Download Buku: Mungkinkah Aku Hafal Satu Juta Hadits Seperti Imam Ahmad?
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/mungkinkah-aku-hafal-satu-juta-hadits-seperti-imam-ahmad-bin-hanbal.html?m=0
Mungkinkah Aku Hafal Satu Juta Hadits Seperti Imam Ahmad?
Abu Zur’ah ath-Thaybi
Download
Penerbit : Pustaka Syabab
Editor : Tim Pustaka Syabab
Layout : Tim Pustaka Syabab
Setting : Tim Pustaka Syabab
Cetakan : Pertama
Tahun : Rabi’ul Awwal 1435 H
Januari 2014 M
Pustaka Syabab
Perumahan Keputih Permai
Blok A No. 1-3
Jl. Keputih Tegal Timur,
Sukolilo, Surabaya 60111,
Jawa Timur
Email:
pustakasyabab@yahoo.com
Pengantar Penerbit
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
S
|
egala puji milik Allah Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam semoga untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarganya, dan para shahabatnya. Amma ba’du:
Ini adalah buku
ke-3 buah tangan Abu Zur’ah ath-Thaybi yang kami terbitkan. Buku ke-2 Ada
Apa dengan Bahasa Arab? telah mendapat sambutan hangat dari para pembaca,
sehingga hal ini mendorong kami menerbitkan buku ke-3 ini. Secara garis besar,
buku ke-3 ini merupakan lanjutan dari buku ke-2 untuk melahirkan semangat nyata
dalam mendalami ilmu din yang semakin marak di tahun belakangan ini, yaitu di
kampus-kampus umum dan agama. Semoga buku ini bisa memantapkan langkah kaum
muslimin untuk menekuni hadits-hadits yang mulia shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Semoga shalawat
dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya,
dan para shahabatnya.[]
Surabaya, 1 Januari
2014
Penerbit
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
iii
Daftar Isi
iv
Muqaddimah
1
BAB I: ANTARA OTAK DAN AHLI HADITS
7
1. Keajaiban Memori Otak Manusia
8
2. Para Huffazh
adalah Buktinya
11
a. Definisi Huffazh
11
b. Jumlah Hafalan Kaum Salaf
15
3. Sepenggal
Kisah Ahli Hadits yang Mengagumkan
22
BAB II: MEWUJUDKAN IMPIAN
31
1. Perdalam Bahasa Arab
32
2. Menghafal al-Qur`an
36
3. Merintis Hafalan Mutun
51
Sekilas Tentang Arbain an-Nawawi
53
4. Petualangan Dimulai
58
Menyelam Sambil Minum Air
62
5. Jauhi Maksiat
63
Solusi Ilahi
67
6. Rajin Puasa
72
7. Banyak Berdoa
75
8. Mengulang-Ulang Hafalan
82
9. Mengkonsumsi dan Menghindari Makanan Tertentu
88
a. Makanan yang Perlu Dikonsumsi
88
b. Makanan yang Perlu Dihindari
102
BAB III: JANGAN LUPAKAN TUJUAN UTAMA
107
1. Ikhlas Hanya Karena Allah
108
2. Mengamalkan Ilmu
114
3. Mengajar dan Berdakwah
121
BAB IV: ANTARA AHLI HADITS DAN AHLI DUNIA
129
1. Mana Yang Lebih Mulia?
129
2. Jangan Ragu Menjadi Ahli Hadits
134
Penutup
141
Referensi
143
Catatan
152
Abu Zur’ah ar-Razi berkata:
«كَانَ
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ»
“Ahmad bin Hanbal
hafal satu juta hadits.”
Muqaddimah
S
|
egala puji milik Allah yang telah menurunkan al-Qur`an
sebagai pedoman dan sumber ilmu. Semoga shalawat dan salam sampai kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membimbing umat dengan
hadits-haditsnya, kepada keluarganya, para shahabatnya, serta para ulama yang
menjaga hadits-hadits dalam dada mereka, kitab mereka, dan amal mereka hingga
sampai kepada umat-umat. Amma ba’du:
Kita sekarang
ini sedang berada di suatu zaman di mana nyala api menuntut ilmu mulai redup,
syubhat pemikiran sesat makin hidup, dan syahwat pesona wanita makin kencang
mendegup. Fitnah-fitnah ini dari segala penjuru menyelundup. Siapa yang tidak
punya benteng, ia akan celaka seumur hidup.
Sebaik-baik
benteng adalah ilmu. Namun demikian, banyak yang tidak berhasrat memburu. Maka, mereka
memerlukan penyulut untuk membesarkan nyala api yang hampir padam itu.
Kebanyakan manusia masa kini sibuk
dengan proyek-proyek dunia mereka lalu mereka pun mendapatkannya tetapi dengan
kerelaan kehilangan megaproyek akhiratnya. Mereka tidak lagi berhasrat untuk
menghafal hadits karena kesamaran kemuliaan mereka yang ditutupi setan. Namun,
akan tetap ada di setiap zaman orang-orang yang tegak di atas jalan hadits yang
tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang jahat dan memusuhi mereka. Mereka
akan tetap ada di setiap zaman, terserah apakah ahli dunia itu ikut bergabung
ataukah tidak???
Mereka adalah sebaik-baik manusia
karena menjadi penyambung antara umat dan syariat yang diturunkan Allah kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihya,
“Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepadaku
Ya’qub bin Ibrahim, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Ibnu Syihab, dari
Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdul Harits bertemu Umar di Usfan, sementara
Umar telah mengangkatnya sebagai gubernur bagi penduduk Makkah. Umar bertanya:
مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي؟ فَقَالَ: ابْنَ أَبْزَى، قَالَ: وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟
قَالَ: مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا، قَالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى؟ قَالَ:
إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ،
قَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ:
«إِنَّ اللّٰهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ»
‘Siapakah yang kamu angkat untuk
memimpin penduduk lembah?’ Dia menjawab, ‘Ibnu Abza.’ Umar bertanya, ‘Siapa
Ibnu Abza itu?’ Dia menjawab, ‘Maula[1] dari budak-budak kami.’ Umar
berkata, ‘Kamu mengangkat maula untuk memimpin mereka?’ Dia menjawab, ‘Dia
qari` Kitabullah azza wa jalla dan dia mahir ilmu faraidh.’ Umar
berkata, ‘Benar sekali, sungguh Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Kitab ini beberapa
kaum dan merendahkan dengannya pula beberapa kaum lain.’”[2]
Abdullah bin al-Mubarak masuk kota
Khurasan, maka ribuan penuntut ilmu keluar untuk menyambutnya. Melihat itu, ibu
dari anak (ummu walad) milik Khalifah Harus ar-Rasyid bertanya tentangnya, maka
dijawab, “Dia adalah Abdullah bin al-Mubarak, ahli hadits Khurasan.” Dia pun
menimpali, “Inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan Harun.”
Ketika Muhammad bin Isma’il
al-Bukhari tiba di Naisabur, Imam Muslim berkata, “Aku tidak pernah melihat
seorang pejabat atau seorang ulama pun yang diperlakukan penduduk Naisabur
sebagaimana perlakuan mereka terhadap al-Bukhari. Mereka telah menyambutnya
sejak dua atau tiga marhalah dari negeri ini.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ketika
al-Bukhari kembali dari perjalanan studinya, maka dibangunlah kemah-kemah
untuknya pada jarak satu farsakh dari negeri, dan dia disambut oleh hampir
semua penduduk negeri dan tidak tersisa seorang pun dari mereka melainkan
menyebarkan dirham dan dinar.”
Perlu diketahui,
dalam takhrij terkadang penulis mencantumkan Lihat, maksudnya: penulis
mengutip secara makna, atau mengutip dari kutipan lain (tidak melihat langsung
kitab aslinya), kecuali sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis lebih
mendahulukan redaksi Imam al-Bukhari daripada Imam Muslim dalam takhrij muttafaqun
‘alaih dan urutan takhrij pertama menunjukkan teks hadits yang dinukil. Hal
ini perlu dijelaskan karena terkadang ada hadits yang setema tetapi berbeda
sedikit redaksi haditsnya, dan juga agar memantapkan hafalan para pembaca. Ini
juga berlaku untuk atsar dan nukilan-nukilan.
Semoga
keberadaan buku ini melengkapi khazanah Islam dan ikut serta membantu menyulut
semangat para pemuda Islam yang hampir padam untuk mencintai hadits dan ahlinya
dan bercita-cita menjadi ahli hadits al-hafizh.
Semoga Allah
menjadikan buku ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan mengampuni segala khilaf
di dalamnya serta menerimanya sebagai pemberat timbangan di hari tiada lagi
bermanfaat harta dan anak. Sesungguhnya Rabb-ku mahadekat lagi maha mengabulkan.[]
Abu Zur’ah ath-Thaybi
[sengaja dikosongkan]
BAB I
ANTARA OTAK DAN
AHLI HADITS
A
|
da hubungan erat antara keajaiban
otak manusia dan ahli hadits. Akan disebutkan nanti riwayat-riwayat tentang
hafalan ahli hadits yang luar biasa dan mengagumkan, baik segi kuantitas maupun
kualitas. Segi kuantitas ditunjukkan oleh hafalan mereka yang luar biasa
banyaknya bahkan ada yang mencapai satu juta hadits, belum termasuk hafalan
selain hadits. Adapun segi kualitas ditunjukkan oleh kuatnya daya hafal mereka
dengan sekali dengar dan itu terus bertahan hingga masa tua, bahkan ada yang
sama sekali tidak lupa meski satu huruf pun hingga wafat. Ternyata di balik itu
semua, jauh sebelumnya Allah telah merancang otak manusia sedemikian rupa bisa
menampung bermilyar-milyar informasi. Lebih jelasnya ikutilah bahasan-bahasan
berikut ini.
1. Keajaiban Memori Otak Manusia
Otak terbentuk dari dua jenis sel, yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi
untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam
bentuk pulsa listrik yang dikenal sebagai potensi aksi.
Proses perekaman informasi dalam
memori itu cukup sederhana. Informasi diterima oleh mata karena adanya
gelombang cahaya yang ditangkap oleh sel-sel di mata yang kemudian diubah
menjadi energi listrik yang merangsang listrik-listrik di otak. Rangsangan ini
membawa jenis-jenis rekaman yang akhirnya tersimpan di suatu tempat yang
dinamakan memori. Setiap proses belajar meninggalkan jejak-jejak dalam otak
yang mengendap di dalam memori dan menunggu untuk dipanggil kembali, proses ini
disebut retrieval.
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa
otak manusia berisi 1.000 milyar sel saraf neuron, meliputi 100 milyar sel
aktif dan 900 milyar sel nonaktif. Diperkirakan jika setiap detik satu
informasi dimasukkan ke otak, maka kapasitas otak baru penuh sekitar 30 juta tahun
kemudian.
Kapasitas yang begitu bombastis ini
bila benar-benar dimanfaatkan tentu akan menjadikan seseorang benar-benar
cerdas dan banyak hafalannya, lebih banyak daripada data yang tersimpan di
hardisk berukuran 40
terabyte (40.000 GB).
Di antara kaum salaf ada yang
berkata, “Segala sesuatu jika di isi akan penuh, kecuali otak. Jika otak selalu
diisi, justru ia semakin kosong.”
Bagi kaum muslimin, hal ini bukanlah
hal baru. Sebab 1400 tahun yang lalu Allah telah mengabarkan kepada mereka
tentang kapasitas otak manusia lewat cerita Adam nenek moyang mereka ‘alaihis
salam.
Allah berfirman:
ﮋ ﭰ ﭱ
ﭲ ﭳ ﮊ
“Dan Dia mengajari Adam nama-nama
semuanya.”[3]
Mujahid bin Jabr (w. 104 H) berkata:
عَلَّمَهُ اسْمَ كُلِّ دَابَّةٍ
وَكُلِّ طَيْرٍ وَكُلِّ شَيْءٍ
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata:
الْصَحِيْحُ أَنَّهُ عَلَّمَهُ
أَسْمَاءَ الْأَشْيَاءِ كُلِّهَا: ذَوَاتِهَا وَأَفْعَالِهَا
“Tafsir yang benar adalah Dia
mengajarinya nama-nama segala sesuatu seluruhnya baik dzatnya maupun perbuatannya.”[6]
Kaum salaf adalah orang-orang yang
terdepan dalam memanfaatkan kapasitas mega besar ini dengan digunakan untuk
menuntut ilmu, menghafal, dan menulis kitab. Hasilnya, mereka menjadi
orang-orang yang tak tertandingi dalam keilmuan, tidak pula ilmuwan-ilmuwan dari
Barat dan Eropa meskipun menyandang gelar profesor.
Contoh sederhana adalah cerita
tentang hafalan dan kecerdasan Imam al-Bukhari.
Diriwayatkan oleh beberapa syaikh
ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail al-Bukhari tiba di Baghdad. Para ahli
hadits mendengar kedatangannya lalu mereka berkumpul untuk mengujinya dengan
100 hadits yang dibolak-balik matan dan sanadnya. Mereka menukar matan dengan
sanad lain, dan sanad lain dengan matan yang lain pula. Mereka menyerahkan
hadits-hadits itu kepada sepuluh orang sehingga setiap orang diserahi 10 hadits.
Kemudian satu persatu bertanya ke al-Bukhari tentang hadits tersebut tetapi
al-Bukhari hanya menjawab, ‘Aku tidak mengenalnya.’ Hadits yang lain disampaikan
dan dijawab, ‘Aku tidak mengenalnya.’ Satu per satu disampaikannya
hadits-hadits tersebut hingga habis sebanyak sepuluh, sementara al-Bukhari
hanya menjawab, ‘Aku tidak mengenalnya.’ Sebagian ahli fiqih bergumam, ‘Lelaki
itu memang faqih,’ dan sebagian lain menuduhnya lemah hafalan.
Kemudian bergilir penguji lain dengan
haditsnya sementara al-Bukhari pada setiap hadits hanya menjawab, ‘Aku tidak
mengenalnya,’ hingga habis sepuluh hadits. Kemudian penguji ketiga, kemudian
keempat, hingga kesepuluh, sementara al-Bukhari tidak menambah jawabannya
selain hanya, ‘Aku tidak mengenalnya.’
Setelah habis semuanya, al-Bukhari
mendekati penguji pertama dan berkata, ‘Adapun haditsmu pertama yang benar
adalah demikian, yang kedua demikian, yang ketiga demikian, yang keempat
demikian,’ hingga selesai sepuluh hadits dengan sempurna. Al-Bukhari
mengembalikan setiap matan ke sanad aslinya, dan setiap sanad ke matan aslinya.
