Syarah Ringkas Qowaidul Arba - Pustaka Syabab
Syarah Ringkas Qowaidul Arba Judul: Syarah Ringkas Qowa’idul Arba’ Penyusun: Nor Kandir Al-Jifari Korektor: Ustadz Rati...
https://www.terjemahmatan.com/2018/03/syarah-ringkas-qowaidul-arba-pustaka.html?m=0
Syarah Ringkas Qowaidul Arba
Judul: Syarah Ringkas Qowa’idul Arba’
Penyusun: Nor Kandir Al-Jifari
Korektor: Ustadz Ratimin Ibnu Salim, Lc
Penerbit: Pustaka Syabab Surabaya
Cetakan: Pertama, 2018
DOWNLOAD PDF >> https://norkandirblog.files.wordpress.com/2018/03/syarah-ringkas-qowaidul-arba-nor-kandir.pdf
الحَمْدُ للهِ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ
عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَبَعْدُ:
Termasuk kitab kecil yang selayaknya dihafal oleh
penuntut ilmu adalah Qowa’idul Arba’ karena besarnya faidah yang
terkandung di dalamnya, yang ditulis oleh Mujaddid Syaikhul Islam Ibnu Abdil
Wahhab.
Naskah pada buku ini mengacu kepada Al-Maktabah
Malik Fahad cetakan ke-4 tahun 1435 H/2014 M yang diteliti oleh Syaikh Dr.
Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qashim, pengajar dan khatib di Masjid Nabawi.
Beliau telah bekerja keras untuk meneliti manuskripnya kemudian menyusunnya,
dan inilah yang saya gunakan dalam buku ini. Di antara manuskrip yang beliau
jadikan acuan adalah:
- Manuskrip tulisan
tangan di Markaz Al-Malik Faishal Saudiyah no. 5258 tertanggal 1307 H.
- Manuskrip tulisan
tangan di Markaz Al-Malik Faishal Saudiyah no. 5265 tertanggal 1338 H.
- Manuskrip tulisan
tangan di perpustakan Al-Mahmudiyah Maktabah Al-Malik Abdul Aziz no. 1437.
- Manuskrip tulisan
tangan di perpustakan Al-Mahmudiyah Maktabah Al-Malik Abdul Aziz no. 1921.
- Manuskrip tulisan
tangan di perpustakaan Syaikh Abdurrahman As-Sa’di di Qashim, KSA.
Metode dalam mensyarah adalah berusaha seringkas
mungkin dengan mencukupkan diri kepada dalil dari ayat dan hadits, dan sedikit
penjelasan jika diperlukan.
Semoga usaha ini dinilai pahala oleh Allah sebagai
pemberat mizan. Semoga Allah mengampuni mu’allif, penulis, pembaca,
distributor, dan setiap orang yang andil dalam penyebaran buku ini. Sungguh
Allah Maha Pengabul dan Mendengar.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى
نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
EMPAT KAIDAH[1]
Berisi 4 Kaidah Dasar dalam Memahami Syirik
Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman At-Tamimi An-Najdi[2]
berkata:
أَسْأَلُ اللهَ الْكَرِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَتَوَلاكَ فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَكَ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ، وَأَنْ يَجْعَلَكَ
مِمَّنْ إِذَا أُعْطِيَ شَكَرَ، وَإِذَا ابْتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أذَنبَ اسْتَغْفَرَ.
فَإِنَّ هَؤُلاءِ الثَّلاثُ عُنْوَانُ السَّعَادَةِ
Aku
memohon kepada Allah yang Mahamulia, Rabb ‘Arsy yang agung: semoga Dia menjagamu di dunia dan di Akhirat dan
menjadikanmu diberkahi di mana pun kamu berada serta menjadikanmu termasuk
golongan yang jika diberi bersyukur, jika diuji bersabar, dan jika berbuat
dosa beristighfar, karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan.[3]
اِعْلَمْ أَرْشَدَكَ اللهُ لِطَاعَتِهِ، أَنَّ الْحَنِيْفِيَّةَ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ
مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ، وَبِذَلِكَ أَمَرَ اللهُ جَمِيعَ النَّاسِ
وَخَلَقَهُمْ لَهَا، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذاريات: 56].
Ketahuilah,
semoga Allah membimbingmu untuk mentaati-Nya, bahwa hanifiyah[4]
agama Ibrahim[5]
adalah kamu menyembah Allah semata dengan ikhlash dalam beragama.[6]
Untuk hal itulah Allah menyuruh semua makhluk dan menciptakan mereka untuk
hal tersebut,
seperti yang difirmankan-Nya, “Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” [51: 56][7]
فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ
لِعِبَادَتِهِ: فَاعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ لَا تُسَمَّى عِبَادَةً إِلَّا
مَعَ التَّوْحِيدِ، كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ لَا تُسَمَّى صَلَاةً إِلَّا مَعَ
الطَّهَارَةِ، فَإِذَا دَخَلَ الشِّرْكُ فِي الْعِبَادَةِ فَسَدَتْ، كَالْحَدَثِ
إِذَا دَخَلَ فِي الطَّهَارِة، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿مَا كَانَ
لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ﴾
[التوبة: 17].
