Dilema Pajak dan Solusi Syariat - Pustaka Syabab
DILEMA PAJAK dan SOLUSI SYARIAT Penulis: Nor Kandir, ST Penerbit: Pustaka Syabab Korektor : Ustadz Ratimin Ibnu Sali...
https://www.terjemahmatan.com/2018/03/dilema-pajak-dan-solusi-syariat-pustaka.html?m=0
Penulis: Nor
Kandir, ST
Penerbit: Pustaka
Syabab
Korektor: Ustadz
Ratimin Ibnu Salim, Lc
Layout: Tim
Pustaka Syabab
Cetakan: Pertama,
1439 H/2018 M
Lisensi: Gratis
DOWNLOAD
PDF >> https://norkandirblog.files.wordpress.com/2018/03/dilema-pajak-dan-solusi-syariat.pdf
DAFTAR ISI
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ. الحَمْدُ للهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى
رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَبَعْدُ:
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَيَأْتِيَنَّ
عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ
حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ»
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat
manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apa dari yang halal
atau yang haram.” (HR. Al-Bukhari
no. 2083)
Saya
menyangka zaman itu adalah hari ini, yaitu zaman di mana manusia bertransaksi
jual-beli tetapi tidak tahu fiqih muamalah, sehingga mereka terjebak dalam riba,
suap, dan pajak.
Buku ini saya susun di
saat-saat saya merasakan betapa sulitnya hidup di Indonesia, semua serba mahal
karena harga asli sudah ditambah pajak beacukai, seperti sepeda motor hingga
perabotan rumah tangga. Belum lagi rumah ada pajaknya, sepeda motor ada
pajaknya, balik nama ada pajaknya, jual rumah ada pajaknya, proyek ada
pajaknya, gaji ada pajaknya, makan di restoran ada pajaknya. Di samping itu,
sekolah bayar, rumah sakit mahal, dan cari pekerjaan susah. Allahul musta’an.
Jujur saya iri kepada
kawan-kawan yang kerja di Arab Saudi. Mereka mengabarkan bahwa di Arab Saudi,
begitu juga di negara Arab lainnya seperti Uni Emirat Arab, tidak memungut
pajak, tidak
pula pajak beacukai, sehingga beli mobil murah. Bahkan yang lucu, sarung produksi
Indonesia di sana dibandrol Rp 70.000, padahal di Tanah Abang dijual Rp
100.000. Lagi-lagi kena pajak. Belum lagi, sekolah di sana gratis dari SD
sampai perguruan tinggi.
Di Arab Saudi, tol gratis dan
jalan lebar-lebar dan lurus, karena gunung-gunung dibelah untuk kenyamanan
pengemudi. Adapun di negeri ini, tol bayar, bahkan ke toilet pun bayar. Mendengar
itu, bikin sakit hati.
Dengan mengungkapkan segala
kegalauan saya melalui buku ini, semoga bisa menjadikan hati saya sedikit
terhibur dan apa yang bermanfaat dari buku ini bagi masyarakat bisa menambah tabungan
saya di alam Akhirat.
Semoga Allah memaafkan yang
salah dari tulisan saya ini, dan kepada para pembaca yang menemukan kesalahan
untuk tidak sungkan-sungkan mengirimkannya ke norkandir@gmail.com agar
segera saya masukkan koreksiannya, dan saya ucapkan jazakumullah khoiron.
وَللهِ
الْحَمْدُ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ.
Pajak (taxo) adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan
undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa
secara langsung. Menurut Charles E. McLure, pajak adalah kewajiban
finansial atau retribusi yang dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi
atau Badan) oleh Negara atau institusi yang fungsinya setara dengan negara yang
digunakan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik. (Taxation,
Charles E. McLure, Jr)
Pajak
dipungut berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang dan
jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Penolakan untuk membayar,
penghindaran, atau perlawanan terhadap pajak pada umumnya
termasuk pelanggaran hukum. Pajak terdiri dari pajak langsung atau pajak tidak
langsung dan dapat dibayarkan dengan uang ataupun kerja yang nilainya setara.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal
yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Dalam KBBI disebutkan, makna dilema adalah situasi sulit
yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang
sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan
membingungkan.
Solusi adalah penyelesaian; pemecahan (masalah dan
sebagainya); jalan keluar. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Adapun definisi pajak, didefinisikan sebagai berikut.
Pajak
menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983
sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan adalah “Kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Menurut Prof.
Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran
rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investment. (Pengantar Singkat Hukum
Pajak, Rochmat Soemitro)
Menurut Leroy
Beaulieu, pajak adalah bantuan,
baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari
penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah. (Traite de la
Science des Finances, Leroy-Beaulieu)
Dari
berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang
terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:
- Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945
pasal 23A yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.”
- Pemungutan pajak dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
- Jasa timbal balik tidak didapat secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan
bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor.
- Pajak digunakan untuk kemakmuran masyarakat. Pemungutan pajak diperuntukkan
bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
Dari sini
kita tahu bahwa pajak itu bukan dari
Islam, tetapi produk Yahudi dan Nashrani yang dijual ke
berbagai negara, terutama negara kaum Muslimin, terutama Indonesia. Bagaimana awalnya, pajak bisa masuk
ke Indonesia? Jawabannya, lewat sebagian pejabat yang sebagian besar adalah
lulusan Barat dan Eropa, terutama tokoh-tokoh leluhur Indonesia yang
disekolahkan penjajah Belanda di negeri mereka.
Sehingga Belanda banyak mewarnai undang-undang hukum dan perpajakan di
Indonesia.
Pajak
sudah ada sebelum Islam, yaitu bangsa-bangsa Yahudi dan Romawi. Ketika Islam muncul, Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak menerapkan pajak terhadap kaum Muslimin, karena memang syariat tidak memerintahkannya, bahkan
menentangnya. Memang ada pajak di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
tetapi hanya berlaku untuk orang-orang kafir dzimmi yang tinggal di wilayah
kaum Muslimin sebagai jaminan keamanan untuk mereka.
Kita
perlu mendefinisikan pajak secara syariat,
karena untuk memudahkan kita nantinya dalam memahami hukumnya dengan baik
dikaitkan dengan istilah-istilah tersebut dalam hadits dan ucapan ulama.
Dalam istilah bahasa Arab,
pajak dikenal dengan nama (الْعُشْرُ) “al-‘usyr”, (الْمَكْسُ) “al-maks”, dan (الضَّرِيْبَةُ) “adh-dhoriibah” yang
artinya adalah “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.”
Ada pula (الْخَرَاجُ) “al-khoroj” tetapi ia
khusus digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah.
Sedangkan
para
pemungutnya disebut (صَاحِبُ
الْمَكْسِ) “shohibul maks” atau (الْعَشَّارُ) “al-asysyar”.
Adapun menurut ahli bahasa,
pajak adalah suatu pembayaran yang dilakukan kepada
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal
menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum. (Lisanul Arab
9/217-218, Syarah Muslim lin Nawawi 11/202, Nailul Authar 4/559, dan Al-Mughni 4/186-203)
Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata, “Yang dimaksud
dengan sebutan (صَاحِبُ
الْمَكْسِ ) Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa
memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah
mereka dengan memberi nama Al-Usyr (الْعَشَّارُ). Adapun para petugas yang bertugas
mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli
dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka
hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas
dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan
berbuat zhalim.” (Syarh As-Sunnah, 10/61)
Imam Syaukani Rahimahullah
berkata: “Kata Shahibul Maks (صَاحِبُ
الْمَكْسِ) adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq.” (Nailul Authar, 4/279)
Pajak ini
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pajak negara dan pajak
daerah:
Pajak Negara, yang sering
disebut juga pajak pusat yaitu pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri atas:
a.