Dia melakukan itu juga pada sisa hadits-hadits lainnya. Akhirnya, orang-orang
mengakui hafalannya dan menyuarakan keutamaannya.”[7]
Sungguh mengagumkan apa yang
dilakukan al-Bukhari dengan menempatkan matan dan sanad ke tempatnya
masing-masing sebanyak 100 hadits dengan hafalannya. Namun, yang lebih
mengagumkan adalah tindakannya mengurutkan hadits pertama yang dibawakan
penguji pertama hingga hadits ke-100 yang terakhir dibawakan penguji terakhir,
tanpa ada yang keliru sama sekali!!! Subhanallah!
Maka, dengan kapasitas otak sebesar
ini, sangat memungkinkan bagi seseorang untuk hafal 1 juta hadits seperti Imam
Ahmad.
Dari Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal bahwa dia mendengar Abu Zur’ah ar-Razi berkata:
كَانَ أَحْمَدُ بْنُ
حَنْبَلٍ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ. فَقِيلَ لَهُ: وَمَا يُدْرِيكَ؟ قَالَ:
ذَاكَرْتُهُ، وَأَخَذْتُ عَلَيْهِ الأَبْوَابَ
“Ahmad bin Hanbal
hafal satu juta hadits.” Ditanyakan kepadanya, “Dari mana Anda tahu?” Abu
Zur’ah menjawab, “Aku belajar kepadanya dan mengambil beberapa bab darinya.”[8]
Jika masih ada yang ragu, “Mungkinkah
aku hafal satu juta hadits seperti Imam Ahmad?” Maka jawabannya, “Bacalah
pembahasan-pembahasan berikutnya. Semoga tidak ada lagi keraguan untuk hafal
satu juta hadits dan menjadi al-hafizh, insya Allah dengan pertolongan Allah.”[]
2. Para Huffazh adalah Buktinya
a. Definisi
Huffazh
Al-Huffâzh (الحُفَّاظُ) adalah bentuk jama’ dari al-hâfizh (الحَافِظُ) artinya yang menjaga atau menghafal. Yang
dimaksud huffazh di sini ahli hadits yang memiliki hafalan hadits sangat banyak
sekali. Para ulama
berselisih tentang berapa jumlah minimun sehingga seseorang dikatakan al-hafizh.
Di antara mereka ada yang berpendapat 20.000 hadits, 100.000 hadits, dan ada
pula 300.000 hadits,
bahkan ada yang lebih banyak dari itu.
Dari Abu Zur’ah ar-Razi bahwa dia
mendengar Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah berkata:
مَنْ لَمْ يَكُتُبْ عِشْرِيْنَ أَلْفِ حَدِيْثٍ إِمْلاَءً، لَمْ يُعَدْ
صَاحِبَ حَدِيْثٍ
“Barangsiapa yang belum menulis
20.000 hadits secara imla`, maka dia belum pantas disebut ahli hadits.”[9]
Ada seorang dari Kufah yang datang ke
Imam Ahmad sambil membawa tas berisi kitab. Dia berkata kepada Imam Ahmad,
“Sampai kapan seseorang menuntut ilmu? Apabila seseorang telah menghafal 30.000
hadits apakah sudah cukup?” Imam Ahmad diam, lalu dia berkata lagi, “Kalau
60.000 hadits?” Imam Ahmad diam. Dia bertanya lagi, “Kalau 100.000 hadits?”
Imam Ahmad berkata, “Apabila seseorang telah menulis 100.000 hadits, ketika itu
dia baru mengetahui sedikit dari ilmu.”[10]
Ahmad bin al-Abbas al-Nasa`i berkata:
سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ عَنِ الرَّجُلِ يَكُوْنُ مَعَهُ مِائَةُ أَلْفِ حَدِيْثٍ،
يُقَالُ إِنَّهُ صَاحِبَ حَدِيْثٍ؟ قَالَ: لاَ. قُلْتُ لَهُ: عِنْدَهُ مِائَتَا أَلْفِ
حَدِيْثٍ، يُقَالُ: إِنَّهُ صَاحِبَ حَدِيْثٍ؟ قَالَ: لاَ. قُلْتُ لَهُ: ثَلاَثُمِائَةِ
أَلْفِ حَدِيْثٍ؟ فَقَالَ بِيَدِهِ: كَذَا
“Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal
tentang seseorang yang hafal 100.000 hadits, apakah dia bisa disebut ahli
hadits?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Kalau hafal 200.000 hadits,
bisakah disebut ahli hadits?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata kepadanya,
“Kalau 300.000 hadits?” Dia menjawab dengan isyarat tangannya, ‘Ya, segitu.’”[11]
Namun, hafalan sebanyak itu belum
cukup untuk berfatwa kecuali hafal setengah juta hadits. Ini pendapat Yahya bin
Ma’in.
Diriwayatkan dari kakek Ismail bin
Muhammad bin al-Fadhl bahwa Yahya bin Ma’in ditanya:
أَيُفْتِي الرَّجُلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيْثٍ؟
قَالَ: لا. قُلْتُ: وَمِنْ مِائَتَي أَلْفٍ؟ قَالَ: لاَ. قُلْتُ: ثَلاَثُمِائَةٍ؟ قَالَ:
لاَ. قُلْتُ: خَمْسُمِائَةِ أَلْفٍ؟ قَالَ: أَرْجُوْ
“Apakah seseorang yang telah hafal
100.000 hadits boleh berfatwa?” Dia menjawab, “Tidak boleh.” Aku bertanya,
“Kalau 200.000 hadits?” Dia menjawab, “Tidak boleh.” Aku berkata, “Kalau
500.000 hadits?” Dia menjawab, “Aku berharap boleh.”[12]
Saat membawakan riwayat ini
al-Khathib al-Baghdadi berkata, “Belumlah mencukupi seseorang yang berfatwa sekedar apa yang disebutkan Yahya tanpa
memiliki ma’rifat,
analisa, dan kemutqinan, karena ilmu adalah pemahaman dan dirayah bukan (sekedar) memperbanyak dan memperluas
riwayat.”[13]
Sebagai perbandingan, kitab Shahîh
al-Bukhârî berisi lebih 7.500 hadits, Shahîh Muslim berisi sekitar
12.000 hadits, al-Jâmi` at-Tirmidzî sekitar 4.000 hadits, Sunan Abû
Dâwûd sekitar 5.000 hadits, Sunan an-Nasâ`i berisi lebih 5.750
hadits, Sunan Ibnu Mâjah berisi lebih 4.300 hadits. Maka, seseorang yang
hafal semua hadits di kutubus sittah baru mencapai sekitar 38.550 hadits.
Jumlah sebesar ini belum mencukupi untuk disebut ahli hadits, menurut sebagian
ahli hadits yang mu’tabar sebagaimana nukilan di atas.
Musykilah: Mana yang benar istilah al-hafizh
untuk yang hafal hadits atau untuk yang hafal al-Qur`an atau boleh untuk
kedua-duanya?
Yang dikenal pada zaman dulu bahwa
istilah al-hafizh digunakan untuk para ahli hadits yang hafal ratusan ribu
hadits. Pemakaian istilah ini masyhur digunakan seperti al-Hafizh Ibnul Jauzi, al-Hafizh
Ibnu Katsir, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, dan lain-lain.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi memiliki kitab berisi biografi para ahli hadits terkemuka
diberi judul Al-Hatstsu ‘ala Hifzhil Ilmi wa Dzikru Kibâril Huffâzh
(Motivasi Menghafal Ilmu dan Biografi Para Huffazh Terkemuka). Adapun penghafal
al-Qur`an menggunakan gelar al-Hâmil. Imam an-Nawawi memiliki kitab tentang
adab-adab para penghafal al-Qur`an dan diberi judul at-Tibyân fî Adabi Hamalatil
Qur`ân. Hamalah (الحَمَلَةُ) jama’ dari hâmil (الحَامِلُ).
Kemudian, istilah al-hafizh mengalami
perluasan makna dipakai
untuk para penghafal al-Qur`an terutama untuk masa sekarang, terutama di negeri
kita Indonesia. Pemakainan ini tidak begitu bermasalah. Walhamdulillah.
Disebutkan dalam
al-Mu’jam al-Wasîth, “Al-Hâfizh adalah orang yang hafal
al-Qur`an atau orang yang hafal hadits dengan jumlah yang banyak.”[14] Allahu a’lam.
b.
Jumlah Hafalan Kaum
Salaf
a) Hafal 100 Hadits
Husyaim berkata:
كُنْتُ أَحْفَظُ فِي
الْمَجْلِسِ مِائَةَ حَدِيثٍ وَلَوْ سُئِلْتُ عَنْهَا بَعْدَ شَهْرٍ لأَجَبْتُ
“Aku pernah
menghafal dalam satu majlis 100 hadits. Seandainya aku diminta untuk
menyampaikannya sebulan kemudian, niscaya aku akan menyebutkannya.”[15]
b) Hafal 4.000 Hadits
Ma’mar berkata:
اجْتَمَعْتُ أَنَا
وَشُعْبَةُ وَالثَّوْرِيُّ وَابْنُ جُرَيْجٍ، فَقَدِمَ عَلَيْنَا شَيْخٌ،
فَأَمْلَى عَلَيْنَا أَرْبَعَةَ آلافِ حَدِيثٍ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، فَمَا أَخْطَأَ
إِلاَّ فِي مَوْضِعَيْنِ، لَمْ يَكُنِ الْخَطَأُ مِنَّا وَلا مِنْهُ، إِنَّمَا
الْخَطَأُ مِنْ فَوْقِهِ، وَكَانَ الرَّجُلُ طَلْحَةُ بْنُ عَمْرٍو
“Aku pernah
berkumpul bersama Syu’bah, ats-Tsauri, dan Ibnu Juraij. Kemudian, datanglah
seorang syaikh kepada kami, lalu dia menyampaikan 4.000 hadits dari
hafalannya. Dia tidak keliru kecuali di dua tempat, tetapi kesalahan itu bukan
berasal dari kami dan bukan pula darinya. Kesalahan itu berasal dari perawi
lain dalam sanadnya. Lelaki itu adalah Thalhah bin Amr.”[16]
c) Hafal 20.000 Hadits
Ubaidullah bin
Umar al-Qawariri berkata:
أَمْلَى عَلَيَّ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عِشْرِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ حِفْظًا
d) Hafal 30.000 Hadits
Ahmad bin
Ibrahim bin Syadzan berkata:
خَرَجَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ إِلَى سِجِسْتَانَ،
فَاجْتَمَعَ إِلَيْهِ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ، وَسَأَلُوهُ أَنْ يُحَدِّثَهُمْ،
فَأَبَى وَقَالَ: لَيْسَ مَعِي كِتَابٌ، فَقَالُوا لَهُ: ابْنُ أَبِي دَاوُدَ
وَكِتَابٌ؟ قَالَ: فَأَثَارُونِي فَأَمْلَيْتُ عَلَيْهِمْ ثَلاثِينَ أَلْفَ
حَدِيثٍ مِنْ حِفْظِي، فَلَمَّا قَدِمْتُ بَغْدَادَ، قَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ:
مَضَى فَلَعِبَ بِالنَّاسِ! ثُمَّ فَيَّجُوا فَيْجًا اكْتَرَوْهُ بِسِتَّةِ
دَنَانِيرَ إِلَى سِجِسْتَانَ لِيَكْتُبُواْ لَهُمُ النُّسْخَةَ، فَكُتِبَتْ
وَجِيءَ بِهَا إِلَى بَغْدَادَ، وَعُرِضَتْ عَلَى الْحُفَّاظِ، فَخَطَّئُونِي فِي
سِتَّةِ أَحَادِيثَ، مِنْهَا ثَلاثَةٌ حَدَّثْتُ بِهَا كَمَا حُدِّثْتُ،
وَثَلاثَةُ أَحَادِيثَ أَخْطَأْتُ فِيهَا
“Abu Bakar bin
Abu Dawud keluar menuju Sijistan lalu para ahli hadits berkumpul kepadanya lalu
memintanya agar membacakan hadits kepada mereka. Dia tidak mau dan berkata,
‘Aku tidak membawa kitab.’ Mereka pun berkata kepadanya, ‘Putra Abu Dawud dan
kitab???’ Abu Bakar berkata, ‘Ucapan itu menyinggungku lalu aku diktekan 30.000
hadits kepada mereka dari hafalanku. Tatkala aku tiba di Baghdad, orang-orang Baghdad berkata, ‘Dia
telah membuat takjub manusia!’ Kemudian mereka segera mengutus beberapa orang
dengan diupah 6 dinar untuk pergi ke Sijistan guna menulis manuskrip untuk
mereka, lalu ditulis dan dibawa ke Baghdad untuk diperlihatkan kepada para
huffazh. Mereka menyalahkanku 6 hadits, yaitu tiga hadits yang aku riwayatkan
seperti yang aku dapatkan dan tiga hadits yang murni karena kesalahanku.’”[18]
e) Hafal 40.000 Hadits
Al-Hafizh Ibnul Jauzi mengatakan
tentang Abu Ali ad-Dailami:
كَانَ يَحْفَظُ أَرْبَعِينَ
أَلْفَ حَدِيثٍ، وَيُذَاكِرُ بِسَبْعِينَ أَلْفِ حَدِيثٍ
Shalih bin Ahmad
al-Ijli berkata:
كَانَ أَبُو دَاوُدَ
الطَّيَالِسِيُّ كَثِيرَ الْحِفْظِ شَرِبَ الْبَلاذُرَ هُوَ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
مَهْدِيٍّ، فَجُذِمَ أَبُو دَاوُدَ وَبُرِصَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَحَفِظَ أَبُو
دَاوُدَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ وَحَفِظَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَشَرَةَ أَلْفَ
حَدِيثٍ
Abu Dawud
ath-Thayalisi dan Abdurrahman bin Mahdi banyak hafalannya dan minum baladzur. Abu Dawud
terkena penyakit belang dan Abdurrahman terkena penyakit kusta. Abu Dawud hafal
40.000 hadits dan Abdurrahman hafal 10.000 hadits.”[20]
Umar bin Syabbah
berkata:
كَتَبُوا عَنْ أَبِي
دَاوُدَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ، وَلَيْسَ مَعَهُ كِتَابٌ
f) Hafal 50.000 Hadits
Abu Abdillah
al-Khuttuli berkata:
حَدَّثْتُ بِخَمْسِينَ
أَلْفِ حَدِيثٍ مِنْ حِفْظِي إِلَى أَنْ لَحِقَتْنِي كُتُبِي
Muhammad bin
Yahya berkata:
مَا رَأَيْتُ عِنْدَ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ كِتَابًا قَطُّ، وَكُلُّ مَا سَمِعْتُهُ مِنْهُ سَمِعْتُهُ حِفْظًا
“Aku tidak
pernah melihat kitab di sisi Abdurrahman sama sekali. Semua yang aku dengar
darinya, aku dengar dari hafalannya.”
