Dua Anak Bahagia, Apalagi Banyak! - Pustaka Syabab
Dua Anak Bahagia, Apalagi Banyak! Penulis: Nor Kandir dan Fatin Jauharah Layout: Tim Pustaka Syabab Korektor: Brilly E...
https://www.terjemahmatan.com/2018/03/dua-anak-bahagia-apalagi-banyak-pustaka.html?m=0
Dua Anak Bahagia, Apalagi Banyak!
Layout: Tim Pustaka Syabab
Korektor: Brilly El-Rasheed
Penerbit: Pustaka Syabab
Cetakan: Pertama, 1439 H/2018 M
Lisensi: Gratis
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ. الحَمْدُ للهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى
رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَبَعْدُ:
Setiap
orang Islam wajib meyakini bahwa syariat Islam adalah keadilan dan penuh
hikmah, jalan paling lurus, serta pedoman hidup paling baik. Allâh berfirman:
«يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ
لِمَا يُحْيِيكُمْ»
“Hai
orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada
suatu yang memberi (kebaikan) hidup bagimu.” (QS.
Al-Anfaal [8]: 24)
Imam
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa
kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka
barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allâh dan Rasul-Nya maka dia tidak akan
merasakan kehidupan hakiki, meskipun dia bergelimang dalam kehidupan hewani
(makan, minum, dan seks).” (Kitab Al-Fawa-id, hal. 121)
Semua
permasalahan hidup sudah dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa
tertinggal satupun, termasuk masalah rumah tangga yang bahagia. Pernah orang
Yahudi berkata Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu:
قَدْ
عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ، حَتَّى الْخِرَاءَةَ، فَقَالَ سَلْمَانُ:
أَجَلْ «نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بِبَوْلٍ، أوْ
أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ
ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ»
Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu, hingga
masalah buang hajat. Salman menjawab, “Benar. Kami dilarang menghadap kiblat
saat buang hajat atau kencing. Kami juga dilarang bersuci (cebok) dengan tangan
kanan, atau istinja (bersuci) kurang dari tiga batu, atau istinja dengan
kotoran kering dan tulang.” (Shahih: HR.
At-Tirmidzi no. 16)
Siapa
yang tidak merujuk kepada ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam problem kehidupannya, termasuk masalah
rumah tangga, ia pasti akan menderita dan binasa. Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«قَدْ
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيغُ عَنْهَا
بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ»
“Sungguh
aku telah meninggalkan kalian di atas ajaran yang putih bersih (gamblang dan
jelas), hingga malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang berpaling darinya
sepeninggalku kecuali ia akan binasa.” (Shahih: HR.
Ibnu Majah no. 43)
Dalam
buku ini akan dijelaskan pandangan syariat mengenai permasalahan “banyak anak”
yang menjadi buah bibir orang-orang yang yang belum sampai kepadanya penjelasan
syariat tentang hal ini. Adapun orang yang sudah belajar Islam lebih dalam
tentu ia sudah mengetahui jawabannya. Kemudian, untuk meratakan jawaban ini ke
tengah masyarakat maka disusunlah buku ini. Kita akan melewati bab demi bab
yang dengan itu, diharapkan Anda bisa bersikap lebih bijak dalam masalah ini.[]
Islam
adalah satu-satunya agama yang memotifasi pemeluknya untuk banyak anak, ini
berbeda dengan agama lainnya. Oleh karena itu, jika ada seruan agar umat Islam
sedikit anaknya, maka itu boleh jadi karena ketidaktahuannya tentang syariat,
atau ia orang nonMuslim yang ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya.
Di antara
dalil-dalil bahwa Islam benar-benar memotivasi umatnya banyak anak adalah sebagai berikut.
Diriwayatkan
dari ‘Abdurrahman bin Salim bin Utbah bin ‘Uwaim bin Saidah Al-Anshari dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«عَلَيْكُمْ
بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا، وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا،
وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ»
“Hendaklah kalian menikahi gadis (perawan), karena mereka
lebih harum mulutnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” (Hasan:
HR. Ibnu Majah no. 1861)
Sabda
beliau, ‘lebih subur rahimnya” menunjukkan wanita yang paling utama
dinikahi adalah yang kemungkinan banyak anaknya, dan subur bisa dilihat dari
ibu, nenek, atau saudarinya. Umumnya seorang wanita itu mewarisi kesuburan dari
mereka.
Di antara
sebab dipilihnya subur, karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ingin jumlah
umatnya banyak, sehingga beliau merasa bangga di hadapan para Nabi yang lain di
hari Kiamat. Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘Anhu, Rasûlullâh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«تَزَوَّجُوا
الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ [يَوْمَ
الْقِيَامَةِ]»
“Nikahilah wanita yang penyayang
dan subur, karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian di
hadapan para
umat [pada hari Kiamat].” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 2050 dan tambahan dalam kurung dari Al-Baihaqi no. 2351
dalam Ash-Shaghir)
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menggandengkan penyayang
dan subur karena jika seorang wanita penyayang maka ia akan merawat
anaknya dengan baik dan telaten. Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menekankan menikahi wanita dengan dua sifat utama yang
ternyata semuanya demi mensukseskan program banyak anak dan berkualitas.
Allâh berfirman:
«وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ»
“Di
antara tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa tenang karena
mereka, dan Dia jadikan di antara kalian mawaddah dan rohmah.
Sungguh pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berfikir.” (QS. Ar-Rûm [30]: 21)
Ibnul
Munzhir dan Ibnu Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari Al-Hasan tentang firman Allâh “Dia menjadikan untuk kalian mawaddah”
yakni jimak, dan “rohmah” yakni anak. (Tafsir As-Suyuthi, 6/490)
Pernikahan
yang agung, yang dengannya, lelaki dan wanita menjadi tenang dan bahagia, untuk
tidak melupakan tujuan lain yang juga agung yaitu jimak dan hasil dari jimak
yakni anak. Ayat ini juga dalil motivasi besar untuk banyak anak, karena
semakin banyak anak maka semakian besar pula rohmatnya (kebahagiaan). Dalam
ayat lain Allâh berfirman:
«فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ»
“Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allâh untukmu.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 187)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan:
{فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ} يَعْنِي: جَامِعُوهُنَّ {وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
يَعْنِي: الْوَلَدُ
“Ayat ‘campurilah mereka’
maksudnya adalah jimaklah mereka, dan ayat ‘carilah apa yang telah
ditetapkan Allâh untukmu’ yakni
anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/511)
Syaikh
As-Sa’di Rahimahullah menafsirkan firman Allâh tersebut, “Yakni niatkanlah ketika menggauli
istrimu dalam rangka taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allâh dan tujuan
yang agung, yaitu munculnya anak dan terjaganya kehormatan kemaluan
suami-istri.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 87)
Nabi Zakaria ‘Alaihissalam,
meskipun sudah tua renta dan istrinya pun mandul, beliau tidak bosan untuk
selalu meminta anak. Allâh menceritakan:
«إِذْ
نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا * قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا * وَإِنِّي
خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ
لَدُنْكَ وَلِيًّا * يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ
رَضِيًّا»
“Yaitu tatkala
ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia
berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi
uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan
sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (penerusku) sepeninggalku, sedang
istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau
seorang putra,
yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga
Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS.
Maryam [19]: 3-6)
Selayaknya
setiap Muslim merengek kepada Allâh meminta banyak anak, sebagaimana teladan dari
Nabi Zakaria ‘Alaihissalam, apalagi
anak-anak yang lahir dari mereka diharapkan menjadi anak
shalih yang berbakti kepada Rabb-nya, orang tua, dan agama.