Pajak Penghasilan, yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008.
b.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009.
c.
Bea Materai, yang diatur UU No. 13 Tahun 1985
tentang Bea Materai.
d.
Bea Masuk, yang diatur UU No. 10 Tahun 1995
jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
e.
Cukai, yang diatur UU No. 11 Tahun 1995
jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Pajak Daerah, sesuai
UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
Pajak Provinsi terdiri atas:
a)
Pajak Kendaraan Bermotor;
b)
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d)
Pajak Air Permukaan; dan
e)
Pajak Rokok.
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a)
Pajak Hotel;
b)
Pajak Restoran;
c)
Pajak Hiburan;
d)
Pajak Reklame;
e)
Pajak Penerangan Jalan;
f)
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g)
Pajak Parkir;
h)
Pajak Air Tanah;
i)
Pajak Sarang Burung Walet;
j)
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pajak ini
dibedakan menjadi pajak langsung dan tidak
langsung.
- Pajak langsung adalah pajak yang
dibebankan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan,
pajak kekayaan.
- Pajak tidak langsung adalah pajak yang secara
tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan
sebagainya. Contohnya sepeda motor yang dijual di tiap tempat seharga
Rp13.000.000 sebenarnya harga aslinya lebih murah dari itu, tetapi terkena
pajak beacukai sehingga menjadi mahal 10% lebih dari harga asli. Perkiraan
pajak beacukai dari sepeda tersebut adalah 1,5 juta. Tapi, sebagian kasus
bisa mencapai 85% dari harga asli barang.
Yaitu pajak yang harus
dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
- Pajak pendapatan adalah pajak yang
dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroan
terbatas/unit lain.
- Pajak penjualan adalah pajak yang
dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang/jasa yang dikenakan
kepada pembeli.
- Pajak badan usaha adalah pajak yang
dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya.
- Laba usaha yang diterima oleh badan usaha maupun
perorangan itulah yang akan dikenai PPh. Namun, bagi Wajib Pajak
perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih dahulu
dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya
ditetapkan dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.
Pajak
jenis ini dapat dibedakan menjadi:
- Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat
terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom
sebagai pendapatan daerah sendiri.
- Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba
perseroan/badan usaha lain yang modalnya/bagiannya terbagi atas
saham–saham.
- Pajak siluman adalah pungutan secara tidak
resmi/pajak gelap dan
merupakan sumber korupsi.
- Pajak transit adalah pajak yang dipungut
di tempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang/barang dari
suatu tempat ke tempat lain.
Jika kita
perhatikan, semua lini kehidupan masyarakat dipungut pajak. Jadi, satu orang bisa terkena lebih dari 10 jenis pajak.
Misalnya, pajak rumahnya, sepedanya, mobilnya, modal usahanya, keuntungannya,
transaksinya, saat makan di lestoran, gajinya, sembako yang dibeli di
supermaket, dan seterusnya. Dan lagi, jika nanti mati dikubur, juga ada
pajaknya per tahun atau per tiga tahun, tergantung daerahnya.
Penerimaan
pajak tahun 2012 adalah
835,25 Triliun, dengan komposisi: Pajak Penghasilan (PPh) Rp464,66
triliun; Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp336,05 triliun; Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Rp28,96 triliun.
Tiap
tahun, pemerintah selalu menginginkan pendapatan pajak bertambah. Tahun
2013, pemungutan pajak mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun. Pemerintah menargetkan pada tahun 2017 sebesar Rp 1.283,6
triliun dan tahun 2018
sebesar Rp 1.894,72 triliun.
Pendapatan
pajak itu belum termasuk
pendapatan cukai, bea masuk, dan pendapatan pungutan ekspor.[]
Hukum
pajak menurut aturan
perundang-undangan yang dibuat oleh manusia adalah wajib, dan siapa yang
menolak membayar zakat maka pemerintah berhak memaksa dan menjatuhkan hukuman.
Adapun
hukum pajak menurut syariat
Islam yang diturunkan Allah dari langit, yang mana Allah adalah pencipta langit
dan bumi, adalah haram, dan yang memaksa orang lain membayar pajak diancam
dengan Neraka.
Dalil
haramnya pajak dari Al-Qur’an,
hadits, dan pendapat ulama adalah sebagai berikut:
Allah mengharamkan kezhaliman. Allah berfirman:
«إِنَّمَا
السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ
بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ»
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim
kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat
azab yang pedih.” (QS. Asy-Syura [42]: 42)
Dalam
ayat ini Allah melarang berbuat zhalim dan pajak termasuk
kezhaliman karena mengambil hak seorang Muslim dengan cara batil. Juga pajak
yang pungut melampaui batas hampir pada semua lini kehidupan warga. Allah juga
berfirman:
«يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا»
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4]: 29)
Dalam
ayat ini, Allah melarang memakan harta dengan cara batil dan memaksa, dan pajak masuk dalam ayat
ini karena ia diterapkan dengan cara yang batil dan tanpa kerelaan korban.
Allah juga berfirman:
«وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ»
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
Diriwayatkan
dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, dari firman Allah:
«يَا
عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ
مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا»
“Wahai hamba-hamba-Ku, sungguh Aku mengharamkan
kezhaliman atas diri-Ku dan Aku jadikan ia haram di antara kalian,
maka kalian jangan saling menzhalimi.” (HR. Muslim no. 2577)
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menganggapnya sebagai dosa besar. Berdasarkan riwayat
dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, bahwa ada seorang wanita dari kabilah
Ghomidiyah yang berzina lalu
bertaubat dan minta dirajam lalu dirajamlah ia oleh kaum Muslimin hingga meninggal.
Khalid bin Walid mengambil batu
lalu melemparkannya ke kepala wanita tersebut hingga darahnya mengenai wajah
Khalid lalu Khalid memakinya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mendengar makian tersebut lalu bersabda kepada Khalid:
«مَهْلًا
يَا خَالِدُ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا
صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ»
“Tenang wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku di tanganNya,
sungguh dia benar-benar bertaubat yang andai para pemungut pajak bertaubat seperti
dirinya maka pasti diampuni.” (HR. Muslim
no. 1695)
Imam
An-Nawawi menjeskan hadits ini:
فِيهِ
أَنَّ الْمَكْسَ مِنْ أَقْبَحِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ وَذَلِكَ
لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ وَظَلَامَاتِهِمْ عِنْدَهُ وَتَكَرُّرِ
ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكِهِ لِلنَّاسِ وَأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِغَيْرِ حَقِّهَا
وَصَرْفِهَا فِي غَيْرِ وَجْهِهَا
“Ini
dalil bahwa pajak termasuk maksiat
yang paling jelek dan dosa yang sangat membinasakan. Demikian itu dikarenakan
banyaknya manusia yang kelak menuntutnya (di Akhirat), menzhalimi mereka,
dilakukan secara berulang-ulang, melanggar hak manusia, mengambil tanpa hak,
dan biasanya mendistribusikannya bukan pada tempat semestinya.” (Syarah
Shahih Muslim 11/203, Imam An-Nawawi)
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengancam pemungut pajak di Neraka. Diriwayatkan
dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ»
“Pemungut pajak tidak akan masuk
Surga.” (Shahih: HR. Abu Dawud
no. 2937, Ahmad no. 17333, dan Al-Hakim no. 1469. Al-Hakim bertaka, “Shahih
sesuai sesuai persyaratan Muslim.” Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Abu Dawud. Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hasan lighairih.”)