g) Hafal 70.000
hadits
Ibnu Khasyram
berkata:
كَانَ إِسْحَاقُ بْنُ
رَاهُوَيْهَ يُمْلِي عَلَيَّ سَبْعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ حِفْظًا
h) Hafal 100.000 Hadits
Abu Ali berkata:
كَانَ عَبْدَانُ يَحْفَظُ
مِائَةَ أَلْفِ حَدِيثٍ
i) Hafal 200.000 Hadits
Abu Bakar
al-Ji’abi berkata:
دَخَلْتُ الرَّقَّةَ
وَكَانَ لِي ثَمَّ قِمَطْرَانِ كُتُبًا فَأَنْفَذْتُ غُلامِي إِلَى ذَلِكَ
الرَّجُلِ الَّذِي كُتُبِي عِنْدَهُ فَرَجَعَ الْغُلامُ مَغْمُومًا فَقَالَ:
ضَاعَتِ الْكُتُبُ، فَقُلْتُ: يَا بُنَيَّ لا تَغْتَمَّ فَإِنَّ فِيهَا مِائَتَيْ
أَلْفَ حَدِيثٍ لا يُشْكَلُ عَلَيَّ مِنْهَا حَدِيثٌ لا إِسْنَادًا وَلا مَتْنًا
“Aku memasuki Roqqah
dan di sana aku memiliki beberapa lemari berisi kitab-kitab. Aku memberi tugas pelayanku pergi menemui
laki-laki yang kitab-kitabku di tempatnya. Pelayan itu kembali dengan sedih dan berkata,
‘Kitab-kitab Anda hilang.’ Aku berkata, ‘Hai anakku janganlah kamu bersedih,
karena 200.000 hadits yang ada di dalamnya tidak ada satupun yang tersamar
bagiku, baik sanad maupun matannya.”[25]
أَحْفَظُ مِائَتَيْ أَلْفِ
حَدِيثٍ كَمَا يَحْفَظُ الإِنْسَانُ: ﮋ ﭑ ﭒ ﭓ
ﭔ ﮊ وَفِي الْمُذَاكَرَةِ ثَلاثُمِائَةِ أَلْفِ
حَدِيثٍ
“Aku hafal 200.000 hadits
seperti seseorang hafal surat al-Ikhlas dan dalam mudzakarah mencapai 300.000 hadits.”[27]
j) Hafal 400.000 Hadits
Abu Bakar
al-Ji’abi berkata:
أَحْفَظُ أَرْبَعَ مِائَةِ
أَلْفَ حَدِيثٍ، وَأُذَاكِرُ بِسِتِّ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ
k) Hafal 500.000 Hadits
Abu Dawud
as-Sijistani berkata:
كَتَبْتُ عَنْ رَسُولِ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسَ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ، انْتَخَبْتُ
مِنْهَا مَا تَضَمَّنَتْهُ السُّنَنُ. جَمَعْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَلْفَ وَثَمَانِ
مِائَةِ حَدِيثٍ
“Aku menulis
500.000 dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
menyeleksinya dan mencantumkannya dalam kitab sunan. Aku kumpulkan di kitab
tersebut 4.800 hadits.”[29]
l) Hafal 1 Juta Hadits
Dari Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal bahwa dia mendengar Abu Zur’ah ar-Razi berkata:
كَانَ أَحْمَدُ بْنُ
حَنْبَلٍ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ. فَقِيلَ لَهُ: وَمَا يُدْرِيكَ؟ قَالَ:
ذَاكَرْتُهُ، وَأَخَذْتُ عَلَيْهِ الأَبْوَابَ
“Ahmad bin
Hanbal hafal satu juta hadits.” Ditanyakan kepadanya, “Dari mana Anda tahu?”
Abu Zur’ah menjawab, “Aku belajar kepadanya dan mengambil beberapa bab
darinya.”[30]
Mengagumkan
sekali. Mereka memang orang-orang yang dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat, karena hadits adalah
kemuliaan sementara hadits-hadits ini tidak akan sampai kepada kita melainkan
karena kerja keras dan perjuangan mereka.
Rupanya
hafalan mereka tidak terbatas hanya hadits saja. Di antara mereka ada juga yang
hafal riwayat-riwayat dan kitab-kitab yang tebal. Semuanya atas pertolongan
Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi
berkata tentang Abu
Bakar al-Anbari:
ذَكَرُوا أَنَّهُ كَانَ
يَحْفَظُ عِشْرِينَ وَمِائَةً مِنْ تَفَاسِيرِ الْقُرْآنِ بِأَسَانِيدِهَا
“Orang-orang
menyebutkan bahwa dia hafal 120 kitab tafsir beserta sanad-sanadnya.”
Al-Hafizh juga berkata:
قَدْ أَمْلَى مِنْ حِفْظِهِ
غَرِيبَ الْحَدِيثِ، وَهُوَ خَمْسٌ وَأَرْبَعُونَ أَلْفَ وَرَقَةٍ، وَكِتَابَ
شَرْحِ الْكَافِي، وَهُوَ أَلْفُ وَرَقَةٍ، وَكِتَابَ الأَضْدَادِ، أَلْفُ
وَرَقَةٍ، وَالْجَاهِلِيَّاتِ، سَبْعُ مِائَةِ وَرَقَةٍ، وَغَيْرَ ذَلِكَ
“Dia pernah
mendiktekan dari hafalannya kosa-kata asing dalam hadits sebanyak 45.000
lembar, kitab Syarhul Kâfî sebanyak 1.000 lembar, kitab al-Adhdâd
sebanyak 1.000 lembar, kitab Jâhiliyyât sebanyak 700 lembar, dan
lain-lain.”[31][]
3.
Sepenggal Kisah Ahli Hadits yang Mengagumkan
Berikut akan
penulis bawakan beberapa riwayat tentang sepenggal kisah agung dan hafalan ahli
hadits dari kaum salaf rahimahumullah.
Diriwayatkan
bahwa Warraq berkata tentang Abu Thayyib al-Mutanabi, “Aku tidak tahu ada yang
lebih kuat hafalannya daripada pemuda ini. Pada suatu hari dia berada di
sisiku. Lalu tiba-tiba ada seseorang menawarkan sebuah kitab karya al-Ashma’i
sebanyak 30 lembar untuk dijual. Lalu diambilnya kitab itu dan dilihat beberapa
lama. Lelaki itu berkata kepadanya, ‘Hai orang, aku hendak menjualnya, tetapi
kamu justru menunda-nundanya. Jika kamu mau menghafalnya bisa sebulan insya
Allah.” Dia berkata, ‘Jika saya berhasil menghafalnya tadi, apa yang akan kamu
perbuat untukku?’ Dia
berkata, ‘Aku akan berikan kitab itu padamu cuma-cuma.’ Lalu dia meletakkan
lembaran-lembaran itu di depan lalu membacanya secara hafalan dari awal hingga
akhir. Usai itu, kitab itu diambil dan disimpan di dalam lengan bajunya.
Pemilik kitab itu merebutnya dan meminta harga. Al-Mutanabi berkata, ‘Kamu
tidak boleh melakukan itu, karena kamu telah memberikannya kepadaku cuma-cuma.’
Aku ikut membelanya dan berkata, ‘Kamu tadi telah membuat janji bahwa kitab ini
untuknya atas syarat yang kamu buat
sendiri.’ Akhirnya dia merelakannya.”[32]
Al-Azhari berkata, “Ad-Daruquthni adalah orang yang cerdas. Jika
disebutkan di sisinya ilmu apapun, dia sangat menguasainya. Muhammad bin Thalha
an-Ni’ali pernah bercerita kepadaku bahwa dia pernah menghadiri jamuan makan
bersama Abu al-Hasan ad-Daruquthni pada suatu malam. Mereka berbincang-bincang
tentang kisah orang-orang yang gemar makan. Tiba-tiba Abu al-Hasan terdorong
berkisah tentang kabar-kabar mereka, hikayat-hikayat, dan hal-hal aneh tentang
mereka hingga menghabiskan malamnya untuk itu (sampai menjelang pagi).”[33]
Hisyam bin al-Kalbi berkata, “Aku
hafal apa yang tidak dihafal oleh siapa pun. Aku lupa apa yang tidak dilupakan
oleh siapa pun. Aku memiliki paman yang menyinggungku karena belum hafal
al-Qur`an. Maka, aku masuk kamar dan bersumpah tidak akan keluar hingga selesai
menghafal al-Qur`an. Akhirnya aku hafal dalam tiga hari. Pada suatu hari aku
mengaca di depan cermin lalu memegang jenggotku, ternyata jenggotku belum cukup
dipegang.”[34]
Diriwayatkan dari al-Azhari bahwa dia
berkata, “Aku pernah hadir di sisi Abu Abdillah bin Bukair yang di depannya
banyak berjuz-juz kitab. Aku menatapnya dalam-dalam lalu dia berkata kepadaku,
‘Manakah yang kamu suka: kamu menyebutkan matan yang kamu suka kepadaku dari
hadits-hadits ini lalu aku akan sebutkan kepadamu sanadnya, atau kamu
menyebutkan sanadnya kepadaku lalu aku akan sebutkan kepadamu matannya?’ Maka,
aku sebutkan matan kepadanya lalu dia menyebutkan sanadnya dari hafalannya. Aku
terus melakukannya berulang kali.”[35]
Diriwayatkan dari Hamzah bin Muhammad
bin Thahir bahwa dia berkata kepada Abu Abdillah bin Duwais, “Aku selalu
melihatmu mendiktekan dengan hafalanmu, mengapa kamu tidak mendiktekan dari
kitabmu (agar akurat)?’ Lalu dia berkata kepadaku, ‘Perhatikan apa yang aku
diktekan, jika ada kesalahan dalam apa yang aku diktekan aku akan mendiktekan
dari kitabku, jika kedua-duanya cocok lantas untuk apa keperluanku terhadap
kitab???’”[36]
Imam asy-Sya’bi (w. 105 H), berkata,
“Al-Hajjaj bin Yusuf bertanya kepadaku tentang faraidh (ilmu warisan) seraya
berkata, ‘Apa pendapatmu tentang pembagian saudari perempuan, ibu, dan kakek?’
Aku menjawab, ‘Masalah ini diperselisihkan oleh lima shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud,
Ali, dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘ahnum.’ Dia bertanya, ‘Apa pendapat
Ibnu Abbas mengenai hal itu dalam fatwanya?’ Aku menjawab, ‘Ia menjadikan kakek
sebagai ayah, memberikan ibu sepertiga, dan tidak memberi saudari perempuan
sedikitpun.’ Dia bertanya, ‘Lalu apa pendapat Amirul Mukminin?’ Yakni Utsman,
aku menjawab, ‘Dia menjadikannya masing-masing mendapatkan sepertiga.’ Dia
bertanya, ‘Apa pendapat Zaid bin Tsabit mengenai hal ini?’ Aku menjawab, ‘Ia
menjadikannya berpenyebut sembilan lalu memberi ibu tiga bagian, memberi kakek
empat bagian, dan memberi saudari perempuan dua bagian.’ Dia bertanya, ‘Lalu
apa pendapat Ibnu Mas’ud?’ Aku menjawab, ‘Dia menjadikannya berpenyebut enam
lalu memberikan saudari perempuan tiga bagian, ibu satu bagian, dan kakek dua
bagian.’ Dia bertanya, ‘Lalu apa pendapat Abu Turab?’ Yakni Ali, aku menjawab,
‘Ia menjadikannya berpenyebut enam, lalu memberikan saudari perempuan tiga
bagian, memberi kakek satu bagian, dan memberi ibu dua bagian.’ Al-Hajjaj
berkata, ‘Perintahkan qadhi supaya memutuskan masalah ini sebagaimana yang
diputuskan oleh Amirul Mukminin Utsman.’”[37]
Sa’id bin al-Musayyid (w. 94 H) berkata
kepada Qatadah (w. 118 H):
أَكُلُّ مَا سَأَلْتَنِي عَنْهُ تَحْفَظُهُ؟
قَالَ: نَعَمْ، سَأَلْتُكَ عَنْ كَذَا فَقُلْتَ كَذَا، وَعَنْ كَذَا فَقُلْتَ
كَذَا،
وَعَنْ كَذَا فَقُلْتَ كَذَا، فَقَالَ سَعِيدٌ: مَا ظَنَنْتُ أَنَّ اللّٰهَ خَلَقَ
مِثْلَكَ
“Apakah setiap yang kamu tanyakan
kepadaku kamu hafal?” Dia menjawab, “Ya. Aku bertanya tentang demikian lalu
Anda menjawab demikian, dan tentang ini lalu Anda menjawab begini, dan tentang
ini lalu Anda menjawab begini.” Lalu Sa’id berkata, “Aku tidak menyangka bahwa
Allah menciptakan orang sepertimu.”[38]
Imam asy-Sya’bi (w. 105 H) berkata:
مَا سَمِعْتُ مُنْذُ عِشْرِيْنَ سَنَةً رَجُلاً يُحَدِّثُ
بِحَدِيْثٍ إِلاَّ أَنَا أَعْلَمُ بِهِ مِنْهُ، وَلَقَدْ نَسِيْتُ مِنَ العِلْمِ مَا
لَوْ حَفِظَهُ رَجُلٌ لَكَانَ بِهِ عَالِماً
“Tidaklah aku mendengar semenjak 20
tahun seseorang yang menyampaikan sebuah hadits melainkan aku mengetahui hadits
tersebut. Aku telah lupa sebagian ilmu yang seandainya dihafal oleh seseorang
akan menjadikannya seorang ulama.”[39]
Ahmad bin Yahya Tsa’lab berkata, “Aku
belajar bahasa dan nahwu saat berumur 16 tahun. Aku mulai berdiskusi tentang
kitab al-Hudûd karya al-Farra` saat berumur 18 tahun. Saat aku menginjak
umur 25 tahun, tidak tersisa satu masalah pun dari al-Farra` ataupun dari
kitab-kitabnya melainkan telah aku hafal. Aku juga mendengar hadits dari al-Qawariri
sebanyak 100.000 hadits.”[40]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal bahwa dia berkata:
قَالَ لِي أَبِي: خُذْ أَيَّ كِتَابٍ شِئْتَ مِنْ
كُتُبِ وَكِيعٍ مِنَ الْمُصَنَّفِ، فَإِنْ شِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْكَلامِ حَتَّى
أُخْبِرَكَ بِالإِسْنَادِ، وَإِنْ شِئْتَ الإِسْنَادَ حَتَّى أُخْبِرَكَ
بِالْكَلامِ
“Ayah berkata kepadaku, ‘Ambillah
kitab mana saja yang kamu suka dari kitab-kitab Waki’ yang pernah dikarang.