Syaikh
As-Sa’di Rahimahullah berkata, “Pada ayat ini terdapat kelembutan
Zakaria ‘Alaihissalam dan nasihatnya, yaitu permintaannya akan anak
tidak seperti manusia lainnya yang tujuannya sekedar urusan duniawi. Adapun
Zakariya, tujuannya adalah demi kemaslahatan agama, takut nanti tidak terurus.”
(Tafsir As-Sa’di hal. 489)
Begitu
juga Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
meskipun sudah tua beliau tiada henti meminta keturunan kepada Allâh, lalu Allâh
mengabulkannya:
«الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي
لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ»
“Segala
puji bagi Allâh yang telah menganugerahkan kepadaku di hari
tua Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar
(memperkenankan) doa.” (QS. Ibrahim [15]: 39)
Sebagian
Salaf yang sangat merindukan kehadiran anak lalu diberi saat masa tua, mereka
menamainya Ismail atau Ishaq, karena saking gembiranya dan meneladani Ibrahim ‘Alaihissalam.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
putra-putri beliau ada banyak, mencapai tujuh. Enam pertama berasal dari
pernikahan dengan Khadijah Radhiyallahu ‘Anha. Yang terakhir, bernama
Ibrahim, hasil
dari budak bernama Mariyah Qibtiyah, hadiah dari raja Mesir. Yang menakjubkan,
tidaklah Nabi serumah dengan Mariyah kecuali umur beliau saat itu lebih dari 55
tahun. Namun, hal itu tidak menghalangi beliau untuk selalu meminta tambahan
anak kepada Allâh.
Al-Hafizh An-Nawawi berkata, “Beliau memiliki tiga anak, yaitu Al-Qasim yang
dengan itu beliau berkun-yah (Abu Al-Qasim), Abdullah, dan Ibrahim. Sementara
yang putri ada empat yaitu: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah.” (Tafdziibul
Asmaa wal Lughaat, 1/26 secara ringkas)
Nabi Sulaiman putra Dawud ‘Alaihmassalam, pernah
berharap memiliki 100 anak dan beliau pun ikhtiar. Disebutkan dalam hadits
shahih:
أَنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ لَهُ سِتُّونَ امْرَأَةً،
فَقَالَ: لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى نِسَائِي فَلْتَحْمِلْنَ كُلُّ
امْرَأَةٍ، وَلْتَلِدْنَ فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَطَافَ عَلَى
نِسَائِهِ، فَمَا وَلَدَتْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ وَلَدَتْ شِقَّ غُلاَمٍ “،
قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ كَانَ سُلَيْمَانُ
اسْتَثْنَى لَحَمَلَتْ كُلُّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ، فَوَلَدَتْ فَارِسًا يُقَاتِلُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ»
“Nabiyullah Sulaiman ‘Alaihimassalam mempunyai 60 (dalam riwayat
lain: 100) isteri dan berkata, ‘Sungguh, malam ini aku akan menggilir
isteri-isteriku sehingga masing-masing isteriku hamil dan melahirkan seorang
penunggang kuda yang berperang fi sabilillah.’ Lantas Sulaiman menggilir
isteri-isterinya, namun sama sekali tidak ada yang hamil selain satu orang
isteri yang melahirkan anak cacat. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Kalaulah Sulaiman mengucapkan
'in syaa Allah', niscaya setiap isterinya hamil dan melahirkan seorang anak
yang berperang fi sabilillah.’” (HR. Al-Bukhari no. 7469)
Ini
bukanlah judul yang mengada-ngada, karena sepanjang sejarah, orang-orang shalih
memang suka memiliki anak banyak. Beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki anak lebih dari 10. Ini hal lumrah di
kalangan mereka. Kita pun menyaksikan para leluhur kita yang masih suci
jiwanya, bersih dari propaganda televisi, mereka berlomba-lomba memiliki
anak banyak, dan tak jarang putri masih belasan tahun dinikahkan agar bisa
memperbanyak anak. Hingga terkenal slogan mereka “Mangan rak mangan, seng
penting kumpul” yang artinya: makan ataupun tidak makan, yang penting
kumpul.
Diriwayatkan Umar bin
Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
«وَاللّٰهِ
إِنِّي لَأُكْرِهُ نَفْسِي عَلَى الْجِمَاعِ، رَجَاءَ أَنْ يُخْرِجَ اللّٰهُ
مِنِّي نَسَمَةً تُسَبِّحُ اللّٰهَ»
“Demi Allâh sungguh aku
memaksa jiwaku untuk bersenggama karena berharap Allâh akan mengeluarkan dariku
keturunan yang akan bertasbih kepada Allâh.” (HR. Al-Baihaqi, no. 13460)
Di dalam
hadits ini ada perawi bernama Al-Hajna’ bin Qois yang dikatakan oleh
Ad-Daruquthni, “Laa syai-a (Tidak sesuatu),” maksudnya ia lemah sehingga
tidak bisa dijadikam hujjah, tetapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitabnya Ats-Tsiqaat
(orang-orang terpercaya). (Lisaanul Miizaan, 7/256/9026)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mendoakan Anas bin Malik agar banyak anaknya, dan di masa tua, Anas
menghitung putra-putrinya mencapai 100 lebih. Andai banyak anak itu tercela,
tentu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan mendoakan hal
tersebut, karena mustahil Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan
keburukan kepada umatnya.
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dia
berkata: Ibuku (Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha) pernah berkata: “Berdoalah
kepada Allâh untuk pelayan kecilmu ini!” Anas berkata: “Maka
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berdoa meminta segala kebaikan untukku,
dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan:
«اللَّهُمَّ
أَكْثِرْ مَالَهُ، وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ»
“Ya Allâh,
perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan
kepadanya.” Anas berkata: “Demi Allâh, sungguh aku memiliki harta
yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari
seratus orang.” (HR. Muslim no. 2481 dan Al-Bukhari no. 6344)
Hadits
ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allâh Ta’ala, karena Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk
sahabatnya, dan Anas bin Malik sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan.
Oleh karena itulah, Imam Muslim mencantumkan hadits ini dalam bab: Keutamaan
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. (Syarah
Shahih Muslim,
16/39-40)
Keutamaan banyak anak begitu
banyak. Namun, semuanya bisa disederhakan menjadi tiga poin, yaitu sebagai
berikut:
b)
Kita
sepakat bahwa kehadiran anak menggembirakan orang tua, padahal ia masih bayi
belum bisa membantu orang tuanya, tetapi begitulah Allâh menjadikan fisik bayi yang imut adalah hiburan
tersendiri bayi orang tua. Jika besar nanti, diharapkan baktinya kepada orang
tuanya. Lantas bagaimana jika anaknya lebih dari satu? Allâh berfirman:
«زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ»
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang.” (QS. Ali Imran [3]: 14)
Di dalam
ayat lain, anak disebut sebagai perhiasan dunia, sebagaimana firmanNya:
«الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا»
“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS.
Al-Kahfi [18]: 46)
Memang
merawat anak itu melelahkan, tetapi barangkali itu adalah cara Allâh memuliakan Anda dengan disibukkannya Anda
dalam kebaikan. Bukankah ini nikmat tersendiri? Setiap tetes keringat Anda
bekerja dinilai ibadah, dalam rangka mentaati perintah Allâh yang mewajibkan
para suami menafkahi anak dan istrinya, bukankah ini juga nikmat tersendiri?
