafsirnya, dan Al-Bukhari menjadikannya nukilan
terbanyak dalam kitab Shahihnya.
Adz-Dzahabi
berkata di akhir biografi Mujahid, “Umat telah sepakat akan keimaman Mujahid
dan berhujjah dengannya. Dia wafat di Makkah ketika sujud tahun 104 H dalam
usia 83 tahun.”
Qotadah
Dia bernama
lengkap Qotadah bin Du’amah As-Sadusi Al-Bashri dilahirkan buta pada tahun 61
H. Dia bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan memiliki kekuatan hafalan
yang luar biasa hingga ia sendiri berkata, “Aku tidak pernah sekalipun berkata
kepada ahli hadits: tolong ulangi untukku. Kedua telingaku tidaklah mendengar
apapun melainkan pasti dihafal qolbuku.”
Imam Ahmad
menyebutnya panjang lebar dan menyebar ilmunya, fiqihnya, dan pengetahuannya
dalam khilaf dan Tafsir, juga mensifatinya dengan hafalan dan fiqih yang
mendalam. Tidak mendengar apapun melaikan dia hafal. Dia wafat di Washith tahun
117 H dalam usia 56 tahun.
7. Muhkam dan Mutasyabih
Jenis pertama: muhkam umum, yaitu semua isi
Al-Qur’an adalah muhkam, seperti firman Allah:
﴿كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ
خَبِيرٍ﴾
“Kitab yang muhkam ayat-ayatnya, kemudian diperinci dari sisi yang
Mahabijaksana dan Maha Mengetahui.” (QS. Hud [11]:
1)
﴿الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ﴾
“Alif, lam, roo. Itulah ayat-ayat Al-Kitab yang muhkam.” (QS. Yunus [10]: 1)
﴿وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ﴾
“Sesungguhnya ia di Ummul Kitab (Lauhul Mahfuzh) di sisi kami benar-benar
tinggi dan muhkam.” (QS. Az-Zukhruf: 4)
Makna muhkam
di sini adalah kokoh dan indah lafazh dan maknanya dalam puncak kefasihan dan
balaghoh. Kabar-kabar di dalamnya benar lagi bermanfaat, tanpa ada kedustaan,
tanpa ada pertentangan, tanpa ucapan sia-sia yang tidak ada kebaikannya,
sementara hukum-hukumnya seluruhnya adil, tanpa ada kezhaliman dan hukum yang
rendah.
Jenis kedua: mutasyabih umum, yaitu semua isi
Al-Qur’an mutasyabih, seperti firman Allah:
﴿اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُتَشَابِهاً مَثَانِيَ
تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ
وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ﴾
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang mutasyabih
lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah.” (QS. Az-Zumar [39]: 23)
Makna mutasyabih
(serupa) di sini adalah masing-masing isi Al-Qur’an serupa satu sama lain dalam
kesempurnaan, keindahan, dan tujuan yang mulia.
﴿وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا
كَثِيرًا﴾
“Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa [4]: 82)
Jenis ketiga: muhkam khusus di sebagian dan mutasyabih
khusus di sebagian, seperti firman Allah:
﴿هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ﴾
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu
dari isi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron
[3]: 7)
Makna muhkam
di sini adalah makna ayat begitu jelas tanpa tersamar, seperti firman Allah:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا﴾
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurot
[49]: 13)
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 21)
﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ﴾
“Allah menghalalkan jual-beli.” (QS. Al-Baqaroh:
275)
﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ﴾
“Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan apa yang
disembelih untuk selain Allah.” (QS. Al-Maidah
[5]: 3)
Contoh-contoh lainnya
begitu banyak.
Adapun makna mutasyabih
di sini adalah tersamarnya makna ayat sehingga ia membayangkan apa yang tidak
pantas bagi Allah, KitabNya, RosulNya, tetapi orang yang dalam ilmunya mampu
memahaminya, berbeda dengannya.
Contoh yang
berkaitan dengan Allah, seseorang salah memahami firman Allah:
﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ﴾
“Bahkan kedua TanganNya terbentang.” (QS. Al-Maidah [5]: 64) dengan memahami Tangan Allah mirip tangan makhluk.
Contoh yang
berkaitan dengan Kitabullah, ia memahami ada pertentangan di Al-Qur’an sehingga
ia mendustakan sebagai ayat, seperti firman Allah:
﴿مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ
سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ﴾
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa [4]: 79)
Dengan firman
Allah:
﴿وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ﴾
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: ‘Ini adalah dari
sisi Allah,’ dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: ‘Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).’ Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari
sisi Allah.” (QS. An-Nisa [4]: 79)
Contoh yang
berkaitan dengan RosulNya, seseorang salah paham dalam firman Allah:
﴿فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ
يَقْرَأُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ
مِنَ الْمُمْتَرِينَ﴾
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami
turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab
sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab
itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.” (QS. Yunus [10]: 94)
Yang nampak dari
ayat bahwa awalnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ragu terhadap
wahyu yang diturunkan kepadanya.
Perbedaan Sikap Orang yang dalam ilmunya dan Orang
yang Menyimpang dalam Ayat Mutasyabih
Sikap kedua
kelompok ini sudah dijelaskan Allah. Tentang kelompok yang menyimpang, Allah
berfirman:
﴿فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ
مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ﴾
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah
dan untuk mencari-cari takwilnya.”
Tentang kelompok
yang dalam ilmunya, Allah berfirman:
﴿وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ
عِنْدِ رَبِّنَا﴾
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami.”
Orang-orang yang
menyimpang menjadikan ayat-ayat mutasyabihat sebagai sarana menghujat
Al-Qur’an, menimbulkan fitnah di tengah manusia, dan mentakwil maknanya bukan
menurut apa yang dikehendaki Allah, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Adapun
orang-orang yang dalam ilmunya, mereka beriman bahwa semua yang datang di
Kitabullah adalah benar tanpa ada pertentangan, karena semuanya berasal dari
Allah.