Apabila
kamu sudah tahu bahwa Allah menciptakanmu untuk menyembah-Nya maka ketahuilah
bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali disertai tauhid seperti shalat yang
tidak disebut shalat kecuali disertai berwudhu. Apabila syirik masuk dalam
ibadah maka ibadah itu menjadi rusak, seperti hadats yang apabila masuk dalam
wudhu,
seperti yang Dia firmankan, “Tidaklah
pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka
mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia amal
kebaikannya, dan mereka kekal di dalam Neraka.” [9: 17][8]
فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ الشِّرْكَ إِذَا خَالَطَ الْعِبَادَةَ أَفْسَدَهَا،
وَأَحْبَطَ الْعَمَلَ، وَصَاَر صَاحِبُهُ مِنَ الْخَالِدِينَ فِي النَّارِ:
عَرَفْتَ أَنَّ أَهَمَّ مَا عَلَيْكَ مَعْرِفَةُ ذَلِكَ، لَعَلَّ اللهَ أَنْ يُخَلِّصَكَ مِنْ هَذِهِ الشَّبَكَةِ، وَهِيَ الشِّرْكُ بِاللهِ.
وَذَلِكَ بِمَعْرِفَةِ أَرْبَعِ قَوَاعِدَ ذَكَرَهَا اللهُ تَعَالَى فِي
كِتَابِهِ.
Apabila
kamu telah tahu bahwa syirik apabila bercampur dengan ibadah akan merusaknya,
menghapus pahala amal ibadah, dan menjadikan pelakunya kekal di Neraka[9],
kamu pun tahu bahwa perkara sangat penting bagimu adalah mempelajari hal
tersebut. Semoga Allah membebaskanmu dari duri ini yaitu syirik kepada Allah. Yaitu dengan mempelajari 4
kaidah yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya.
الْقَاعِدَةُ الأُولَى:
أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ الْكُفَّارَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ
مُقِرُّونَ أَنَّ اللهَ هُوَ الْخَالِقُ الرَّازِقُ، المُحْيِ الْمُمِيْتُ، الْمُدَبِّرُ
لِجَمِيْعِ الْأُمُوْرِ، وَلَمْ يُدْخِلْهُمْ ذَلِكَ فِي الإِسْلَامِ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ مَن
يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ
والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ
مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ
تَتَّقُونَ﴾ [يونس: 31].
Kamu
mengetahui[10] bahwa orang-orang kafir[11]
yang diperangi Rasulullah ﷺ mengakui bahwa Allah Ta’ala
adalah Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Pengatur segala sesuatu,[12]
tetapi hal itu tidak lantas memasukkan mereka ke dalam Islam. Dalilnya adalah
firman-Nya Ta’ala, “Katakanlah:
Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka
katakanlah: Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”
[10: 31][13]
الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ:
أَنَّهُمْ يَقُولُونَ: مَا دَعَوْنَاهُمْ وَتَوَجَّهْنَا إِلَيْهِمْ إِلا
لِطَلَبِ الْقُرْبَةِ وَالشَّفَاعَةِ.
فَدَلِيلُ الْقُرْبَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن
دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ﴾ [الزمر: 3].
وَدَلِيلُ الشَّفَاعَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ
مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا
عِنْدَ اللهِ * قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللهَ بِمَا لَا
يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا
يُشْرِكُونَ﴾ [يونس:18].
Mereka
berkata, “Kami tidak menyembah mereka (berhala) dan tidak pula merendahkan
diri kepada mereka kecuali untuk mencari qurbah
(pendekatan diri kepada Allah) dan syafaat
(menjadikan berhala sebagai pelantara kepada Allah).”[14]
Dalil
qurbah adalah firman-Nya Ta’ala, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’[15] Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang
yang pendusta dan kufur.” [39:2][16]
Sementara
dalil syafaat adalah firman-Nya Ta’ala, “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata:
Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah. Katakanlah: apakah kamu hendak memberitahu Allah
apa yang Dia tidak ketahui di langit dan di bumi? Mahasuci Dia dari apa yang
mereka persekutukan.” [10: 18][17]
وَالشَّفَاعَةُ شَفَاعَتَانِ: شَفَاعَةٌ مَنْفِيَّةٌ، وَشَفَاعَةٌ
مُثْبَتَةٌ.
فَالشَّفَاعَةُ الْمَنْفِيَّةُ: مَا كَانَتْ تُطْلَبُ مِنْ غَيْرِ اللهِ
فِيمَا لا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلَّا اللهُ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ
أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾ [البقرة:254].
Syafaat
itu ada dua: syafaat manfiyyah (tertolak) dan syafaat mutsbatah
(diterima).[18]
Syafaat manfiyyah adalah syafaat yang diminta kepada selain Allah
pada perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. Dalilnya adalah
firman-Nya Ta’ala, “Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada
lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim.” [2: 254][19]
وَالشَّفَاعَةُ الْمُثْبَتَةُ: هِيَ الَّتِي تُطْلَبُ مِنَ اللهِ،
وَالشَّافِعُ مُكَرَّمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالْمَشْفُوعُ لَهُ مَنْ رَضِيَ اللهُ
قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ بَعْدَ الإِذْنِ؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿مَن ذَا الَّذِي
يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ﴾ [البقرة: 255].
Syafaat mutsbatah adalah syafaat yang diminta kepada Allah (dengan
ketentuan) yang diberi syafaat adalah orang yang dimuliakan dengan syafaat
dan yang memberi syafaat adalah orang yang diridhai ucapan dan perbuatannya
setelah mendapat izin, seperti yang difirmankan-Nya Ta’ala, “Tidak ada yang memberi syafaat di
sisi-Nya kecuali dengan seizin-Nya.” [2: 255][20]
الْقَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ ظَهَرَ عَلَى أُنَاسٍ مُتَفَرِّقِينَ فِي
عِبَادَاتِهِمْ:
مِنْهُمْ: مَنْ يَعْبُدُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ.
وَمِنْهُمْ: مَنْ يَعْبُدُ الْمَلَائِكَةَ.
وَمِنْهُمْ: مَنْ يَعْبُدُ الأَنْبِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ.