Rasûlullâh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«دِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ،
وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى
أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ»
“Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk pembebasan
budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar
yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah
yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)
Di kala
anak itu tumbuh dewasa dan menjadi anak shalih berkat didikanmu yang baik, ia
pun berbakti kepadamu: selalu menanyakan kabarmu, kebutuhanmu, tidak mengangkat
suaranya di hadapanmu, melaksanakan perintah-perintahmu, tidakkah ini panen di
dunia sebelum di Akhirat?
Anak-anak
shalih tersebut akan mengamalkan firman Allâh:
«وَقَضَى
رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا * وَاخْفِضْ لَهُمَا
جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي
صَغِيرًا»
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS.
Al-Isra [17]: 23-24)
Saat Anda
sudah tua renta, semua anak Anda bertikai hingga masalah mereka naik ke
pengadilan. Mereka bertikai bukan karena urusan duniawi, tetapi karena menentukan
siapa yang lebih berhak untuk merawat Anda agar Anda bisa dibawa ke rumahnya.
Lalu Anda terharu dan menangis.
Tatkala
Anda meninggal, Anda masih mendapatkan kiriman kebaikan anak lewat doa-doa yang
ia panjatkan siang dan malam dalam shalatnya. Bagaimana jika anak Anda
berjumlah 11 orang? 11 x 5 kali sehari = 55 kiriman doa per hari. Allâhu Akbar!
Diriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ»
“Jika manusia meninggal dunia maka terputuslah amal
darinya kecuali tiga, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak
shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)
Jika
ternyata anak meninggal sebelum baligh, tidak
perlu terlalu sedih karena dibalik itu ada hikmah, yaitu agar kelak anak-anak Anda tersebut menunggu Anda di pintu Surga. Rasûlullâh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَا مِنْ
مُسْلِمَيْنِ يَمُوتُ لَهُمَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ
إِلَّا جِيءَ بِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُوقَفُوا عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ
فَيُقَالُ لَهُمُ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ! فَيَقُولُونَ: حَتَّى يَدْخُلَ
آبَاؤُنَا، فَيُقَالُ لَهُمُ: ادْخُلُوا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْجَنَّةَ!»
“Tidaklah dua orang muslim (orang tua) yang meninggal memiliki
tiga
orang anak yang belum baligh melainkan akan
didatangkan pada hari Kiamat hingga berhenti di pintu Surga. Dikatakan kepada
mereka, ‘Masuklah kalian ke dalam Surga!’ Mereka menjawab, ‘Hingga masuk juga orang tua kami.’
Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah kalian bersama orang tua kalian ke
dalam Surga!’” (Shahih: HR. Ath-Thabarani no. 571)
Abu Said Radhiyallahu
‘Anhu menceritakan:
جَاءَتِ
امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيثِكَ، فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ
يَوْمًا نَأْتِيكَ فِيهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللَّهُ، فَقَالَ: «اجْتَمِعْنَ
فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا»، فَاجْتَمَعْنَ،
فَأَتَاهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَلَّمَهُنَّ
مِمَّا عَلَّمَهُ اللَّهُ، ثُمَّ قَالَ: «مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ
بَيْنَ يَدَيْهَا مِنْ وَلَدِهَا ثَلاَثَةً، إِلَّا كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ
النَّارِ»، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوِ اثْنَيْنِ؟
قَالَ: فَأَعَادَتْهَا مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: «وَاثْنَيْنِ وَاثْنَيْنِ
وَاثْنَيْنِ»
“Seorang wanita menemui Rasûlullâh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menyampaikan uneg-unegnya, “Wahai Rasûlullâh,
orang laki-laki sudah biasa datang kepadamu dan menimba hadits, maka tolong
berilah kami jatah harimu sehingga kami bisa menemuimu dan Anda dapat
mengajarkan kepada kami ilmu yang telah Allâh ajarkan kepada Anda.” Rasul mengiayakan dengan
bersabda, ‘Boleh, berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat si
fulan dan fulan,’ maka para wanita pun berkumpul dan Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengajari mereka ilmu yang telah Allâh ajarkan kepada
beliau. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan
kepada para wanita itu, ‘Tidaklah salah seorang di antara kalian melahirkan
tiga anak (yang shalih), kecuali ketiga anak itu akan menjadi penghalang Neraka
baginya.” Maka ada seorang wanita yang bertanya, 'Wahai Rasûlullâh,
bagaimana kalau hanya dua?’ Wanita itu mengulanginya hingga dua kali. Maka Rasûlullâh
menjawab, ‘Sekalipun hanya dua, sekalipun hanya dua.” (HR. Al-Bukhari
no. 7310 dan Muslim no. 2633)
Jika anak
tidak meninggal di waktu baligh, namun Allâh panjangkan umurnya, boleh jadi justru amal
shalihnya lebih banyak sehingga keutamaanya lebih besar bagi Anda, ketimbang
wafat di waktu kecil.
Boleh
jadi derajat anak tinggi di Firdaus karena amal shalihnya, lalu Anda nebeng
ke derajatnya dengan izin Allâh. Allâh
berfirman:
«وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ
بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ
عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ»
“Dan orang-orang
mukmin dan anak keturunan yang mengikuti mereka dalam keimanan akan Kami
kumpulkan mereka bersama, dan Kami tidak akan mengurangi amal mereka
sedikitpun. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
(QS.
Ath-Thur [52]: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Allâh Subhanahu Wa
Ta’ala dengan karunia-Nya, kemulian-Nya, luasnya pemberian-Nya,
kelembutan-Nya, dan kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya mengabarkan bahwa
orang-orang Mukmin dan keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan
akan dikumpulkan dalam satu tingkat Surga, meskipun amal mereka tidak sampai
menyamai mereka. Hal ini supaya para orang tua
merasa senang dengan dikumpulkannya mereka dengan keturunannya di satu tempat.
Mereka dikumpulkan dalam sebaik-baik balasan, di mana yang amalnya kurang
dinaikkan dengan yang amalnya sempurnya tanpa mengurangi amalnya sedikitpun di
tingkat Surganya, sehingga kedudukan mereka sama. Oleh karena itu, Allâh
berfirman, ‘Kami kumpulkan mereka dengan keturunan mereka, dan Kami tidak
akan mengurangi amal mereka sedikitpun.’” (Tafsir Ibnu Katsir, VII/432)
قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ اللَّهَ لَيَرْفَعُ
ذُرِّيَّةَ الْمُؤْمِنِ فِي دَرَجَتِهِ، وَإِنْ كَانُوْا دُوْنَهُ فِي الْعَمَلِ،
لِتَقِرُّ بِهِمْ عَيْنُهُ. ثم قرأ: «وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ»
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Allâh benar-benar
mengangkat keturunan orang Mukmin pada kedudukannya, meskipun amal mereka di
bawah amalnya, supaya hatinya tentram karena hal itu.” Kemudian beliau
membaca ayat, “Dan orang-orang Mukmin dan anak keturunan yang mengikuti
mereka dalam keimanan akan Kami kumpulkan mereka bersama, dan Kami tidak akan
mengurangi amal mereka sedikitpun. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, VII/432)
Derajat
Anda naik terus, selagi anak Anda masih hidup, karena ia senantiasa
beristighfar untuk Anda. Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ:
أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ»
“Sungguhnya seseorang
benar-benar diangkat derajatnya di Surga lalu dia pun bertanya, ‘Dari mana
ini?’ Dijawab, ‘Karena istighfar anakmu untukmu.’”