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga bersabda kepada seorang Sahabatnya:
«يَا
كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ،
النَّارُ أَوْلَى بِهِ»
“Wahai
Ka’ab bin Ujrah, sungguh daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan masuk
Surga. Neraka lebih layak untuknya.” (Shahih: HR. Ahmad no. 14441,
At-Tirmidzi no. 614, dan Abu Dawud no. 614. Dinilai shahih oleh Syaikh
Al-Albani, Syuaib Al-Arnauth, dan Husain Salim Asad)
Juga
diriwayatkan dari Abu Khair Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata:
عَرَضَ
مَسْلَمَةُ بْنُ مُخَلَّدٍ - وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَ - عَلَى رُوَيْفِعِ
بْنِ ثَابِتٍ، أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُورَ، فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي
النَّارِ»
“Maslamah
bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan
pajak kepada Ruwafi bin
Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu, maka ia berkata: sungguh aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya para
penarik pajak di Neraka.” (Shahih: HR. Ahmad no. 17001 dan Abu Dawud
no. 2930)
Syaikh
Al-Albani Rahimahullah berkata, “(Karena periwayatan Ibnu Lahi’ah dari
Qutaibah adalah shahih) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari
kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami,
dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib.”
(Silsilah Ash-Shahihah 7/1198-1199)
Hadits-hadits
yang semakna juga dishahihkan oleh Dr. Rabi Al-Madkhali Hafidzahulllah dalam
kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45.
Apa sebeb
terbesar yang melatarbelakangi mereka masuk Neraka? Karena kezhaliman harta
orang banyak akan berat di Akhirat. Mereka semua akan menuntut kepada para
pemungut pajak di Akhirat, di
hari tidak lagi berguna dinar, dirham, dan rupiah. Mereka minta ganti rugi
berupa pahala, jika pahala para pemungut pajak tidak cukup, maka dosa-dosa
korban dilempar ke mereka lalu mereka dilempar ke Neraka.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya pada
para Sahabat,
«أَتَدْرُونَ مَنِ
الْمُفْلِسُ؟» قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ،
فَقَالَ: «إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا
وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ
يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ
فِي النَّارِ»
“Apakah
kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?” Para Sahabat
menjawab, “Muflis adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Akan
tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Muflis dari
umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa
dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci si A, dan menuduh si B,
makan harta si C, menumpahkan darah si D, dan memukul si E. Maka korban itu
akan diberi pahala kebaikannya. Jika
telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa korban akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan
dilemparkan ke dalam Neraka.”
(HR. Muslim, no. 2581)
Juga sebabnya adalah harta yang mereka terima adalah
haram, dan daging yang ditumbuh
dari yang haram maka Neraka lebih layak untuknya, sebagaimana hadits Ka’ab bin Ujrah di atas.
Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
harta seorang Muslim diambil kecuali dengan kerelaan hatinya. Diriwayatkan,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَا
يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ»
“Harta seorang Muslim tidak halal (diambil) kecuali
dengan kerelaan hatinya.” (Shahih:
HR. Al-Baihaqi no. 11325 dan Ahmad no. 21119. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dan
Syuaib Al-Arnauth)
Jika
seorang WNI disuruh milih membeli sepeda motor seharga 16 juta (berbea cukai)
dengan 12 juta (bebas pajak), mana yang akan dipilih? Ini menunjukkan kasus yang
terjadi sekarang, adalah mereka tidak ridha dan membeli dengan terpaksa.
Juga Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah saat Haji Wada di hadapan
ratusan ribu kaum Muslimin dan memberi wasiat
kepada mereka:
«فَإِنَّ
دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيُبَلِّغِ
الشَّاهِدُ الغَائِبَ»
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan
kalian, adalah haram di antara kalian,
seperti haramnya hari kalian ini, di bulan ini, di negeri ini. Yang hadir untuk
memberitahu yang tidak hadir.” (HR.
Al-Bukhari no. 67)
Karena
begitu besarnya agama dalam menghargai hak kepemilikan, hingga dianggap syahid siapa
yang meninggal karena mempertahankan hartanya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
«مَنْ
قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ»
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka
ia syahid.” (HR. Al-Bukhari no. 2480 dan Muslim
no. 141)
Apakah
pemungut maks kekal di Neraka? Sabda beliau “pemungut pajak tidak masuk Surga” maksudnya adalah tidak masuk Surga langsung
tetapi transit dulu di Neraka, karena siapapun yang meninggal dalam
keimanan tidak akan kekal di Neraka, dan maks bukan termasuk pembatal
ke-Islaman seseorang, hanya dosa besar.
Imam
Adz-Dzahabi Rahimahullah memasukkan pajak sebagai dosa besar
ke-27 dalam kitabnya Al-Kabaair (Dosa-Dosa Besar) seraya berkata:
Pemungut
pajak masuk dalam firman
Allah: “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat lalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab
yang pedih.”
Para
pemungut pajak adalah orang-orang
yang paling besar menolong orang-orang zhalim, bahkan mereka adalah kezhaliman
itu sendiri, karena mengambil apa yang bukan haknya dan memberikannya kepada
yang bukan berhak. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengatakan bahwa para pemungut pajak tidak masuk Surga, yaitu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Para pemungut pajak tidak masuk Surga.”
Ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Hal itu dikarenakan pajak terkait dengan
kezhaliman terhadap banyak orang. Pada hari Kiamat para pemungut pajak akan
disuruh untuk mengembalikan apa yang dahulu mereka ambil dari manusia. Para
korban akan mengambil pahala-pahala yang dimiliki mereka. Dan mereka ini masuk
dalam kategori sabda Raulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Apakah
kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?” Para Sahabat menjawab, “Muflis adalah yang tidak
mempunyai dirham maupun harta benda.” Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata, “Muflis dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat
membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah
mencaci si A, dan menuduh si B, makan harta si C, menumpahkan darah si D, dan
memukul si E. Maka korban itu akan diberi pahala kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka
dosa-dosa korban akan
ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam Neraka.”
Begitu pula ia masuk kategori hadits tentang seorang
wanita yang meminta disucikan dirinya dengan rajam di mana Nabi bersabda, “Sungguh
wanita itu telah bertaubat yang seandainya pemungut pajak bertaubat sepertinya pasti diampuni.”
Pemungut pajak adalah orang memutus jalan (merampas harta), baik
satuan keamanan, pemungut pajak, penulisnya, saksinya, yang mengambilnya, baik
tentara, syaikh, dan guru, mereka semua sama dalam dosa dan pemakan harta haram.
Telah shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Tidak akan masuk Surga, daging yang tumbuh dari suht (harta
haram). Neraka
lebih layak untuknya.” Dan suht adalah setiap harta yang haram dan jelek.
Al-Wahidi Rahimahullah menyebutkan dalam Tafsir
firman Allah:
«قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيْثُ وَالطَّيِّبُ»
“Katakanlah, tidak sama yang jelek dan yang baik.”
Bahwa
diriwayatkan dari Jabir, ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, khomr
adalah daganganku dan hasil penjualannya aku tabung, apakah harta tersebut
bermanfaat jika aku sedekahkan dalam ketaatan kepada Allah?” Maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Meski kamu gunakan untuk haji, jihad,
sedekah, ia tidak akan bernilai di sisi Allah meski seberat ekor nyamuk.