﴿وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً
كَثِيراً﴾
“Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa [4]: 82)
Dan apa yang
nampak mutasyabih maka dikembalikan kepada muhkam sehingga
menjadi muhkam.
Di contoh
pertama, mereka berkata: Allah memiliki dua Tangan hakiki sesuai dengan
keagungan dan kemuliaanNya, tidak serupa tangan-tangan makhluk, sebagaimana ia
memiliki Dzat yang tidak serupa dengan dzat makhluk. Sebab, Allah berfirman:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾
“Tidak ada apapun yang serupa denganNya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy-Syuro [42]: 11)
Mereka
mengatakan dalam contoh kedua: Kebaikan dan keburukan keduanya terjadi dengan
takdir Allah, tetapi kebaikan sebabnya adalah karunia Allah, sementara
keburukan sebabnya adalah perbuatan hamba, seperti dalam firman Allah:
﴿وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو
عَنْ كَثِيرٍ﴾
“Musibah apapun yang menimpamu maka itu karena ulah tangan (dosa) kalian,
dan Dia mengampuni banyak (dosa).” (QS. Shuro
[42]: 30)
Disandarkannya
keburukan kepada hamba adalah menyandarkan sesuatu kepada sebabnya, bukan
menyandarkan kepada Pencipta takdir. Adapun penyandaran kebaikan dan keburukan
kepada Allah adalah penyandaran sesuatu kepada pecipta takdir. Dari sini,
hilanglah kesalahpahaman dalam memahami dua ayat yang nampak bertentangan
tersebut.
Mereka berkata
dalam contoh ketiga: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ragu sedikitpun
terhadap apa yang diwahyukan kepadanya, bahkan beliau orang yang paling berilmu
di antara manusia, dan paling kuat yakinnya. Allah berfirman dalam ayat yang
sama:
﴿قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلا
أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴾
“Katakanlah: ‘Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang
agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah,
tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah
supaya termasuk orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 104)
Maknanya, jika
kamu ragu terhadapNya, aku tetap yakin, oleh karena itu aku tidak akan
menyembah apa yang kalian sembah selainNya, bahkan aku mengingkarinya, dan
hanya menyembah Allah.
Firman Allah, “Jika
kamu ragu terhadap apa yang Kami wahyukan kepadamu,” tidak melazimkan sifat
ragu disematkan kepada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tidakkah kamu melihat firman Allah:
﴿قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ﴾
“Katakanlah: Jika Ar-Rohman memiliki anak maka aku menjadi orang pertama
yang menyembahnya.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 81)
Apakah ayat ini
melazimkan Allah memiliki anak atau memang sudah punya? Sekali-kali tidak, dan
tidak patut bagi Allah, sebagaiman firmanNya:
﴿وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً * إِنْ كُلُّ
مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً﴾
“Tidak patut bagi Ar-Rohman mengambil anak. Setiap yang di langit dan bumi
pasti mendatangi Ar-Rohman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19]: 92-93)
Firman Allah, “Dan
jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” tidak melazimkan
keraguan terjadi pada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena
larangan kepada sesuatu terkadang ditujukan kepada pihak yang tidak
malakukannya, seperti firman Allah:
﴿وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ
وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan)
ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka
kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-Qoshos
[28]: 87)
Sudah diketahui
bahwa mereka tidak menghalangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari
menyampaikan ayat-ayat Allah, dan tidak pula beliau terjatuh kepada kesyirikan.
Tujuan larangan yang ditunjukan kepada pihak yang tidak melakukannya adalah
untuk mencela orang yang melakukannya dan memperingatkan manusia dari keburukan
mereka. Dari sini, maka hilanglah kesamaran dan sangkaan yang tidak layak
ditujukan kepada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jenis Mutasyabih di Al-Qur’an
Mutasyabih di Al-Qur’an ada dua jenis:
Pertama: hakiki, yaitu apa yang tidak diketahui
hakikatnya oleh seorang pun, seperti hakikat sifat Allah Azza wa Jalla.
Meskipun kita mengetahui makna sifat-sifat ini, tetapi kita tidak mengetahui
hakikatnya dan kaifiyahnya, karena Allah berfirman:
﴿وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً﴾
“Dan mereka tidak bisa menjangkauNya.”
(QS. Thoha [20]: 110)
Dan firman
Allah:
﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴾
“Pandangan-pandangan tidak bisa menjangkauNya dan Dia menjangkau semua
pandangan, dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am [6]: 103)
Ketika Imam
Malik ditanya tentang firman Allah, “Ar-Rohman tinggi di atas Arsy,”
bagaimana tingginya Allah? Maka beliau menjawab:
الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ،
وَالكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ.
“Istiwa
(tinggi/bersemayam) sudah maklum, kaifiyahnya tidak diketahui, iman kepadanya
wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Jenis ini tidak
boleh ditanyakan tentang hakikatnya karena tidak mampunya akal menjangkaunya.
Jenis kedua: nisbi, yaitu apa yang tersamar bagi
sebagian orang tetapi bukan sebagian yang lain. Perkara tersebut menjadi jelas
bagi orang-orang yang mendalam ilmunya, bukan selainnya. Jenis ini boleh
ditanyakan untuk memperjelas perkaranya, karena memungkinkannya dijangkau.
Tidak ditemukan di Al-Qur’an sesuatu yang tidak jelas maknanya bagi manusia.
Allah berfirman:
﴿هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ﴾
“Ini adalah bayan (jelas) bagi manusia, sebagai petunjuk dan nasihat bagi
orang-orang bertakwa.” (QS. Ali Imron
[3]: 138)
﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ﴾
“Dan sungguh Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu yang jelas bagi segala
sesuatu.” (QS. An-Nahl [16]: 89)
﴿فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا
بَيَانَهُ﴾
“Apabila Kami membacakannya kepadamu maka ikutilah bacaan tersebut.
