Pembatal-Pembatal Pahala - Syaikh Salim bin Id Al-Hilali
PEMBATAL-PEMBATAL PAHALA Syaikh Salim bin Id Al-Hilali Abu Usamah Download PDF >> https://docs.google.com/uc?export=down...
https://www.terjemahmatan.com/2018/08/pembatal-pembatal-pahala-syaikh-salim.html?m=0
PEMBATAL-PEMBATAL PAHALA
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali Abu Usamah
MUQODDIMAH
Kebahagiaan
abadi di Surga yang lebarnya seperti langit dan bumi adalah mustahil diraih
kecuali dengan ibadah di atas ilmu.
Ibadah tanpa
niat hanya melelahkan. Niat tanpa ikhlas adalah pamer. Ikhlas tanpa ittiba
(mencotoh Nabi) adalah debu (tidak berpahala). Maka bagi setiap hamba yang
menginginkan Allah dan negeri Akhirat untuk berusaha memperbaiki niatnya
setelah mengetahui hakikat ikhlas dan memperbaiki amalnya dengan mengenal
hakikat ittiba.
Dari sini,
selayaknya ia bersungguh-sungguh menjaga diri dengan berusaha memenuhi syarat
diterimanya amal, muroqobah (selalu merasa diawasi Allah), muhasabah (introspeksi diri), menghukum jiwa jika salah, berjuang, dan
mengkritisi diri.
Keuntungan
dagang seorang Muslim adalah Surga Firdaus tertinggi. Ketelitian berbisnis ini
sepantasnya lebih serius daripada bisnis dunia. Wajib bagi setiap orang yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk tidak lalai dari introspeksi diri dan
menyikapinya dengan ketat dalam pergerakannya, diamnya, dan menimbang mudhorotnya. Sebab setiap detik
dari umurnya adalah mutiara yang sangat mahal.
Untuk itu, ia
harus menjaga diri dari perkara-perkara yang menggugurkan amalnya sehingga
batal pahalanya tanpa disadarinya. Buku ini menghimpun perkara-perkara tersebut
yang aku namai:
مُبْطِلاَتُ
الاَعْمَالِ فِي ضَوْءِ القُرْآنِ الكَرِيمِ وَالسُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ المُطَهَّرَةِ
“Pembatal
Pahala Menurut Al-Quran dan As-Sunnah”
Aku memohon
kepada Allah semoga berkenan menerimanya
dengan baik dan menyimpannya untukku pahalanya hingga hari bertemu dengan-Nya.
Hanya kepada Allah segala tujuan.
Ditulis oleh: Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali
Malam Kamis
pada pertengahan Rabiul Awwal 1408 H
Di Amman
ibukota Yordania Negeri Syam
A. KETAKUTAN SALAFUS SHALIH
Ketahuilah wahai Saudaraku seiman - semoga Allah
menerangi hatimu dengan petunjuk - bahwa balasan yang agung dan kebaikan
melimpah yang Allah janjikan kepada hamba-Nya, hanya diberikan kepada siapa
yang beramal disertai iman dan ihtisab (mengharap pahala).
Ibnul Qoyyim Rahimahullah
berkata, “Setiap amal memiliki permulaan (start) dan akhiran (finish). Amal tidak menjadi ketaatan dan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) hingga berlandaskan iman. Pemicu amal adalah
murni iman, bukan rutinitas, hawa nafsu, mencari pamor, kedudukan, dan semisalnya.
Startnya adalah iman dan
finishnya adalah pahala Allah dan mencari keridhaan-Nya, yaitu ihtisab.
Oleh karena
itu, banyak dijumpai dua hal ini beriringan, seperti dalam hadits:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا»
“Siapa yang puasa Ramadhan karena iman dan
ihtisab,” dan,
«مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا»
“Siapa yang mendirikan Malam Kemuliaan
karena iman dan ihtisab,” (HR. Al-Bukhari no. 1901 ) dan hadits yang semisalnya.
Hati para
hamba berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman. Dia membolak-baliknya
sekehendak-Nya - Ya Allah tetapkan hati kami di atas agamaMu-. Terkadang seseorang diuji dengan
sesuatu yang mengotori tujuan murninya sehingga dihalangi dari mendapatkan
janji (pahala), tanpa disadarinya. Sebab balasan itu hanya untuk yang ikhlas.
Oleh sebab
itu, orang yang mendalami perjalanan hidup Salafus Shalih dalam ucapan dan
perbuatan mereka, mereka berada di antara takut dan berharap.
Allah
berfirman menyifati manusia terbaik:
﴿إِنَّ الَّذِينَ
هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ * وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ
يُؤْمِنُونَ * وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لاَ يُشْرِكُونَ * وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
رَاجِعُونَ * أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang
berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan
orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu
apa pun), dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati
yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera
untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera
memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun
[23]: 57-61)
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْ هَذِهِ الاَيَةِ: ﴿وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا
وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ﴾ قَالَتْ عَائِشَةُ: أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ
وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ: «لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ
وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ، وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لاَ تُقْبَلَ مِنْهُمْ ﴿أُولَئِكَ
يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ﴾»
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata:
aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang
ayat ini, “Apakah mereka orang-orang yang minum khomr dan mencuri?” Beliau
menjawab, “Bukan wahai putri Ash-Shiddiq. Akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang puasa, shalat, dan bersedekah dalam keadaan takut tidak
diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.” (Shahih: HR. At-Tirmidzi no.
3175)
Allah telah
menyebutkan orang-orang beriman yang bersegera dalam kebaikan dengan sifat
paling dalam. Mereka melaksanakan ibadah dengan berusaha terbaik tetapi
khawatir tidak diterima.
Rahasianya, mereka
bukan khawatir Allah tidak menetapi janji-Nya memberi pahala. Bukan itu. Sebab Allah tidak akan menyalahi
janji.
﴿وَأَمَّا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ﴾
“Adapun orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal shalih, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan
sempurna pahala amalan-amalan mereka.” (QS. Al-i Imron [3]: 57)
Bahkan Dia
menambah untuk mereka karunia, kebaikan, dan anugerah.