وَمِنْهُمْ: مَنْ يَعْبُدُ الأَشْجَارَ وَالأَحْجَارَ.
وَقَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَهُمْ؛ وَالدَّلِيلُ
قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ
الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ﴾ [الأنفال: 39].
Rasulullah ﷺ memerangi manusia yang bermacam-macam cara
beribadahnya. Di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan[21], ada yang menyembah para Malaikat[22],
ada yang menyembah para Nabi[23]
dan orang-orang shalih[24],
ada yang menyembah pohon dan batu[25].
Rasulullah
ﷺ
memerangi mereka tanpa membeda-bedakan mereka. Dalilnya adalah firman-Nya Ta’ala,
“Perangilah mereka hingga tidak ada fitnah (kesyirikan) dan agama seluruhnya milik Allah.” [8: 39][26]
وَدَلِيلُ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ آيَاتِهِ
اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ، لاَ تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ
وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ
تَعْبُدُونَ﴾ [فصلت: 37].
Dalil
matahari dan bulan adalah firman-Nya Ta’ala, “Di antara tanda-tanda (kekuasaan-Nya) adalah malam, siang, matahari
dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada
bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.” [41: 37]
وَدَلِيلُ الْمَلائِكَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ
جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا
يَعْبُدُونَ * قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ، بَلْ
كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ، أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ﴾ [سباء: 80].
Dalil
malaikat adalah firman-Nya Ta’ala, “Dan
(ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya
kemudian Allah berfirman kepada Malaikat: ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Malaikat-Malaikat itu menjawab: ‘Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka
telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.’” [34: 41-41]
وَدَلِيلُ الأَنْبِيَاءِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذْ قَالَ اللهُ يَا عِيسَى
ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَـهَيْنِ
مِن دُونِ اللهِ، قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ
لِي بِحَقٍّ﴾ [المائدة: 116].
Dalil
para Nabi adalah firman-Nya Ta’ala, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan
kepada manusia: ‘Jadikanlah
aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan
apa yang bukan hakku (mengatakannya).’” [5: 116]
وَدَلِيلُ الصَّالِحِينَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ
زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا
تَحْوِيْلًا * أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ
الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ
عَذَابَهُ، إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا﴾ [الإسراء: 56-57].
Dalil
orang-orang shalih adalah firman-Nya Ta’ala, “Katakanlah:
‘Panggillah
mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan
mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula
memindahkannya.’
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” [17: 56-57]
وَدَلِيلُ الأَشْجَارِ وَالأَحْجَارِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿أَفَرَأَيْتُمُ
اللاَّتَ وَالْعُزَّى * وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأُخْرَى﴾ [النجم: 19، 20].
وَحَدِيُث أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَرَجْنَا
مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ،
وَلِلْمُشْرِكِينَ سِدْرَةٌ، يَعْكُفُونَ عِنْدَهَا وَيَنُوْطُونَ بِهَا
أَسْلِحَتَهُمْ، يُقَالَ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ
فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ
أَنْوَاطٍ.
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: اللهُ أَكْبَرُ! إِنَّهَا السُّنَنُ، قُلْتُمْ ـ
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ـ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى:
﴿اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ﴾ [الأعراف: 138]
Dalil pohon dan batu adalah firman-Nya Ta’ala,
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
musyrik) menganggap Al-Lata
dan Al-Uzza,
dan Manat[27] yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” [53:19-20] dan juga hadits Abu Waqid Al-Laitsi Radhiyallahu
‘Anhu, dia berkata, “Kami keluar bersama Nabi ﷺ untuk
perang Hunain dan kami pada waktu itu belum lama keluar dari kekufuran.[28]
Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon di mana mereka itikaf di sisinya
dan menggantungkan pedang-pedang mereka yang disebut pohon Dzatu Anwath. Kami
pun melewati sebuah
pohon
lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath
seperti milik mereka.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Allahu
Akbar! Ini adalah sunan. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, kalian berkata
seperti ucapan Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah untuk kami tuhan seperti
mereka memiliki tuhan-tuhan.’”[29]
الْقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ:
أَنَّ مُشْرِكِي زَمَانِنَا أَغْلَظُ شِرْكًا مِنَ الأَوَّلِينَ، لِأَنَّ
الأَوَّلِينَ يُشْرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ، وَيُخْلِصُونَ فِي الشِّدَّةِ،
وَمُشْرِكُو زَمَانِنَا شِرْكُهُمْ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّة؛
وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ، فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ
يُشْرِكُونَ﴾ [العنكبوت: 65].
Orang-orang
musyrik di zaman kita lebih parah kesyirikannya dari pada orang-orang zaman
dulu, karena orang-orang zaman dulu berbuat syirik saat lapang saja tetapi
ikhlas saat kesulitan[30],
sementara orang-orang musyrik di zaman kita kesyirikan mereka terus-menerus
saat lapang dan sulit. Dalilnya adalah firman-Nya Ta’ala, “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa
kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah).” [29: 65]
وَاللهُ أَعْلَمُ
* * * *
|
- Mutun Thalibul Ilmi karya Syaikh Dr. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qashim, Penerbit:
Al-Maktabah Malik Fahad cet ke-4 tahun 1435 H/2014 M.
- Syarhul Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Shalih Al-Fauzan,
Muhaqqiq: Khalid Ar-Radadi, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah cet. ke-1 th.
1424 H/2003 M.
- Syarhul Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Tafrizh: Abdullah Al-Jibrin, Penerbit: Darul Mughni cet. ke-1 th. 1428
H/2007 M.