Kemudian menjadi tanggungan Kami menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah: 18)
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكُمْ نُوراً مُبِيناً﴾
“Wahai manusia, telah datang kepada kalian burhan dari Rabb kalian dan Kami
turunkan kepada kalian cahaya yang jelas.” (QS. An-Nisa [4]: 174)
Contoh jenis ini
begitu banyak, di antaranya:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾
“Tidak ada apapun yang serupa denganNya.” (QS. Asy-Syuro [42]: 11)
Dimana ayat ini
tersamar bagi ahli ta’thil[5],
mereka memahami dari ayat itu ditiadakannya sifat dari Allah Ta’ala
karena mereka menyangka jika menetapkannya berarti mengharuskan menyerupakan
Allah. Mereka berpaling dari banyak ayat yang menunjukkan penetapan sifat, dan
menetapkan asal makna tidak mengharuskan menyerupakannya.
Contohnya lagi
adalah firman Allah:
﴿وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً
فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً﴾
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa [4]: 93)
Dimana ayat ini
tersamar bagi kaum Wa’idiyah, mereka memahami bahwa orang yang membunuh Mukmin
dengan sengaja akan kekal di Neraka selamanya dan mereka menerapkan konsep ini
kepada semua pelaku dosa besar. Mereka berpaling dari ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa setiap dosa yang dibawah syirik berada di bawah kehendak
Allah.
Contoh lainnya
adalah firman Allah:
﴿أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi? Yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab
(Lauhul Mahfuz) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj [22]: 70)
Ayat ini
tersamar bagi kaum Jabariyah, di mana mereka memahami bahwa hamba dipaksa dalam
berbuat, dan menyangka bahwa ia tidak memiliki kehendak dan kemampuan, dan
mereka berpaling dari ayat-ayat yang menunjukkan bahwa hamba memiliki kehendak
dan kemampuan, dan bahwasanya perbuatan hamba ada dua, ikhtiyari dan bukan
ikhtiyari.
Adapun
orang-orang yang mendalam ilmunya adalah orang-orang yang berakal, mereka tahu
bagaimana mengeluarkan ayat-ayat mutasyabih ini kepada makna yang
dikaitkan dengan ayat lainnya sehingga semua isi Al-Qur’an menjadi muhkam,
tidak lagi mutasyabih.
Hikmah Beragamnya Al-Qur’an dalam Muhkam
dan Mutasyabih
Seandainya
seluruh isi Al-Qur’an muhkam, tentu hilang hikmah ujian berupa
membenarkan dan mengamalkannya karena maknanya sudah jelas, tidak adanya celah
menyimpangkan maknanya, mencari-cari
fitnah dan mencari-cari takwil.
Sebaliknya,
seandainya seluruh isi Al-Qur’an mutasyabih, tentu hilang keberadaanya
sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia, tidak memungkinkan diamalkan dan
dibangunnya akidah shahih di atasnya.
Akan tetapi,
dengan hikmahNya, dijadikannya sebagian Al-Qur’an muhkam yang menjadi
rujukan mutasyabih, dan ayat lainnya mutasyabih sebagai ujian
bagi para hamba, agar nampak siapa yang jujur imannya dari yang menyimpang
qolbunya. Sebab, orang yang jujur dalam keimanan akan mengetahui bahwa seluruh
Al-Qur’an berasal dari sisi Allah, dan segala yang dari Allah adalah haq, dan
tidak pantas ada kebatilan atau pertentangan, berdasarkan firmanNya:
﴿لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ﴾
“Tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun belakangnya, diturunkan
dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat [41]: 42)
﴿لَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافاً
كَثِيراً﴾
Adapun
orang-orang yang di qolbunya ada zaigh (penyakit), mereka mengambil mutasyabih
sebagai jalan untuk menyimpangkan ayat muhkam, dan mengikuti hawa nafsu
untuk membuat ragu kabar-kabar dan angkuh terhadap yang muhkam. Oleh
karena itu, kamu mendapati kebanyakan para penyimpang dalam akidah dan amal,
mereka berhujjah dengan ayat-ayat mutasyabih tersebut.
8. Kesan Bertentangan dalam Al-Qur’an
Pertentangan
dalam Al-Qur’an, maksudnya dua ayat yang terkesan saling bertolak-belakang
dimana masing-masing madlul (yang terpahami dari ayat) saling bertolak,
seperti salah satunya menetapkan sementara yang satunya lagi menafikan.
Mustahil terjadi
pertentangan madlul di antara dua ayat, karena akan berakibat ada ayat
yang dusta (keliru), dan ini mustahil terjadi pada kabar-kabar dari Allah.
Allah berfirman:
﴿وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثاً﴾
“Siapakah yang lebih benar ucapannya melebihi Allah?” (QS. An-Nisa [4]: 87)
﴿وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلاً﴾
“Siapakah yang lebih benar ucapannya melebihi Allah?” (QS. An-Nisa [4]: 112)
Mustahil pula
terjadi pertentangan di antara dua ayat secara hukum, karena ayat terakhir
justru menghapus ayat pertama. Allah berfirman:
﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ
مِثْلِهَا﴾
“Ayat yang Kami hapus atau Kami melupakannya (atasmu), niscaya Kami
datangkan dengan yang lebih baik atau semisalnya.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 106)
Jika terjadi naskh
(penghapusan hukum) maka hukum ayat yang datang di awal tidak lagi berlaku dan
tidak bertentangan dengan ayat yang datang belakangan.
Jika kamu
menyangka ada pertentangan maka lakukan jamak (penggabungan dua ayat sehingga
menghasilkan kesimpulan). Jika kamu tidak mampu, maka kamu wajib tawaquf
(berhenti) dan menyerahkan urusan itu kepada yang mengetahuinya.