﴿لِيُوَفِّيَهُمْ
أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ﴾
“Agar Allah menyempurnakan kepada mereka
pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya.” (QS. Fathir [35]: 30)
Akan tetapi kekhawatiran mereka adalah karena
mereka merasa kurang maksimal dalam menunaikannya, dengan memenuhi hak ibadah
seperti yang Allah perintahkan. Mereka tidak memastikan dirinya
menunaikannya sebagaimana yang Allah inginkan, bahkan mereka menyangka kurang
maksimal. Oleh karena itu, mereka takut amalnya tidak diterima. Akhirnya mereka
belomba-lomba dalam kebaikan, bersegera dalam ketaatan. Seseorang perlu merenungkan ini agar bertambah
semangatnya dalam memperbaiki ibadah, merutinkannya, ikhlas, dan ittiba.
Sungguh para
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam khawatir amal mereka
berguguran tanpa disadarinya. Hal itu dikarenakan kesempurnaan iman mereka. Allah
berfirman:
﴿فَلاَ يَأْمَنُ
مَكْرَ اللَّهِ إِلاَ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ﴾
“Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah
kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Araf [7]: 99)
Abdullah bin
Ubaidillah bin Abi Mulaikah, seorang yang terpercaya dan faqih, berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ
عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku menjumpai
30 Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, semuanya
mengkhawatirkan nifak atas diri mereka. Tak ada seorang pun dari mereka yang
menyatakan imannya seperti iman Jibril dan Mikail.” (HR. Al-Bukhari, 1/18)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari
(1/110-111), “Para Sahabat yang pernah dijumpai oleh Ibnu Abi Mulaikah, yang terutama
adalah Aisyah, saudarinya Asma, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Uqbah bin Al-Harits,
Al-Musawwar bin Mahramah. Mereka itu orang yang diambil haditsnya
olehnya. Dia juga bertemu dengan sekelompok Sahabat lainnya seperti Al-i bin Abi Thalib, Saad bin
Abi Waqqash. Mereka semuanya takut nifaq amal. Tidak dinukil mereka berbeda dalam hal itu,
seolah-olah ijma. Hal itu dikarenakan terkadang seorang Mukmin diuji dalam
amalnya apa yang bisa merusaknya dari apa-apa yang menyelisihi ikhlas.
Kekhawatiran mereka (para Sahabat) tidak berarti terjatuh kepada sifat nifaq
tersebut, tetapi ungkapan itu hanyalah ekspresi besarnya wara dan taqwa mereka.
Semoga Allah meridhai mereka.”
Al-Hafizh
benar. Generasi Rabbani tersebut mencela jiwanya berkenaan dengan Dzat Allah,
sehingga mereka justru dekat kepada Allah berlipat-lipat yang tidak mampu
dikejar dengan amal selainnya.
Orang-orang
yang jujur ini memperhatikan hak Allah atas mereka sehingga Allah berikan
kepada mereka mawas diri, yang menjadikan mereka tahu bahwa keselamatan tidak
bisa diraih kecuali ampunan Allah dan rahmat-Nya. Hak Allah adalah ditaati,
tidak dimaksiati; diingat bukan dilupakan; dan disyukuri bukan diingkari.
Siapa yang
memperhatikan hak Allah ini atas dirinya maka ia yakin bahwa ia belum menunaikan
kepada Allah dengan semestinya, sehingga ia sangat butuh pemaafan dan ampunan.
Apabila ia dihalangi dari amal ini
niscaya ia binasa.
Ini adalah
pandangan orang-orang yang ikhlas kepada Allah. Inilah yang menjadikan mereka
berputus asa atas diri sendiri dan menggantungkan pengharapannya penuh kepada
ampunan dan rahmat-Nya.
Akan tetapi,
sangat disayangkan, apabila orang yang mau jujur merenungi kondisi manusia saat ini justru kebalikannya.
Mereka banyak menuntut hak mereka atas Allah dan tidak memperhatikan hak Allah
atas mereka. Dari sinilah mereka terputus dari Allah, hati mereka tertutup dari
mengenal-Nya, mencintai-Nya, dan kerinduan bertemu dengan-Nya, serta nikmatnya
berdzikir kepada-Nya. Inilah puncak kebodohan manusia kepada Rabbnya dan
dirinya sendiri.
Ketahuilah -
semoga Allah merahmati kalian - bahwa
modal dari perdagangan yang tidak akan merugi adalah hamba melihat hak Allah
kemudian ia merenung apakah sudah menunaikannya dengan semestinya, karena hal
itu akan membawa hamba kepada
kedudukan para shiddiqin rabbani yang merendahkan dirinya di hadapan
Rabbnya dengan penuh ketundukan dan kehinaan serta penuh rasa butuh kepada-Nya.
Ya Allah, ini
adalah hati-hati kami di Tangan-Mu.
Amal-amal kami tak satupun yang tersembunyi dari-Mu. Ya Allah, kokohkan hati kami ke jalan-Mu yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang Engkau beri nikmat dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan
orang-orang shalih. Merekalah teman terbaik.[]
B. SIKAP SALAFUS SHALIH
Kelompok Qodariyah yang merupakan salah satu sekte
yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
Sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum berpendapat bahwa keburukan (dosa)
menghapus kebaikan (pahala), sehingga iman yang bercampur maksiat tidak
berguna. Mereka memvonis
pelaku dosa sebagai kafir dan memvonis kekal di Neraka Jahannam.
Adapun Murjiah
yang juga sekte sesat seperti Qodariyah, berpendapat bahwa maksiat tidak
berefek terhadap keimanan.
Adapun sikap
Salafus Shalih adalah pertengahan antara ifroth (ekstrim kanan) dan tafrith (ekstrim kiri). Mereka menetapkan bahwa
yang menghapus secara keseluruhan iman hanyalah kufur, syirik, murtad, dan
nifak.
Sebagian
ibadah bisa saja terhapus (pahalanya) disebabkan maksiat atau berkurangnya
pahala karena sebab lainnya atau tidak berguna saat diperlukan. Ini adalah
penghapus nisbi yang tidak sampai menghilangkan asal iman.
Untuk itu,
mereka menetapkan berdasarkan nash-nash yang jelas bahwa iman berupa ucapan dan
perbuatan yang bisa berkurang dan bertambah. Ia bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan maksiat.[]
C. PEMBATAL AMAL (PAHALA)
1.
Kufur,
Syirik, Murtad, dan Nifaq
Ketahuilah
wahai Muslim wahai Hamba Allah! Siapa yang meninggal dalam keadaan kafir,
musyrik, atau murtad maka amal shalihnya tidak sah, seperti sedekah,
silaturahmi, menjaga ketetanggaan, dan selainnya. Sebab syarat taqorrub
adalah seseorang mesti mengenal kepada siapa ia bertaqorrub, sementara orang kafir tidak demikian sehingga
amalnya batal.