Jika kamu mau kamu memintaku menyebutkan matannya lalu aku akan sebutkan
kepadamu sanadnya, dan jika kamu mau sanadnya aku akan sebutkan kepadamu
matannya.”[41]
Diriwayatkan bahwa Abu Zur’ah ar-Razi
ditanya:
مَنْ رَأَيْتَ مِنَ الْمَشَايِخِ الْمُحَدِّثِينَ
أَحْفَظَ؟ قَالَ: أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حُزِرَتْ كُتُبُهُ الْيَوْمَ الَّذِي
مَاتَ فِيهِ، فَبَلَغَتِ اثْنَيْ عَشَرَ حَمْلاً وَعَدْلاً، مَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ كِتَابٍ
مِنْهَا حَدِيثُ فُلانٍ، وَلا فِي بَطْنِهِ حَدَّثَنَا فُلانٌ، وَكُلُّ ذَلِكَ
كَانَ يَحْفَظُهُ مِنْ ظَهْرِ قَلْبِهِ
“Siapakah menurutmu dari para masyayikh
ahli hadits yang paling hafizh?” Dia menjawab, “Ahmad bin Hanbal.
Kitab-kitabnya pernah dikumpulkan saat kematiannya dan mencapai 12 pikulan
lebih satu adl. Tidak satupun hadits yang ada di kitab-kitab tersebut
dan tidak pula yang isinya ‘telah menceritakan kepada kami’ melainkan
semuanya telah dihafal di dalam hatinya.”[42]
Cuma satu kata, MENGAGUMKAN![]
[Sengaja dikosongkan]
[Sengaja dikosongkan]
BAB II
MEWUJUDKAN IMPIAN
P
|
ara ulama menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu perlu tadarruj
(tahapan-tahapan). Sayangnya kita melihat penuntut ilmu masa kini inginnya yang
instan-instan. Inginnya belajar setahun langsung jadi ustadz, syaikh, atau ahli
hadits. Akhirnya keinginan mereka tidak tercapai karena menyalahi kurikulum
kaum salaf, sehingga mereka pun jenuh, bosan, dan meninggalkan belajar, bahkan
tidak ingin belajar lagi selama-lamanya. Kesalahan besar yang terjadi pada
mereka adalah keinginan mereka untuk menaiki tangga al-hafizh dalam sekali
lompatan dan loncatan, hingga dia terjatuh dan hancur semangat dan keinginannya
untuk belajar. Padahal seharusnya dia menapaki tangga itu satu demi satu,
sedikit demi sedikit.
Imam az-Zuhri
(w. 124 H) berkata:
الْعِلْمُ وَادٍ، فَإِنْ هَبَطْتَ
وَادِيًا فَعَلَيْكَ بِالتُّؤَدَةِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْهُ، فَإِنَّكَ لَا تَقْطَعُ
حَتَّى يَقْطَعَ بِكَ
“Ilmu adalah
lembah. Jika kamu menuruni lembah, maka kamu harus berjalan perlahan sampai
keluar darinya. Sebab, kamu tidak akan bisa melintasinya hingga ia yang
melintasimu.”[43]
Imam
az-Zuhri juga berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ إِنْ
أَخَذْتَهُ بِالْمُكَاثَرَةِ غَلَبَكَ وَلَمْ تَظْفَرْ مِنْهُ بِشَيْءٍ، وَلَكِنْ خُذْهُ
مَعَ الْأَيَّامِ وَاللَّيَالِي أَخْذًا رَفِيقًا تَظْفَرْ بِهِ
“Sungguh jika
kamu mengambil ilmu ini dengan jumlah banyak, maka kamu akan kalah dan tidak
mendapatkan apa-apa. Namun, ambillah bersama siang dan malam secara halus, maka
kamu akan mendapatkannya.”[44]
Tadarruj ini sangat menentukan dalam
mewujudkan impian seseorang untuk menjadi al-hafizh. Mari kita bersama-sama
mewujudkan impian itu.
Penulis akan menyebutkan 9 tadarruj
yang sangat penting diketahui dan dilangkahi.
1. Perdalam Bahasa Arab
Hadits berbahasa Arab, maka mustahil
bila ada seseorang yang ingin ahli dalam hadits tetapi tidak tahu bahasa Arab.
Ibaratnya ada seseorang yang ingin mengambil mutiara di dasar laut tetapi tidak
tahu-menahu tentang menyelam dan berenang, lalu dipaksakan. Kira-kira apa yang
terjadi setelah itu?
Memang benar, tanpa belajar bahasa
Arab pun seseorang tetap mampu menghafal hadits. Hanya saja, menempuh jalan ini
akan menimbulkan efek samping yang akut seperti cepat futur, lambat menghafal,
hafalan tidak kuat, banyak mengeluh, tidak bisa mengambil manfaat dari hafalan,
dan yang lebih berat dari itu kebanyakan pemahamannya menyimpang dari maksud
hadits.
Imam asy-Sya’bi (w. 105 H) berkata:
النَّحْوُ فِي الْعِلْمِ كَالْمُلْحِ فِي الطَّعَامِ لاَ يَسْتَغْنِى عَنْهُ
“Nahwu bagi ilmu bagaikan garam bagi makanan yang pasti
dibutuhkan.”[45]
Kedudukan bahasa Arab bagi ahli
hadits seperti kedudukan air bagi kehidupan di mana tidak ada kehidupan tanpa
air, begitu pula tidak ada hadits tanpa bahasa Arab.
Imam
asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:
الْعِلْمُ بِهِ عِنْدَ الْعَرَبِ كَالْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ عِنْدَ أَهْلِ
الْفِقْهِ
“Ilmu bahasa Arab bagi orang Arab
seperti ilmu sunnah bagi ahli fiqih.”[46]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728
H) berkata:
إِنَّ اللّٰهَ تَعَالَى لَمَّا أَنْزَلَ كِتَابَهُ
بِاللِّسَانِ الْعَرَبِي وَجَعَلَ رَسُوْلَهُ مُبَلِّغاً عَنْهُ لِلْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
بِلِسَانِهِ الْعَرَبِي وَجَعَلَ السَّابِقِيْنَ إِلَى هَذَا الدِّيْنِ مُتَكَلِّمِيْنَ
بِهِ، لَمْ يَكُنْ سَبِيْلٌ إِلَى ضَبْطِ الدِّيْنِ وَمَعْرِفَتِهِ إِلاَّ بِضَبْطِ
اللِّسَانِ. وَصَارَتْ مَعْرِفَتُهُ مِنَ الدِّيْنِ، وَصَارَ اعْتِبَارُ التَكَلُّمِ
بِهِ أَسْهَلَ عَلَى أَهْلِ الدِّيْنِ فِي مَعْرِفَةِ دِيْنِ اللّٰهِ وَأَقْرَبَ إِلَى
إِقَامَةِ شَعَائِرِ الدِّيْنِ وَأَقْرَبَ إِلَى مُشَابَهَتِهِمْ لِلسَّابِقِيْنَ
الْأَوَّلِيْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِ فِي جَمِيْعِ أُمُورِهِمْ
“Sesungguhnya Allah ta’ala
ketika menurunkan Kitab-Nya dengan bahasa Arab dan menjadikan Rasul-Nya
menyampaikan al-Kitab dan as-Sunnah dengan bahasa Arab serta menjadikan orang-orang
terdahulu masuk Islam berbicara dengan bahasa ini, maka tidak ada jalan untuk
mendalami agama ini dan mengenalnya kecuali dengan mendalami bahasa ini.
Jadilah mempelajarinya bagian dari agama dan jadilah mempraktikkan berbicara
dengannya lebih mempermudah ahli agama dalam mempelajari agama Allah, lebih
dekat kepada menegakkan syiar-syiar agama, dan lebih dekat kepada menyerupai
orang-orang terdahulu yang masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dalam
semua aspek urusan mereka.”[47]
Syaikh al-Albani
(w. 1420 H) berkata,
“Al-Kitab dan as-Sunnah tidak mungkin bisa dipahami --begitu pula cabang dari
keduanya-- kecuali lewat jalan bahasa Arab.”
Kesimpulannya, sebelum menempuh
perjalanan ilmiah hadits hendaknya menempuh dulu jalan bahasa Arab dan hal ini
tidak bisa ditawar-tawar
bagi yang memang ingin ahli dibidang hadits baik hafalan, riwayat, maupun
dirayah. Bahkan, mempelajari bahasa Arab adalah yang pertama kali sebelum
mempelajari ilmu-ilmu yang lain.
Imam Abu Bakar
al-Baihaqi (w. 458 H) berkata:
وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ طَلَبَ الْعِلْمِ
وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ لِسَانِ الْعَرَبِ أَنْ يَتَعَلَّمَ اللِّسَانَ أَوَّلًا
وَيَتَدَرَّبَ فِيهِ
“Sepatutnya bagi
seseorang yang ingin menuntut ilmu sementara dia bukan ahli berbahasa Arab
untuk pertama kalinya dengan mempelajari bahasa Arab dan mempraktikannya.”[48]
Siapa yang menguasai bahasa Arab maka
ilmu-ilmu yang lain akan terasa mudah baginya. Ibarat ada gudang berisi
sejumlah perbendaharaan melimpah baik harta, makanan, barang berharga, dan
warisan-warisan yang memiliki pintu terkunci rapat. Siapa yang memiliki
kuncinya, berarti semua perbendaharaan di dalamnya bisa dimilikinya. Kunci itu tidak
lain adalah bahasa Arab.
Abu Hayyan mengisahkan dalam kitab Muhâdharâtul
Ulamâ`: telah menceritakan kepada kami al-Qadhi Abu Hamid Ahmad bin Biysr.
Dia berkata, “Pada suatu hari al-Farra`--ahli bahasa Kufah-- berada di samping
Muhammad bin al-Hasan --ahli
fiqih Kufah--. Mereka berdiskusi tentang fiqih dan nahwu. Al-Farra` unggul
dalam nahwu daripada fiqih, sementara Muhammad bin al-Hasan unggul dalam fiqih
daripada nahwu. Al-Farra` berkata, ‘Tidaklah seseorang diberi nikmat mahir
bahasa Arab lalu menginginkan ilmu lain melainkan akan mudah baginya.’ Muhammad
bin al-Hasan menimpali, ‘Sungguh kamu telah diberi nikmat itu. Kalau begitu,
aku akan bertanya kepadamu tentang masalah fiqih.’ Dia menjawab, ‘Datangkanlah,
dengan berkah dari Allah.’ Dia bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seseorang yang
shalat lalu lupa dalam shalatnya, lalu dia lupa lagi sehingga sujud sahwi dua
kali?’ Al-Farra` berpikir sesaat lalu menjawab, ‘Tidak masalah.’ Muhammad bin al-Hasan
bertanya, ‘Kenapa bisa begitu?’ Dia menjawab:
لِأَنَّ التَّصْغِيْرَ
عِنْدَنَا لَيْسَ لَهُ تَصْغِيْرٌ، وَإِنّمَا سَجْدَةُ السَّهْوِ تَمَامُ الصّلَاةِ
وَلَيْسَ لِلتَّمَامِ تَمَامٌ
‘Karena tashghir (sesuatu yang diperkecil) di sisi kami tidak bisa lagi
ditashghir. Sesugguhnya sujud sahwi adalah untuk menyempurnakan shalat
sementara sesuatu yang telah sempurna tidak bisa disempurnakan lagi.’ Akhirnya
Muhammad bin al-Hasan berkata:
مَا ظَنَنْتُ أَنَّ آدَمِيًّا يُلِدُ مِثْلَكَ
Pembahasan ini adalah pembahasan yang
sangat penting. Namun sayang penulis tidak akan berpanjang lebar di sini karena
penulis suka untuk menghindari pengulangan-pengulangan. Bagi yang suka bisa
merujuk ke buku penulis Ada Apa dengan Bahasa Arab? Di sana penulis
jelaskan berbagai hal tentang bahasa Arab meliputi sejarahnya, perhatian kaum
salaf terhadapnya, metode mempelajarinya, dan hal-hal penting lainnya yang
mencukupi insya Allah. Silahkan dirujuk.[]
2. Menghafal al-Qur`an
Mungkin ada yang bertanya-tanya,
“Mengapa harus menghafal al-Qur`an dulu? Apa hubungannya dengan menghafal
hadits? Bukankah menghafal bisa langsung dilakukan setiap orang tanpa harus
mendahuluinya al-Qur`an, apalagi bila dia sudah mahir berbahasa Arab?”
Penulis jawab, “Petunjuk adalah
dengan mengikuti kaum salaf. Tanpa diragukan lagi bahwa mereka lebih alim, cerdas,
wara, bertaqwa, dan lebih mengetahui jalan paling selamat dan mudah dalam
menuntut ilmu, sementara mereka memulai perjalanan ilmiah mereka setelah bahasa
Arab adalah menghafal al-Qur`an.”
Al-Walid bin Muslim berkata:
كُنَّا إِذَا جَالَسْنَا الْأَوْزَاعِيَّ فَرَأَى
فِينَا حَدَثًا، قَالَ: يَا غُلَامُ، قَرَأْتَ الْقُرْآنَ؟ فَإِنْ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
اقْرَأْ: ﮋ ﮓ ﮔ
ﮕ ﮖ ﮊ وَإِنْ
قَالَ: لَا، قَالَ: اذْهَبْ، تَعَلَّمِ الْقُرْآنَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُبَ الْعِلْمَ
“Apabila kami duduk di majlisnya al-Auza’i lalu melihat di
tengah-tengah kami orang baru, maka dia akan bertanya, ‘Hai anak, apakah kamu
bisa membaca al-Qur`an?’ Jika dia menjawab, ‘Ya,’ maka dia berkata, ‘Bacalah (يُوصِيكُمُ
اللّٰهُ فِي أَوْلَادِكُمْ)[50],’ dan jika dia menjawab, ‘Tidak,’
maka dia berkata, ‘Pergilah. Belajarlah al-Qur`an sebelum belajar hadits.’”[51]
Abu Hisyam ar-Rifa’i berkata:
كَانَ يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ إِذَا جَاءَهُ غُلَامٌ
أَمْرَدَ اسْتَقْرَأَهُ رَأْسَ سَبْعِينَ مِنَ «الْأَعْرَافِ»، وَرَأْسَ سَبْعِينَ
مِنْ «يُوسُفَ»، وَأَوَّلَ الْحَدِيثِ، فَإِنْ قَرَأَهُ حَدَّثَهُ، وَإِلَّا لَمْ يُحَدِّثْهُ.