Para ulama
–semoga Allah merahmati mereka semua- telah menyebutkan banyak contoh ayat-ayat
yang terkesan bertentangan lalu mereka menjelaskan jamak di antara ayat-ayat
tersebut. Di antara kitab terbaik dalam tema ini yang pernah kuketahui adalah
kitab Daf’u Iihaami Al-Idhthiroob ‘an Ayyil Kitaab (Bantahan Terhadap
Sangkaan Ayat-Ayat yang Bertentangan) karya Syaikh Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithi Rahimahullah.
Di antara
contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
﴿هُدًى لِلْمُتَّقِينَ﴾
“Petunjuk bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 2)
Dengan ayat:
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ﴾
“Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)
Hidayah
(petunjuk) Al-Qur’an pada ayat pertama ditujukan khusus untuk orang-orang
bertakwa, sementara pada ayat kedua ditujukan untuk semua manusia. Cara
menjamaknya adalah yang dimaksud hidayah pada ayat pertama adalah hidayah
taufiq (beramal), sementara hidayah pada ayat kedua adalah hidayah irsyad
(ilmu).
Yang serupa
dengan kasus di atas adalah firman Allah:
﴿إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ﴾
“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada siapa yang
kamu cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qoshos [28]: 56)
Dengan ayat:
﴿وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴾
“Kamu benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syuro [42]: 52)
Hidayah yang
pertama adalah hidayah taufiq sementara hidayah pada ayat kedua adalah hidayah
irsyad.
Di antara contoh
lainnya adalah:
﴿شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو
الْعِلْمِ﴾
“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selainNya, begitu
juga (bersaksi) para Malaikat dan orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Ali Imron [3]: 18)
﴿وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّه﴾
“Dan tidak ilah (yang berhak disembah) selain Allah.” (QS. Ali Imron [3]: 62)
Dengan firman
Allah:
﴿فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ﴾
“Janganlah kamu berdoa kepada ilah-ilah lain bersama Allah, yang menjadikan
kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS. Asy-Syuara [26]: 213)
﴿فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ لَمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ﴾
“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan
yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan ilah-ilah (sembahan-sembahan)
itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Hud [11]: 101)
Pada dua ayat
pertama meniadakan ilah-ilah selain Allah, sementara pada dua ayat terakhir
menetapkan ilah-ilah selainNya.
Jamak di antara
ayat-ayat itu adalah ilah khusus bagi Allah adalah ilah yang haq, dan adapun
ilah-ilah yang ditetapkan selainNya adalah ilah-ilah yang bathil, berdasarkan
firmanNya:
﴿ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ
دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ﴾
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah
(Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah,
itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha
Besar.” (QS. Al-Hajj [22]: 62)
Di antara contoh
lainnya adalah firman Allah:
﴿قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ﴾
“Katakanlah: sesungguhnya Allah tidak menyuruh berbuat kekejian.” (QS. Al-Araf [7]: 28)
Dengan ayat:
﴿وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا
فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً﴾
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra
[17]: 16)
Pada ayat
pertama, menafikan Allah memerintahkan kekejian, tetapi pada ayat kedua, nampak
Allah memerintahkan sesuatu yang ada kefasikannya. Cara mengkompromikan
keduanya adalah perintah pada ayat pertama berkaitan dengan perintah syar’i,
yaitu Allah tidak memerintahkan kekejian secara syariat, berdasarkan firmanNya:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ﴾
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl
[16]: 90)
Sementara
perintah pada ayat kedua terkait perintah kauni, yakni Allah memerintah
secara kauni (hukum alam) dengan kehendakNya sesuai hikmah yang
terkandung, berdasarkan firman Allah:
﴿إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ﴾
“Sesungguhnya perintahNya, apabila Dia menginginkan sesuatu, adalah
mengucapkan ‘jadilah’ maka terjadilah itu.” (QS. Yasin [36]: 82)
Siapa yang ingin
contoh lainnya bisa merujuk kepada kitab Syaikh Asy-Syinqithi yang disinggung
di muka.
9. Sumpah
Sumpah (Qosam)
adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut yang diagungkan dengan wawu
atau perangkat lainnya. Perangkat sumpah ada tiga:
Wawu (و) seperti
firman Allah:
﴿فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ﴾
“Demi Rabb langit dan bumi, ia benar-benar haq.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 23)
Amil (ucapan uqsimu “aku
bersumpah”) yang menyertainya dibuang secara wajib, dan setelah sumpah harus
berupa isim zhohir (bukan dhomir/kata ganti).
Ba (ب), seperti firman Allah:
﴿لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ﴾
“Sungguh Aku bersumpah dengan hari Kiamat.” (QS. Al-Qiyamah: 1)
Boleh pula
menyebut amil seperti pada ayat di atas, boleh pula membuangnya seperti pada
firman Allah:
﴿قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ﴾
“Dia berkata: demi kemuliaanMu, aku benar-benar akan menyesatkan mereka
semua.” (QS. Shod: 82)
Boleh juga
berupa isim zhohir sebagaimana contoh di atas, atau pun berupa dhomir
(kata ganti) seperti ucapanmu:
اللَّهُ رَبِّي، وَبِهِ أَحْلِفُ
لَيَنْصُرَنَّ المُؤْمِنِينَ
“Allah adalah
Rabb-ku, dan demi Dia, aku bersumpah Dia benar-benar akan menolong orang-orang
beriman.”
Ta (ت), seperti firman Allah:
﴿تَاللَّهِ لَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُونَ﴾
“Demi Allah, kalian benar-benar akan ditanya akan kedustaan kalian.” (QS. Nahl [16]: 56)
Amil yang
menyertainya wajib dibuang, dan isim yang datang setelah sumpah harus nama
Allah atau Rabb, seperti:
تَرَبِّ الْكَعْبَةِ لَأَحُجَّنَّ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Demi Rabb
Ka’bah, aku benar-benar akan haji in syaa Allah.”