Sesunggunya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” Lalu
Allah menurunkan ayat yang membenarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam tersebut, “Katakanlah, tidak sama yang jelek dan yang baik,
meskipun membuatmu kagum jumlahnya yang banyak.” Atha dan Al-Hasan
menafsirkan “yang baik dan yang jelek” dengan “halal dan haram”. Kita memohon kepada Allah ampunan dan afiyah. (Al-Kabaair
hal. 115-116, oleh Adz-Dzahabi)
Imam Ibnu
Hazm Al-Andalusi Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maraatibul Ijma
(hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah,
“Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas yang ditugaskan
untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada
pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar
dalam bentuk pajak atas barang-barang
yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun oleh para pedagang,
(semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, haram dan fasik. Kecuali
apa yang mereka pungut dari kaum Muslimin atas nama zakat
barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan yang
mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli
dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri Muslim),
(yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau
setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal
tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap
itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua,
kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli
dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” (Nasehat Bijak hal.
75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr. Rabi
Al-Madkhali)
Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘Anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu pernah menarik pajak dari kaum Muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah
mengetahuinya.” (Syarh Ma’anil Atsar 2/31)
Umar bin
Abdul Aziz Rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin
Arthah, di dalamnya ia berkata: “Hapuskan dari manusia (kaum Muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan
termasuk Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah:
«وَلَا
تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ»
“Dan janganlah kamu melakukan bukhs (merugikan/mengurangi)
manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud
[11]: 85)
Kemudian
beliau melanjutkan: “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita),
terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah
yang akan membuat perhitungan dengannya.” (Ahkam Ahli Dzimmah 1/331)
Imam
Ahmad Rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum Muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab Rahimahullah
dalam kitab Jaami’ul Ulum wal Hikam. (Iqadh Al-Himmam Al-Muntaqa Jami’
Al-Ulum wal Hikam hal. 157)
Imam
Al-Jashshash Rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an
(4/366): “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa
dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak.
Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh
imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak).”
Syaikh
Ibnu Baz Rahimahullah
dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan: “Adapun
kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang
(kebijakan itu).”
Dan pajak bukanlah zakat.
Zakat adalah kewajiban dari Allah dan pajak adalah kezhaliman penguasa. Distribusi
zakat juga sudah Allah tentukan yaitu kepada delapan golongan yang Allah
jelaskan dalam surat At-Taubah. Adapun Lajnah Daimah (Komite Fatwa Arab Saudi)
menfatwakan:
لا
يجوز أن تحتسب الضرائب التي يدفعها أصحاب الأموال على أموالهم من زكاة ما تجب فيه
الزكاة منها ، بل يجب أن يخرج الزكاة المفروضة ويصرفها في مصارفها الشرعية ، التي
نص عليها سبحانه وتعالى بقوله: «إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ...»
الآية
“Tidak
diperbolehkan menganggap pajak yang dibayarkan
seseorang sebagai zakat atas harta yang wajib dizakati. Wajib membayar zakat
secara khusus dan menyalurkannya pada sasaran yang telah ditetapkan oleh
syariat sebagaimana yang telah Allah firmankan yang artinya, ‘Zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin (dst).” (QS. At-Taubah [9]: 60,
Fatawa Al-Lajnah Al- Daimah 9/285).
Sebagian
orang yang membolehkan pajak, beralasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah menerapkannya. Benarkah demikian? Jika benar, seperti apakah pajak di
zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Pajak
yang pernah diterapkan di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah jizyah dan khoroj. Jizyah adalah pajak yang dibayarkan
oleh nonMuslim yang tinggal di negeri kaum Muslimin (Madinah) dengan
imbalan mendapatkan jaminan keamanan. Adapun khoroj adalah pajak bumi
yang diperuntukkan khusus nonMuslim. Dari dua ini, jelas sekali bahwa objek
pajak bukan orang Islam, sehingga tidak benar menyamakan pajak sekarang dengan
zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam Ibnu
Qudamah Rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121)
menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum Muslimin terbagi menjadi
dua macam.
1. Tanah
yang diperoleh kaum Muslimin dari kaum kafir
tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka
bagi orang kafir yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj
sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah,
sehingga pajak yang berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap
mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah
yang diperoleh kaum Muslimin dari kaum kafir
dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki
tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum Muslimin (apabila
tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum Muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir
maupun orang Muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut,
diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf
yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi, dan ini bukan berarti
membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Pajak
hukumnya haram, tetapi dalam kondisi tertentu ia bisa berubah menjadi
boleh bahkan bisa wajib, yaitu ketika kas negara benar-benar habis dan tidak
ada lagi sumber dana lain baik dari zakat, hasil eksport, dan sejenisnya, maka
saat itu diperbolehkan dengan syarat yang dipungut adalah orang kaya dan
pendistribuannya benar-benar untuk hal-hal yang penting dan bersifat publik. Tidak boleh dana tersebut
untuk menjamu tamu kenegaraan, pesta, tontonan, dan semisalnya.
Syaikh
Muhammad ‘Ali Farkus Hafizhahullah menjelaskan pajak yang boleh dan
tidak boleh: Pajak terbagi menjadi dua, yaitu:
- Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai
syaratnya.
- Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui
batas.
Pajak
yang diwajibkan oleh penguasa Muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi
kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan
perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan
tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan
pajak atas
orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan
berdasarkan kaidah tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma
(sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh
mashalat yang lebih besar) dan yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i
dlararin ‘aam (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak
kerugian yang lebih besar).
Pendapat
ini juga didukung oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa dan Asy-Syatibhi
dalam Al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Negara (Baitul Maal)
kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan
retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad
dengan harta diwajibkan kepada kaum Muslimin dan merupakan
kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah Ta’ala berfirman,
«إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ»
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujuraat: 15)
dan
firman-Nya,
«انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ»
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan
maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 41)
«وَأَنْفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ»
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
«تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ»
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS. Ash-Shaff
[61]: 11)
Dengan
demikian, salah satu hak penguasa kaum Muslimin adalah menetapkan
berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal
ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats Al-Umam
dan juga pendapat An-Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan
(menguatkan) pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum Muslimin berkewajiban
membantu kaum Muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk
dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang
bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat
kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer)
dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya
sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah
dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan
untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan
kewajiban bagi tokoh kaum Muslimin dan biasanya
seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat.
Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar
kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa
yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sesuatu dimana sebuah kewajiban
tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib).
Kemudian,
setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh
pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka
sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi
dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm” (tanggungan
kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil).
Namun,
ketetapan (bolehnya memungut zakat) ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :
- Baitul Maal mengalami kekosongan dan kebutuhan
negara untuk menarik pajak memang sangat
dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi
kebutuhan tersebut tidak ada.
- Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai
kepentingan umat dengan cara yang adil.
- Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan
anggota syura (ulama dan tokoh) dalam menentukan berbagai kebutuhan
negara yang membutuhkan dana tunai
dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan
tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana
tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.
Sedangkan
pajak jenis kedua, yaitu yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka
hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari
pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip
umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam
permasalahan harta adalah haram diganggu karena
berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan
kerelaan dari jiwanya.” (Shahih: HR. Daruquthni no. 300)
“Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka
dia syahid.” (HR. Al-Bukhari no. 6486)
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan
kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian
(untuk dilanggar).” (HR. Al-Bukhari no. 18487)
Berdasarkan
hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela
para pemungut pajak dan mengaitkannya
dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan
secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan
tanpa adanya pengarahan. Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk
memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk
memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan
rakyat yang tertindas. Gambaran inilah yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Kabaair
dengan komentarnya, “Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak
kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil
sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.”
Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar
diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia
dan atas kaum fakir, khususnya kaum Muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para
pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk
memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai
protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan
pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai
pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras,
mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya
yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.
Maka,
pajak jenis ini seperti
yang dinyatakan oleh sebagian ulama, justru dipungut dari kalangan miskin dan
dikembalikan kepada kalangan elit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh
zakat yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dalam haditsnya, “Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan
kepada kalangan fakir.”