(Shahih:
HR. Ibnu
Majah,
no. 3660)
Laporan
yang disusun oleh Departemen Populasi Divisi Urusan Sosial dan Ekonomi
PBB pada Rabu, 21 Juni 2017, memperkirakan bahwa
populasi dunia saat ini mencapai hampir 7,6 miliar.
Berdasarkan
laporan Barat pada tahun 2010, jumlah umat Islam di dunia sebanyak 1,6 miliar,
kalah jauh dengan Kristen 2,2 miliar, apalagi jika ditotal dengan semua
nonMuslim. Sehingga perbandingan Muslim dengan non-Muslim adalah 22,32%. Itu artinya
kita masih minoritas di tengah kaum kafir dan musyrik.
Untuk
itu, program “Banyak Anak” disukai dalam Islam, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah “gembira sesaat” saat
menyangka umatnya paling banyak, sebagaimana dalam sabda beliau:
«عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ
الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ
لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ
أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى وَقَوْمُهُ»
“Semua umat pernah diperlihatkan kepadaku. Aku melihat
seorang Nabi bersama sekelompok pengikut (3-9
orang), seorang Nabi bersama tiga pengikut, dan seorang Nabi tanpa pengikut
satupun. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sawad adzim (kelompok besar) dan aku
meyangka mereka adalah umatku. Lalu ada yang berkata, ‘Mereka adalah Musa
dan kaumnya.’” (HR. Muslim no. 220)
Hadits ini menunjukkan bahwa
Nabi sangat bahagia dan sangat berharap jika
umatnya banyak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjelaskan perbandingan
umat Islam dengan umat kafir, betapa sedikitnya umat Islam:
«مَا أَنْتُمْ فِي النَّاسِ إِلَّا كَالشَّعَرَةِ السَّوْدَاءِ فِي
جِلْدِ ثَوْرٍ أَبْيَضَ، أَوْ كَشَعَرَةٍ بَيْضَاءَ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَسْوَدَ»
“Tidaklah
keberadan kalian di hadapan manusia melainkan bagaikan bulu hitam pada kulit
sapi jantan putih atau bagaikan bulu putih yang ada pada kulit sapi jantan
hitam.’” (HR. Al-Bukhari no. 3348 dan Muslim no. 222)
Dengan
gerakan “Dua Anak Bahagia, Apalagi Banyak!” untuk
mengganti slogan KB “Dua Anak Cukup” maka
jumlah umat Islam akan naik dengan drastis dan membuat gentar musuh-musuh
Islam.
Tahukah
Anda, sebenarnya sebelum itu selogan mereka adalah “Dua Anak Lebih Baik” lalu
orang-orang memplesetkan menjadi “Dua Anak Lebih, Baik!” lalu diresmikanlah
slogan baru “Dua Anak Cukup.”[]
Di dalam
Al-Qura’an diceritakan prilaku orang jahiliyah yang membunuh anaknya karena
sebab miskin dan takut miskin. Mereka miskin sehingga mereka menduga datangnya
anak akan menambah kemiskinan mereka, atau mereka kaya tetapi mereka takut masa
depan dirinya dan anak-anaknya. Dua prilaku mereka ini dibantah Allâh semua, yaitu dalam firmanNya:
«وَلا
تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ»
“Kamu membunuh
anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS.
Al-An’am [6]: 151)
«وَلا
تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ
قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا»
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah
yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar.”” (QS.
Al-Isra [17]: 31)
Dua ayat
ini menunjukkan bahwa takut banyak anak karena dua sebab ini adalah dosa besar,
karena disana ada buruk sangka kepada Allâh bahwa Allâh tidak menanggung rezeki
makhlukNya. Padahal Allâh berfirman:
«وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللّٰهِ
رِزْقُهَا»
“Dan tidak ada makhluk di bumi kecuali menjadi
tanggungan Allâh-lah rezekinya.” (QS. Hûd
[11]: 6)
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata, “Allâh ta’ala mengabarkan bahwa Dia-lah yang
menanggung rezeki-rezeki para makhluk, yaitu semua makhluk di bumi yang kecil
maupun yang besar, baik yang di laut maupun yang di darat.” (Tafsîr
Ibnu Katsîr (IV/305)
Yang dituntut dari manusia hanyalah ikhtiar dan Allâh yang melengkapinya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ
تَوَكَّلُونَ عَلَى اللّٰهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ
الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا»
“Seandainya kalian tawakal kepada Allâh dengan sebenarnya, niscaya Dia benar-benar
akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki burung yang pergi
pagi hari dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 2344)
Mengena sekali perumpamaan yang dibuat Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ini. Seekor burung yang tidak pernah sekolah, tidak
memiliki keahlian, dan tidak memiliki akal sebagaimana manusia, Allâh berikan ia rezekinya dan mengenyangkan
perutnya hanya dengan satu syarat dia mau ikhtiar terbang. Maka, manusia lebih
berhak untuk itu karena ia dilebihkan dengan akal dan keahlihan. Tugas manusia
hanya berusaha dan Allâh-lah yang akan mencukupi kebutuhannya. Allâh tidak akan
menurunkan emas begitu saja dari langit. Maryam yang begitu kepayahan setelah melahirkan tetap
Allâh suruh bergerak untuk menggoyangkan pohon kurma agar ruthabnya
(kurma basah) berjatuhan. Mudah saja bagi Allâh langsung menghidangkan ruthab itu bagi Maryam ditambah keadaannya yang
sangat lemah usai melahirkan ‘Isa. Namun, Allâh menghendaki sunnatullah bahwa
takdir Allâh dicari dengan sebab, sebagaimana ‘Umar menghindari wabah tha’un
untuk berpindah dari satu takdir ke takdir lainnya.
«وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ
رُطَبًا جَنِيًّا»
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu,
niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam [18]: 25)
Dalam kisah Maryam tersebut juga terdapat pelajaran bahwa yang
Allâh tuntut adalah ikhtiar (usaha) semampunya
meskipun secara perhitungan tidak akan mencukupi pendapatannya, sebagaimana
Maryam diminta Allâh menggoyangkan batang pohon kurma agar bergururan ruthabnya,
meskipun secara akal tidak mungkin bisa bergoyang karena Maryam lemah usai
melahirkan dan yang digoyang pun batang pohonnya bukan ranting kurmanya.
Ingatlah, bahwa masing-masing anak membawa rezeki
sendiri, inilah akidah Ahlus Sunnah yang diambil dari dalil-dalil shahih, di
antaranya adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«إِنَّ
أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً
نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيَؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ
سَعِيْدٌ»
“Sesungguhnya
seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat
puluh hari berupa sperma, kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula,
kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian diutus seorang
malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan empat
kalimat: menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia. (HR.
Al-Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643 dalam Arbain
Nawawi no. 4)
Sebenarnya
sedikit atau banyaknya anak bukanlah faktor utama yang merepotkan orang tua.
Kita menyaksikan kadang ada orang tua memiliki satu anak tetapi dia kualahan
dalam mendidiknya dan nakalnya minta ampun. Di sisi lain, ada orang tua yang
anaknya banyak tetapi mereka tertib dan mudah diatur, bahkan ketika waktu
shalat tiba, merekalah yang mengingatkan ayahnya untuk berangkat ke masjid.