Pada dasarnya muqsam
bih (yang disumpah dengannya yakni Allah) disebutkan dalam sumpah, dan
inilah yang banyak terjadi seperti pada contoh-contoh di atas. Namun, terkadang
dibuang seperti:
أَحْلِفُ عَلَيْكَ لَتَجْتَهِدَنَّ
“Aku bersumpah
atasmu, kamu benar-benar harus sungguh-sungguh.”
Dan terkadang ia
dibuang bersama amilnya (yakni kata “aku bersumpah demi Allah”), seperti
dalam firmanNya:
﴿ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ﴾
“Kemudian, kalian benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang semua
kenikmatan.” (QS. At-Takatsur: 8)
Pada dasarnya muqsam
ilaih (yang dikenai sumpah) disebutkan, dan ini banyak terjadi seperti
firman Allah:
﴿قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ﴾
“Katakanlah: bahkan, demi Rabb-ku, kalian benar-benar akan dibangkitkan.” (QS. Ath-Thaghobun: 7)
Terkadang boleh
dibuang seperti firman Allah:
﴿ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ﴾
“Qof. Demi Al-Qur’an yang mulia.” (QS. Qof: 1)
perkiraan yang terbuang adalah Dia benar-benar akan membinasakan mereka.
Boleh juga ia
dibuang jika didahului atau dikelilingi lafazh lain yang diperlukan. Ini
pendapat Ibnu Hisyam dalam Al-Mughni seperti:
زَيْدٌ قَائِمٌ وَاللَّهِ، وَزَيْدٌ
وَاللَّهِ قَائِمٌ
“Zaid berdiri
demi Allah, atau Zaid –demi Allah- berdiri.”
Sumpah memiliki
dua faidah:
(1)
Menjelaskan keagungan muqsam bih.
(2)
Menjelaskan pentingnya muqsam alaih. Oleh karena itu, sumpah tidak
dilakukan kecuali dalam tiga keadaan:
a) Muqsam alaih sangat penting.
b) Yang diajak bicara orang yang ragu.
c) Yang diajak bicara orang yang mengingkari.
10.
Kisah-Kisah
Kisah secara bahasa
artinya mengikuti jejak. Secara
istilah artinya kabar tentang peristiwa yang memiliki tahapan-tahapan yang
berurutan.
Kisah dalam
Al-Quran adalah kisah paling jujur, berdasarkan firman Allah:
﴿وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثاً﴾
“Dan
siapakah yang lebih jujur daripada Allah ucapannya.” (QS. An-Nisa [4]: 87)
Hal itu
dikarenakan sempurnanya kisah tersebut sesuai realita.
Juga kisah
paling indah, berdasarkan firman Allah:
﴿نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
هَذَا الْقُرْآن﴾
“Kami mengisahkan kepadamu kisah paling indah dengan mewahyukan Al-Quran
ini kepadamu.” (QS. Yusuf [12]: 3)
Hal ini
dikarenakan mengandung tingkatan balaghoh dan makna yang paling
sempurna.
Juga kisah
paling bermanfaat, berdasarkan firman Allah:
﴿لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ﴾
“Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat ibroh bagi orang-orang yang
berakal.” (QS. Yusuf [11]: 111)
Hal ini
dikarenakan kuatnya pengaruh kisah dalam memperbaiki qolbu, perbuatan, dan
akhlak.
Kisah Dibagi Tiga Macam
(1)
Kisah tentang para Nabi dan Rosul, serta orang-orang beriman dan kafir yang
ikut serta dalam kisah.
(2)
Kisah tentang per orangan atau kelompok yang memberi ibroh yang disebutkan
Allah di dalamnya, seperti kisah Maryam, Luqman, seseorang yang melewati daerah
yang roboh hingga atap-atapnya, Dzul Qornain, Qorun, Ashabul Kahfi, pasukan
gajah, pasukan parit, dan semisalnya.
(3)
Kisah tentang peristiwa penting dan orang-orang tertentu di zaman Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, seperti kisah perang Badar, Uhud, Ahzab, Bani Quroizhoh,
Bani Nadhir, Zaid bin Haritsah, Abu
Lahab, dan lain-lain.
Kisah-kisah di
Al-Quran memiliki hikmah yang banyak dan agung, di antaranya:
1) Menjelaskan
hikmah Allah Ta’ala yang terkandung dalam kisah. Allah berfirman:
﴿وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنَ الْأَنْبَاءِ مَا فِيهِ مُزْدَجَرٌ * حِكْمَةٌ
بَالِغَةٌ فَمَا تُغْنِ النُّذُرُ﴾
“Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya
terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmah yang sempurna maka
peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (QS. Al-Qomar [54]: 4-5)
2) Menjelaskan
keadilanNya dengan menyiksa para pendusta, berdasarkan firmanNya tentang para
pendusta:
﴿وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ
عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ لَمَّا جَاءَ
أَمْرُ رَبِّكَ﴾
“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang.
Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan
belaka.” (QS. Hud [11]: 101)
3) Menjelaskan
anugrah yang diberikanNya kepada orang-orang beriman, berdasarkan firmanNya:
﴿إِلَّا آلَ لُوطٍ نَجَّيْنَاهُمْ بِسَحَرٍ * نِعْمَةً مِنْ عِنْدِنَا
كَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ شَكَرَ﴾
“Kecuali keluarga Lut. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar
menyingsing, sebagai nikmat
dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-Qomar [54]: 34-35)
4. Menghibur
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan apa yang menimpa para
pendusta, berdasarkan firmanNya:
﴿وَإِنْ يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ جَاءَتْهُمْ
رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالزُّبُرِ وَبِالْكِتَابِ الْمُنِيرِ * ثُمَّ أَخَذْتُ
الَّذِينَ كَفَرُوا فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ﴾
“Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum
mereka telah mendustakan (Rosul-Rosulnya); kepada mereka telah datang
Rosul-Rosulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, Zubur, dan Kitab yang
memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang
kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (QS. Fathir [35]: 25-26)
5) Menyenangkan
orang-orang beriman dengan menguatkan iman dan menambahnya, tatkala mereka tahu
selamatnya orang-orang beriman terdahulu dan ditolongnya mereka dalam jihad,
berdasarkan firmanNya:
﴿فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي
الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan.
Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya [21]: 88)
﴿وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ رُسُلاً إِلَى قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُمْ
بِالْبَيِّنَاتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ الَّذِينَ أَجْرَمُوا وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا
نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang Rosul
kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan
(yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa.
Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Rum [31]: 47)
6)
Memperingatkan orang-orang kafir yang terus-menerus dalam kekafiran,
berdasarkan firmanNya:
﴿أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا﴾
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga
mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka;
Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan
menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. Muhammad [47]: 10)
7) Menetapkan
risalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kabar-kabar umat
terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah, berdasarkan firmanNya:
﴿تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا
أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ﴾
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula)
kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Hud [11]:
49)
﴿أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ
وَعَادٍ وَثَمُودَ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا اللَّهُ﴾
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh,
'Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka
selain Allah.” (QS. Ibrohim [14]: 9)
Pengulangan Kisah
Di antara kisah
dalam Al-Quran ada yang tidak disebutkan kecuali sekali seperti kisah Luqman,
Ashabul Kahfi. Ada pula yang berulang sesuai dengan kebutuhan dan maslahat, dan
pengulangan ini tidak sama dengan sebelumnya, tetapi berbeda dalam panjang
pendeknya, lembut-kerasnya, dan sebagian rentetan kisah disebutkan di tempat
lain apa yang tidak disebutkan sebelumnya.
Hikmah Pengulangan Ini
(1)
Menjelaskan pentingnya kisah tersebut, karena pengulangan kisah menunjukkan
perhatian terhadapnya.
(2)
Menekankan kisah tersebut agar lebih memantapkan qolbu manusia.
(3)
Memperhatikan zaman dan kondisi yang diajak bicara. Oleh karena itu, kamu
mendapati kisah-kisah di surat Makkiyah umumnya ringkas dan keras, berbeda
dengan Madaniyah.
(4)
Menjelaskan balaghoh Al-Quran dalam mengisahkan kisah-kisah sesuai dengan
situasi dan kondisi.
(5)
Nampaknya kebenaran Al-Quran dan bahwasanya ia benar-benar berasal dari
Allah, dimana kisah ini datang dengan beraneka ragam tanpa ada pertentangan
11.
Isroiliyat
Isroiliyat
adalah kabar-kabar yang dinukil dari Bani Isroil baik Yahudi –dari yang banyak-
atau Nasrani.
Isroiliyat
dibagi tiga:
Pertama: Apa yang diakui Islam dan
dipersaksikan keabsahannya maka ia haq (benar). Contohnya adalah apa yang
diriwayatkan Al-Bukhari dan lainnya dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu
berkata: Pendeta Yahudi datang kepada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam: Wahai Muhammad, kami mendapati di Al-Kitab bahwa Allah kelak akan
meletakkan langit-langit di salah satu jariNya, sementara sisa makhluk lainnya
diletakkan di jari lain seraya berfirman: Aku raja!
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tertawa hingga nampak gigi grahamnya, membenarkan ucapan
si pendeta. Kemudian Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca
firman Allah:
﴿وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ﴾
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari Kiamat dan langit digulung
dengan tangan kananNya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang
mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar
[39]: 67)
Kedua: apa yang diingkari Islam dan
dipersaksikan kedustaannya maka ia batil. Contohnya adalah apa yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu:
Orang-orang Yahudi berkata apabila seseorang menggauli istrinya dari arah depan
maka akan terlahir cacat, lalu turun ayat:
﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ﴾
“Istri-istri kalian adalah ladang kalian. Datangilah ladang kalian dari
mana saja yang kalian sukai.” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 223)
Ketiga: Apa yang tidak ditetapkan Islam dan
tidak pula diingkari, maka wajib tawaqquf (diam). Sebagaimana yang
diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
Ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, dan menerjemahkannya ke bahasa
Arab untuk orang-orang Islam, lalu Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
﴿لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا:
آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ﴾
“Kalian jangan membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakan mereka.
Katakanlah: Aku beriman apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepada kalian.” (QS. Al-Ankabut [29]: 46)
Akan tetapi
menceritakan kabar jenis ini diperbolehkan asal tidak ditakutkan menimbulkan
bahaya, berdasarkan sabda Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«بَلِّغُوا عَنِّي
وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Sampaikan dariku meski satu ayat. Silahkan ceritakan dari Bani Isroil dan
tidak mengapa. Namun, siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka
silahkan menyiapkan tetap duduk di Neraka.” Diriwayatkan Al-Bukhari.
Kebanyakan yang
diriwayatkan dari mereka tidak banyak memberi faidah terhadap agama, seperti
penentuan warna anjing Ashabul Kahfi dan yang semisalnya.
Adapun bertanya
kepada Ahli Kitab tentang perkara agama maka ini haram, berdasarkan apa yang
diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma,
Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَا تَسْأَلُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ، فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوكُمْ، وَقَدْ ضَلُّوا، فَإِنَّكُمْ
إِمَّا أَنْ تُصَدِّقُوا بِبَاطِلٍ، أَوْ تُكَذِّبُوا بِحَقٍّ، فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ
مُوسَى حَيًّا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ، مَا حَلَّ لَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي»
“Kalian jangan bertanya kepada Ahli Kitab tentang apapun, karena mereka
tidak akan memberi kalian petunjuk, justru mereka tersesat. Boleh jadi kalian
membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Seandainya Musa masih hidup
di tengah kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Ahmad no. 387)
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas yang berkata: wahai kaum Muslimin! Bagaimana
kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang apapun sementara Kitab kalian yang
diturunkan kepada Nabi kalian adalah sebaik-baik kabar dari Allah, tidak pernah
usang. Allah sudah mengabarkan kepada kalian bahwa Ahli Kitab sudah mengganti
Kitab Allah, merubahnya, dan menulis salinan lain dengan tangan-tangan mereka,
lalu berkata: ini berasal dari Allah, untuk menjualnya dengan harga yang murah,
ataukah Dia tidak melarang kalian bertanya
kepada mereka, padahal telah datang ilmu kepada kalian? Tidak, demi Allah,
kami benar-benar melihat salah seorang dari mereka bertanya kepada kalian
tentang wahyu yang diturunkan kepada kalian.