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka seorang Muslim yang peduli akan agamanya berkewajiban
menjauhi segala bentuk keharaman dan kemaksiatan serta menjauhkan diri dari
setiap pekerjaan yang justru akan memperbanyak dosa dan mengotori harta yang
dimilikinya. Sebagaimana dia berkewajiban untuk tidak menjadi alat dan
perantara untuk memaksa dalam tindak kezhaliman yang digunakan oleh para
pelakunya dalam membebani manusia dengan
berbagai pungutan harta.
Bahkan,
bisa jadi dia termasuk pelaku kezhaliman itu sendiri, karena biasanya seorang
yang berserikat dengan para pelaku kezhaliman dan berbagi harta yang haram dengan mereka,
(maka hal itu juga merupakan tindak kezhaliman), karena syari’at apabila
mengharamkan suatu aktivitas, maka uang yang diperoleh dari aktivitas tersebut
juga haram. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Semoga
Allah membinasakan Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai atas
mereka, mereka justru mencairkannya, kemudian menjual dan menggunakan uang
hasil penjualannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 14063)
Adapun
penetapan pajak di samping zakat,
apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara
kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu
menjadi wajib dengan syarat kas Baitul Maal kosong, dialokasikan dan didistribusikan
dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil
dan tindakan ‘Umar ibn Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu yang mendukung
hal tersebut.
Inilah
yang nampak bagiku dalam permasalahan ini. Apabila benar, maka hal itu berasal dari
Allah dan jika keliru, maka hal itu berasal dari diriku. Saya memohon kepada
Allah untuk meneguhkan langkah kita, menjauhkan kita dari kesesatan, memberi
taufik kepada kita untuk mengerjakan amalan yang mengandung kebaikan di dunia
dan Akhirat, serta menjadikan diri kita sebagai sarana dalam memperbaiki
manusia dan negara. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamenguasai dan Mahaberupaya
atas hal itu. (Dari http://www.ferkous.com/rep/Bi2.php yang diterjemahkan Muslim.or.id)
Para
ulama yang membolehkan penguasa memungut pajak, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya
adalah sebagai berikut :
- Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
- Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan
maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan
Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
- Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara,
baik dari zakat, jizyah, al-‘usyur, kecuali dari pajak.
- Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh
masyarakat.
- Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang
kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya
juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat
tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
- Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan
secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara
dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
- Harus dihilangkan dulu pendanaan yang
berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
- Besarnya pajak harus sesuai
dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Abhats Fiqhiyyah
Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)
Jika kita
memperhatikan poin-poin syarat di atas, maka kita akan dapati bahwa pajak yang diterapkan
sekarang belum memenuhi kriteria yang diperbolahkan. Hal itu dikarenakan beberapa
sebab:
- Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat
Islam.
- Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan
dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak
langsung akan membebani rakyat kecil.
- Hasil pajak hari ini
dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi
justru digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi,
pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya,
bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari
rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan
pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan
pejabat, dan lain-lainnya.
- Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara
mutlak dan tidak terbatas.
- Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal
zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
- Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan
dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
- Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil,
padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam
tidak diolah dengan baik, justru diberikan kepada perusahaan asing, yang
sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan
Negara dan rakyat.
Dari
keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan
hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di
dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi
hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang
bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya
telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan
kesejahteraan masyarakat.
Dikarenakan
pajak belum memenuhi
kriteria dan lebih condong kepada kezhaliman maka warga negara tidak wajib
membayar pajak. Jika ia dipaksa dan diancam dengan hukuman, maka ia membayar
karena terpaksa dan kelak ia bisa menuntutnya di hari Allah menegakkan keadilanNya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ
كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ
مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ
لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ
لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ»
“Siapa yang memiliki kezhaliman terhadap saudaranya, baik
barang berharganya atau yang lainnya, mintalah kehalalan sekarang, sebelum
tidak berlaku lagi dinar dan dirham. Jika pelaku tersebut memiliki pahala amal
shalih maka akan diambil sesuai kadar kezhalimannya, dan jika ia tidak memiliki
kebaikan maka keburukan (dosa-dosa) korban akan dipikulkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 2449)[]
Yang
dimaksud pemungut pajak adalah setiap
pihak yang memungut pajak, baik perorangan atau lembaga (instansi negara), baik
legal maupun ilegal (pungutan liar).
Dari
pemaparan pada Bab 2, menjadi jelas bagi kita hukum perpajakan. Untuk itu,
keluar dari perpajakan adalah sikap terbaik, sebagai bukti taubat kepada Allah.
Dosa apapun, sekalipun syirik dan membunuh, jika ia bertaubat kepada Allah maka
Allah akan mengampuninya:
«وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ * فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ
اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ»
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah [5]: 38-39)
«لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا
إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ * أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ
وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ»
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Allah
salah satu dari yang tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan
memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah [5]: 73-74)
“Bukankah ada beberapa tokoh agama yang mengatakannya
boleh?”
Manusia
tidak ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), dan hanya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja yang ma’shum. Jika ulama
berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala. Adapun orang yang sudah
sampai kepadanya sabda Rasul lalu tetap ia terjang maka ia akan celaka.
“Jika aku keluar, bagaimana aku menafkahi keluarga?”
Justru
siapa yang hijrah menuju Allah dan meninggalkan sesuatu karena Allah, maka
Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلّٰهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللّٰهُ
بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ»
“Tidaklah
engkau meninggalkan sesuatu karena Allâh melainkan Allâh akan menggantimu
dengan yang lebih baik daripada itu.” (Shahih: HR.
Ahmad no. 23074 dan Al-Baihaqi no. 10821 dalam al-Kubrâ)
Dan
jangan melupakan berkah, harta berapa pun banyaknya, jika tidak diberkahi maka
ia terasa kurang dan menimbulkan kerusakan. Bagaimana pendapatmu tentang
seseorang yang gajinya 10 juta per bulan, tetapi pengeluarannya tiap bulan 11
juta? Tentu kita katakan dia miskin, bukan orang kaya meski gaji 10 juta.
Sebagian
harta ada yang aneh, ketika ia masuk rumah ternyata menjadikan pasutri cekcok,
menjadikan anak terjerat geng motor dan narkoba, menjadikan sesama ahliwaris
bersitegang.
Namun,
ada pula harta yang sedikit, tetapi Allah berkahi, sehingga ia mendatangkan
kebahagiaan kepadanya dan keluarganya.
“Jika aku keluar, keluargaku tidak setuju dan akan
memakiku, terutama kerabat-kerabatku. Juga kawan-kawanku akan menjauhiku dan
menuduhnya macam-macam, sok alim, dan seterusnya. Ini terasa berat bagiku!”
Diriwayatkan
dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«مَنِ
الْتَمَسَ رِضَى اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَرْضَى
النَّاسَ عَنْهُ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ سَخَطَ
اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ»
“Siapa yang mencari ridha Allah meskipun manusia benci,
maka Allah meridhainya dan menjadikan manusia kelak meridhainya. Siapa yang
mencari ridha manusia lewat kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya dan
menjadikan manusia kelak membencinya.” (Shahih: HR. Ibnu Hibban no. 276)
Manusia
beranggapan bahwa dengan memperbesar pajak maka negara akan
makmur. Ini anggapan manusia, dan kita sudah ketahui manusia itu terbatas
ilmunya dan sebagian ucapan mereka dipengaruhi oleh ketamakan dan dorongan
cinta dunia. Adapun Allah dan Rasul-Nya justru mengabarkan jika kezhaliman
sudah merata di sebuah negeri dan orang-orang shalih tidak mengingkarinya maka
itu pertanda kehancuran negeri tersebut. Hukuman paling ringan bagi mereka
adalah dicabut berkahnya, sehingga Anda akan melihat harta yang melimpah-ruah
tetapi justru mendatangkan berbagai problem negara. Allah berfirman:
«وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ»
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS.