فَإِذَا رَزَقَهُ اللّٰهُ تَعَالَى حِفْظَ كِتَابِهِ، فَلْيَحْذَرْ أَنْ يَشْتَغِلَ
عَنْهُ بِالْحَدِيثِ، أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُومِ اشْتِغَالًا يُؤَدِّي إِلَى نِسْيَانِهِ
“Apabila Yahya bin Yaman didatangi
seorang lelaki amrad (belum memiliki jenggot karena masih muda), maka dia akan
memintanya membaca 60 ayat awal dari surat al-A’raf, 60 ayat awal dari surat
Yusuf, dan awal hadits. Jika dia bisa membacanya, Yahya akan memberikannya
hadits, tetapi jika tidak maka tidak diberi hadits. Seandainya Allah memberinya
anugerah hafal Kitab-Nya maka Yahya mengingatkannya agar tidak tersibukkan
dengan hadits atau ilmu-ilmu lain yang menyibukkannya sehingga menyebabkannya
lupa.”[52]
Di antara ahli hadits ternama yang
terdepan dalam menganjurkan para thalibul hadits untuk menghafal al-Qur`an
terlebih dahulu adalah Imamul Muhadditsin Abu Bakar Ibnu Khuzaimah. Cicitnya
menceritakan, “Aku mendengar kakekku berkata, ‘Aku pernah meminta izin kepada ayahku untuk
pergi kepada Qutaibah, lalu dia berkata, ‘Bacalah al-Qur`an terlebih dahulu
baru aku akan memberimu izin.’ Aku pun membaca al-Qur`an dengan hafalan.
Setelah selesai dia berkata, ‘Jangan pergi hingga kamu shalat dengan mengkhatamkannya.’
Aku pun melakukannya. Ketika aku telah menyelesaikannya, dia memberi izin
kepadaku, lalu aku pergi ke Marwa. Di Marwa ar-Raudz aku mendengar dari
Muhammad bin Hisyam murid Haitsam bahwa Qutaibah telah wafat.’”[53]
Imam adz-Dzahabi sebelum mendalami
hadits hingga menjadi al-hafizh dan mendalami sejarah hingga menjadi syaikhul
muarrikhin, dia mendalami al-Qur`an terlebih dahulu. Dia menaruh perhatian
kepada studi al-Qur`an dan qira’at. Pada tahun 691 H, dia dan kawannya pergi
kepada Syaikhul Qurra` Jamaluddin Abu Ishaq Ibrahim bin Dawud al-Asqalani
kemudian ad-Dimasqi yang dikenal dengan al-Fadhili. Adz-Dzahabi tetap demikian
hingga dia memiliki pengetahuan yang baik tentang qira’ah, ushul dan berbagai persoalannya,
saat dia masih muda yang usianya belum mencapai 20 tahun.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
hafal al-Qur`an saat berumur 9 tahun. Saat usianya genap 12 tahun, dia diminta
menjadi imam Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H.
Sinan al-Baghdadi hafal al-Qur`an
saat masih kanak-kanak, dan saat menginjak usia sepuluh tahun telah mampu
membacakan qira’ah asyrah (variasi sepuluh bacaan al-Qur`an). Tak heran jika
dia menjadi imam, mufti, syaikh madzhab Hanafi, ahli bahasa Arab, ahli Qira’at,
dan panutan negeri Bashrah.
Putra Ibrahim al-Harbi hafal
al-Qur`an saat usia 10 tahun, kemudian ayahnya baru mendiktekan kepadanya
beberapa persoalan fiqih, padahal umurnya masih sangat muda.
Syaikhul Qurra` Ibnul Jazari (w. 833
H) hafal al-Qur`an saat berumur 13 tahun, menjadi imam shalat saat berumur 14
tahun, dan mandiri dalam qira’ah saat berumur 15 tahun.[54]
Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:
حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ،
وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ
“Aku hafal al-Qur`an ketika berumur 7
tahun, dan aku hafal kitab al-Muwaththa` ketika berumur 10 tahun.”[55]
Al-Bulqini hafal al-Qur`an saat
berumur 7 tahun, Ibnu Laban saat berumur 5 tahun, al-Hafizh al-Iraqi saat
berumur 8 tahun, Abu Bakar Zarirani al-Baghdadi saat berumur 7 tahun, dan
Muhammad bin Abdul Baqi al-Anshari saat berumur 7 tahun.
Tidak ketinggalan dari kalangan
wanita. Ummu Darda` hafal al-Qur`an saat masih kecil kemudian dinikahi Abu
Darda` lalu menimba ilmu kepada shahabat Nabi yang mulia ini. Dia membacakan
hafalan al-Qur`an di depan Abu Darda` saat umurnya masih sangat kecil. Dia
dikaruniai umur yang panjang dan menjadi masyhur karena ilmu, amal, dan
kezuhudannya.[56]
Hafshah binti Sirin saudari Muhammad bin Sirin hafal al-Qur`an
lalu menjadi ahlinya. Saat Muhammad bin Sirin mengalami kesulitan mengenai
suatu masalah tentang al-Qur`an maka dia berkata, “Pergilah kalian dan tanyakan
kepada Hafshah.”[57]
Semua penjelasan ini membuktikan
bahwa para ulama Islam baik ahli hadits maupun yang lainnya, mereka
menghafalkan al-Qur`an lalu menyempurnakan hafalannya, setelah itu Allah pun
membukakan baginya ilmu-ilmu yang lain. Allah-lah pemilik semua kemulian dan anugerah.
Ibnu Mas’ud (w. 32 H) berkata:
مَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيُثَوِّرِ الْقُرْآنَ،
فَإِنَّ فِيهِ عِلْمَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ
“Barangsiapa yang menginginkan ilmu maka dalamilah al-Qur`an
karena di dalamnya ada ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian.”[58]
Mereka telah menempuh jalan pendahulu
mereka sehingga mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena kesuksesan
itu ada pada mengikuti para shahabat dan kaum salaf.
Ibnu Abbas (w. 68 H) radhiyallahu
‘anhuma berkata:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرِ سِنِينَ، وَقَدْ قَرَأْتُ المُحْكَمَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat saat aku
berumur 10 tahun dan aku telah membaca[59] al-Muhkam[60].”[61]
Apa rahasia dibalik menghafal
al-Qur`an dalam persiapan menghafal hadits?
Subhanallah! Jika kita renungkan,
menghafal al-Qur`an memiliki pengaruh yang agung untuk menyiapkan rohani,
jasmani, dan otak untuk menghafal ilmu-ilmu yang lain terutama hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedalaman pemahaman. Berikut akan
penulis paparkan pembuktiannya lewat tiga sisi: sisi memori otak, sisi uslub
al-Qur`an, dan sisi rasa percaya diri.
a. Sisi Memori Otak
Menghafal al-Qur`an menjadikan otak
menjadi kokoh dan kuat dalam menghafal. Telah disinggung di awal buku bahwa
otak manusia terdiri dari triliunan sel saraf yang disebut neuron. Semakin
banyak sel-sel saraf ini yang saling terhubung, maka semakin kuat dan kokoh
pula daya ingat dan daya hafal.
Menghafal dan mengulang-ulang adalah jalan utama untuk menghubungkan sel-sel saraf
ini. Secara tidak langsung orang yang menghafal atau yang murajaah al-Qur`an
sedang mempersiapkan otaknya untuk membuatnya kokoh, kuat, dan siap untuk
menampung hafalan lain yang lebih banyak jumlahnya. Ibaratnya hutan belantara
yang dilalui seekor binatang akan meninggalkan bekas meskipun sedikit, lalu
dilalui binatang lain lagi, begitu seterusnya hingga ia menjadi jalan yang
datar tanpa ada semaknya sama sekali.
Imam az-Zuhri (w. 124 H) berkata,
“Sesungguhnya ada seorang penuntut ilmu yang memiliki hati bagaikan bukit yang
gersang. Namun, lama-kelamaan ia menjadi bukit yang subur. Tidak ada sesuatu yang ditaruh di
atasnya kecuali ia melahapnya.”
Abu Hilal menceritakan pengalaman pribadinya
tentang masalah ini. Dia berkata, “Pada awalnya menghafal merupakan sesuatu
yang sulit bagi saya. Kemudian saya membiasakan diri (menghafal), hingga saya
mampu menghafal syair Ru’bah bin al-Ajjaj dalam satu malam yang
berjumlah sekitar 200 bait.”[62]
Orang yang hafal al-Qur`an kebanyakan
lebih cepat dalam menghafal nama seseorang daripada selainnya dan lebih tahan
lama. Allahu a’lam.
b. Sisi Uslub al-Qur`an
Siapa pun yang pernah berkelana
menghafal al-Qur`an tentu mengetahui uslub (susunan) al-Qur`an yang unik.
Sungguh menakjubkan uslub-uslub al-Qur`an yang Allah buat di dalamnya,
seolah-olah dengan hal itu Allah hendak menyiapkan para penghafal al-Qur`an
untuk menjadi ahli ilmu yang luas keilmuannya, mendalam pemahamannya, dan kuat serta teliti hafalannya.
Uslub yang unik ini dikenal oleh ahli
qira’ah dengan nama ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat mutasyabihat ini
bervariasi: ada yang berupa pengulangan persis, pembuangan atau penambahan
kata, pendahuluan atau pengakhiran kata, penggantian fi’il mudhari’ ke madhi
dan sebaliknya, atau lain-lain dalam dua ayat atau lebih. Dengan adanya ini,
para penghafal al-Qur`an secara tidak langsung diajari untuk lebih hati-hati,
fokus, jeli, dan teliti dalam membaca hafalannya. Berikut ini beberapa
contohnya.
a) Mutasyabihat di 2 Tempat
١- ﮋ ﭑ ﭒ ﭓ
ﭔ ﭕ ﭖ
ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﮊ البقرة: ٣٠
٢- ﮋ ﯟ ﯠ
ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ
ﯥ ﯦ ﯧ
ﯨ ﯩ ﯪ
ﯫ ﮊ الحجر: ٢٨
b) Mutasyabihat di 3 Tempat!
١- ﮋ ﭬ ﭭ ﭮ
ﭯ ﭰ ﭱ
ﭲ ﭳ ﭴ
ﭵ ﭶ ﭷ ﮊ البقرة: ٨
٢- ﮋ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛﭜ ﭝ ﭞ
ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ
ﭤ ﮊ النساء: ٣٨
٣- ﮋ ﭽ ﭾ
ﭿ ﮀ ﮁ
ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ
ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮊ التوبة: ٢٩
c) Mutasyabihat di 7 Tempat!!
١- ﮋ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ
ﮊ ﮋ ﮌ
ﮍ ﮎ ﮏ
ﮐﮑ ﮊ الأنعام: ١٤٤
٢- ﮋ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ
ﯱ ﯲ ﯳﯴ ﮊ الأنعام: ١٥٧
٣- ﮋ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ
ﯲ ﯳ ﯴ
ﯵ ﯶ ﯷﯸ ﯹ ﯺ
ﯻ ﯼ ﯽﯾ ﮊ الأعراف: ٣٧
٤- ﮋ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ
ﰄ ﰅ ﰆ
ﰇ ﰈ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛ
ﭜ ﭝ ﭞ
ﭟ ﭠ ﭡ
ﭢ ﭣ ﭤ ﮊ الكهف: ١٥ - ١٦
٥- ﮋ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛﭜ ﭝ ﭞ
ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﮊ الزمر: ٣٢
٦- ﮋ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛﮜ ﮝ ﮞ
ﮟ ﮠ ﮡ ﮊ يونس: ١٧
٧- ﮋ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ
ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼﭽ ﭾ ﭿ
ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮊ الصف: ٧
d) Mutasyabihat di 20 Tempat!!!
١- ﮋ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ
ﯺ ﯻ ﯼ ﭑ ﭒ ﭓ
ﭔ ﭕ ﭖ
ﭗ ﭘ ﭙ
ﮊ البقرة: ٢٤٨ - ٢٤٩
٢- ﮋ ﮢ ﮣ
ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ
ﮨ ﮩ ﮪ ﮊ آل عمران: ٤٩
٣- ﮋ ﮛ ﮜ
ﮝ ﮞ ﮟ
ﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤ ﮥ
ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ
ﮫ ﮬ ﮊ هود: ١٠٣
٤- ﮋ ﭵ ﭶ
ﭷ ﭸ ﭹ
ﭺ ﭻ ﭼ
ﭽ ﭾ ﭿ
ﮀ ﮊ الحجر: ٧٧ - ٧٨
٥- ﮋ ﮇ ﮈ ﮉ
ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ
ﮏ ﮐﮑ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮘ ﮊ النحل: ١١
٦- ﮋ ﮫ ﮬ
ﮭ ﮮ ﮯ
ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ
ﯖ ﯗ ﯘ
ﯙ ﯚ ﮊ النحل: ١٣
٧- ﮋ ﭶ ﭷ
ﭸ ﭹ ﭺ
ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ
ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ
ﮆ ﮊ النحل: ٦٧
٨- ﮋ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮘ ﮙ
ﮚ ﮛ ﮜ ﮝﮞ
ﮟ ﮠ ﮡ
ﮢ ﮣ ﮤ
ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ
ﮫ ﮬ ﮭ
ﮮ ﮯ ﮊ النحل: ٦٩
٩- ﮋ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚﭛ ﭜ ﭝ
ﭞ ﭟ ﭠ
ﭡ ﭢ ﮊ النحل: ٦٥
١٠- ﮋ ﮩ ﮪ
ﮫ ﮬ ﮭﮮ ﮯ ﮰ
ﮱ ﯓ ﯔ
ﯕ ﯖ ﮊ النمل: ٥٢
١١- ﮋ ﮭ ﮮ
ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ
ﯖ ﯗ ﯘ
ﯙ ﮊ العنكبوت: ٤٤
١٢- ﮋ ﭣ ﭤ
ﭥ ﭦ ﭧ
ﭨ ﭩ ﭪ
ﭫ ﭬ ﭭﭮ ﭯ ﭰ
ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ
ﭶ ﭷ ﭸ
ﭹﭺ ﭻ
ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ
ﮀ ﮁ ﮂ ﮊ سبأ: ٩
١٣- ﮋ ﮌ ﮍ
ﮎ ﮏﮐ
ﮑ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮘ ﮙ
ﮚ ﮛ ﮜ
ﮝ ﮞ ﮟ
ﮠ ﮡ ﮢ
ﮣ ﮤ ﮊ الشعراء: ٨ - ١٠
١٤- ﮋ ﭿ ﮀ
ﮁ ﮂﮃ
ﮄ ﮅ ﮆ
ﮇ ﮈ ﮉ
ﮊ ﮋ ﮌ
ﮍ ﮎ ﮏ
ﮐ ﮑ ﮒ
ﮓ ﮊ الشعراء: ٦٧ - ٦٩
١٥- ﮋ ﯠ ﯡ
ﯢ ﯣﯤ
ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ
ﯩ ﯪ ﯫ
ﯬ ﯭ ﯮ
ﯯ ﯰ ﯱ
ﯲ ﯳ ﯴ ﮊ الشعراء: ١٠٣ - ١٠٥
١٦- ﮋ ﮑ ﮒ
ﮓ ﮔﮕ
ﮖ ﮗ ﮘ
ﮙ ﮚ ﮛ
ﮜ ﮝ ﮞ
ﮟ ﮠ ﮡ
ﮢ ﮣ ﮤ ﮊ الشعراء: ١٢١ - ١٢٣
١٧- ﮋ ﭛ ﭜﭝ ﭞ ﭟ
ﭠ ﭡﭢ ﭣ ﭤ
ﭥ ﭦ ﭧ
ﭨ ﭩ ﭪ
ﭫ ﭬ ﭭ
ﭮ ﭯ ﭰ
ﭱ ﮊ الشعراء: ١٣٩ - ١٤١
١٨- ﮋ ﯾ ﯿﰀ ﰁ ﰂ
ﰃ ﰄﰅ
ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ
ﰊ ﰋ ﰌ
ﰍ ﰎ ﰏ
ﰐ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ ﮊ الشعراء: ١٥٨ - ١٦٠
١٩- ﮋ ﮰ ﮱ
ﯓ ﯔﯕ ﯖ ﯗ
ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ
ﯝ ﯞ ﯟ
ﯠ ﯡ ﯢ
ﯣ ﯤ ﯥ ﮊ الشعراء: ١٧٤ - ١٧٦
٢٠- ﮋ ﮃ ﮄ
ﮅ ﮆﮇ
ﮈ ﮉ ﮊ
ﮋ ﮌ ﮍ
ﮎ ﮏ ﮐ
ﮑ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮊ الشعراء: ١٩٠ - ١٩٢
Bersamaan
dengan banyaknya mutasyabihat ini yang secara dhahir mengacaukan hafalan,
justru kaum salaf terkenal dengan kemutqinannya (kokoh dan kuat
hafalannya), tentunya
dengan perjuangan besar. Di antara mereka ada yang khatam al-Qur`an dalam satu
bulan, ada yang 15 hari, ada yang 7 hari sebagaimana Imam Ahmad dan Ibnul
Jauzi, ada yang 3 hari sebagaimana Khaitsamah, ada yang 2 malam sebagaimana
Sa’id bin Jubair, ada yang setiap hari sebagaimana Manshur bin Zadzan, ada yang
semalam saja dalam shalatnya sebagaimana Utsman bin Affan, dan ada pula yang 2
kali khatam dalam sehari semalam sebagaimana Imam asy-Syafi’i pada bulan
Ramadhan. Akhirnya, hafalan mereka kuat sehingga otaknya cerdas dan siap
menampung hafalan yang lebih besar dan banyak dari itu.