Sikap Ulama Terhadap Isroiliyat
Para ulama
terutama ahli tafsir berbeda sikap dalam isroiliyat kepada tiga sikap:
Ø
Di antara mereka ada yang memperbanyak riwayat tersebut dengan mencantumkan
sanad-sanadnya. Mereka berpandangan jika sudah disebut sanadnya maka sudah
bebas dari tanggungjawab, semisal Ibnu Jarir Ath-Thobari.
Ø
Ada pula yang memperbanyak riwayat tersebut tanpa menyebut sanadnya, pada
umumnya. Ia laksana pengumpul kayu bakar di malam hari seperti Al-Baghowi yang
disinggung Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang Tafsirnya: ia ringkasan Tafsir
Ats-Tsa’labi, tetapi mengandung banyak hadits-hadits lemah,
pendapat-pendapat bid’ah. Dia juga berkata tentang Ats-Tsa’labi: Ia adalah
pencari kayu bakar di malam hari yang menukil semua yang ditemui di kitab-kitab
Tafsir tanpa peduli shahih, lemah, dan palsu.
Ø
Di antara mereka ada yang banyak menyebutkannya, dan sebagian mereka
mengomentarinya akan kelemahannya atau mengingkarinya seperti Ibnu Katsir.
Ø
Di antara mereka ada yang sama sangat keras menolaknya dan tidak
mencantumkannya dalam Tafsirnya seperti Muhammad Rasyid Ridho.
12.
Dhomir
Dhomir secara bahasa artinya kurus, karena huruf-hurufnya sedikit,
atau tersembunyi karena banyaknya yang tertutupi.
Secara istilah, dhomir
adalah apa yang digunakan untuk menyebut dengan singkat sesuatu yang nampak
(zhohir). Pengertian lain, apa yang menunjukkan sesuatu yang hadir atau ghoib,
bukan dari dzatnya.
Yang menunjukkan
sesuatu yang hadir ada dua macam:
1.
Mutakkalim (yang bicara) seperti firman Allah:
﴿وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ﴾
“Dan aku serahkan urusanku kepada Allah.” (QS. Ghofir [40]: 44)
2.
Mukhotob (yang diajak bicara), seperti firman Allah:
﴿صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ﴾
“Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat.” (QS. Al-Fatihah [1]: 7)
Dua jenis dhomir
ini tidak membutuhkan rujukan karena keberadaannya yang hadir.
3.
Adapun dhomir ghoib (dia/mereka) adalah yang dibicarakan. Ia harus memiliki
rujukan yang kembali kepadanya.[6]
Pada dasarnya,
rujukan didahului lafazh dhomir dan diikuti dhomir yang sesuai
lafazh dan maknanya, seperti firman Allah:
﴿وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ﴾
“Dan Nuh menyeru Rabb-nya.” (QS. Hud [11]:
45)
Terkadang
rujukannya sudah dipahami dari kata kerja sebelumnya seperti:
﴿اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى﴾
“Adillah, ia lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)[7]
Isim Zhohir di Tempat Dhomir
Pada dasarnya di
tempat dhomir diletakkan dhomir karena hal itu lebih menjelaskan
makna dan meringkas lafazh. Oleh karena itu dhomir mewakili dalam ayat:
﴿أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا﴾
“Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 135) untuk 20 kata yang disebutkan
sebelumnya.
Terkadang di
tempat dhomir diletakkan isim zhohir dan inilah yang disebut al-izhhar
fi maudhiil idzmar (isim zhohir diletakkan di tempat dhomir), yang
memiliki banyak faidah sesuai konteks kalimat. Di antaranya:
(1)
Hukum rujukan sama dengan isim zhohir.
(2)
Menjelaskan alasan hukum.
(3)
Menjadikan hukum tersebut umum untuk setiap yang disifati dalam isim
zhohir.
Contohnya adalah
firman Allah:
﴿مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ
وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ﴾
“Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat-MalaikatNya,
Rosul-RosulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 98) tidak
disebutkan: “maka Allah menjadi musuh baginya.” Maka ayat ini memberikan
faidah:
(1)
Hukum kafir berlaku bagi setiap yang memusuhi Allah, MalaikatNya, Rosulnya, Jibril dan Mikail.
(2)
Allah memusuhi mereka karena kekufuran mereka.
(3)
Setiap orang kafir maka Allah adalah musuh baginya.
Contoh lainnya
adalah firman Allah:
﴿وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ إِنَّا
لَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ﴾
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab serta mendirikan
sholat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-A’raf [7]: 170) dan tidak dikatakan: “Kami tidak menyia-nyiakan
pahala mereka.” Maka ayat ini memberi tiga faidah:
(1)
Orang-orang yang mengadakan perbaikan dihukumi sebagai orang-orang yang
berpegang teguh dengan Al-Kitab serta mendirikan sholat.
(2)
Allah memberi pahala mereka disebabkan perbaikan mereka.
(3)
Setiap orang yang mengadakan perbaikan maka ia mendapat pahala yang tidak
akan disia-siakan di sisi Allah.
Terkadang isim
zhomir harus diperjelas agar menjadi jelas kemana ia merujuk, seperti:
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِلْمُسْلِمِينَ
وُلَاةَ أُمُورِهِمْ وَبِطَانَةَ وُلَاةِ أُمُورِهِمْ
“Ya Allah
perbaiki kaum Muslimin dan pemimpin mereka, dan teman-teman pemimpin mereka.”