Al-A’raf [7]: 96)
Jika
adzab ini sudah turun maka ia akan merata, menimpa juga kepada orang-orang baik
yang ada di sana. Allah berfirman:
«وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ»
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
amat keras siksaan-Nya.” (QS.
Al-Anfal [8]: 25)
Yakinlah,
menerapkan aturan kenegaraan yang menyelisihi syariat tidak akan menyelesaikan
masalah, dan justru mendatangkan musibah dan bencana serta berbagai problem
masyarakat yang tidak bisa dipecahkan. Allah berfirman:
«فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ»
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nur [24]: 63)
Berdasarkan
dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib setiap Muslim mentaati
pemimpinnya selama pemimpin itu Muslim dan tidak memerintahkan kemaksiatan.
Adapun jika penguasa memerintahkan kemaksiatan maka rakyat dilarang keras oleh
Allah dan Rasul-Nya untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban
membayar pajak dengan berbagai
jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam
sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ»
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada
Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf
(baik) saja.” (HR. Al-Bukhari no. 6830 dan Muslim
no. 1840)
Akan
tetapi, bagaimana sikap kaum Muslimin jika penguasa
memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka,
bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam
keadaan demikian, kaum Muslimin tidak boleh
melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan
yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai
pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa
melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap
sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah berwasiat kepada umatnya:
«يَكُونُ
بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ
إِنْسٍ» قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ
ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ
مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Akan datang sepeninggalku para pemimpin yang tidak
mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada
di antara mereka yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya:
“Wahai
Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?”
Beliau
bersabda: “Kamu tetap mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun
punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.”
(HR. Muslim no. 1847)
Syaikh
Shalih Al-Fauzan Hafidzahullah memberi penjelasan yang bagus: “Melawan
pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas
kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka memang suatu madharat,
tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat
terpecahnya persatuan kaum Muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum Muslimin.” (Al-Fatawa
As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah ha. 93)[]
Di antara
sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ialah:
1. Zakat,
yaitu kewajiban setiap Muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Zakat
sendiri ada dua, zakat fithri yang ditunaikan saat Idul Fithri dan zakat mal
(harta). Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan
diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik
zakat dari kaum Muslimin yang memiliki
harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan
oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat
At-Taubah: 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang
ditugaskan oleh pemimpin kaum Muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ataupun generasi berikutnya.
2. Harta
warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh)
terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di
kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada
masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit,
kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua
harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara.
Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan
kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli
warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan
sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. (Al-Khulashoh Fi
Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385)
3. Jizyah,
adalah pajak yang diambil dari
orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan
keamanannya. (Lisan Al-Arab, 2/280-281)
4. Ghanimah
dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir harbi yang dikuasai oleh
kaum Muslimin dengan adanya
peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir harbi yang ditinggalkan dan
dikuasai oleh kaum Muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan
oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal: 41, yaitu 4/5 untuk
pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul,
para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui Baitul Maal.
Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr: 7,
yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin,
dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui Baitul Maal.
5. Kharaj,
yaitu pajak bumi atau tanah,
tapi sekali lagi ditekankan bahwa pajak ini diberlakukan hanya untuk orang
kafir, bukan berserikat dengan Muslim.
6. Sedekah
sunnah, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang
digunakan untuk kepentingan bersama.
7.
Memanfaatkan sumber daya alam Indonesia untuk kemakmuran bangsa dan masyarakat.
Ini dimuat dalam undang-undang 1945 terutama pasal 33 UUD 45.
UUD 1945
menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.” (Pasal 33 Ayat 1)
“Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.” (Pasal 33 Ayat 2)
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” (Pasal 33 Ayat 3)
Dan
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.” (Pasal 33 Ayat 4)
Lalu
disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: “Fakir miskin dan anak-anak yang
telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: “Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: “Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak”.
Namun
seribu sayang, sumber daya alam kita tidak dimanfaatkan dengan baik dan bahkan
justru diberikan kepada asing. Lihat saja Freeport si lembah emas dan logam
mulia, berton-ton emas kita diangkut ke luar negeri. Jika hanya Freeport saja
yang dikelola negara, pemerintah mampu mandiri membangun negeri, sekolah
gratis, rumah sakit gratis, dan tidak membutuhkan lagi sumber dana lainnya.
Pada
tahun 2017, hutang Indonesia sebesar Rp 4.636 triliun. Artinya setiap orang
Indonesia mendapatkan beban sekitar Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) untuk
bisa melunasi hutang negara. Setiap anak yang lahir diberi beban 20 juta.
Alangkah malangnya mereka.
Ada apa
sebenarnya dengan negeri ini? Jawabannya
sederhana, Allah cabut keberkahan darinya karena kezhaliman demi kezhaliman
yang mewarnai negeri ini, sementara orang shalihnya tidak mau tau dan cuek.
Ada orang
Muslim dan ada orang kafir. Ketika mereka sama-sama melakukan kemaksiatan, ada
perbedaan sikap Allah kepada mereka. Yang Muslim diberi musibah untuk
menggugurkan dosa-dosanya sehingga di Akhirat menjadi ringan, adapun orang
kafir diberi istidroj, yaitu semakin maksiat maka semakin dilapangkan
dunianya sehingga di Akhirat bertambah siksanya.
Permasalahan
sekarang, Indonesia adalah negara Islam dengan penduduk Muslim terbanyak di
dunia. Maka, ketika sudah merebak kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan,
serta shalat lima waktu mereka tinggalkan maka bumi dan langit menahan
berkahnya. Allah berfirman:
«ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ»
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan (dosa-dosa) manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]: 41)
Dari Abu
Hurairah Rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«مَا
يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ
أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا
مِنْ خَطَايَاهُ»
“Orang Islam manapun yang tertimpa keletihan, penyakit,
sedih atas masa depan, sedih masa lalu, gangguan, kesempitan hati, hingga duri
yang menusuknya, melainkan dengan itu Allah hapus dosa-dosanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)
Siapa
yang kembali kepada Allah dengan meninggalkan segala bentuk kemaksiatan
terutama dosa-dosa yang merugikan publik seperti pajak, riba, dan suap, maka Allah akan mengganti kemiskinan
mereka dengan keberkahan dan rasa gundah dengan kebahagiaan. Allah berfirman:
«مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ»
“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Ini sebenarnya
solusi utamanya, andai mereka mengetahui. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»
“Jika kalian sudah jual-beli dengan sistem i’nah,
memegang ekor-ekor sapi, ridha dengan pertanian, meninggalkan jihad, maka Allah
akan menguasakan kehinaan kepada kalian. Dia tidak akan mencabut kehinaan itu
hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 3462)
I’nah adalah
salah satu transksi ribawi. “Memegang ekor-ekor sapi” adalah kiasan cinta
dunia, ke mana dunia berjalan maka ia mengekor di belakangnya. “Meninggalkan
jihad,” jihad adalah bersungguh-sungguh mencurahkan segala kemampuan untuk
meninggikan kalimat Allah, dan jihad pedang adalah salah satunya, dan jihad
dengan ilmu adalah sebesar-besar jihad, yaitu dengan mengutamakan pelajaran
Islam atas selainnya dan bersungguh-sungguh menyebarkannya ke masyarakat. “Kembali
kepada agama kalian,” maksudnya kembali beragama seperti Nabi dan para
Sahabatnya beragama, terutama menjauhi kezhaliman pajak.