- Al-Jâmi’ As-Musnad Ash-Shahîh
Al-Mukhtashar min Umûri Rasûlillahi ﷺ wa Sunanih wa Ayyamih
(Shahîh Al-Bukhârî)
karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-Ju’fi (w. 256 H),
Tahqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir An-Nashir, Penerbit: Dar Thauqun Najah,
cet. ke-1 th. 1422 H.
- Al-Musnad Ash-Shahîh Al-Mukhtashar
Binaqlil Adli ‘anil Adli ilâ Rasûlillahi ﷺ (Shahîh Muslim) karya Abu Al-Husain Muslim bin
Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (w. 261 H), Tahqiq: Dr.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Ihyaut Turats Al-Arabi Beirut, tanpa
tahun.
Ponpes Ibadurrahman Maluku Utara membu-tuhkan uluran tangan Anda. Kenapa
kami harus tetap bertahan?
1. Ingin menyelamatkan generasi yang sudah kami
didik sejak TK (Taman Kanak-Kanak). Pondok kami sudah berjalan program pen-didikan
dari TPA, TK, SD, dan SMP.
Anak sudah mengerti mengaji, punya hafalan,
hijabnya sangat terjaga. Bahkan bercadar.
Kemudian setelah lulus SMP, mereka bingun mau
kemana lanjut sekolah. Ke Jawa? Biaya mahal. Ke SMA umum? Hilang akhlak dan
hijab. Dan sudah banyak alumni kita yg berubah menjadi awam lagi setelah lulus
SMP, dan ini sudah berlalu 9 generasi sejak dibuka program SMP.
2. Tenaga pengajar yang minim, dan kami menggaji
guru sangat minim sekali, Rp 200.000 per bulan, itupun 3 bulan sekali baru
diberikan.
Di pondok kami, ini sudah menjadi hal biasa sejak
17 tahun lalu, sejak berdiri tahun 2001.
Jika ada yang bertanya, “Memang tidak ada donatur
sama sekali?”
“Tidak semua muhsinin (donatur) mau ke
pondok kami, karena jarak yang jauh sekali, bayangkan hanya ingin ke kota saja
harus naik mobil lintas 6 jam, setelah itu 2 jam naik kapal laut.”
3. Dengan membuka program tahfidz, berarti kami
tidak banyak membutuhkan guru. Birokrasi tidak terlalu susah, paling hanya
butuh guru-guru tahfidz saja.
4. Belum ada pondok tahfidz di daerah kami. Dan
Alhamdulillah, sistem yang kami buat dari Halaqah Unggulan Masjid Nabawi, yang
diasuh oleh Syaikh Arrusyaidan (Murid Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad).
Untuk itu, kami mengajak Saudara-Saudara Kaum
Muslimin untuk berpartisipasi berdakwah bersama kami dengan menjadi muhsinin
PP Ibadurrahman. Semoga amal ibadah kita diterima Allah Ta’ala.
Hormat kami,
Ibnu Salim Ratimin, Lc
(Alumni Universitas Islam Madinah – KSA)
[1] Kaidah (القاعدة) seakar dari qo’ada (duduk), maksudnya
tempat yang kokoh untuk menopang dirinya sehingga apa yang berada di atasnya
menjadi kuat. Sehingga kaidah syirik diartikan sebagai pokok-pokok pembahasan
yang jika seseorang memahaminya maka ia akan kokoh tertopang sehingga tidak terjatuh
dari kesyirikan.
[2] Beliau lahir pada tahun 1115-1206 H atau 1703-1792 M.
Lahir dan tumbuh di Uyainah di Nejed (sekarang Riyadh, KSA). Beliau dua kali ke
Hijaz (Makkah-Madinah dan sekitarnya) untuk belajar kepada ulama-ulama di sana.
Kemudian beliau rihlah (safar untuk belajar) ke Syam lalu kembali ke
Uyainah di Nejed. Di sana beliau berdakwah kepada Tauhid di atas manhaj Salafus
Shalih dan memperingatkan umat dari syirik dan bid’ah. Beliau disambut oleh
pemimpin Uyainah, Utsman bin Hamad bin Ma’mar lalu menopang dakwahnya. Tetapi
dia ditekan oleh banyak kabilah sehingga tidak lagi membela Asy-Syaikh sehingga
beliau dimusuhi dan diusir lalu pindah ke Dir’iyah.
Pemimpin Dir’iyah, Muhammad bin Saud, mendukung dan
membelanya sehingga dakwah Tauhid berkembang pesat, terutama di kawasan Hijaz
dan dan sekitarnya, lalu Allah menyatukan wilayah-wiyalah tersebut di bawah
kekuasan pemimpin Dir’iyah sehingga lahirlah kerajaan Sa’ud dan sekarang
menjadi KSA, Kerajaan Saudi Arabia, atau Al-Mamlakah Al-Arobiyah As-Saudiyah.
Saat itu, kolonialisme (penjajahan) sedang
gencar-gencarnya dilakukan pasukan Salib termasuk Spanyol, Inggris, Belanda,
Perancis. Mereka tidak suka dengan dakwah Tauhid karena bisa membangkitkan
semangat jihad, sehingga mereka menggelari setiap orang yang mendakwahkan
Tauhid dengan Wahabisme hingga sekarang. Media-media elektronik sangat berperan
dalam menggiring opini masyarakat bahwa Wahabi adalah teroris, dan teroris
adalah Wahabi.
Karya Asy-Syaikh begitu banyak dan kebanyakan mengenai
keimanan dan Tauhid. Yang terkenal adalah Kitabut Tauhid, Nawaqidhul Islam, Qowa’idul
Arba’, Ushul Tsalatsah, Al-Masail Jahiliyah, dan Kasyfu Syubuhat,
dan lain-lain.