Allah
berfirman:
﴿وَمَنْ
يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالاَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ﴾
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
(terhapus) amalannya di dunia dan di Akhirat, dan mereka itulah penghuni
Neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
﴿مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ
أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ
حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ﴾
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu
memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri
kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia (terhapus) amalnya, dan mereka kekal di
dalam Neraka.” (QS.
At-Taubah [9]: 17)
Allah
berfirman:
﴿وَالَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا وَلِقَاءِ الاَخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلاَ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami dan mendustakan akan menemui Akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka
tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Araf [7]: 147)
﴿وَمَنْ
يَكْفُرْ بِالاَيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الاَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Barangsiapa yang kafir sesudah maka hapuslah amalannya
dan ia di hari Akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah [5]: 5)
﴿إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ مَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يَغْفِرَ
اللَّهُ لَهُمْ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan
menghalangi (manusia) dari jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan
kafir, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. Muhammad [47]: 34)
Ketegasan firman Allah bisa dilihat kepada siapa
yang diajak bicara, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dalam rangka menakuti umatnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dengan martabatnya yang tinggi,
seandainya berbuat syirik pasti batal amal shalihnya. Lantas bagaimana dengan
kalian wahai manusia?! Akan tetapi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mustahil berbuat syirik karena martabatnya yang tinggi. Murtad bagi beliau adalah kemustahilan. Beliau ma’shum (terjaga) yang dijaga Allah.
Firman Allah yang dimaksud adalah:
﴿لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.
Az-Zumar [39]: 65)
Allah Ta’ala
mengabarkan tentang para Rasul lalu berfirman:
﴿وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” (QS.
Al-An’am [6]: 88)
Ayat-ayat
tentang hal ini begitu banyak.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِذَا جَمَعَ اللَّهُ
الاَوَّلِينَ وَالاَخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ، نَادَى
مُنَادٍ: مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ، فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ
مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ»
“Ketika Allah menghimpun semua makhluk
dari yang pertama sampai terakhir di hari yang tidak diragukan, ada yang
berseru: siapa yang pernah menyekutukan dalam beramal yang seharusnya untuk Allah,
mintalah pahala kepadanya karena Allah sangat tidak butuh sekutu.“ (Shahih: HR. Ibnu Majah
no. 4203)
Ada tiga hal penting yang selayaknya diketahui ini secara ringkas:
1. Orang-orang
yang meninggal di atas kekufuran tetapi pernah mengerjakan beberapa amal baik
maka Allah tidak menyia-nyiakan hal itu bagi mereka, bahkan mereka dibalas di
dunia. Allah berfirman:
﴿مَنْ كَانَ يُرِيدُ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ
فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الاَخِرَةِ إِلاَ
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di Akhirat, kecuali Neraka dan
lenyaplah di Akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11]: 15-16)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً، يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الاَخِرَةِ،
وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا،
حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الاَخِرَةِ، لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا»
“Allah
tidak menzhalimi sedikitpun dari kebaikan orang beriman. Dengan itu Allah beri
ia rezki di dunia dan dibalas pahala di Akhirat. Adapun orang kafir, ia diberi
makan dengan kebaikan amal yang pernah dikerjakannya di dunia karena Allah hingga ketika ia
berpindah ke Akhirat ia tidak memiliki kebaikan yang perlu dibalas.” (HR. Muslim
no. 2808)
2. Orang kafir yang masuk Islam dan meninggal di
atas keimanan maka Allah hapus kesalahannya dan ditulis kebaikannya yang pernah
dikerjakan sewaktu di masa jahiliyahnya. Banyak nash-nash yang
menjelaskan hal ini secara jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Dari Abu Said
Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«إِذَا أَسْلَمَ
الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا،
وَمُحِيَتْ عَنْهُ كُلُّ سَيِّئَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا، ثُمَّ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ،
الْحَسَنَةُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَالسَّيِّئَةُ
بِمِثْلِهَا إِلاَ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا»
“Jika hamba masuk Islam lalu bagus ke-Islamannya
maka semua kebaikan yang pernah dilakukannya (semasa kafir) ditulis, dihapus
semua keburukan yang dahulu dikerjakannya. Kemudian setelah itu berlaku
ketentuan dimana satu kebaikan dilipatkan sepuluh semisalnya hingga 700 lipat.
Adapun keburukan maka dibalas yang semisalnya saja, kecuali jika Allah
mengampuninya.” (Shahih: HR. An-Nasai no. 4998)
Dari Hakim bin
Hizam Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ أَشْيَاءَ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ
بِهَا فِي الجَاهِلِيَّةِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَتَاقَةٍ، وَصِلَةِ رَحِمٍ، فَهَلْ فِيهَا
مِنْ أَجْرٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَسْلَمْتَ عَلَى
مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ»
Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku tentang amal
shalih yang pernah aku kerjakan di masa jahiliyah berupa sedekah, memerdekakan
budak, atau silaturahmi, apakah ada pahalanya? Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Kamu masuk Islam beserta pahala kebaikan
yang dulu kamu kerjakan.” (HR. Al-Bukhari no. 1436)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: «لاَ يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا:
رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ»
“Wahai Rasulullah, dahulu Ibnu Jad’an sewaktu Jahiliyah
gemar silaturahim, memberi makan orang miskin, apakah semua itu berguna
baginya?” Beliau menjawab, “Tidak, sebab ia tak pernah mengucapkan: ya Allah
ampunilah kesalahanku pada hari Pembalasan.” (HR. Muslim no. 214)
Ibu Jad’an ini dahulunya gemar memberi makan
hingga menghidangkan jufnah kepara para tamu jamaah haji dengan menaiki
tangga, itu pun tidak berguna di Akhirat, karena ia meninggal dalam keadaan
kafir dan menentang hari Kebangkitan.
Inilah keyakinan yang benar yang ditegaskan oleh
banyak dalil shahih, yaitu orang kafir apabila masuk Islam maka amal shalih
yang dikerjakannya di masa Jahiliyah bermanfaat baginya, berbeda jika ia
meninggal dalam keadaan kafir, semua amalnya tidak bermanfaat karena
kekafirannya menghapusnya. Akan tetapi kebaikan yang pernah dikerjakannya
dibalas di dunia, sedangkan di Akhirat kebaikannya tidak berguna sedikitpun,
tidak pula adzab diringankan untuknya dan tidak selamat darinya.