Lalu apa yang faktor terbesarnya? Mari kita mendengarkan penjelasan Syaikh
Utsaimin Rahimahullah:
Adapun
jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya mendidik anak,
maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati)
anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam
mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang
jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang
berjumlah sedikit. Maka yang menentukan pembinaan anak, susah atau mudahnya,
adalah kemudahan (taufik) dari Allâh Ta’ala. Jika seorang hamba bertakwa
kepada Allâh serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan
syariat Islam, maka Allâh akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allâh
Ta’ala berfirman:
«وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً»
“Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan
dalam (semua) urusannya.” (QS. Ath-Thalaaq: 4) (Kutubu
Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimiin, 4/14)
Andai pun
benar anak-anak merepotkan orang tua, coba renungkan, “Anda
lebih suka tersibukkan dengan perkara mubah atau bahkan haram, atau Anda
disibukkan Allâh dengan anak-anak yang itu merupakan ibadah?”
Ini
adalah anggapan yang tidak benar. Karena karir terbesar adalah mendidik anak itu sendiri.
Bukankah karir yang besar itu sesuai dengan upah yang diterima?
Coba
bayangkan, untuk mengumpulkan 500 Triliun Anda butuh berapa tahun? Mungkin seumur
hidup, atau mungkin hanya mimpi saja. Namun, dengan anak Anda shalat dua rakaat
qobliyah Shubuh, balasannya lebih besar daripada itu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«رَكْعَتَا
الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا»
“Dua
rakaat yang qobliyah Shubuh, lebih utama daripada dunia beserta isinya.” (HR.
Muslim no. 725)
Bagaimana
lagi jika si anak mengerjakannya sepanjang hidupnya, tidak pernah ia
tinggalkan. Lantas bagaimana lagi jika
jumlah anak sebanyak 11 orang. Bukankah ini karir yang menggiurkan? Adakah yang bersegera?[]
Dalam
situs wikipedia.org disebutkan Keluarga Berencana (disingkat KB) adalah
gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi
kelahiran. Itu bermakna, perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang
bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan
kelahiran seperti kondom, spiral,
IUD, dan sebagainya.
Jumlah
anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Gerakan ini mulai
dicanangkan pada tahun akhir 1970-an.
Tujuan KB di Indonesia adalah:
1)
Tujuan
umum, yaitu meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, dalam rangka mewujudkan
NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin
terkendalinya pertambahan penduduk.
2)
3)
Tujuan
khusus, yaitu meningkatkan jumlah penduduk untuk menggunakan alat kontrasepsi; menurunnya
jumlah angka kelahiran bayi; meningkatnya kesehatan keluarga berencana
dengan cara penjarangan kelahiran. (Sumber: wikipedia.org)
4)
Mereka
juga menyemarakkan: “Menghindari 4 terlalu, yaitu: terlalu muda untuk
melahirkan, terlalu tua untuk melahirkan, terlalu rapat jarak kelahiran, dan
terlalu sering melahirkan.”
Yang
perlu juga kita ketahui bahwa KB pertama kali dicanangkan bukan dari negara
Muslim tetapi oleh orang-orang Yahudi lalu menjualnya ke negeri-negeri kaum Muslimin
terutama Indonesia, dengan berbagai alasan dan siasat.
Kita juga
wajib meyakini firman Allâh ini:
«وَلَنْ
تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ
إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى»
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang benar).’” (QS.
Al-Baqarah [2]: 120)
Dalam
ayat ini, kita disuruh Allâh tegas, bahwa petunjuk yang dipakai adalah
petunjuk syariat bukan produk Yahudi dan Nasrani, termasuk dalam masalah anak dan
KB. Yang
sesuai syariat maka kita terima dan yang menyelisinya maka kita wajib
menolaknya, apapun alasannya.
Secara
umum KB hukumnya haram, tetapi kita tidak bisa memutlakkannya
haram, karena ia banyak jenisnya. Ada yang haram dan ada yang boleh.
Ditinjau
dari tujuannya, KB ada dua, yaitu membatasi (memutus) kelahiran
dan mengatur kelahiran.
Membatasi kelahiran (تحديد النسل) hukumnya haram, baik dengan alasan tidak
bisa mencari rezeki ataupun repot mengurus anak. Hal ini menyelisihi petunjuk Rasûlullâh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang perintah
memperbayak umat, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada Bab 1.
Jenis KB ini, umumnya adalah vasektomi dan tubektomi,
yang biasa mereka istilahkan dengan steril. Vasektomi adalah pemotongan saluran
sperma ke penis sehingga laki-laki mandul seumur hidup, adapun tubektomi adalah
pemotongan saluran telur sehingga tidak terjadi pembuahan. Inti dari dua
istilah di atas, yaitu metode yang membuat laki-laki atau wanita tidak bisa
mempunyai anak untuk selama-lamanya dengan metode operasi tertentu.
Adapun mengatur jarak kelahiran (تنظيم
النسل) hukumnya boleh,
tentunya dengan syarat yang ketat, yaitu alasan kesehatan dan yang semisalnya,
serta berdasarkan petunjuk dokter yang terpercaya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya, “Kapan seorang wanita diperbolehkan
memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan? Adakah nash
yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan
bolehkah seorang Muslim melakukan azl (menumpahkan sperma di luar vagina) ketika
berjima tanpa sebab?”
Beliau Rahimahullah menjawab:
Bagi kaum
Muslimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah
perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
«تَزَوَّجُوا
الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلاُمَمَ»
“Nikahilah
wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan membanggakan jumlah
kalian yang banyak di tengah umat-umat.” (Shahih: HR. Abu
Dawud 1/320)
Dan
karena banyaknya kelahiran menyebabkan banyaknya umat, dan banyaknya umat
merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani
Israil:
«وَجَعَلْنَاكُمْ
أَكْثَرَ نَفِيرًا»
“Dan Kami
jadikan kamu kelompok yang lebih besar.” (QS.
Al-Isra’ [17]: 6)
«وَاذْكُرُوا
إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ»
“Dan
ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allâh memperbanyak jumlah kamu.” (QS.
Al-A’raf [7]: 86)
Dan tidak
ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan
kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki
prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan
sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka
bersandar dan beriman dengan janji Allâh dan firman-Nya:
«وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا»
“Dan
tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allâh-lah yang
memberi rezekinya.” (QS. Hud [11]: 6)
Maka Allâh pasti akan mempermudah umat tersebut dan
mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.
Berdasarkan penjelasan ini,
jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita
untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat:
1)
Adanya
keperluan, seperti: wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk
hamil setiap tahun, atau wanita tersebut bertubuh kurus-kering, atau adanya
penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
2)
3)
Adanya izin
dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan
keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di
dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah memakaiannya membahayakan atau
tidak.
4)
Jika dua
syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan
tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi
pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus
keturunan.
Adapun
poin kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut: pembatasan
keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah
hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Jika
seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja
seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak
lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara
yang tidak terdapat dalam syari’at Islam, namun pencegahan kehamilan secara
tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.
Adapun
pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan ‘azl ketika berjima tanpa adanya sebab, maka
pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari
Jabir Radhiyallahu ‘Anhu:
«كُنَّا
نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ»
“Kami
melakukan ‘azl sedangkan Al-Qur’an masih turun.” (Shahih: HR. Abu
Dawud 1/320)
Seandainya
perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu
mengatakan bahwa tidak boleh melakukan azl terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali
dengan izinya, yakni seorang suami tidak boleh melakukan azl terhadap
istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan azl
tanpa izin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan
seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.