Diriwayatkan
bahwa ketika Abu Bakar bin Ayyasy menjelang wafat, adik perempuannya menangis.
Lalu sambil menunjuk ke salah satu dinding rumahnya, dia berkata:
لَا تَبْكِي فَقَدْ خَتَمَ أَخُوكَ فِي تِلْكَ الزَّاوِيَةِ
ثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَلْفِ خَتْمَةٍ
c. Sisi Rasa Percaya Diri
Al-Qur`an standar mushaf Utsmani yang
beredar berjumlah 604 halaman atau 302 lembar yang terdiri dari 114 surat, 6.236 ayat, 77.439 kata, dan 340.740
huruf, menurut pendapat yang masyhur.[64] Hafalan sebanyak ini adalah luar biasa yang
tidak pernah mampu dilakukan oleh umat-umat terdahulu.
Abu Amr ad-Dani berkata:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَدَدَ آيِ الْقُرْآنِ سِتَّةُ آلَافِ آيَةٍ ثُمَّ اِخْتَلَفُوا
فِيمَا زَادَ، فَقِيلَ:
وَمِائَتَا آيَةٍ وَأَرْبَعُ آيَاتٍ، وَقِيلَ:
وَأَرْبَعُ عَشْرَةٍ، وَقِيلَ: وَتِسْعُ عَشْرَةٍ، وَقِيلَ: وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ،
وَقِيلَ: وَسِتٌّ وَثَلَاثُونَ
“Para ulama
bersepakat bahwa jumlah ayat al-Qur`an adalah 6.000 ayat, tetapi mereka
berselisih pendapat tentang kelebihannya. Ada yang berpendapat lebih 204 ayat,
214 ayat, 219 ayat, 225 ayat, dan 236 ayat.”[65]
Lihatlah al-Qur`an yang berisi ribuan
ayat ini, kemudian bayangkan bahwa semua itu ada dalam dada Anda. Bagaimana
perasaan Anda saat melihat hadits sekian puluh, sekian ratus, bahkan sekian
ribu? Tentu terasa ringan bila ingin menghafalnya karena rasa percaya diri yang
Allah berikan kepada Anda dengan berkah al-Qur`an yang lebih tebal kitabnya dan
lebih urut hafalannya. Allahu a’lam.[]
3. Merintis Hafalan Mutun
Setelah mahir bahasa Arab dan hafal
al-Qur`an, langkah selanjutnya adalah menghafal matan-matan ringkas dan sederhana
untuk setiap disiplin ilmu.
Apa keuntungan melewati tahapan ini?
Pertama, untuk benar-benar menyiapkan otak
sebelum menceburkan diri ke samudra hadits yang sangat dalam dan luas.
Kedua, mendahulukan yang mendesak daripada
yang penting. Menghafal hadits adalah penting, tetapi ada yang lebih penting
dan mendesak yaitu mempelajari dan menghafal dasar-dasar aqidah shahihah, fiqih
ibadah sehari-hari, adab islami sehari-hari, musthalah hadits, dan lain-lain,
bahkan semua disiplin ilmu ini secara tidak langsung akan melicinkan jalan
megaproyek menjadi al-hafizh.
Ibnu Wahhab
berkata:
قِيلَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ:
مَا تَقُولُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ؟ قَالَ: حَسَنٌ جَمِيلٌ وَلَكِنِ انْظُرِ الَّذِي
يَلْزَمُكَ مِنْ حِينِ تُصْبِحُ إِلَى حِينِ تُمْسِي فَالْزَمْهُ
“Ditanyakan
kepada Malik bin Anas, ‘Apa pendapat Anda tentang menuntut ilmu?’ Dia menjawab,
‘Baik dan bagus, hanya saja perhatikanlah apa yang perlu kamu amalkan dari pagi
hingga sore, lalu amalkan secara rutin.”[66]
Ketiga, dengan memiliki hafalan fan/disiplin
ilmu tertentu akan memudahkan penuntut ilmu bila ingin mengembangkan fan
tersebut. Dikatakan oleh sebagian ulama:
مَنْ حَفِظَ
الْمُتُوْنَ حَازَ الْفُنُوْنَ
“Barangsiapa yang hafal matan-matan,
maka dia menguasai fan-fan tersebut.”
Seseorang yang ingin menjadi ahli
hadits maka minimal memiliki dua hafalan: Arba’in an-Nawawi dalam hadits dan Mandhûmah
al-Baiqûniyyah dalam musthalah hadits. Kepada kedua ini, dia berpegang agar
tidak goncang dan bingung. Setelah menguasainya, maka kitab-kitab yang lain
akan terasa mudah baginya karena telah memiliki barometer untuk mengukur.
Akhirnya, dia pun bisa mengembangkan keilmuannya dalam bidang tersebut dengan
mempelajari kitab-kitab lain yang setema dengan keragaman kelebihan
masing-masing.
Adapun kutaib-kutaib matan yang
direkomendasikan adalah:
Ø Aqidah: Aqîdah
al-Wâsithiyyah karya Ibnu Taimiyyah.
Ø Al-Qur`an: Muqaddimah
al-Jazariyyah (ilmu tajwid).
Ø Hadits: Arba’în
an-Nawawî dan al-Baiqûniyyah.
Ø Fiqih: Matan
Abû Syujâ’ (fiqih madzhab asy-Syafi’i) dan Bulûghul Marâm
(hadits-hadits fiqih) karya Ibnu Hajar.
Ø Bahasa: Matan
al-Ajurrumiyyah (nahwu) dan al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah (sharaf).
Ø Adab: Hishnul
Muslim karya Wahf al-Qahthani.
Sekilas Tentang Arbain an-Nawawi
a. Pengenalan
Hadits Arbain
atau Arbain an-Nawawi disusun oleh al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
an-Nawawi (w. 676 H).
Arbain artinya empat puluh, karena kutaib (kitab kecil) ini mencantumkan 42
hadits yang berisi pokok-pokok ajaran Islam.
Banyak ulama
yang menyusun hadits arbain, di antaranya Ibnul Mubarak, ath-Thusi, an-Nasa`i,
Abu Bakar al-Ajurri, Abu Bakar al-Ashfahani, ad-Daruquthni, al-Hakim, Abu
Nu’aim al-Ashfahani, Abu Abdirrahman as-Sulami, Abu Utsman ash-Shabuni, Abu
Bakar al-Baihaqi dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya. Di antara mereka
ada yang menghimpun 40 hadits tentang ushul, cabang, jihad, zuhud, adab, dan
tema-tema baik lainnya.[67]
Secara umum
hadits-hadits Arbain karya Imam an-Nawawi adalah hadits-hadits pokok dalam
agama Islam. Dari keistimewaan ini, belum ada kutaib manapun yang setema
mengunggulinya. Dikatakan bahwa pokok-pokok agama Islam tercantum dalam tiga
hadits: hadits niat Umar bin Khaththab, hadits bid’ah Aisyah, dan hadits
halal-haram an-Nu’man bin Basyir, dan semua hadits ini dimasukkan al-Imam dalam
kutaibnya ini.
Imam Ahmad (w. 241 H) berkata:
أُصُوْلُ الْإِسْلاَمِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحَادِيْثَ:
حَدِيْثُ عُمَرَ «الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتَ»، وَحَدِيْثُ عَائِشَةَ «مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»، وَحَدِيْثُ
النُّعْمَانِ بِنْ بَشِيْرٍ «الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ»
“Pokok-pokok
Islam terangkum dalam tiga hadits: hadits Umar ‘Amal itu dengan niat’,
hadits Aisyah ‘Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan kami apa yang
bukan darinya maka ia tertolak’, dan hadits an-Nu’man bin Basyir ‘Yang
halal jelas dan yang haram jelas.’”[68]
Semua hadits ini
dicantumkan oleh al-Imam secara berturut-turut no. 1, no. 5, dan no. 6.
Perlu diketahui,
dalam Arbain an-Nawawi terdapat tiga hadits yang dha’if tetapi
dinilai hasan/shahih oleh al-Imam, yaitu
hadits no. 27, 30, dan 41. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh para
pensyarahnya. Barangkali
dicantumkannya hadits-hadits itu karena ada hadits lain setema yang tsabit atau
ijtihad pengarang terhadap perawi bahwa mereka diterima atau minimal hasan.
Pengarang Arbain
an-Nawawi adalah seorang imam ahli hadits pada zamannya sehingga digelari
al-hafizh “hafal ribuan hadits”. Allah telah menjadikan penerimaan kutaib ini
di hati kaum muslimin dan menjadikan puluhan ulama mensyarah hadits ini karena
kandungan faidah yang banyak di dalamnya.
- Imam
an-Nawawi sekaligus penyusun kutaib ini.
- Imam
Ibnu Daqiq al-Id (w.
702 H) dalam
kitabnya Syarah Arbain an-Nawawiyah.
- Imam
Ibnu Rajab (w.
795 H) dalam
kitabnya Jâmi’ul Ulûm wal Hikam yang
merupakan syarah terbaik Arbain an-Nawawi.
- Imam
Ibnu Mulaqqin (w.
804 H).
- Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di (w. 1376 H).
- Syaikh
Muhammad Hayat as-Sindi (w. 1163 H).
- Syaikh
Musthafa al-Bagha dan Muhyiddin Mistu.
- Syaikh
Nazhim Muhammad Sulthan.
- Syaikh
al-Utsaimin (w.
1421 H).
- Syaikh
Abdul Muhsin al-Abd al-Badr.
- Syaikh
Shalih Fauzan al-Fauzan.
- Syaikh
Shalih Alu Syaikh, dan lain-lain banyak sekali.
Kutaib ini telah
mendapatkan pujian yang banyak dari para ulama dari zaman ke zaman. Maka, tidak
layak bagi penuntut ilmu meninggalkan kutaib ini tanpa menghafalnya. Hanya
kepada Allah kita meminta pertolongan.
b. Tips Mudah
Menghafal Arbain an-Nawawi
Penulis di sini
tidak mencantumkan cara yang memang sudah umum tidak boleh tidak --bahkan dalam
segala hal-- seperti ikhlas dll. Walhamdulillah hal ini telah diketahui oleh
semua orang. Namun, yang akan penulis tawarkan adalah langkah nyata atau
konkrit dalam menghafalnya. Berikut langkah-langkahnya:
- Bagilah
hadits-hadits Arbain menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berisi
hadits-hadits pendek (22 hadits: no. 5, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17,
18, 20, 21, 30, 31, 32, 33, 34, 39, 40, 41, dan 42), kelompok kedua berisi
hadits-hadits sedang (15 hadits: no. 1, 3, 6, 9, 10, 22, 23, 25, 26, 27,
28, 35, 36, 37, dan 38), dan kelompok terakhir berisi hadits-hadits
panjang (5 hadits: no. 2, 4, 19, 24, dan 29). Hafalkan kelompok pertama
dulu, baru kemudian kelompok kedua, dan seterusnya. Motode ini sangat
bermanfaat untuk menghilangkan keputusasaan dan kejenuhan.
- Hafalkan
yang matan (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) terlebih
dulu, jika sudah selesai menghafal semua matan yang berjumlah 42 hadits,
dilanjutkan menghafal shahabat yang meriwayatkannya, baru kemudian
takhrijnya.
- Jika
semua langkah di atas telah diterapkan dan telah/pernah hafal semuanya,
bagilah menjadi tiga bagian, yaitu no. 1 s.d no. 10, no. 11 s.d no. 30,
dan no. 31 s.d no. 42. Mulailah mengulang-ulang bagian pertama hingga
benar-benar sempurna hafalannya. Jika sudah mutqin dilanjutkan dengan
bagian kedua, kemudian bagian ketiga. Usai itu, ditutup dengan mengulangi
dari awal hingga akhir. Akhirnya Anda pun telah sukses menghafal 42
hadits.
- Terakhir,
jika Anda telah hafal 42 hadits secara sempurna tidak boleh terlalu percaya diri
dulu. Belum selesai! Anda harus mengulang-ulang hafalan itu minimal 50
kali dari hadits no. 1 hingga no. 42. Sekedar saran, sempatkan
memurajaahnya minimal sekali dalam sehari pada waktu antara Maghrib sampai Isya`. Insya Allah dengan begitu Anda akan memiliki hafalan yang
sempurna dan siap dinukil kapan pun dan di mana pun Anda mau.
Ketahuilah!
Termasuk akal yang kurang cerdas adalah melepas hewan buruan yang berhasil
ditangkapnya.
- Terakhir
sekali, jika semua langkah ini telah Anda tempuh dan Anda pun telah hafal
42 hadits dengan hafalan yang kokoh, maka jangan lupa bersyukur kepada
Allah dan mengamalkan hadits-haditsnya.