Jika Anda wahai Muslim tahu hakikat ini, maka
menjadi jelas bagi Anda kesalahan sebagian kaum Muslimin yang mengatakan -dengan
kebodohan- saat melihat orang Islam yang akhlaknya jelek lantas berkata: “Orang
Yahudi dan Nashrani lebih utama daripada mereka.” Yang mereka inginkan
hanya mengejek umat Islam.
Begitu pula, nampak
kesalahan ucapan sebagian kaum Muslimin yang mendahului Rabbnya: demi Allah,
penemu teknologi dan penemu telpon tidak akan masuk Neraka. Cukuplah khidmah
agung yang dipersembahkan kepada manusia ini meringankan siksanya.
Aku katakan
bahwa ini hanya angan-angan semata. Sungguh Allah berfirman:
﴿وَمَنْ يَبْتَغِ
غَيْرَ الاَسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الاَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)
Orang-orang
kafir ini tidak diterima amal sunnah
dan fardhunya, karena
mereka telah menukarnya dengan kenikmatan dunia, seperti yang Allah firmankan:
﴿وَيَوْمَ يُعْرَضُ
الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا
وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ
فِي الاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ﴾
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang
kafir dihadapkan ke Neraka (kepada mereka dikatakan): ‘Kamu telah menghabiskan
rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan
karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu
telah fasik.’” (QS. Al-Ahqaf
[46]: 20)[]
2.
Riya
Banyak dalil
dari Al-Quran dan As-Sunnah yang mencela riya, di antaranya adalah firman Allah:
﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
* الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ * وَيَمْنَعُونَ
الْمَاعُونَ﴾
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maun [107]: 4-7)
Adapun dari
hadits, maka sudah disinggung di bab syirik, karena riya adalah syirik kecil.
Ketahuilah
wahai Muslim wahai Hamba Allah! Riya diambil dari kata ru’yah (melihat).
Orang yang riya melakukan
pamer amal kepada manusia. Jiwanya mendapatkan bagian dari amalnya di dunia.
Riya banyak
macamnya, contohnya beragam, dan aibnya jelek sekali. Ia membatalkan amal
dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah berfirman:
﴿كَالَّذِي يُنْفِقُ
مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَ يَقْدِرُونَ
عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ﴾
“Seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan;
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)
Beliau
bersabda:
«إِنَّ أَخْوَفَ
مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الاَصْغَرُ» قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الاَصْغَرُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الرِّيَاءُ، يَقُولُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ:
اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ
عِنْدَهُمْ جَزَاءً»
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan
kepada kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Riya. Allah kelak berfirman kepada mereka pada hari Kiamat tatkala manusia
dibalas amalnya: pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian pamer kepada
mereka di dunia. Perhatikanlah, apakah kalian mendapati balasan di sisi
mereka?” (Shahih: HR. Ahmad no.
23630)
Beliau bersabda:
«أَلاَ أُخْبِرُكُمْ
بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ؟ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ،
أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ
رَجُلٍ»
“Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang
lebih kutakutkan atas kalian melebihi Dajjal? Yaitu syirik tersembunyi:
seseorang berdiri shalat lalu memperindah shalatnya karena melihat pandangan
manusia.” (Hasan: HR. Ibnu Majah
no. 4204)
Waspadalah
wahai Saudaraku seiman dari riya karena ia adalah musibah terbesar yang
menyeret amal menjadi debu.
Ketahuilah
wahai Saudaraku se-Islam!
Orang-orang yang riya adalah orang yang pertama kali dinyalakan untuk mereka
api Neraka, karena mereka sudah menikmati hasil amal mereka di kehidupan dunia.
Larilah engkau
wahai hamba dari riya seperti lari dari singa. Riya dan syahwat yang
tersembunyi bisa mengalahkan para ulama kibar apalagi orang awam. Para ulama
dan ahli ibadah diuji dengan riya ini dari jalan Akhirat.[]
3.
Menyebut
Pemberian dan Menyakiti
Infak fi
sabillah termasuk perbuatan makruf yang mendekatkan hamba kepada Rabbnya
dan menjaganya dari keburukan.
Allah memuji
hamba-hamban-Nya dalam firmannya:
﴿الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلاَ
أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ﴾
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262)
Dari ayat ini jelas bahwa pahala berinfak itu
hanya untuk orang yang ikhlas tanpa diikuti mann (menyembut-nyebut
pemberian) dan adza (menyakiti penerima), karena keduanya membatalkan
pahala sedekah, sebagaimana yang Allah kabarkan:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالاَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ
رِئَاءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ
صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَ يَقْدِرُونَ
عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ﴾
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)
Maka bersungguh-sungguhlah wahai hamba Allah untuk
berinfak, memberi makan, dan memberi apapun dengan murni karena Allah, jangan
melihat sedikitpun kepada manusia, jangan melihat kepada harta mereka,
sebagaimana yang Allah firmankan:
﴿وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ
عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ
اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُورًا﴾
“Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan [76]: 8-9)
Ketahuilah, jika kamu berinfak mencari balasan
dari orang yang diberi dalam bentuk apapun, maka itu berarti kamu tidak ikhlas
karena Allah. Jika kamu tidak mendapatkan itu maka biasanya akan
menyeret kepada mann dan adza.
Allah hanya
menerima dari orang-orang yang ikhlas yang memberi karena Allah dan hanya
mencari ridho Allah. Mereka tidak suka dipuji terhadap amal shalih mereka
karena mereka yakin bahwa mann dan adza menghancurkan pahala.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ
اللَّهُ لَهُمْ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً: عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ»
“Tiga orang
yang tidak Allah terima amalnya baik amal sunnah maupun wajibnya yaitu orang yang durhaka kepada
orang tua, orang yang melakukan mann dalam sedekah, dan pendusta takdir.” (Hasan: HR. Ibnu Abi Ashim no. 323)
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ» قَالَ:
فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ثَلاَثَ مِرَارًا، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا،
مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الْمُسْبِلُ،
وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ»
“Ada tiga
orang yang tidak diajak bicara Allah pada hari Kiamat, tidak dilihat, tidak
disucikan dosanya, serta mendapatkan adzab yang pedih.” Rasul Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Celaka
dan rugi sekali ia. Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Musbil
(laki-laki yang menjulurkan kain bawahnya melebihi mata kaki), mannan (orang
yang suka menyembut-nyebut pemberian), dan pedagang yang suka bersumpah dusta.”