Seandainya langsung
disebut: “teman-teman mereka,” akan terkesan yang dimaksud adalah teman-teman
kaum Muslimin.
Dhomir Fashl
Dhomir Fashl (terpisah) adalah dhomir
munfasil yang jatuh di antara mubtada dan khobar yang keduanya makrifat.[8]
Ia bisa berupa dhomir
mutakallim seperti:
﴿إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا﴾
“Sesungguhnya Aku Aku adalah Allah yang tidak ada ilah yang berhak
diibadahi selainKu.” (QS. Thoha
[20]: 14)
﴿وَإِنَّا لَنَحْنُ الصَّافُّونَ﴾
“Dan sesungguhnya kami kami (Malaikat) adalah berbaris-baris.” (QS. Ash-Shoffat [37]: 165)
Terkadang berupa
dhomir mukhotob, seperti:
﴿كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ﴾
“Engkau Engkau adalah Pengawas mereka.” (QS. Al-Maidah [5]: 117)
Terkadang berupa
dhomir ghoib seperti:
﴿وَأُولَئِكَ هُمُ المُفْلِحُونَ﴾
“Dan mereka mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqoroh [2]: )
Faidah dhomir
fashl adalah:
(1)
Penegasan, karena ucapanmu: Zaid dia
saudaramu lebih kuat daripada Zaid saudaramu.
(2)
Pembatasan, yaitu kata setelahnya dikhususkan
dengan sebelumnya, karena ucapan: orang yang bersungguh sungguh dialah
yang sukses, maka memberi faidah mengkhususkan kesuksesan kepada orang yang
bersungguh-sungguh.
(3)
Pemisah, maksudnya memisah dengan khobar
yang jatuh setelahnya, karena kalimat:
زَيْدٌ الفَاضِلُ
Memungkinkan fadhil menjadi sifat Zaid sementara khobarnya menanti, dan
juga memungkinkan fadhil menjadi khobar. Namun, jika kamu mengatakan:
زَيْدٌ هُوَ الفَاضِلُ
Maka pilihannya fadhil menjadi khobar saja, karena adanya dhomir fashl.
13.
Iltifat (Berpindah)
Iltifat adalah perubahan uslub kalam
dari satu dhomir ke dhomir lain. Iltifat ada beberapa
macam:
1) Iltifat dari dhomir ghoib
(kata ganti ke-3) menuju dhomir mukhotob (kata ganti ke-2),
seperti firman Allah:
﴿الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ *
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ * إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Dia menguasai
hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah
[1]: 2-5)
2) Iltifat
dari dhomir mukhotob kepada dhomir ghoib, seperti
firmanNya:
﴿حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ﴾
“Hingga apabila kalian berada di kapan dan kapal berlayar membawa mereka.” (QS. Yunus [10]: 22)
Kalam diubah
dari kata ganti ke-2 kepada kata ganti ke-3 pada lafazh “kapal berlayar
membawa mereka.”
3) Iltifat
dari dhomir ghoib ke dhomir mutakallim (kata ganti
ke-1: saya/kami), seperti firmanNya:
﴿وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَآئِيلَ وَبَعَثْنَا
مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيباً﴾
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani
Israel dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin.” (QS. Al-Maidah [5]: 12)
Diubahnya kalam
dari ghoib ke mutakallim pada lafazh: “Kami angkat.”
4) Iltifat dari mutakallim ke ghoib,
seperti firmanNya:
﴿إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ﴾
“Sesungguhnya Kami memberimu Al-Kautsar maka sholatlah kepada Rabb-mu.” (QS. Al-Kautsar: 1-2)
Kalam diubah
dari mutakallim kepada ghoib pada lafazh: “Rabb-mu.”
Iltifat memiliki banyak faidah, di
antaranya:
(1)
Menjadikan yang diajak bicara fokus karena berubahnya uslub kalam.
(2)
Menjadikannya memikirkan maknanya, karena perubahan uslub kalam
menyebabkannya memikirkan sebab perubahan tersebut.
(3)
Menghindarkannya dari kebosanan, karena uslub yang monoton bisa
menyebabkan kebosanan.
Ini adalah
faidah iltifat yang berlaku pada surat secara umum. Adapun faidah khusus
pada setiap surat, tergantung pada konteksnya.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ. وَصَلَّى
اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
تَمَّ لِلَّهِ الحَمْدُ رَبِّ العَالَمِينَ.
[1] Dimungkinkan juga
dengan makna isim maf’ul, yaitu yang dikumpulkan, karena dia (Al-Qur’an)
dikumpulkan dalam lembaran lembaran dan hati hati (manusia). (Ibnu Utsaimin)
[2] Mungkin maksud ayat: jika mantan istrimu merelakan separuhnya maka kamu
tidak perlu memberi ia mahar apapun. Namun, jika kamu (suami) merelakan hakmu
yang separuh sehingga mahar kamu serahkan penuh kepada mantan istri, maka itu
lebih utama. Allahu a’lam.
[3] Ayahnya mati dalam ‘agama’ jahiliyyah
sedangkan ibunya hidup dalam masa Islam dan memeluk agama Islam.
[5] Membatalkan nama dan sifat Allah. Misalkan ketika datang ayat mengabarkan
Allah punya Wajah maka mereka memahami Allah tidak punya Wajah, karena akan
menyerupahi makhluk yang punya wajah.
[6] Sepeti kalimat “Aku melihatnya duduk” dimana kata ganti “nya” harus
merujuk ke kata sebelumnya, Ahmad misalnya. Dalam hal ini Ahmad bertindak
sebagai rujukan. Ini yang dimaksud Syaikh Utsaimin.
[8] Munfasil, mubtada, khobar, dan makrifat
adalah istilah Nahwu sehingga mudah dipahami oleh yang mengerti kaidah
gramatika bahasa Arab.