Di antara bentuk
syukur itu adalah dengan sedekah. Terdapat sebuah riwayat bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar
setelah menyelesaikan penggarapan Fathul Bârî Syarah Shahîh al-Bukhârî selama
bertahun-tahun, beliau mengadakan pesta makan besar-besaran hingga orang-orang
memenuhi jalan-jalan, dan ikut serta merayakannya penguasa pada waktu itu.
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu menghafal surat
al-Baqarah selama 12 tahun. Usai itu, beliau menyembelih seekor kambing dan
menyedekahkannya kepada orang-orang. Putranya memberitakan:
تَعَلَّمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ
عَنْهُ الْبَقَرَةَ فِي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمَّا خَتَمَهَا نَحَرَ جَزُوْرًا
“Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu belajar (menghafal) surat al-Baqarah selama 12 tahun. Tatkala khatam,
dia menyembelih jazur[70].”[71][]
4. Petualangan Dimulai
Kini saatnya untuk berpetualang. Ucapkanlah bismillah dan
mintalah pertolongan kepada Allah dalam menempuh jalan ini dan jangan lemah.
Setelah hafal Arbain an-Nawawi,
dilanjutkan dengan hadits-hadits muttafaqun ‘alaih di kitab al-Lu’lu’ wa
al-Marjân karya Syaikh Fuad Abdul Baqi yang berisi 1.906 hadits muttafaqun
‘alaih yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim dalam dua kitab shahihnya.
Minimal ada dua keuntungan memilih kitab ini:
- Kebanyakan
kitab-kitab para ulama lebih mendahulukan dalil dari hadits-hadits Imam
al-Bukhari dan
Imam Muslim, lalu
al-Bukhari sendirian, baru kemudian Muslim sendirian. Dengan
Anda menghafal kitab ini, maka akan memudahkan Anda nantinya dalam membaca
kitab-kitab para ulama, dan menimbulkan semangat dan kegandrungan membaca kitab-kitab
mereka tanpa bersusah payah.
- Kitab-kitab
hadits yang mu’tabar ada banyak dan yang terkenal adalah kutubus
sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan
Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan an-Nasa`i). Terkadang
ada satu hadits yang diriwayatkan oleh para imam tersebut tetapi
redaksinya sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tentu hal ini akan
melemahkan dan membuat buyar hafalan Anda. Maka, menjadikan hadits-hadits
muttafaqun ‘alaih
al-Bukhari Muslim sebagai patokan hafalan Anda adalah tindakan yang bijak.
Usai itu lanjutkan dengan Shahih
al-Bukhari[72] lalu Shahih Muslim[73] lalu Sunan at-Tirmidzi lalu Sunan
Abu Dawud lalu Sunan an-Nasa`i lalu Sunan Ibnu Majah lalu Musnad Ahmad. Jika
usai semua, diperkirakan hafalan Anda sekitar 80.000 hadits. Jumlah ini masih
sangat jauh dari hafalan kaum salaf kita, maka jangan berhenti dan merasa cukup
tanpa alasan yang dibenarkan.[74]
Pilihlah seorang syaikh, ustadz, atau orang
terpercaya yang berkenan mendengar dan menerima hafalan Anda. Hal ini sangat
bermanfaat untuk menjaga keistiqamahan dan semangat.
Di antara pembaca mungkin ada yang
sibuk kerja karena tuntutan keluarga, kuliah umum karena tuntutan orang tua,
atau kesibukan-kesibukan lainnya. Namun, hal ini bukan alasan untuk mematahkan
cita-cita kita.
Jangan merasa pesimis hanya karena
Anda berada di lingkungan yang tidak mendukung seakan-akan megaproyek ini hanya
khayalan belaka. Ahli ushul fiqih mengatakan, “Apa yang tidak bisa diraih
semuanya maka jangan ditinggal semuanya.” Yang baik adalah tempuhlah jalan itu
semampu Anda meskipun secara kenyataan tidak akan sampai ke tempat tujuan. Jika
Anda sungguh-sungguh, niscaya Allah akan menyiapkan untuk Anda apa yang dulunya
tidak terbayangkan, insya Allah.
Perlu diketahui, ini hanyalah
pendapat penulis pribadi yang boleh diambil dan boleh pula ditinggal. Bahkan,
di sana mungkin ada langkah-langkah yang jauh lebih baik yang tidak ada di sini
dalam hal menghafal, baik metode maupun urutan-urutannya. Penulis tidak
berpendapat bahwa semua poin di sini harus disikapi rigit/kaku tanpa toleransi.
Semuanya kembali kepada diri masing-masing dari kita. Penulis laksana penjual
yang menawarkan barang, sementara Anda memiliki hak khiyar untuk melanjutkan
aqad atau membatalkannya. Semoga Allah memudahkan segala urusan ilmiah kita.[]
Menyelam Sambil Minum Air
Agar kegiatan menghafal selalu semangat,
buatlah cita-cita atau target tertentu. Maksudnya, tidak sekedar menghafal
tetapi bekas menghafal itu terwujud dalam karya. Muhaddits zaman ini Syaikh
al-Albani, menggunakan konsep ini. Di sela-sela mempelajari dan menghafal
hadits, beliau wujudkan itu dalam karya-karya meliputi meringkas Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, mentakhrij dan mentashhih kutubus
sittah, dan mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam kitabnya Silsilah
al-Ahâdîts as-Shahîhah. Dengan begitu kegiatan menghafal menjadi mudah, ringan,
dan waktu terasa singkat.
Kaum muslimin memerlukan seorang
penuntut ilmu yang memiliki semangat kuat untuk mengumpulkan semua hadits di
kutubus sab’ah (kutubus sittah ditambah Musnad Ahmad). Kemudian,
dipilah-pilah hadits yang setema yang berdekatan redaksinya kemudian ditentukan
satu saja dari kumpulan hadits tersebut mana yang dipandang mencukupi untuk
dimasukkan ke kitabnya. Cukup hadits shahih saja yang dimasukkan. Akhirnya
kitab ini menjadi pegangan kaum muslimin dan memberi banyak faidah, terutama
bagi para penghafal agar tidak goncang hafalannya yang disebabkan banyaknya
hadits-hadits yang berdekatan redaksinya sesuai dengan banyaknya jalan-jalan
periwayatan (thuruqul hadits).
Siapakah gerangan orang itu??? Semoga
dia adalah yang sedang membaca ini. Allahul muwaffiq.
Demikian 4 tadarruj
penting yang harus ditempuh dengan pelan-pelan oleh setiap peserta megaproyek
ini sesuai urutannya. Adapun sisanya, meskipun juga memakai istilah tadarruj
tetapi ia dilakukan secara bersamaan dari awal hingga akhir. Allahu a’lam.[]
5. Jauhi Maksiat
Ilmu syar’i adalah kemuliaan
sementara maksiat adalah kehinaan. Kemuliaan tidak akan berkumpul dalam satu
tempat dengan kehinaan. Setiap hamba yang melakukan maksiat, maka ilmu yang di
dalam hatinya akan pergi sesuai kadar maksiatnya, hafalannya akan melemah, dan
cahaya pemahamannya akan padam di dalam hatinya.
Allah berfirman:
ﮋ ﯽ ﯾ
ﯿ ﰀ ﰁ
ﰂ ﰃ ﰄ
ﰅ ﰆ ﰇ
ﮊ
“Dan musibah apapun yang menimpamu
disebabkan perbuatan tanganmu sendiri dan Dia mengampuni banyak (kesalahan).”[75]
Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) radhiyallahu
‘anhu berkata:
إِنِّي لَأَحْسَبُ الرَّجُلَ يَنْسَى الْعِلْمَ بِالْخَطِيئَةِ يَعْمَلُهَا
Dosa dan maksiat melemahkan hafalan,
menumpulkan otak, memadamkan cahaya hati, dan menimbulkan kemuraman wajah. Oleh
karena itu, bila ditimpa malapetaka dan musibah, kaum salaf langsung
mengingat-ingat dosa yang dulu mereka lakukan.
Muhammad bin Sirin (w. 110 H)
berkata:
إِنِّي لَأَعْرِفُ الذَّنْبَ الَّذِي حُمِلَ عَلَيَّ
بِهِ الدَّيْنُ مَا هُوَ، قُلْتُ لِرَجُلٍ مِنْ أَرْبَعِينَ سَنَةً: يَا مُفْلِسُ!
“Aku benar-benar mengetahui dosa yang
menyebabkanku dililit hutang ini, yaitu aku pernah berkata kepada seseorang 40
tahun silam, ‘Hai orang bangkrut!’”[77]
Ja’far bin Sulaiman berkata:
كَانَ مَالِكُ بْنُ دِينَارٍ مِنْ أَحْفَظِ النَّاسِ
لِلْقُرْآنِ، وَكَانَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا كُلَّ يَوْمٍ جُزْءًا مِنَ الْقُرْآنِ حَتَّى
خَتَمَ، فَإِنْ أَسْقَطَ حَرْفًا قَالَ: بِذَنْبٍ مِنِّي وَمَا اللّٰهُ بِظَلَّامٍ
لِلْعَبِيدِ
“Malik bin Dinar termasuk manusia
yang paling hafal al-Qur`an. Dia membacakan kepada kami setiap hari satu juz
al-Qur`an hingga khatam. Jika dia keliru satu huruf, dia berkata, ‘Akibat
dosaku dan Allah tidak berbuat zhalim kepada para hamba-Nya.’”[78]
Abu Dawud al-Hafari berkata:
دَخَلْتُ عَلَى كُرْزِ بْنِ وَبَرَةَ بَيْتَهُ فَإِذَا
هُوَ يَبْكِي، فَقُلْتُ لَهُ: مَا يُبْكِيْكَ؟ قَالَ: إِنَّ بَابِي مُغْلَقٌ، وَإِنَّ
سِتْرِي لَمُسْبَلٌ، وَمُنِعْتُ حِزْبِي أَنْ أَقْرَأَهُ الْبَارِحَةَ، وَمَا هُوَ
إِلَّا مِنْ ذَنْبٍ أَحْدَثْتُهُ
“Aku masuk menemui Kurz bin Wabarah
di rumahnya. Ternyata dia sedang menangis. Aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang
membuat Anda menangis?’ Dia menjawab, ‘Pintu rumahku terkunci dan kordenku
tertutup, sehingga aku terhalangi membaca al-Qur`an tadi malam. Ini tidak lain
adalah karena dosa yang aku perbuat.’”[79]
Setiap kali Imam Abu Hanifah menemukan kesulitan
dalam suatu masalah, dia berkata kepada para muridnya, “Semua ini karena dosa
yang pernah aku lakukan.” Kemudian dia beristighfar, terkadang berdiri dan shalat,
hingga terbuka baginya permasalahannya. Dia berkata, ‘Saya berharap Allah sudah
menerima taubat saya.’
Hal tersebut sampai ke Fudhail bin
Iyadh lalu dia menangis dengan tangisan yang isak lalu berkata, “Yang demikian
itu karena dosanya yang sedikit, adapun selain dia tidak ada yang menyadari
dosanya.”[80]
Sebagaimana maksiat melemahkan
hafalan dan pemahaman, maka meninggalkan maksiat adalah obat yang paling
mujarab untuk menguatkan hafalan dan pemahaman. Di sinilah letak perbedaan
kekuatan hafalan kaum salaf di masa dulu dan kaum khalaf di masa sekarang.
Ali bin Khasyram berkata:
مَا رَأَيْتُ بِيَدِ وَكِيْعٍ كِتَاباً قَطُّ، إِنَّمَا
هُوَ حِفْظٌ، فَسَأَلتُهُ عَنْ أَدوِيَةِ الحِفْظِ؟ فَقَالَ: إِنْ عَلَّمْتُكَ الدَّوَاءَ،
اسْتَعْمَلتَه؟ قُلْتُ: إِيْ وَاللَّهِ. قَالَ: تَرْكُ المَعَاصِي، مَا جَرَّبْتُ مِثْلَهُ
لِلْحِفْظِ
“Aku tidak pernah melihat kitab sama
sekali di tangan Waki’, tetapi hanya hafalan. Lalu aku bertanya kepadanya
tentang obat hafalan (agar tidak lupa)? Dia menjawab, ‘Jika aku beritahu obat
itu, apakah kamu mau melakukannya?’ Aku menjawab, ‘Ya, demi Allah.’ Dia
menjawab, “Meninggalkan maksiat. Aku belum pernah mencoba yang lebih mujarab
untuk hafalan yang semisalnya.’”[81]
Yahya bin Yahya berkata:
سَأَلَ رَجُلٌ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ
اللّٰهِ هَلْ يَصْلُحُ لِهَذَا الْحِفْظِ شَيْءٌ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ يَصْلُحُ لَهُ
شَيْءٌ فَتَرْكُ الْمَعَاصِي
“Seseorang berkata kepada Imam Malik
bin Anas dan berkata, ‘Wahai Abu Abdillah! Apa yang membuat baik hafalan?’ Dia
menjawab, ‘Jika ada yang membuat baik, itu adalah meninggalkan maksiat.’”[82]
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan
hafalannya yang sangat kuat, bahkan hanya sekali dengar langsung hafal. Untuk
itu, saat melewati pasar beliau menyumbat telinganya karena khawatir
sumpah-sumpah orang pasar beliau hafal. Dikisahkan bahwa suatu ketika tidak
seperti biasanya Imam as-Syafi’i mengalami kekacauan hafalan, lalu beliau mengadukan
perkaranya kepada gurunya Waki’ bin Jarrah untuk meminta bimbingan. Gurunya
menanyakan kepadanya untuk mengingat-ingat dosa yang pernah dilakukannya.
Kemudian, ingatlah al-Imam bahwa beliau pernah tanpa sengaja melihat betis
seorang wanita yang tersingkap karena tertiup angin. Maka, gurunya
menasihatinya agar meninggalkan maksiat karena ilmu adalah cahaya dan cahaya
itu tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.
Diriwayatkan bahwa Imam asy-Syafi’i
(w. 204 H) bersenandung dalam syairnya:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ ...
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ: اِعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ ...
وَنُوْرُ اللّٰهِ لَا يُؤْتَى لِعَاصِي
“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya
hafalanku … lalu dia membimbingku untuk meninggalkan maksiat … dan berkata,
‘Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahanya … dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.’”[83]
Bisyr al-Harits berkata:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تُلَقَّنَ الْعِلْمَ، فَلَا تَعْصِ
Solusi Ilahi
Manusia adalah tempat salah dan
khilaf. Mungkin saja orang mukmin mengerjakan maksiat, dan ini bukan hal yang
mustahil, sementara Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.
Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H)
berkata:
إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ لَيَعْمَلُ الذَّنْبَ فَلَا يَزَالُ بِهِ
كَئِيبًا
“Sesungguhnya hamba yang beriman bisa berbuat dosa, hanya saja
sebab itu dia jadi murung.”[85]
Allah yang mahatahu mengetahui bahwa
manusia makhluk lemah dan memiliki nafsu yang cenderung menyukai maksiat.