Jika
orang-orang shalih dari negeri ini sudah berbuat semaksimal mungkin, tetapi
belum bisa merubah sistem yang sudah mendarah daging, maka jalan terakhir
adalah sabar dan berbaik sangka kepada Allah. Meyakini bahwa takdir Allah
adalah terbaik untuknya.
Apalah
artinya dunia ini dibanding Akhirat. Biarlah orang-orang kafir bersenang-senang
dan mandi harta, sementara Anda hidup dalam kecemasan karena menanggung hutang.
Allah berfirman:
«وَالَّذِينَ
كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ
مَثْوًى لَهُمْ»
“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di
dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan Neraka adalah
tempat tinggal mereka.” (QS.
Muhammad [47]: 12)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«الدُّنْيَا
سِجْنُ الْمُؤْمِنِ، وَجَنَّةُ الْكَافِرِ»
“Dunia adalah penjara bagi Mukmin dan Surga bagi orang
kafir.” (HR. Muslim no. 2956)
Begitu
juga, Anda menahan diri dari harta syubhat, apalagi haram, di sisi lain kawan Anda sesama Muslim justru merasa
nyaman dengan harta haram. Biarlah, karena orang kaya akan didahului orang
miskin ke Surga sejarak 500 tahun. Ini jika hartanya halal, lantas bagaimana
jika hartanya syubhat atau haram? Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«يَدْخُلُ
الْفُقَرَاءُ الْجَنَّةَ قَبْلَ الْأَغْنِيَاءِ بِخَمْسِمِائَةِ عَامٍ نِصْفِ
يَوْمٍ»
“Orang-orang miskin mendahului orang kaya masuk Surga
sejarak 500 tahun, yaitu setengah hari (Akhirat).” (Shahih: HR. At-Tirmidzi no. 2353)
Maka,
hanya satu kata, SABAR. Nikmati apa adanya dengan baik sangka kepada Allah,
maka kita akan bahagia.[]
Dari pemaparan-pemaparan
di atas, kita bisa menyimpulkan:
ü Definis sederhana dari pajak adalah iuran
rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
ü Pajak hukumnya haram dengan dalil dari
Al-Qur’an, hadits, dan fatwa ulama. Ada kondisi tertentu pajak diperbolehkan,
tetapi pajak yang diterapkan sekarang belum memenuhi kriteria tersebut.
ü Karena pajak hukumnya haram dan sebuah
kezhaliman maka kaum Muslimin tidak wajib
membayar. Adapun mereka membayar pajak, karena terpaksa atas paksaan negara dan
ancaman hukum.
ü Kezhaliman jika sudah merata di sebuah negeri maka langit
dan bumi akan menahan berkahnya, sehingga penduduknya akan merasakan musibah,
penyakit, dan penderitaan. Kalaupun uangnya banyak, maka justru hanya menambah
masalah dan malapetaka.
ü Solusi untuk Indonesia adalah mencari sumber dana yang
diperbolehkan syariat sehingga harta mereka diberkahi, dan yang tak kalah pentingnya
adalah komitmen menerapkan syariat di pemerintahan.
ü Terkadang tidak ada solusi bagi orang-orang yang
menghendaki kebaikan tetapi tidak mampu merubah keadaan (sistem) kecuali sabar.
Sungguh sabar adalah indah.[]
A
adh-dhoriibah..................................... 6
al-‘usyr.................................................. 6
al-asysyar............................................. 6
Al-Baghawi........................................... 7
al-khoroj............................................... 6
As-Sa’di.............................................. 58
B
Bea Materai......................................... 8
Belanda................................................. 5
C
Charles E. McLure.............................. 3
Cukai..................................................... 8
G
Ghomidiyah...................................... 14
H
haram 1,
12, 14, 16, 18, 19, 21, 22, 26, 31, 33, 44, 53, 54
I
Ibnu Baz............................................. 24
Ibrahim................................. 59,
60, 61
K
Khalid bin Walid............................... 14
L
Leroy Beaulieu.................................... 4
M
Muslim........................................ 58,
61
Muslimin 5,
6, 14, 19, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 44, 45, 46, 47, 54
N
Nailul Authar....................................... 7
Nashrani............................................... 5
P
pajak 1,
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 42, 43, 44, 47, 50, 52, 54
Pajak Penghasilan......................... 8, 11
Pajak Pertambahan..................... 8, 11
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH. 4
R
Romawi................................................ 6
Rp 1.000 triliun................................ 11
Rp 1.283,6 triliun............................. 11
Rp 1.894,72...................................... 11
S
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam........... 58
shohibul maks..................................... 6
Sulaiman........................ 58,
59, 60, 61
T
taxo....................................................... 3
U
UU.................................................... 4,
8
Y
Yahudi....................................... 5,
6, 33
Z
Zakaria............................................... 61
1.
Tafsîrul Qur`ânil Adzîm
(Tafsîr Ibnî Katsîr) karya Abu Al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy
Ad-Dimasyqi (w. 774 H), Tahqiq: Sami Muhammad Salamah, Penerbit: Dar Tayyibah,
cet. ke-2 th. 1420 H/1999 M.
2.
Taisîrul Karîmir Rahmân fî
Tafsîri Kalâmil Mannân (Tafsîr As-Sa’di) karya Abdurrahman bin Nashir
bin Abdullah As-Sa'di (w. 1376 H), Tahqiq: Abdurrahman bin Ma'la Al-Luwaihaq,
Penerbit: Muassasah ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1420 H/2000 M.
3.
Al-Jâmi’ As-Musnad Ash-Shahîh
Al-Mukhtashar min Umûri Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanih wa Ayyamih (Shahîh Al-Bukhârî) karya Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari Al-Ju’fi (w. 256 H), Tahqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir
An-Nashir, Penerbit: Dar Thauqun Najah, cet. ke-1 th. 1422 H.
4.
Al-Musnad Ash-Shahîh
Al-Mukhtashar Binaqlil Adli ‘anil Adli ilâ Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam (Shahîh Muslim) karya Abu Al-Husain Muslim
bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (w. 261 H), Tahqiq: Dr. Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Ihyaut Turats Al-Arabi Beirut, tanpa tahun.
5.
Sunan
At-Tirmidzî karya Abu Isa Muhammad bin
Isa bin Saurah At-Tirmidzi (w. 249 H), Tahqiq: Ahmad
Muhammad Syakir dkk, Penerbit: Musthafa Al-Babi Al-Halabi Mesir, cet. ke-2 th.
1395 H/1975 H.
6.
Sunan
Abû Dâwûd karya Abu Dawud Sulaiman bin
Al-Asy’ats As-Sijistani As-Azdi (w. 275 H), Tahqiq: Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Penerbit: Maktabah Al-Ishriyyah Beirut, tanpa tahun.
7.
Al-Mujtabâ
(Sunan An-Nasâ`i) karya Abu Abdirrahman Ahmad
bin Syu’aib bin Ali An-Nasa`i (w. 303 H), Tahqiq: Abu Ghuddah
Abdul Fattah, Penerbit: Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyah Halab cet. ke-2 th.
1406 H/1986 M.
8.
Sunan
Ibnu Mâjah karya Abu Abdillah Muhammad
bin Majah (nama aslinya Yazid) Al-Qazwini (w. 273 H), Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit:
Dar Ihya`ul Kutub Al-Arabiyyah.
9.