[3] Di awal kitab, Asy-Syaikh mendoakan pembaca dengan tiga
hal, yaitu wali, berkah, dan kebahagiaan. Ini merupakan adab guru yang baik
kepada murid, yaitu senantiasa mendoakan kebaikan kepada setiap orang terkhusus
muridnya.
Yang pertama, wali. Allah menjadi wali si fulan,
maksudnya adalah Allah senantiasa menjaganya, menyayanginya, dan menolongnya.
Allah berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ
اللهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لَا مَوْلَى لَهُمْ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung
orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada
mempunyai pelindung.” (QS.
Muhammad [47]: 11)
Siapa yang Allah adalah walinya, maka Allah akan
membimbingnya menuju hidayah. Allah berfirman:
اللهُ وَلِيُّ
الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى
الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaqut, yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni Neraka;
mereka kekal di dalamnya.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 257)
Kedua, berkah. Secara bahasa artinya ziyatul
khoir wa tsubutuhu (bertambahnya kebaikan dan langgeng). Jika harta
diberkani maka akan cukup dan bermanfaat, jika waktu diberkahi maka akan
dimanfaatkan dalam ketaatan, jika keluarga diberkahi maka Allah akan
memperbaiki keshalihan mereka. Berkah begitu penting, dan karenanya para Nabi
diberkahi Allah, begitu juga tempat-tempat penting mereka. Nabi Isa ‘Alaihissalam
berkata sebagaimana yang Allah firmankan:
وَجَعَلَنِي
مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di
mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup.”
(QS. Maryam [19]: 31)
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الَاقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al-Masjidilharam ke Al-Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra [17]: 1)
Ketiga, bahagia. Siapa yang memiliki tiga sifat
ini maka ia akan selalu bahagia dunia-Akhirat, yaitu apabila diberi maka bersyukur,
apabila diuji maka bersabar, dan apabila berbuat dosa maka beristighfar.
Inilah sifat orang beriman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
«عَجَبًا لَامْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ
خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ»
“Sungguh mengagumkan perkara Mukmin. Semua perkaranya
terbaik, dan itu tidak terjadi kecuali pada Mukmin. Jika mendapat keberuntungan
maka ia bersyukur, dan itu terbaik baginya. Jika tertimpa mudhorot maka ia
bersabar, dan itu terbaik baginya.”
(HR. Muslim no. 2999)
[4] Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “Hanif artinya
fokus menghadap ke Allah dan berpaling dari selainnya.” (Syarah Qowa’idul
Arba’ hal. 12) Maksudnya adalah bertauhid dan tidak berbuat syirik, karena
Tauhid itu lurus (hanif) dan syirik itu bengkok (iwaj).
[5] Semua Nabi dan Rasul yang Allah utus setelah Ibrahim ‘Alaihissalam
berasal dari keturunannya. Allah berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهُ
إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ
وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ
الصَّالِحِينَ
“Dan Kami anugrahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub, dan
Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan
kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di Akhirat, benar-benar
termasuk orang-orang yang shalih.”
(QS. Al-Ankabut [29]: 27)
Ishaq ‘Alaihissalam memiliki anak bernama Ya’qub ‘Alaihissalam
yang nama lainnya adalah Israil, untuk itu keturunannya disebut Bani Israil.
Semua Nabi berasal darinya kecuali Muhammad ﷺ, beliau berasal dari keturunan Ismail ‘Alaihissalam.
Untuk itu Allah menyuruh Nabi Muhammad ﷺ mengikuti millah (ajaran)
Ibrahim yang hanif, yaitu Tauhid, dan inilah agama para Nabi dan Rasul
dari Adam hingga Muhammad. Allah berfirman:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ
كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ *
شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ، اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ *
وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الاَخِرَةِ لَمِنَ
الصَّالِحِينَ * ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri
nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang
lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di
Akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih.
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang syirik.’” (QS. An-Nahl [16]: 120-123)
[6] Inilah makna Tauhid, yakni tidak sekedar menyembah
Allah, tetapi juga murni (ikhlas) sehingga berkonsenkuensi mengingkari yang
disembah selain-Nya. Siapa yang menyembah Allah tetapi juga menyembah (berdoa,
harap, takut) kepada selain-Nya, maka dia bukan ahli Tauhid tetapi ahli syirik.
Allah berfirman tentang Ibrahim:
وَإِذْ قَالَ
إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ * إِلَّا
الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah,
tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan
memberi hidayah kepadaku.” (QS.
Az-Zukhruf [43]: 26-27)
[7] Ibnu Abbas menafsirkan “menyembah-Ku” dengan
“mentauhidkan-Ku.” Inilah tujuan manusia diciptakan, bukan untuk sekedar makan,
minum, tidur, menumpuk harta, kendaraan, hunian. Tetapi Allah menyediakan
segala prasana ini agar manusia memanfaatkannya untuk menopangnya dalam
beribadah. Seseorang makan dan minum, karena untuk menopangnya shalat.
Seseorang bekerja, karena untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah
tetapkan baginya yang membutuhkan biaya, seperti menafkahi keluarga, zakat,
haji dan umrah. Begitu seterusnya.
[8] Setelah Asy-Syaikh menjelaskan tujuan kita hidup untuk
ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, dan ketaatan lainnya) maka Asy-Syaikh
mengingatkan bahwa semua ibadah ini akan hangus, batal, dan tidak diberi
balasan, jika ia berbuat syirik, sebagaimana wudhu batal jika kemasukan hadats
(kentut misalkan).