(HR. Muslim no. 106)
Dari Abdullah
bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«وَثَلاَثَةٌ لاَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ،
وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى»
“Ada tiga
orang yang tidak masuk Surga, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua,
pecandu khomr, dan mann dalam sedekah.” (Shahih: HR. An-Nasai no.
2562)
Ada yang
mengatakan, “Siapa yang melakukan mann dalam kebaikannya maka gugur
syukurnya, dan siapa yang ujub dalam amalnya maka terhapus pahalanya.”
Sungguh benar
firman Allah:
﴿قَوْلٌ مَعْرُوفٌ
وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ﴾
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf
lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah [2]: 263)[]
4.
Mendustakan Takdir
Ketahuilah wahai Mukmin bahwa iman tidak sah tanpa
beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Ia meyakini bahwa apa
yang akan menimpanya tidak akan meleset darinya, dan apa yang tidak menimpanya
tidak akan mengenainya. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering
dengan ilmu Allah sebelum terjadinya dan terciptanya alam semesta.
Siapa yang
mendustakannya maka gugur amalnya, dan ia termasuk orang yang rugi meskipun
telah berinfak sepenuh bumi emas.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ
اللَّهُ لَهُمْ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاَ: عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ»
“Tiga orang yang tidak Allah terima
amalnya baik amal sunnah maupun wajibnya yaitu orang yang durhaka kepada orang
tua, orang yang melakukan mann dalam sedekah, dan pendusta takdir.” (Hasan:
HR. Ibnu Abi Ashim no. 323)
Dari Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab, Abdullah bin
Mas’ud, dan Hudzaifah bin Yaman, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«لَوْ أَنَّ اللَّهَ
عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ
لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ،
وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ
مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ،
وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا
لَدَخَلْتَ النَّارَ»
“Andai Allah
menyiksa seluruh penduduk langit dan penduduk bumi, niscaya Dia menyiksa mereka
tanpa dikatakan zhalim. Andai Dia merahmati mereka maka rahmat itu lebih baik
bagi mereka melebihi amal shalih mereka. Andai kamu berinfak emas seperti
gunung Uhud maka Allah tidak akan menerimanya darimu hingga kamu beriman kepada
takdir. Kamu meyakini bahwa apa yang akan menimpamu tidak akan meleset darimu
dan apa yang tidak menimpamu tidak mengenaimu. Andai kamu mati dalam keadaan
selain keyakinan ini maka kamu pasti masuk Neraka.” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 4699)
Ketika terjadi
pengingkaran takdir di akhir masa generasi Sahabat, para Tabiin bersegera
menuju para Sahabat meminta fatwa tentang masalah ini. Permasalahan
ini terjawab dengan hadits Umar bin Khathab.
Yahya bin Ya’mar berkata, “Orang pertama yang
melakukan bid’ah tentang takdir adalah Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Aku dan
Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari pergi haji atau umrah dan kami berandai-andai
bertemu salah seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk meminta fatwa berkenaan dengan perkataan mereka tentang takdir. Kami bertemu
Abdullah bin Umar bin Khathab yang masuk masjid. Maka kami mengikutinya dari
kanan dan kiri. Temanku menyerahkan kesempatan bertanya kepadaku lalu aku
berkata, ‘Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), muncul di negeri kami sekelompok
manusia yang hafal Al-Qur’an, rajin mengumpulkan ilmu –ia menyebutkan
kelebihan-kelebihan lainnya- akan tetapi mereka berpendapat tidak ada takdir
dan setiap perkara diketahui Allah setelah terjadi.” Maka Ibnu Umar berkata,
“Apabila kamu bertemu mereka maka kabarkan kepada mereka bahwa aku berlepas
diri dari mereka dan mereka belepas diri dariku. Demi Dzat yang Ibnu Umar
bersumpah dengan-Nya, andai mereka berinfak emas sepenuh gunung Uhud maka Allah
tidak akan menerimanya hingga beriman kepada takdir.”
Lalu dia berkata, ‘Ayahku Umar bin Khathab
menceritakan kepadaku bahwa ia berkata: pada suatu hari kami berada di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
tiba-tiba datang kepada kami seseorang yang sangat putih pakaiannya, sangat
hitam rambutnya, tidak nampak kalau sedang bepergian, dan tidak ada seorang pun
dari kami yang mengenalnya. Kemudian dia duduk menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu
menyandarkan lututnya kepada lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak
tangannya di atas paha beliau. Dia bertanya, “Ya Muhammad! Kabarkan kepadaku
tentang Islam.” Maka, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Islam
adalah Anda bersyahadat lâ ilâha
illâllâh dan muhammadur rasûlûllâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat,
berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika Anda mampu menempuh jalannya.”
Lelaki itu berkata, “Engkau benar.” Kami heran terhadapnya, dia yang
bertanya sekaligus membenarkannya. Lelaki itu bekata lagi, “Kabarkanlah
kepadaku tentang iman!” Beliau menjawab, “Anda
beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari
Akhir, dan Anda beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Lelaki
itu menjawab, “Engkau benar.” Dia bekata lagi, “Kabarkan kepadaku tentang
ihsan!” Beliau menjawab, “Anda menyembah Allah
seolah-olah melihatnya. Jika Anda tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihat Anda.” Dia berkata lagi, “Kabarkan kepadaku tentang hari Kiamat!”
Beliau menjawab, “Tidaklah yang ditanya
lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia berkata lagi, “Kabarkan kepadaku
tentang tanda-tandanya.” Beliau menjawab, “Jika
seorang budak wanita melahirkan majikannya, dan jika Anda melihat orang yang
tidak beralas kaki, tidak berpakaian, miskin, dan penggembala kambing saling
bermegahMegahan meninggikan bangunan.”
Kemudian lelaki itu pergi. Aku diam sejenak lalu
beliau bersabda, “Hai ‘Umar! Tahukah kamu
siapa yang bertanya itu?” Aku
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia Jibril yang datang kepada
kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim no. 8)[]
5.
Meninggalkan
Shalat Ashar
Allah
memerintahkan para hamba-Nya untuk mengerjakan shalat terutama shalat Wustha
yaitu shalat Ashar. Allah berfirman:
﴿حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ﴾
“Peliharalah segala shalat (mu), dan
(peliharalah) shalat Wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyuk.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 238)
Allah
memperingatkan dari kelalaian shalat ini, baik
lalai karena harta, keluarga, atau keuntungan duniawi. Pelakunya diancam
dengan berat, terutama berkaitan shalat Ashar. Allah berfirman:
﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
* الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ﴾
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maun [107]: 4-7)
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«الَّذِي تَفُوتُهُ
صَلاَةُ العَصْرِ، كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»
“Yang
terluput shalat Ashar maka seolah-olah berkurang keluarga dan hartanya.”