Berdasarkan
keterangan ini maka ‘azl tanpa izin berarti menghilangkan kesempurnaan
rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya
kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami mensyaratkan adanya izin
dari sang istri. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/764 dalam
Fatawa Li’umumil Ummah)
Bagi
wanita yang sudah memenuhi syarat di atas, bisa melakukan KB alami dulu, yaitu metode kalender, azl, kondom, dan
lendir-suhu. Jika keempat metode di atas tidak bisa dilakukannya atau mengalami
kesulitan, baru beralih ke metode obat dan suntik.
Metode
penanggalan: yaitu memperkirakan masa subur istri. Umumnya masa subur
wanita adalah satu hari, yaitu 14 hari setelah hari pertama mestruasi. Tentunya
ini bagi wanita yang normal (teratur) siklus menstruasinya, yaitu 28 hari.
Metode azl: yaitu
menumpahkan sperma di luar vagina, tentunya mengurangi kenikmatan dalam
senggama, tetapi ini cara mudah yang biasa dilakukan dari semenjak zaman
dahulu. Jabir Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Kami dahulu melakukan azl
dan Al-Qur’an turun.” (HR. Al-Bukhari no. 5208) Maksudnya, andai dilarang
mutlak tentu Al-Qur’an menegur tindakan kami. Diriwayatkan dari Judamah
bintu Wahab Radhiyallahu ‘Anha berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam ditanya tentang azl lalu beliau bersabda:
«ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ»
“Itu adalah wa’du (mengubur bayi hidup-hidup) secara
sembunyi-sembunyi.”
(HR. Muslim no. 1442)
Imam
Muslim membuat bab saat mencantumkan hadits ini, “Bab
diperbolehkannya menggauli istri hamil dan makruhnya azl.” Sehingga
hadits Jabir dibawa hukum boleh jika disertai uzur syar’i, jika tidak maka
hukumnya kembali ke asal, yakni makruh tetapi tidak sampai ke haram.
Metode
kondom: ia
memiliki illat (alasan) yang sama dengan azl sehingga hukumnya sama dengannya.
Metode
lendir: yaitu mengamati lendir yang keluar dari vagina. Wanita
subur lendirnya menyatu jika dipisahkan dengan dua jari.
Metode
obat dan suntik: yaitu mengkonsumi obat atau melakukan suntik KB, baik dengan
jenis ketahanan sehari, sebulan, dan ada pula yang tiga bulan. Namun, sebagian
wanita mengalami pendarahan, obesitas (gemuk), dan lama kembali suburnya meskipun
sudah berhenti KB.[]
Pembahasan
kali ini adalah langkah-langkah yang perlu kita lakukan dalam mewujudkan KB sejati, Keluarga Bahagia, dengan slogan “Dua
Anak Bahagia, Apalagi Banyak!” Berikut
di antara langkah-langkahnya.
Hadits
mengenai ini sudah disinggung dimuka. Peran istri sangat besar bagi keluarga
dan anak. Tanaman yang baik hanya tumbuh dari tanah yang baik pula. Allâh berfirman:
«وَالْبَلَدُ
الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لا يَخْرُجُ
إِلا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ»
“Dan
tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allâh; dan
tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah
Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS.
Al-A’raf [7]: 58)
Saat
bersenggama, suami membaca doa agar dihindarkan dari kerjasama setan dan
gangguan dari anak yang dihasilkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللّٰهِ، اللّٰهُمَّ
جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا،
فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ
أَبَدًا»
“Seandainya salah seorang dari kalian jika ingin
mendatangi keluarganya (menyetubuhi istrinya) lalu berdoa: ‘Dengan nama Allâh, ya Allâh jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah
setan dari apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada kami.’ Jika mereka berdua ditakdirkan mendapatkan anak karena
persetubuhan tersebut, maka setan tidak akan membahayakannya selamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 7396 dan Muslim no. 1434)
Di masa-masa sebelum punya anak, orang tua banyak berdoa
kepada Allâh agar memberinya anak shalih dan shalihah.
Orang tua bisa berdo’a dengan do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Do’a beliau sederhana dan ringkas, lalu Allâh kabulkan dengan
memberinya kabar gembira seorang anak shalih dan taat bernama Isma’il, juga
seorang Nabi. Ini do’anya:
«رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ»
“Wahai Rabb-ku, berilah aku
(anak) yang termasuk orang-orang shalih.” (QS. Ash-Shâffât [37]: 100)
Juga do’a Nabi Zakariyya ‘Alaihissalam. Beliau berdo’a kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala seorang anak shalih lalu Allâh memberinya
seorang anak shalih bernama Yahya. Ini do’anya:
«رَبِّ هَبْ لِي
مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ»
“Wahai Rabb-ku, berilah aku dari sisi-Mu seorang
keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar segala do’a.” (QS. Alî Imrân [3]: 38)
Juga do’a perempuan shalihah istri Imran. Beliau
bernazhar kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala bahwa janin yang dikandungnya akan dihibahkan
sebagai da’i di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Ini teladan yang baik yang patut ditiru oleh semua
kaum muslimah shalihah. Karena ketulusannya, Allâh pun menerimanya dan kelak
dari keturunannya lahir seorang Nabi mulia, ‘Isa ‘Alaihissalam. Ini do’anya:
«رَبِّ
إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ
أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ»
“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku bernazhar kepada-Mu
apa yang ada di dalam perutku sebagai muharror, maka terimalah dariku. Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imrân
[3]: 35)
Al-Hafizh Ibnu Katsir mejelaskan muharror, “Seorang
yang ikhlas dan totalitas dalam beribadah, juga sebagai khidmah Baitul Maqdis.”
(Tafsîr Ibnu Katsîr II/33)
Begitu pula do’a ‘Ibadur Rahman yang bisa dipanjatkan sepanjang
masa, yaitu sebelum kehamilan, masa kehamilan, dan berlanjut setelah kelahiran.
Sebab, do’a ini mencakup
segala permohonan kebaikan bagi keturunan shalih. Ini do’anya:
«رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا»
“Wahai Rabb kami jadikanlah istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyejuk pandangan, dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang beriman.” (QS.
Al-Furqân [25]: 74)
Banyak
anak tentunya banyak pula pengeluaran. Namun, yakinlah Allâh akan mencukupi, yang terpenting bagi Anda
adalah usaha semampunya dan Allâh yang akan menyempurnakannya, sebagaimana
kisah burung dan Maryam di muka.
Bukanlah
perkara remeh, seorang suami yang bekerja demi membesarkan anak-anaknya dan
mendidiknya agar bertauhid kepada Allâh. Ini
adalah usaha besar, lebih besar daripada orang-orang yang menabung hartanya
untuk membeli mobil dan rumah mewah.
Dalam
merawat anak pun harus sabar, dengan banyak berdoa kepada Allâh, juga
kerjasama dengan istri. Disitulah peran besar istri. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuji wanita Quraisy karena mereka mendidik
anak dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«خَيْرُ نِسَاءٍ
رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ، أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي
صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»
“Sebaik-baik wanita yang mengendarai unta adalah wanita
shalihah Quraiys yang mendidik anak semenjak kecil dan melayani suami dengan tangannya
sendiri.” (HR.
Al-Bukhari no. 5082)
Sebagian
orang tua, bagi mereka prestasi dan titel anak lebih mereka sukai. Titel
sarjana, doktor, dan profesor lebih mereka sukai daripada hafizh dan berakhlak
mulia.