Ayat di atas dalil tegas bahwa orang musyrik batal amal
ibadahnya, meskipun memakmurkan masjid dengan shalat, baca Al-Qur’an,
sekalipun. Allah juga berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(Nabi-Nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu syirik, niscaya hapuslah amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
إِنَّهُ مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang syirik kepada Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)
[11] Artinya taghtiyah
(menutup) karena orang kafir menutup diri sehingga enggan beriman. Mereka ada
dua kelompok besar yaitu Ahli Kitab dan musyrik. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ
فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan
orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahanam; mereka kekal di
dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)
Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nashrani karena Al-Kitab
Taurat dan Injil diturunkan kepada mereka, dan mereka disebut ahli karena
mereka tahu isinya, tetapi ternyata mereka menyelisihi isinya.
Adapun orang musyrik adalah orang-orang yang menyembah
Allah dan juga menyembah selain-Nya. Yang termasuk mereka adalah Hindu, Budha,
Konghucu, Sinto, Majusi, dan semua agama dan kepercayaan selain Islam.
Kafir lebih umum daripada syirik, sehingga setiap yang
berbuat syirik pasti kafir tetapi tidak semua perbuatan kufur disebut syirik,
seperti mencaci Rasulullah adalah perbuatan kufur, bukan syirik; menyembah
patung adalah syirik dan juga disebut
kufur.
Adapun yang dimaksud Asy-Syaikh dengan orang kafir di
sini adalah orang-orang kafir di zaman Nabi ﷺ, yaitu kafir Quraisy, Yahudi, Romawi, dan Persia, serta yang
sezaman dengan mereka. Allahu a’lam.
[12] Sifat-sifat besar yang hanya
dimiliki Allah ini diyakini oleh seluruh manusia termasuk orang-orang yang
diperangi Rasulullah ﷺ. Manusia yang diperangi beliau ada
tiga kelompok besar yaitu bangsa Arab, Romawi, dan Persia. Mereka semua
meyakini bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi rizki mereka, juga Yang
menghidupkan dan mematikan mereka, juga Yang mengatur alam semesta. Dalil Allah
Pencipta mereka adalah firman-Nya:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah
yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah!’ Maka
bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf [43]: 87)
Dalil Allah Pencipta alam semesta dan Yang mengaturnya
adalah firman-Nya:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَارْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan yang menundukkan matahari
dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah,’ maka betapakah mereka
(dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (QS. Al-Ankabut [29]: 61)
Bahkan Iblis sendiri disepakati meyakini Allah sebagai
Penciptanya. Dalilnya adalah ucapan Iblis sendiri yang Allah firmankan:
قَالَ مَا مَنَعَكَ
أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ
نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk
bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Menjawab Iblis: ‘Saya lebih
baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah.’” (QS.
Al-A’raf [7]: 12)
Fir’aun pun demikian, sejatinya ia meyakini dirinya bukan
tuhan karena ia sadar dirinya tidak bisa berbuat sebagaimana Allah berbuat.
Untuk itu ia menampakkan keimanannya saat-saat sakarat, tetapi Allah tidak
menerimanya, sebagaimana firman-Nya:
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا
وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ * آلْاَنَ
وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ * فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ
بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ
آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu
mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan
menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah
dia: ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah).’ Apakah sekarang (baru kamu berucap), padahal
sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu
dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya
kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus [10]: 90-92)
Nabi Musa mendapatkan wahyu bahwa Fir’aun sejatinya
mempercayai Allah Rabbnya Musa dan risalahnya, sebagaimana firman-Nya:
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ
مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْاَرْضِ بَصَائِرَ
وَإِنِّي لَاظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
“Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui,
bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara
langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira
kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.’” (QS. Al-Isra [17]: 102)
Fir’aun semasa hidupnya menentang Musa bukan karena tidak
mengimani risalah dan Rabb Musa, tetapi kesombongan dirinya yang menghalanginya
dari beriman, sebagaimana firman-Nya:
وَجَحَدُوا بِهَا
وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka (Fir’aun dan pengikutnya) mengingkarinya
karena kelaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini
(kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. An-Naml [27]: 14)
Hal ini bukanlah hal yang aneh, karena di sebuah alam
sebelum manusia ada, mereka telah dikenalkan Allah dan diambil sumpah,
sebagaimana firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ
رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari Kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (QS. Al-A’raf [7]: 172)
Sehingga setiap anak lahir adalah dalam keadaan fithrah
(bertauhid) lalu menjadi kafir dan musyrik adalah karena rayuan setan atau
lingkungannya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ
إِلَا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ،
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang dilahirkan berada di atas fithrah. Lalu
kedua orang tuanya menjadikanya Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658)
Begitu juga sabda Rasulullah ﷺ, Allah berfirman:
وَإِنِّي خَلَقْتُ
عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ
فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ،
وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا
“Aku ciptakan seluruh hambaku dalam keadaan hanif
(bertauhid), lalu setan mendatangi mereka menggelincirkan mereka dari
agama mereka. Setan mengharamkan kepada mereka apa yang Aku halalkan kepada
mereka. Setan memerintahkan mereka berbuat syirik kepada-Ku apa yang Aku tidak
turunkan dalil tentangnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 2865)
Meyakini Allah sebagai satu-satunya Yang mencipta,
memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta, inilah yang
disebut Tauhid Rububiyah, dan semua orang yang diperangi Nabi ﷺ meyakini Tauhid ini, tetapi tidak
lantas mereka disebut ahli Islam dan ahli iman.
Orang musyrik ada dua jenis, yaitu [1] menyembah Allah
dan juga selain-Nya dan [2] menyembah selain Allah semata dan ini lebih jelek
dari yang pertama. Adapun bangsa Arab, Yahudi, dan Romawi yang diperangi Nabi ﷺ, mereka tipe yang pertama.