(HR. Al-Bukhari no. 553)
Dari Abul Malih Amir bin Usamah bin Amir Al-Hudzli,
ia bekata: kami bersama Buraidah pada sebuah peperangan yang berkecamuk lalu ia
berkata: shalatlah Ashar segera karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ
العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
“Siapa yang
meninggalkan shalat Ashar maka gugur amalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 553)[]
6.
Mendahului Allah
Rahmat Allah
meliputi segala sesuatu. Di antara rahmat-Nya adalah apabila menghendaki maka
Dia mengampuni dosa tanpa taubat sebagai bentuk karunia dan kebaikan-Nya.
Allah tidak
ditanya atas perbuatan-Nya, tetapi manusia yang akan ditanya (dimintai
pertanggungjawaban). Dia Maha lembut, Maha penyayang Maha Pengampun, Maha
Pengasih. Akan tetapi sebagian manusia yang digelincirkan setan dan dihiasai
amal jeleknya, apabila melihat sebagian kesalahan manusia, kamu melihatnya
mereka langsung memvonisnya sambil mengatakan: demi Allah, Allah tidak akan
mengampuni fulan. Mereka tidak tahu bahwa ucapan itu salah dan menggugurkan
pahala amal. Karena mereka membuat manusia berputus asa dari rahmat Rabbnya.
Dari Jundub Radhiyallahu
Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan:
«أَنَّ رَجُلاً قَالَ:
وَاللَّهِ لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلاَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ ذَا
الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لاَ أَغْفِرَ لِفُلاَنٍ، فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلاَنٍ،
وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ»
“Ada
seseorang yang berkata: demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan. Allah
berfirman: siapa yang berani mendahului Aku bahwa Aku tidak mengampuni fulan.
Sungguh Aku telah mengampuninya dan Aku hapus amal shalihmu.” (HR. Muslim
no. 2621)
Ketahuilah,
semoga Allah merahmatimu, bahwa menjadikan manusia berputus asa dari rahmat Allah
adalah sebab ia menambah maksiatannya
karena berkeyakinan bahwa rahmat Allah telah tertutup baginya, sehingga ia
menambah penyimpangan dan
kedurhakaannya, karena syahwatnya lapar sebelum
mati. Lalu Allah pun mengadzabnya dengan adzab yang belum pernah diterapkan
kepada seorang pun.
Tidakkah orang
yang menutup kebaikan dan membuka kejelekan ini layak dihapus amal kebaikannya
sebagai balasan yang setimpal?
Ya Allah, jadikanlah kami sebagai pembuka pintu-pintu
kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan.[]
7.
Menentang
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Allah
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ
تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan
kamu tidak menyadari.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 2)
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, ia
berkata: ketika turun ayat ini, Tsabit bin Qois berdiam di rumahnya sambil
berkata: amalku hangus dan aku termasuk penghuni Neraka. Dia tidak lagi menemui
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga beliau menanyakannya kepada
Saad bin Muadz, “Wahai Abu Amr, apa yang terjadi dengan Tsabit?” Saad
berkata, “Dia memang tetanggaku tetapi aku tidak tahu keluhannya.”
Lantas Saad menemuinya lalu menyampaikan ucapan Rasulullah tentangnya lalu
Tsabit berkata, “Turun ayat dan kalian sudah mengerti kalau aku adalah orang
yang paling tinggi suaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Aku penghuni Neraka. Saad
menyampaikan berita itu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«بَلْ هُوَ مِنْ
أَهْلِ الْجَنَّةِ»
“Bahkan ia
termasuk penghuni Surga.” (HR. Muslim no. 119)
Dari hadits
ini menjadi jelas bahwa mengangkat suara yang membatalkan amal adalah
penentangan dan penyelisihan perintah Rasulullah dan tidak mentaatinya baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Allah
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ﴾
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul dan jangan kalian membatalkan amal kalian.” (QS. Muhammad [47]: 33)[]
8.
Bid’ah
Ketahuilah
semoga Allah merahmati kalian! Seorang Muslim harus menempuh dua hal dalam
beribadah. Yang pertama adalah ikhlas kepada Allah dan yang kedua adalah
mengikuti perintah Allah yang diturunkan lewat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam persis seperti apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Perkara yang
membatalkan dua perkara ini adalah bid’ah dalam agama.
Bid’ah
membatalkan amal dan menghapus pahala. Tentang hal ini, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»
“Barangsiapa
yang mengada-ngada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia
tertolak.” (HR. Al-Bukhari
no. 2697 dan Muslim no. 1718)
وَفِي رِوَايَةٍ: «مَنْ
عَمِلَ عَمَلاَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal
itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Imam An Nawawi
menilai hadits ini sebagai pokok agama Islam dan kaidah Islam bahkan syarat
agama Islam.
Oleh karena
itu, selayaknya hadits ini
dihafalkan dan diterapkan untuk membatalkan bid’ah-bid’ah. Karena ia sangat
jelas dalam menolak setiap bid’ah dan kreasi ibadah.
9.
Melanggar
Larangan Allah Saat Sendirian
Dari Tsauban Radhiyallahu
Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
«لاَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا
مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ
بِيضًا، فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا»، قَالَ ثَوْبَانُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ، وَنَحْنُ لاَ
نَعْلَمُ، قَالَ: «أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ،
وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ
أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا»
“Aku benar-benar tahu sekelompok umatku
yang datang para hari Kiamat dengan membawa pahala sepenuh gunung Tihamah yang
putih lalu Allah jadikan itu laksana debu yang beterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai
Rasulullah, jelaskan siapa
mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” beliau menjawab,
“Mereka saudara kalian dan sejenis dengan kalian. Mereka shalat malam
seperti kalian, tetapi
mereka adalah kaum yang apabila bersendirian dengan larangan Allah maka mereka
melanggarnya.” (Shahih: HR. Abu
Dawud no. 4245)
Ya Allah,
jadikan kami termasuk orang yang takut kepada-Mu di kala sendirian,
mengagungkan syiar-syiar-Mu,
menjauhi larangan-Mu di kala sendirian maupun di khalayak umum. Jauhkanlah kami
dari dosa dan fahisyah yang nampak maupun yang tersembunyi.[]
10.
Gembira
Membunuh Orang Beriman
Orang Islam
terjaga darahnya. Tidak halal bagi siapapun menumpahkan darahnya tanpa hak
Islam.