Namun,
para orang tua yang memiliki selera tinggi, semua itu amatlah rendah di mata
mereka dibanding dengan anak shalih dan shalihah, sehingga mereka pun
mengusakannya dengan cara mengajarinya Al-Qur’an, mengirimkannya ke pondok
pesantren, dan seterusnya.
Berkaitan
dengan firman Allâh:
«يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ
مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ»
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.
At-Tahrim [66]: 6)
Ali bin
Abi Thalib menjelaskan:
أَدِّبُوهُمْ،
عَلِّمُوْهُمْ
“Ajarilah mereka adab dan
ajarilah mereka ilmu (agama).” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/167)
Setelah
Anda lelah merawat dan mendidik Anda, akan datang masa di mana Anda memetik
hasilnya, sebagaimana para petani yang kelelahan menanam dan mengairi ladangnya
berbulan-bulan, lalu datanglah masa panen dan terbitlah keceriaan di wajah
mereka.
Dunia ini
hanya sebentar, oleh karena itu kesabaran Anda pun hanya sebentar. Biarkan
orang-orang bahagia dengan hadiah rumah dan kendaraan dari dua anaknya,
sementara Anda bahagia dengan bakti anak-anak yang bagitu banyak, baik di masa hidupmu
maupun wafatmu.[]
Rangkuman
dari semua pembahasan adalah:
- Islam sangat mendorong umatnya untuk memperbanyak
anak, karena penuh dengan keberuntungan di dunia dan di Akhirat bagi orang
tuanya.
- Tidak mau punya anak dengan sebab miskin atau takut
miskin adalah dua sifat orang-orang jahilliyah.
- KB hukumnya
haram. Seorang wanita boleh KB dengan beberapa catatan yang sangat ketat
dan uzur yang benar-benar syari, jika tidak maka ia kembali ke hukum
asalnya.
- Di antara kiat mewujudkan program banyak anak adalah
dengan mencari istri shalihah, banyak berdoa, sabar dalam ikhtiar dan
merawat, mendidik anak menjadi shalih-shalihah, sehingga kelak orang tua
bisa memanen apa yang pernah ditanam.
Demikian
yang bisa kami tulis dan hadiahkan untuk Anda. Kami tidak meyakini bahwa semua
isi tulisan ini benar. Yang benar hanyalah Allâh dan Rasul-Nya, adapun manusia adalah tempat
salah dan lupa. Tegur-sapa pembaca bisa dilayangkan ke norkandir@gmail.com.
وَللهِ
الْحَمْدُ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ.
‘
‘Alaihissalam........................ 5, 6, 7, 31
A
Abdurrahman bin Salim bin Utbah bin
‘Uwaim bin Saidah Al-Anshari 3
Al-Hasan.............................................. 4
Ali bin Abi Thalib.............................. 34
Allâh 1,
4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 18, 19, 20, 21, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 32,
33, 35
anak-anak........ 6, 10, 12, 18, 21, 34
Anas bin Malik................................ 8, 9
Arbain Nawawi................................. 20
As-Sa’di...................................... 5,
6, 38
azl................................... 25,
27, 28, 29
B
baligh........................................... 12,
13
D
Dua Anak
Bahagia, Apalagi Banyak! ii, 16, 30
Dua Anak Cukup.............................. 16
I
Ibnu Abi Hatim................................... 4
Ibnu Katsir......... 5, 14, 15, 19, 32, 34
Ibnul Munzhir..................................... 4
Ibnul Qayyim....................................... 1
Ibrahim........................ 6,
7, 31, 39, 40
J
Judamah bintu
Wahab.................... 28
K
karir.................................................... 22
KB......... 16,
23, 24, 25, 28, 29, 30, 35
kondom............................... 23,
28, 29
M
Ma’qil bin Yasar.................................. 4
Maryam............................ 6,
19, 20, 32
Muslim 6,
9, 11, 12, 13, 15, 16, 20, 22, 23, 25, 28, 31, 38, 41
N
Nabi 2, 3, 4, 5, 6,
7, 8, 15, 16, 19, 22, 25, 27, 31, 33
O
obesitas.............................................. 29
P
PBB..................................................... 15
R
Radhiyallahu
‘Anha.......................... 28
Radhiyallahu ‘Anhu.. 1, 4, 8, 9, 12, 27
Rahimahullah................ 1, 5, 6, 21, 25
ruthab................................................ 19
S
Salman Al-Farisi.................................. 1
Shahih....... 2, 4, 9,
12, 15, 19, 25, 27
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 19,
20, 22, 24, 25, 27, 28, 30, 33, 38
Subhanahu wa Ta’ala.......... 25, 27, 31
Sulaiman.......................... 7,
38, 39, 41
T
taqorrub.............................................. 5
U
Umar bin Khaththab......................... 8
Utsaimin............................... 21,
25, 28
Y
Yahudi..................................... 1,
23, 24
Z
Zakaria...................................... 5,
6, 41
Zakariyya........................................... 31
1.
Tafsîrul Qur`ânil Adzîm (Tafsîr Ibnî Katsîr) karya Abu Al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy Ad-Dimasyqi (w. 774
H), Tahqiq: Sami Muhammad Salamah, Penerbit: Dar Tayyibah, cet. ke-2 th. 1420
H/1999 M.
2.
3.
Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (Tafsîr As-Sa’di) karya Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah As-Sa'di (w.
1376 H), Tahqiq: Abdurrahman bin Ma'la Al-Luwaihaq, Penerbit: Muassasah
ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1420 H/2000 M.
4.
5.
Al-Jâmi’ As-Musnad Ash-Shahîh Al-Mukhtashar min Umûri Rasûlillahi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanih wa Ayyamih (Shahîh
Al-Bukhârî) karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
Al-Ju’fi (w. 256 H), Tahqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir An-Nashir, Penerbit:
Dar Thauqun Najah, cet. ke-1 th. 1422 H.
6.
7.
Al-Musnad Ash-Shahîh Al-Mukhtashar Binaqlil Adli ‘anil Adli ilâ Rasûlillahi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Shahîh Muslim) karya Abu Al-Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim
Al-Qusyairi An-Naisaburi (w. 261 H), Tahqiq: Dr. Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Penerbit: Ihyaut Turats Al-Arabi Beirut, tanpa tahun.
8.
9.
Sunan At-Tirmidzî karya Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Saurah At-Tirmidzi (w.
249 H), Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dkk, Penerbit: Musthafa Al-Babi Al-Halabi
Mesir, cet. ke-2 th. 1395 H/1975 H.
10.
11. Sunan
Abû Dâwûd
karya Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani As-Azdi (w.
275 H), Tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Penerbit: Maktabah Al-Ishriyyah
Beirut, tanpa tahun.
12.
13. Al-Mujtabâ
(Sunan An-Nasâ`i)
karya Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali An-Nasa`i (w.
303 H), Tahqiq: Abu Ghuddah Abdul Fattah, Penerbit: Maktab Al-Mathbu’at
Al-Islamiyah Halab cet. ke-2 th. 1406 H/1986 M.
14.
15. Sunan
Ibnu Mâjah
karya Abu Abdillah Muhammad bin Majah (nama aslinya Yazid) Al-Qazwini (w.
273 H), Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Dar Ihya`ul Kutub
Al-Arabiyyah.
16.
17. Musnad
Ahmad
karya Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani (w.
241 ), Tahqiq: Syuaib Al-Arnauth dkk, Penerbit: Muassasah ar-Risalah, cet. ke-1
th. 1421 H/2001 M.
18.
19. As-Sunan
Al-Kubrâ karya
Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali An-Nasa`i (w.