Kenapa bangsa Arab masih mengenal Allah? Karena
peninggalan dan sisa ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail masih tersisa di sana,
terutama ibadah haji, meskipun ritualnya sudah tidak murni tetapi
ditambah-tambah dengan kesyirikan.
Dari semua pemaparan ini menjadi jelas bahwa sekedar
meyakini sifat Rububiyah Allah seperti mencipta, menghidupkan, dan mengatur,
maka tidak lantas disebut beriman, tetapi disebut orang kafir lagi musyrik.
Andai mereka sudah dianggap beriman tentu Nabi ﷺ tidak perlu mendakwahi mereka dan tidak memerangi mereka.
[13] Ini kabar dari Allah bahwa jika semua pertanyaan ini
dilontarkan kepada orang-orang yang diperangi Nabi ﷺ, tentu mereka akan menjawab Allah.
Ini dalil tegas yang menunjukkan bahwa mereka meyakini Rububiyah Allah, tetapi
tidak lantas mereka dengan itu disebut sebagai orang beriman.
[14] Kaum musyrikin yang diperangi Nabi ﷺ mengetahui bahwa Latta, Uzza, dan
Manat dari sesembahan mereka hanyalah patung yang tidak bisa menolak bahaya dan
mendatangkan manfaat, untuk itu mereka tidak menyembahnya, tetapi menyembah
Allah Rabb semesta alam. Namun, mereka menilai berhala-berhala tersebut yang
merupakan orang-orang shalih atau terdekat Allah, sehingga menjadikannya
sebagai pelantara antara dirinya dengan Allah. Mereka menggunakan syafaat
berhala agar bisa mendekatkan (qurbah) mereka kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya.
[15] Ayat ini menunjukkan mereka sejatinya hanya menjadikan
berhala sebagai pelantara bukan sebagai yang disembah dan dimintai doa, dan
mereka menyangka itu bukan syirik, tetapi Alllah menganggapnya sebagai syirik.
Oleh karena itu, di awal ayat berbunyi, “Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah.”
[16] Ayat “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah” menunjukkan perbuatan mereka ini syirik dan ini juga dikuatkan oleh
akhir ayat, “Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang
yang pendusta dan kufur.”
[17] Ayat ini menunjukkan mereka hanya menjadikan berhala
sebagai syafaat, yaitu menjadikan mereka sebagai pelantara kepada Allah untuk
meminta hajat mereka, tetapi Allah menganggap perbuatan ini sebagai syirik, “Dan
mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada
mereka dan tidak (pula) kemanfaatan.”
[18] Di sini Asy-Syaikh menjelaskan bahwa dirinya tidak
menginkari adanya syafaat, hanya saja syafaat ada dua, dan yang beliau ingkari
adalah syafaat manfiah (tertolak), yaitu syafaat yang diminta kepada
selain Allah apa yang ia tidak kuasa kecuali Allah semata.
[19] Syafaat termasuk ibadah dan wajib diminta hanya kepada
Allah. Siapa yang meminta kepada selain Allah maka ia musyrik. Seluruh syafaat
adalah milik Allah, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ لِلَّهِ
الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالَارْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“Katakanlah: ‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.
Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu
dikembalikan.’” (QS. Az-Zumar [39]: 44)
Termasuk ucapan kufur adalah, “Wahai wali fulan, wahai
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, wahai Syaikh Ar-Rifai, wahai Syaikh Ibnu Arabi,
wahai Syaikh Al-Badawi, berilah kami syafaatmu!”
Termasuk pula ucapan, “Wahai Rasulullah berilah aku
safaatmu pada hari Kiamat nanti!” Tetapi yang benar adalah, “Ya Allah, berilah
aku syafaat Rasul-Mu!”
Para ulama menjelaskan, di antara hikmahnya adalah agar
seseorang hanya bergantung dan berharap kepada Allah, serta jauh dari
menggantungkan diri kepada makhluk. Inilah Tauhid.
[20] Kita meyakini di hari Kiamat nanti ada syafaat, tetapi
pemberi syafaat adalah orang yang Allah izinkan, sementara sasarannya adalah
orang yang Allah ridhai, yaitu karena ia bertauhid. Allah berfirman tentang dua
syarat ini (izin dan ridha):
وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ
فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَا مِنْ بَعْدِ أَنْ
يَأْذَنَ اللهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya Malaikat di langit, syafaat mereka
sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang
yang dikehendaki dan (sasarannya adalah orang yang) diridai.” (QS. An-Najm [53]: 26)
Yang paling beruntung adalah yang paling tinggi
Tauhidnya, berdasarkan riwayat bahwa Abu Hurairah bertanya :
يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ القِيَامَةِ؟ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ: «لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ
هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى
الحَدِيثِ: أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لَا
إِلَهَ إِلَا اللهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ، أَوْ نَفْسِهِ»
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling bahagia
mendapatkan syafaatmu pada hari Kiamat?” Beliau menjawab, “Aku tahu bahwa
tidak ada yang mendahuluimu menanyakan ini kepadaku selainmu, melihat kamu
sangat semangat dalam hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada
hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan laailaaha illa Allah ikhlas
dari hatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 99)
[22] Yaitu sebagian orang musyrik jahiliyah. Mereka menganggap
Malaikat adalah anak perempuan Allah, dan Allah membantah mereka:
وَجَعَلُوا لَهُ
مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ * أَمِ اتَّخَذَ
مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ ... وَجَعَلُوا
الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا
خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya
sebagai bahagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang
nyata (terhadap rahmat Allah). Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang
diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki... Dan mereka
menjadikan Malaikat-Malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha
Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan
penciptaan Malaikat-Malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan
mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-19)
[23] Yaitu Yahudi dan Nashrani. Uzair dijadikan Yahudi
sebagai anak Allah dan Isa putra Maryam dijadikan Nashrani sebagai anak Allah,
sebagaimana firman-Nya:
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ
اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan
orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan
mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah [9]: 30)
[24] Yaitu kafir Quraisy yang menyambah Latta yang dulunya
adalah orang baik, dermawan,dan ditokohkan, dalilnya akan disebutkan Asy-Syaikh
pada surat An-Najm.