Banyak
ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits shahih tentang agungnya kemuliaan orang
beriman, dan ancaman keras
bagi siapa saja yang menghalalkan darahnya lalu membunuhnya, yang tidak
memiliki hujjah di sisi Allah. Allah berfirman:
﴿وَمَنْ يَقْتُلْ
مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا﴾
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin
dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa [4]: 93)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا
فَاعْتَبَطَ بِقَتْلِهِ، لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا، وَلاَ عَدْلاَ»
“Siapa yang membunuh orang beriman dengan
perasaan gembira dalam membunuhnya maka Allah tidak akan menerima darinya
ibadah sunnahnya maupun ibadah wajibnya.” (Shahih:
HR. Abu Dawud no. 4270)
«لاَ يَزَالُ الْمُؤْمِنُ
مُعْنِقًا صَالِحًا، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا، فَإِذَا أَصَابَ دَمًا حَرَامًا
بَلَّحَ»
“Orang beriman senantiasa dalam
keadaan baik selagi tidak menumpahkan darah yang haram. Apabila ia menumpahkan
darah yang haram maka binasalah ia.” (Shahih:
HR. Abu Dawud no. 4270)
Oleh karena
itu, sangat sedikit sekali pembunuh diberi taufik kepada taubat, berdasarkan
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«أَبَى اللَّهُ أَنْ
يَجْعَلَ لِقَاتِلِ الْمُؤمِنِ تَوْبَةٌ»
“Allah
enggan memberi taubat kepada orang yang membunuh orang beriman.”
(As-Shahihah no. 689)
Ahli fiqih
berselisih pendapat tentang taubat pembunuh yang sengaja. Sebagian berpendapat
diterima taubatnya dan yang lain berpendapat tidak diterima taubatnya. Yang
pertama lebih kuat, Allahu a’lam.[]
11.
Tinggal
Bersama Orang-orang Musyrik di Negeri Harbi
Dari Bahz bin
Hakim dari ayahnya dari kakeknya, ia bekata, “Apa itu tanda-tanda Islam?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«أَنْ تَقُولَ: أَسْلَمْتُ
وَجْهِي إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَتَخَلَّيْتُ، وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ
الزَّكَاةَ، كُلُّ مُسْلِمٍ عَلَى مُسْلِمٍ مُحَرَّمٌ أَخَوَانِ نَصِيرَانِ لاَ يَقْبَلُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ مُشْرِكٍ بَعْدَمَا أَسْلَمَ عَمَلاً، أَوْ يُفَارِقَ الْمُشْرِكِينَ
إِلَى الْمُسْلِمِينَ»
“Kamu berkata: aku serahkan dan hadapkan
wajahku kepada Allah Azza wa Jalla, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat,
setiap Muslim atas Muslim lainnya diharamkan (saling membunuh tanpa hak),
keduanya bersaudara, saling menolong, Allah tidak menerima amalan orang musyrik
yang masuk Islam hingga memisahkan dirinya dari masyarakat musyrik kepada kaum Muslimin.” (Hasan:
An Nasai no. 2568, 5/82-83 dan Ibnu Majah no. 2536)[]
12.
Mendatangi
Dukun dan Tukang Ramal
Praktek perbintangan yang mengandung unsur falak
untuk menentukan peristiwa yang terjadi di bumi atau menganggap tuhan-tuhan
mereka mengetahui peristiwa yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi adalah
haram berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah serta kesepakatan ulama.
Islam
mengharamkan perdukunan,
yaitu apa yang berhubungan dengan perbintangan, baik dengan memukulkan tongkat, menggaris pada pasir, maupun membaca cangkir.
Begitu pula,
Islam mengharamkan berinteraksi dengan mereka dalam bentuk apapun, kecuali
mendatangi dalam rangka amar makruf nahi munkar, seperti yang dilakukan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Ibnu Shoyyad Al-Yahudi.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengancam siapa yang mendatanginya lalu bertanya, dengan
ancaman tidak diterima shalatnya selama 40 hari. Beliau bersabda:
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Siapa yang
mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang apapun maka shalatnya tidak
diterima selama 40 hari.” (HR. Muslim no. 2230)
Ancaman ini
bagi yang mendatangi dan bertanya, adapun yang menambahnya dengan
membenarkannya maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda:
«مَنْ أَتَى كَاهِنًا،
أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
“Siapa yang
mendatangi dukun atau tukang
ramal lalu membenarkannya maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Shahih: HR. Ahmad no. 9536)
Wahai
saudaraku Muslim, semoga Allah memberimu taufik kepada apa yang dicintai Allah
dan diridhai-Nya, ini keadaan
yang bertanya, lantas bagaimana lagi dengan nasib yang ditanya?!
Yang
mengherankan lagi adalah anggapan sebagian manusia bahwa praktek para dukun dan
peramal tersebut sebagai karomah.
Karomah
diberikan Allah kepada hamba shalih,
dan hamba tidak bisa mengupayakannya sendiri dan tidak memiliki kemampuan akan
hal itu.
Ketahuilah
bahwa orang-orang musyrik Quraisy di saat masa sulit, mereka berdoa kepada Allah
dengan tulus seperti yang Allah kabarkan:
﴿فَإِذَا رَكِبُوا
فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى
الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ﴾
“Maka apabila mereka naik kapal mereka
mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-Ankabut [29]: 65)
Akan tetapi,
sayangnya kebanyakan orang yang mengaku Muslim meninggalkan Allah saat
kesusahan lalu berpaling
menuju rumah para dukun dan para peramal.[]
13.
Durhaka
kepada Orang Tua
Allah
memerintahkan untuk beribadah dan mentauhidkan-Nya dan menjadikan bakti orang
tua beriringan dengan hal itu, dalam firman Allah:
﴿وَقَضَى رَبُّكَ
أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra [17]: 23)
Juga Dia
mengiringi perintah bersyukur kepada-Nya dengan bersyukur kepada kedua orang
tua.
﴿وَوَصَّيْنَا الاَنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ﴾
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 14)
Berbakti kepada orang tua adalah mentaatinya dalam
ucapan dan perbuatannya selama diperbolehkan syariat, tidak boleh mentaatinya
dalam kesyirikan, dosa besar, atau meninggalkan kewajiban.