Musnad
Ahmad karya Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal asy-Syaibani (w. 241 ), Tahqiq: Syuaib
Al-Arnauth dkk, Penerbit: Muassasah ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
10. As-Sunan Al-Kubrâ karya Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali
An-Nasa`i (w. 303 H), Tahqiq: Hasan Abdul Mun’im Syalabi,
Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut, cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
11. Shahîh Ibnu Khuzaimah karya Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah
bin Al-Mughirah bin Shalih bin Bakar As-Sulami An-Naisaburi (w. 311 H), Tahqiq:
Dr. Musthafa Al-A’dzami, Penerbit: Al-Maktabah Al-Islami Beirut, cet. tanpa
tahun.
12. Shahîh Ibnu Hibbân karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin
Hibban bin Muadz bin Ma’bad At-Tamimi Ad-Darimi (w. 354 H), Tahqiq: Syu’aib
Al-Arna`ut, Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut, cet. ke-2 th. 1414 H/1993 H.
13. Al-Mustadrâk alâsh Shahîhain karya Abu Abdillah Al-Hakim bin Muhammad bin
Abdullah bin Muhammad bin Hamadiyyah bin Tsu’aim bin Al-Hakam adh-Dhabi
Ath-Thahmani An-Naisaburi (nama ma’ruf Ibnul Bayyi’) (w. 405 H), Tahqiq:
Musthafa Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-1
th. 1411 H/1990 H.
14. Ar-Raudhu Ad-Dânî (Al-Mu’jam
Ash-Shaghîr) karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad
bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq:
Muhammad Syakur Mahmud Al-Hajj Al-Amiri, Penerbit: Al-Maktab Al-Islami Beirut,
cet. ke-1 th. 1405 H/1985 H.
15. Al-Mu’jam Al-Ausath karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad
bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq:
Thariq bin Iwadhullah bin Muhammad dan Abdul Muhsin bin Ibrahim Al-Husni,
Penerbit: Darul Haramain Mesir, cet. tanpa tahun.
16. Al-Mu’jam Al-Kabîr karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad
bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Hamdi
bin Abdul Majid As-Salafi, Penerbit: Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir, cet. ke-2
tanpa tahun.
17. Al-Mu’jam Al-Kabîr (juz 13, 14, dan 21) karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad
bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq:
penelitian di bawah pengawasan Dr. Sa’ad bin Abdullah Al-Hamid dan Dr. Khalid
bin Abdurrahman Al-Jarisi, cet. ke-1 th. 1427 H/2006 H.
18. As-Sunan Al-Kubrâ karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali
Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Muhamamd Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub
Al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-3 th. 1424 H/2003 H.
19. As-Sunan Ash-Shughrâ karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali
Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Abdul Mu’thi Amin, Penerbit: Jami’atud Dirâsât
Al-Islâmiyyah Pakistan, cet. ke-1 th. 1410 H/1989 H.
20. Syu'abul Iman karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin
Musa Al-Baihaqi Al-Khurasani (w. 458 H), Tahqiq: Dr. Abdul Ali Abdul Hamid
Hamid, Penerbit: Maktabah ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1423 H/2003 M.
21. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah karya Abu Bakar Abdullah bin Abu Syaibah Al-Abasi
Al-Kufi (w. 235 H), Tahqiq: Kamal Yusuf Al-Hut, Penerbit: Maktabah ar-Rusyd
Riyadh, cet. ke-1 th. 1409 H.
22. Mushannaf Abdurrazzâq karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam
Ash-Shan'ani (w. 211 H), Tahqiq: Habiburrahman Al-A'dhami, Penerbit: Al-Maktab
Al-Islami Beirut, cet. ke-2 th. 1403 H.
23. Musnad Ad-Dârimî (Sunan
Ad-Dârimî) karya Abu Muhammad Abdullah
bin Abdurrahman bin Al-Fadhal bin Bahram bin Abdush Shamad Ad-Darimi At-Tamimi
As-Samarqandi (w. 255 H), Tahqiq: Husain Salim Asad Ad-Darani, Penerbit: Darul
Mughni KSA, cet. ke-1 th. 1412 H/2000 M.
24. Al-Mustakhrâj karya Abu Awanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim An-Naisaburi
Al-Isfirayaini (w. 316 H), Tahqiq: Aiman bin Arif Ad-Dimasyq, Penerbit: Darul
Ma’rifah Beirut, cet. ke-1 th. 1419 H/1998 H.
25. Sunan Ad-Dâruquthnî karya Abul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi
bin Mas’ud bin Nu’man bin Dinar Al-Baghdadi Ad-Daruquthni (w. 385 H), Tahqiq:
Syu’aib Al-Arna`uth dkk, Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut, cet. ke-1 th.
1424 H/2004 H.
26. Musnad Abû Ya’lâ karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin Al-Mutsanna bin
Yahya bin Isa bin Hilal At-Tamimi Al-Maushuli (w. 307 H), Tahqiq: Husain Salim
Asad, Penerbit: Darul Ma`mun lit Turâts Damaskus, cet. ke-1 th. 1404 H/1984 H.
27. Musnad Ibnu Abî Syaibah karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman
bin Khawasiti Al-Abasi Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), Tahqiq: Adil bin Yusuf Al-Azazi dan Ahmad bin
Farid Al-Mazidi, Penerbit: Darul Wathan Riyadh, cet. ke-1 th. 1997 H.
28. Musnad Abû Dâwûd Ath-Thayâlisî
karya Abu Dawud Sulaiman bin Dawud
bin Al-Jarud Ath-Thayalisi Al-Bashri (w. 204 H), Tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdul
Muhsin At-Turki, Penerbit: Dar Hijr Mesir, cet. ke-1 th. 1419 H/1999 H.
29. Al-Bahr az-Zakhkhâr (Musnad
Al-Bazzâr) karya Abu Bakar Ahmad bin Amr
bin Abdul Khaliq bin Khalad bin Ubaidillah Al-Ataki (nama ma’ruf Al-Bazzar) (w.
292 H), Tahqiq: Mahfuzhur Rahman Zainullah (juz 1-9), Adil bin Sa’ad (juz
10-17), dan Shabari Abdul Khaliq asy-Syafi’i (juz 18), Penerbit: Maktabah
Al-Ulum wal Hikam Madinah, cet. ke-1 th. 1988-2009 H.
30. Musnad Al-Humaidi karya Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair bin Isa bin
Abdillah Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Humaidi Al-Makki (w. 219 H), Tahqiq: Hasan
Salim Asad Ad-Darani, Penerbit: Darus Saqa`, cet. ke-1 th. 1996 M.
31. At-Tauhîd wa Ma’rifatu
Asmâ`illah Azza wa Jalla wa Sifâtuhu ‘alal Ittifâq wat Tafarrudi (Kitâbut
Tauhîd) karya Abu Abdillah Muhammad
bin Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Abdi (w. 395 H), Tahqiq: Dr. Ali
bin Muhammad Nashir Al-Faqihi, Penebit: Maktabatul Ulum wal Hikam Madinah, cet.
ke-1 th. 1423 H/2002 M.
32. Fathul Bârî Syarhu Shahîh
Al-Bukhârî karya Abul Fadhl Ahmad bin Ali
bin Hajar Al-Asqalani asy-Syafi’i (w. 852 H), Tahqiq: Abdul Aziz bin Baz,
Tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Takhrij: Muhibuddin Al-Khathib, Penerbit:
Darul Ma’rifat Beirut, cet. th. 1379 H.
33.
Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676
H), Penerbit: Dar Ihyâ`ut Turâts Al-Arabi Beirut, cet. ke-2 th. 1392 H.
34.
Al-Kabaair
karya Imam Adz-Dzahabi (w. 748 H), Penerbt: Darun Nadroh
Jadidah Beirut, tanpa tahun.
35.
Majalah
Al-Furqon pada tulisan Ustadz Muhammad Ali AM