Termasuk pula kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam yang
menyembah Wad, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr yang dulunya adalah orang-orang
dermawan yang ditokohkan masyarakat. Allah berfirman:
وَقَالُوا لَا
تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ
وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa', Yaghuts, Ya'uq dan
Nasr.’” (QS. Nuh [71]: 23)
[25] Pohon dan batu yang disembah merupakan tradisi kaum
musyrikin dari zaman dahulu hingga sekarang. Musyrikin Makkah memiliki berhala
Latta, Uzza, dan Manat yang terbuat dari batu atau pohon. Adapun zaman sekarang
lebih beragam berhalanya.
[26] Yang dimaksud fitnah di sini adalah syirik, sebagaimana
yang ditafsirkan oleh para Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘Anhum.
Nabi ﷺ memerangi semua penyembah berhala
dan sesembahan tersebut, meskipun di antara yang disembah ada para Nabi dan
orang-orang shalih. Ini bantahan bagi orang yang mengatakan bahwa tawasul
(pelantara) kepada ruh orang shalih boleh, berbeda dengan ruh orang jahat atau
benda mati.
Setan, Fir’aun, Namrud, dukun dan semua yang disembah,
kelak mereka semua akan marah dan berlepas diri kepada para penyembahnya.
Dalilnya adalah firman Allah:
وَمَنْ أَضَلُّ
مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ * وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ
كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)
nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?
Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat)
niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari
pemujaan-pemujaan mereka.” (QS.
Al-Ahqaf [46]: 5-6)
Lantas, bagaimana lagi jika yang disembah adalah
orang-orang shalih seperti Nabi Uzair, Nabi Isa, Malaikat, dan orang-orang
shalih lainnya disembah?! Tentu mereka lebih murka kepada para penyembahnya.
[27] Tiga berhala ini adalah yang
paling utama dan penting di sisi orang Arab. Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah
berkata, “Laata adalah orang shalih, Uzza adalah pohon, dan Manat adalah batu.”
(Syarah Qowa’idul Arba’ hal. 25)
Syaikh Shalih Al-Fauzan
berkata, “Laata sebutan untuk batu besar berukir yang diatasnya ada bangunan
berhijab. Ia mirip Ka’bah dan memiliki halaman. Orang-orang biasa menyembahnya,
selain Allah.
Bisa pula ia dibaca
Laatta (dengan tasydid) yang berasal dari latta-yaluttu (mengadon), yaitu
lelaki shalih yang biasa mengadon roti untuk dibagikan cuma-cuma kepada jamaah
haji. Ketika ia mati maka dibangun rumah untuknya dan diberi kain penutup, lalu
mereka menyembahnya.
Uzza adalah pohon
bertangga terletak di Wadi Nakhlah antara Makkah dan Thaif, di mana di
sekelilingnya ada bangunan dan kain penutup. Di dalamnya ada setan yang biasa
bicara kepada manusia. Orang-orang bodoh mengira yang berbicara adalah pohon
itu sendiri atau rumah yang mereka bangun tersebut, padahal ia adalah setan
yang ingin menyesatkan mereka dari jalan Allah. Berhala ini disembah Quraisy,
penduduk Makkah, dan sekitarnya.
Adapun Manat, ia terletak
dekat gunung Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Ia disembah suku Khuza’ah, Aus,
dan Khazraj. Mereka memuliakannya dengan haji dan menyembahnya selain Allah.
Tiga berhala ini adalah
berhala terbesar bangsa Arab.” (Syarah Qowa’idul Arba’ hal. 29)
Ada yang mengatakan, “Mereka
menamainya Uzza (bentuk perempuan dari Aziz) untuk menandingi Allah Al-Aziz dan
menamainya Manat untuk menandingi Allah Al-Mannan.”
[28] Abu Waqid dan orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa di atas adalah mualaf. Mereka masuk Islam pada Fathu
Makkah tahun 8 H dan tidak lama dari itu terjadi perang Hunain.
Kisah Dzatu Anwath
memberi pelajaran bahwa orang awam wajib belajar Tauhid dan syirik agar tidak
terjerumus kepadanya, karena syirik itu begitu tersamar bagaikan semut hitam di
atas batu hitam di kegelapan malam.
[29] HR. At-Tirmidzi no. 2180, Ahmad
no. 21897, Al-Humaidi no. 871, Ibnu Abi Syaibah no. 37375 dalam Al-Mushannaf,
dan Ibnu Abi Ashim no. 76 dalam As-Sunnah dengan sedikit perbedaan
lafazh. Kemungkinan lafazh di atas dari hafalan Asy-Syaikh secara makna.
Derajat hadits shahih.
[30] Maksudnya, mereka berdoa dan berharap kepada
berhala-berhala, tetapi saat mereka ditimpa kesulitan yang gawat seperti ombak,
banjir, dan gempa maka mereka memanjatkan doa hanya kepada Allah karena mereka
tahu Allah adalah Al-Mudabbir (Yang mengatur alam semesta) dan Al-Qadir (Yang
mahakuasa).