Allah
memerintahkan berbakti kepada keduanya dan berbuat baik kepada keduanya, serta
mengancam siapa yang durhaka dan menjadikannya sebagai dosa besar dan pembatal
amal.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ
اللَّهُ لَهُمْ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاَ: عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ»
“Tiga orang yang tidak Allah terima
amalnya baik amal sunnahnya maupun wajibnya yaitu orang yang durhaka kepada
orang tua, orang yang melakukan mann dalam sedekah, dan pendusta takdir.” (Hasan: HR. Ibnu Abi Ashim no. 323)
Maka berusahalah berbakti kepada kedua orangtua,
menyayangi keduanya, merendahkan diri karena sayang kepadanya, lebih khusus
jika keduanya menginjak usia tua.
Hendaknya anak selalu mengingat kasih sayang dan
kelelahan orang tuanya ketika mendidiknya sewaktu kecil agar bertambah rasa
cintanya kepada kedua orangtuanya.[]
14.
Pecandu Khomr
Khomr adalah
induk keburukan, kepala segala dosa, karena ia membuat akal tidak sehat
sehingga terhubung dengan tali setan.
Allah
memerintahkan di dalam Kitab-Nya agar menjauhi khomr. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa ia adalah sebab datangnya laknat Allah
kepada setiap orang yang berhubungan dengannya, apapun bentuknya. Oleh karena
itu, siapa yang meminumnya maka balasannya adalah Allah menghapus amalnya
secara tertahap kecuali jika bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ
لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ،
فَإِنْ عَادَ لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ لَهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ
تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَادَ لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ لَهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ
صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ لَمْ يَقْبَلِ
اللَّهُ لَهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ لَمْ يَتُبِ اللَّهُ عَلَيْهِ،
وَسَقَاهُ مِنْ نَهْرِ الخَبَالِ» قِيلَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ: وَمَا نَهْرُ الخَبَالِ؟
قَالَ: نَهْرٌ مِنْ صَدِيدِ أَهْلِ النَّارِ.
“Siapa yang
minum khomr maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Jika ia bertaubat
maka Allah terima taubatnya. Jika ia mengulanginya, maka shalatnya tidak
diterima selama 40 hari. Jika ia bertaubat maka Allah terima taubatnya. Jika ia
mengulangi, maka shalatnya selama 40 hari tidak Allah terima. Jika ia bertaubat maka Allah terima
taubatnya. Jika ia mengulangi
keempat kalinya Allah tidak menerima taubatnya dan memberinya minuman dari
sungai Khobal.” Ibnu Umar
ditanya, “Wahai Abu Abdirrahman, apa itu sungai Khobal?” Dia menjawab, “Yaitu
sungai dari nanah penduduk Neraka.” (Shahih:
HR. At-Tirmidzi no. 1862)
Hal itu
disebabkan kecanduan khomr umumnya menjadikannya menghalalkan khomr.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مُدْمِنُ الْخَمْرِ
إِنْ مَاتَ، لَقِيَ اللَّهَ كَعَابِدِ وَثَنٍ»
“Pecandu
khomr jika mati maka bertemu Allah seperti penyembah berhala.” (Hasan: HR. Ahmad 1/272)
Ibnu Hibban
berkata, “Makna hadits ini sepertinya bagi siapa yang bertemu Allah dalam
keadaan menghalalkan khomr, karena kesamaan keduanya (pecandu khomr dan
penyembah berhala) dalam kekufuran.” (Shahih Ibnu Hibban 7/367)[]
15.
Ucapan dan
Perbuatan Zurr
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ
قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ»
“Siapa yang
tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan zurr maka Allah tidak memerdulikan dia
meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no.)
Hadits ini
menunjukkan bahwa ucapan dan perbuatan zurr[1]
membatalkan pahala puasa.[]
16.
Memelihara Anjing
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا،
فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطٌ، إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ
مَاشِيَةٍ»
“Siapa yang memelihara anjing maka ia akan
mengurangi pahala amalnya setiap hari satu qiroth, kecuali anjing untuk menjaga
ladang atau anjing untuk menjaga binatang ternak.”[2] (HR. Al-Bukhari no. 2322)
17.
Budak yang
Kabur dari Majikannya
18.
Wanita yang
Nusyuz
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«اثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ
صَلاَتُهُمَا رُءُوسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيهِ حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ
عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ»
“Ada dua orang yang shalatnya tidak
melewati kepala mereka (pahalanya tidak naik ke langit), yaitu budak yang kabur
dari majikannya hingga kembali, dan wanita yang durhaka kepada suaminya hingga kembali.” (Shahih: HR. Al-Hakim no. 7330)[]
19.
Imam yang
Dibenci Makmum
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ
صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الاَبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا
عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ»
“Tiga orang yang shalatnya tidak melewati
telinganya, yaitu budak yang kabur hingga kembali, wanita yang di malam hari
suaminya murka kepadanya, dan imam yang dibenci makmumnya.” (Hasan:
HR. At-Tirmidzi no. 360)
Imam
At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli ilmu membenci seseorang yang dibenci makmum
menjadi imam. Jika ternyata imam bukan orang zhalim maka dosanya ditanggung
oleh yang membenci.” (Sunan At-Tirmidzi 2/192)
Dinukil dari
Manshur (2/193), “Kami pernah bertanya tentang perkara imam ini lalu dijawab bahwa maksud hadits adalah
imam yang zhalim, adapun imam yang menegakkan sunnah maka dosa tersebut
ditanggung oleh yang membenci.”
Dari sini
menjadi jelas bahwa yang dimaksud bukanlah terkait menurut selera makmum tetapi
terkait mengukuti sunnah atau menyelisihinya.[]
20.
Menghajr[3] Muslim Tanpa Uzur Syari
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«تُفْتَحُ أَبْوَابُ
الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ
يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ،
فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا،
أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا»
“Pintu-pintu
Surga terbuka hari Senin dan Kamis. Setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah
dengan apapun diampuni, kecuali seseorang yang sedang bersengketa dengan
saudaranya. Dikatakan: tundalah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Tundalah
dua orang ini hingga berdamai. Tundalah dua orang ini hingga berdamai.”
(HR. Muslim no. 2565)[][4]
[1]
Zurr adalah dusta, dan ucapan zurr
adalah berdusta saat berpuasa, sementara perbuatannya adalah konsekuensi
darinya dalam bentuk perbuatan.
[2]
Dalam riwayat lain, “Dan anjing
untuk berburu.”
[3]
Hajr artinya memboikot, yaitu tidak
menyapa karena sedang bertengkar.
[4]
Kitab ini diterjemahkan secara bebas
dengan pembuangan beberapa paragraf.