303 H), Tahqiq: Hasan Abdul Mun’im Syalabi, Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut,
cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
20.
21. Shahîh
Ibnu Khuzaimah karya
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin Al-Mughirah bin Shalih bin Bakar
As-Sulami An-Naisaburi (w. 311 H), Tahqiq: Dr. Musthafa Al-A’dzami, Penerbit:
Al-Maktabah Al-Islami Beirut, cet. tanpa tahun.
22.
23. Shahîh
Ibnu Hibbân karya
Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma’bad
At-Tamimi Ad-Darimi (w. 354 H), Tahqiq: Syu’aib Al-Arna`ut, Penerbit: Muassasah
ar-Risalah Beirut, cet. ke-2 th. 1414 H/1993 H.
24.
25. Al-Mustadrâk
alâsh Shahîhain karya
Abu Abdillah Al-Hakim bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamadiyyah bin
Tsu’aim bin Al-Hakam adh-Dhabi Ath-Thahmani An-Naisaburi (nama ma’ruf Ibnul
Bayyi’) (w. 405 H), Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub
Al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-1 th. 1411 H/1990 H.
26.
27. Ar-Raudhu
Ad-Dânî (Al-Mu’jam Ash-Shaghîr) karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi
asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Muhammad Syakur Mahmud Al-Hajj
Al-Amiri, Penerbit: Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. ke-1 th. 1405 H/1985 H.
28.
29. Al-Mu’jam
Al-Ausath karya
Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi
asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Thariq bin Iwadhullah bin Muhammad
dan Abdul Muhsin bin Ibrahim Al-Husni, Penerbit: Darul Haramain Mesir, cet.
tanpa tahun.
30.
31. Al-Mu’jam
Al-Kabîr karya
Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi
asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Hamdi bin Abdul Majid As-Salafi,
Penerbit: Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir, cet. ke-2 tanpa tahun.
32.
33. Al-Mu’jam
Al-Kabîr (juz
13, 14, dan 21) karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi
asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: penelitian di bawah pengawasan Dr.
Sa’ad bin Abdullah Al-Hamid dan Dr. Khalid bin Abdurrahman Al-Jarisi, cet. ke-1
th. 1427 H/2006 H.
34.
35. As-Sunan
Al-Kubrâ
karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq:
Muhamamd Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-3
th. 1424 H/2003 H.
36.
37. As-Sunan
Ash-Shughrâ
karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq:
Abdul Mu’thi Amin, Penerbit: Jami’atud Dirâsât Al-Islâmiyyah Pakistan, cet.
ke-1 th. 1410 H/1989 H.
38.
39. Syu'abul
Iman
karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa Al-Baihaqi Al-Khurasani
(w. 458 H), Tahqiq: Dr. Abdul Ali Abdul Hamid Hamid, Penerbit: Maktabah
ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1423 H/2003 M.
40.
41. Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah
karya Abu Bakar Abdullah bin Abu Syaibah Al-Abasi Al-Kufi (w. 235 H), Tahqiq:
Kamal Yusuf Al-Hut, Penerbit: Maktabah ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1409 H.
42.
43. Mushannaf
Abdurrazzâq
karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan'ani (w. 211 H), Tahqiq:
Habiburrahman Al-A'dhami, Penerbit: Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. ke-2 th.
1403 H.
44.
45. Musnad
Ad-Dârimî (Sunan Ad-Dârimî) karya Abu Muhammad Abdullah bin
Abdurrahman bin Al-Fadhal bin Bahram bin Abdush Shamad Ad-Darimi At-Tamimi
As-Samarqandi (w. 255 H), Tahqiq: Husain Salim Asad Ad-Darani, Penerbit: Darul
Mughni KSA, cet. ke-1 th. 1412 H/2000 M.
46.
47. Al-Mustakhrâj
karya
Abu Awanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim An-Naisaburi Al-Isfirayaini (w. 316 H),
Tahqiq: Aiman bin Arif Ad-Dimasyq, Penerbit: Darul Ma’rifah Beirut, cet. ke-1
th. 1419 H/1998 H.
48.
49. Sunan
Ad-Dâruquthnî karya
Abul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi bin Mas’ud bin Nu’man bin Dinar
Al-Baghdadi Ad-Daruquthni (w. 385 H), Tahqiq: Syu’aib Al-Arna`uth dkk,
Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut, cet. ke-1 th. 1424 H/2004 H.
50.
51. Musnad
Abû Ya’lâ karya
Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin Al-Mutsanna bin Yahya bin Isa bin Hilal At-Tamimi
Al-Maushuli (w. 307 H), Tahqiq: Husain Salim Asad, Penerbit: Darul Ma`mun lit
Turâts Damaskus, cet. ke-1 th. 1404 H/1984 H.
52.
53. Musnad
Ibnu Abî Syaibah karya
Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasiti Al-Abasi Ibnu Abi
Syaibah (w. 235 H), Tahqiq: Adil bin
Yusuf Al-Azazi dan Ahmad bin Farid Al-Mazidi, Penerbit: Darul Wathan Riyadh,
cet. ke-1 th. 1997 H.
54.
55. Musnad
Abû Dâwûd Ath-Thayâlisî karya Abu Dawud Sulaiman bin Dawud bin Al-Jarud Ath-Thayalisi Al-Bashri
(w. 204 H), Tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdul Muhsin At-Turki, Penerbit: Dar Hijr
Mesir, cet. ke-1 th. 1419 H/1999 H.
56.
57. Al-Bahr
az-Zakhkhâr (Musnad Al-Bazzâr) karya Abu Bakar Ahmad bin Amr bin Abdul
Khaliq bin Khalad bin Ubaidillah Al-Ataki (nama ma’ruf Al-Bazzar) (w. 292 H),
Tahqiq: Mahfuzhur Rahman Zainullah (juz 1-9), Adil bin Sa’ad (juz 10-17), dan
Shabari Abdul Khaliq asy-Syafi’i (juz 18), Penerbit: Maktabah Al-Ulum wal Hikam
Madinah, cet. ke-1 th. 1988-2009 H.
58.
59. Musnad
Al-Humaidi
karya Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair bin Isa bin Abdillah Al-Qurasyi Al-Asadi
Al-Humaidi Al-Makki (w. 219 H), Tahqiq: Hasan Salim Asad Ad-Darani, Penerbit:
Darus Saqa`, cet. ke-1 th. 1996 M.
60.
61. At-Tauhîd
wa Ma’rifatu Asmâ`illah Azza wa Jalla wa Sifâtuhu ‘alal Ittifâq wat Tafarrudi
(Kitâbut Tauhîd)
karya Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Abdi
(w. 395 H), Tahqiq: Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi, Penebit: Maktabatul
Ulum wal Hikam Madinah, cet. ke-1 th. 1423 H/2002 M.
62.
63. Fathul
Bârî Syarhu Shahîh Al-Bukhârî karya Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar
Al-Asqalani asy-Syafi’i (w. 852 H), Tahqiq: Abdul Aziz bin Baz, Tarqim:
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Takhrij: Muhibuddin Al-Khathib, Penerbit: Darul
Ma’rifat Beirut, cet. th. 1379 H.
64.
65.
Al-Minhâj Syarhu
Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj karya
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676
H), Penerbit: Dar Ihyâ`ut Turâts Al-Arabi Beirut, cet. ke-2 th. 1392 H.
66.
67.
Tahdziibul Asmaa wal Lughaat karya Imam Nawawi (w: 676 H), Penerbit: Darul Kutub
Lebanon.
68.
Situs
70.
72.
74.
76.
78.