Namun, hal ini tidak menghalanginya untuk menjadi hamba yang dekat kepada-Nya.
Oleh karena itu, Allah membuka pintu tobat, bahkan mencintai orang-orang yang
bertobat.
Saat Allah menetapkan aturan agar
kaum mukmin menundukkan pandangannya terhadap kaum mukminah dan sebaliknya, Dia
Yang Maha Pengampun menutup dengan firman-Nya:
ﮋ ﯻ ﯼ
ﯽ ﯾ ﯿ
ﰀ ﰁ ﰂ
ﰃ ﮊ
“Dan
bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang mukmin
agar kalian beruntung.”[86]
Lafazh jami’an
(semua) seakan mengisyaratkan kepada kita bahwa hampir tidak ada seorang pun
yang selamat dari dosa memandang ini, tidak terkecuali orang mukmin. Lalu Allah membuka pintu tobat dan
berjanji menerima tobat bagi yang sungguh-sungguh bertobat. Demikianlah solusi
yang Allah tawarkan dalam surat an-Nur di atas, yakni istighfar dan tobat. Isi
solusi pertama.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«وَاللّٰهِ!
إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ
سَبْعِينَ مَرَّةً»
“Demi
Allah! Sungguh aku meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya dalam
sehari lebih dari 70 kali.”[87]
«مَنْ قَالَ: اَسْتَغْفِرُ
اللّٰهَ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ،
غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ»
“Barangsiapa
berdoa, ‘Aku memohon ampun kepada Allah yang tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Dia yang mahahidup yang mahaberdiri sendiri, dan aku
bertaubat kepada-Nya,’ maka Dia akan mengampuninya meskipun pernah kabur
saat perang berkecamuk.”[88]
Solusi kedua
adalah banyak melakukan ibadah dan kebaikan, karena kebaikan itu akan menghapus
keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ،
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ
حَسَنٍ»
“Bertaqwalah
kepada Allah di mana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebaikan
maka ia akan
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
(w. 32 H) berkata:
اَنَّ رَجُلاً
نَالَ مِنِ امْرَاَةٍ قَبَّلَهاَ فَاَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَاَلَهُ عَنْ كَفَّارَتِهَا؟ فَنَزَلَتْ: ﮋ ﮩ
ﮪ ﮫ ﮬ
ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ
ﯔ ﯕﯖ ﮊ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ
هَذِهِ لِي؟ قَالَ: «لِمَنْ عَمِلَ مِنْ اُمَّتِي»
“Ada seorang lelaki yang menciumi
wanita lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya
tentang kafaratnya. Lalu turun ayat, ‘Dan dirikanlah shalat pada kedua ujung
siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya
kebaikan-kebaikan itu akan menghapus keburukan-keburukan.’[90] Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah
apakah ini khusus untukku?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan untuk siapa saja yang
melakukannya dari umatku.’”[91]
Seandainya dia belum bisa maksimal
dalam meninggalkan maksiat, maka hendaklah ia mendekat kepada Allah dengan
memperbanyak sedekah, puasa sunnah, shalat sunnah, dan kebaikan-kebaikan lain
dalam Islam dengan berusaha semampunya untuk meninggalkannya, serta
memperbanyak istighfar. Semoga dengan itu Allah tidak meninggalkannya.
Solusi ketiga adalah tidak melakukan
dosa-dosa besar. Allah berfirman:
ﮋ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ
ﮙ ﮚ ﮛ
ﮜ ﮝ ﮞ
ﮊ
“Jika kalian meninggalkan dosa-dosa
besar yang kalian dilarang darinya, niscaya Kami akan hapus kesalahan-kesalahan
kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke tempat yang mulia.”[92]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى
الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ
الْكَبَائِرَ»
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan
Ramadhan ke Ramadhan akan menghapus apa (dosa) yang ada di antaranya asal dia
menjahui dosa-dosa besar.”[93]
Sungguh Allah maha
penyayang dan maha belas kasih kepada hamba-hamba-Nya.[]
6. Rajin
Puasa
Di antara kaum salaf ada yang
berkata, “Kami dahulu mencari hadits dengan bantuan puasa dan beramal dengan
bantuan shalat malam.”
Al-Hasan bin Shalih berkata:
كُنَّا نَسْتَعِينُ عَلَى طَلَبِهِ بِالصَّوْمِ
Orang yang banyak makan akan banyak
minum. Orang yang banyak minum akan cepat kenyang. Orang yang kenyang akan
malas belajar dan keinginannya selalu tidur.
Nadhar bin Syumail berkata,
“Seseorang tidak akan mendapatkan kelezatan ilmu hingga dia merasakan lapar
lalu melupakan laparnya.”[95]
Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:
مَا شَبِعْتُ مُنْذُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً إِلاَّ
مَرَّةً، فَأَدْخَلْتُ يَدِي فَتَقَيَّأْتُهَا، لِأَنَّ الشِّبَعَ يُثْقِلُ البَدَنَ وَيُقَسِّي القَلْبَ
وَيُزِيلُ الفِطْنَةَ وَيَجْلِبُ النَّوْمَ وَيُضْعِفُ عَنِ العِبَادَةِ
“Aku tidak pernah kenyang selama 16
tahun kecuali sekali, tetapi aku memasukkan tanganku agar aku muntah. Sebab
kenyang bisa memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan,
mengajak tidur, dan melemahkan ibadah.”[96]
Imam an-Nawawi tidak berani makan
buah-buahan dan berkata, “Saya takut menjadi gemuk dan mendorong saya untuk
banyak tidur.” Dia makan dalam sehari semalam hanya sekali yaitu ketika sahur.[97]
Luqman al-Hakim menasihati anaknya,
“Wahai anakku, apabila kamu penuhi lambungmu maka dia akan menutupi pikiranmu.
Pelajaran akan tertahan dan anggota badan akan malas untuk beribadah.”[98]
Menurut studi
dan eksperimen terbaru, puasa secara fisik memiliki banyak manfaat. Puasa
berfungsi mendorong sistem detoksifikasi pada tubuh, membersihkan dan meregenerasi
sel, jaringan, pembuluh darah, organ dan sistem, serta memberi waktu istirahat
dan pemulihan diri bagi sistem pencernaan tubuh dan pengeluaran, juga organ
lain yakni hati, pankreas, dan
ginjal.
Puasa juga
membakar lemak, membersihkan pikiran dari stres dan kebingungan, menyegarkan
memori, memperbarui sel-sel otak, memulihkan kesehatan dan energi serta tentu
saja meningkatkan kemampuan spiritual.
Banyak studi
menunjukkan puasa bermanfaat bagi tubuh dan otak karena puasa ini membersihkan
bagian-bagian tertentu dalam tubuh, sel, neuron, organ, dan sistem dari: racun, logam
berat, unsur kimia di luar tubuh, bakteri, ragi, infeksi, obat, lemak, residu
makanan dan kontaminasi lingkungan. Melalui detoksifikasi, sisi spiritual dan
kejiwaan manusia ikut terdorong.
Bagaimana
fenomena ini terjadi? Proses
pembersihan terjadi setelah 12 jam tubuh absen dari makanan. Ketika makanan
tidak tersedia sebagai bahan bakar dalam sistem, tubuh mulai menggunakan
cadangan karbohidrat dan lemak. Liver pun mengubah lemak menjadi ketone dan
mendistribusikan ke organ-organ dan sistem lewat pembuluh darah.
Saat ini pula
jaringan dan sel-sel yang matang pecah dan memberi tubuh protein yang didaur
ulang, memungkinkan terjadi regenerasi. Ketika ini terjadi, otak mulai
melakukan proses pembersihan dari material yang menghambat kinerjanya dan
membuat seseorang
memiliki kemungkinan mengalami pencerahan spiritual lebih besar.
Makanan terbatas
membuat banyak lemak yang terbakar, lebih banyak racun yang dikeluarkan, tubuh
memiliki sedikit kotoran, sehingga hal ini memungkinkan untuk mencapai tingkat
kecerdasan lebih tinggi. Racun dalam tubuh biasa disimpan dalam lapisan-lapisan
lemak (zat kimia buatan, logam berat, hingga residu obat-obatan).
Bila lemak
terbakar maka racun tadi dinonaktifkan dan dibuang lewat jalur colon, liver,
kelenjar limfa, pernafasan, paru-paru, dan ginjal.
Dengan
mengurangi lemak berlebih, yang bisa menimbulkan stres pada tubuh dan
menyebabkan peradangan, puasa bisa mencegah dan mengobati penyakit terkait
obesitas dan sindrom metabolisme seperti diabetes, hipertensi, kardiovaskuler,
masalah hati, stroke dan bahkan kanker.
Syaratnya, puasa
harus dilakukan seperti yang semestinya apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut adab-adab dan batasan-batasannya, bukan berdasar
gaya hidup saat ini. Ketika berbuka dengan berbagai makanan menjadi gaya hidup
dan menyimpang jauh dari kebiasaan sehat saat perintah puasa diturunkan, maka
efeknya bisa berbeda.
Membiasakan puasa Senin Kamis secara
rutin telah mencukupi bagi para penghafal hadits, atau puasa tiga hari dalam
sebulan. Jika memang mampu puasa Dawud --sehari puasa sehari tidak-- maka ini
lebih baik jika terbiasa dan tidak menimbulkan lemah dan malas. Masing-masing
orang berbeda-beda.
Ibnul Jauzi bercerita dalam Shâidul
Khâthir bahwa dia pernah memutuskan memperbanyak puasa tetapi kemudian
tubuhnya lemas dan tidak lagi mampu membaca 5 juz sebagaimana biasanya. Lalu
dia memutuskan untuk mengurangi puasanya tetapi tubuhnya kuat untuk menghafal
hadits, mengkajinya dan menulisnya, serta mampu secara rutin membaca 5 juz
dalam sehari. Hal ini juga terjadi pada shahabat mulia Ibnu Mas’ud (w. 32 H) radhiyallahu
‘anhu. Dia tidak mampu banyak berpuasa karena lemah dan tidak mampu menahan
lapar, tetapi dengan tubuh yang kuat dia rajin membaca al-Qur`an dan
mangajarkannya kepada manusia, sehingga jadilah dia salah satu dari referensi
qira’ah asyrah dari kalangan shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum ajmain.
Istri Ibrahim an-Nakha’i yang bernama
Hunaidah berkata:
أَنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
7. Banyak Berdoa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata,
“Terkadang untuk tafsir satu ayat saya membaca seratus kitab tafsir, tetapi
belum memahaminya. Kemudian saya meminta kepada Allah pemahaman dengan berdoa,
‘Wahai gurunya Adam dan Ibrahim, ajarilah aku!’ Saya mendatangi masjid yang
kosong lalu menyungkurkan wajah ke tanah dan bersujud kepada Allah sambil
berdoa, ‘Wahai gurunya Adam dan Ibrahim, ajarilah aku!’”[100]
Ibnul Qayyim berkata, “Dahulu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah apabila sulit memahami permasalahan beliau
berdoa:
يَا مُعَلِّمَ إِبْرَاهِيْمَ عَلِّمْنِي
يَا مُعَلِّمَ إِبْرَاهِيْمَ عَلِّمْنِي وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ
فَهِّمْنِي
“Wahai yang mengajari
Ibrahim, ajarilah saya. Wahai yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, berilah saya
pemahaman.”
Berdoalah kepada Allah agar
dimudahkan dalam menghafal. Berdoalah kepada Allah agar dikokohkan dalam
hafalan. Berdoalah kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam menghafal.
Berdoalah kepada Allah agar diberi amal apa yang telah dihafal. Allah pasti
mengabulkannya sebagaimana janji-Nya, karena Dia senang kepada hamba yang
merasa butuh dan rendah kepada-Nya. Allah berfirman:
ﮋ ﭝ ﭞ
ﭟ ﭠ ﭡ ﮊ
Sebaliknya Allah murka dan benci
kepada hamba yang enggan berdoa kepada-Nya, seakan-akan dia merasa tidak butuh
kepada Allah dan merasa mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa pertolongan
dari Allah. Orang seperti ini lebih buruk daripada pelaku maksiat, karena
pelaku maksiat merasa rendah di sisi Allah saat mengingat dosa-dosanya. Untuk
itu, Allah menyiapkan neraka untuk hamba yang sombong itu. Allah berfirman:
ﮋ ﭣ ﭤ
ﭥ ﭦ ﭧ
ﭨ ﭩ ﭪ
ﭫ ﮊ
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan dirinya dari beribadah[103] kepadaku akan masuk ke Jahannam
dengan hina-dina.”[104]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدْعُ اللّٰهَ سُبْحَانَهُ، غَضِبَ
عَلَيْهِ»
“Barangsiapa yang tidak berdoa[105] kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Dia akan murka kepadanya.”[106]
Penyair berkata:
اللّٰهُ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ ... وَبَنِي آدَمَ حِيْنَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ
“Allah marah jika
engkau meninggalkan meminta kepada-Nya ... berbeda dengan anak
Adam yang jika diminta akan marah.”[107]
Berikut beberapa riwayat yang
menunjukkan bahwa sebagian pakar hadits terdahulu kisah perjalanannya berawal dari
doa.
Pernah ditanyakan kepada Ibnu
Khuzaimah, “Dari manakah engkau diberi ilmu?” Dia menjawab, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ»
‘Air zam-zam itu untuk apa (niat) yang ia diminum.’[108] Ketika aku minum zam-zam, aku
memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat.”[109]
Imam Abu Abdillah al-Hakim (w. 405 H)
memiliki karya yang banyak dan mengagumkan, terutama kitab haditsnya yang
terkenal al-Mustadrâk. Allah mengabulkan permintaannya atas doanya. Dia
berkata:
شَرِبْتُ مَاءَ زَمْزَم، وَسَأَلْتُ اللّٰهَ أَنْ
يَرْزُقَنِي حُسْنَ التَّصْنِيْفِ
“Aku minum air zam-zam dan meminta kepada
Allah agar Dia memberiku kemampuan mengarang yang baik.”[110]
Orang tua Ibnul Jazari --Syaikhul Qurra`-- adalah pedagang. Mereka
berhaji pada tahun 750 H dan minum air zam-zam dengan niat anak shalih.
Kemudian istrinya melahirkan laki-laki ini usai shalat Tarawih pada malam ke-25
Ramadhan pada tahun 751 H.[111]
Yaqut al-Hamawi bercerita,
“Al-Khathib menyebutkan bahwa ketika berhaji dia minum air zam-zam tiga kali
tegukan dan memohon kepada Allah tiga hal, karena berpegang dengan hadits, ‘Air
zam-zam itu untuk apa (niat) yang ia diminum.’ Permohonan pertama:
menceritakan sejarah Baghdad, permohonan kedua: mendiktekan hadits di masjid
Jami’ al-Manshur, dan permohonan ketiga: ketika wafat dimakamkan di sisi kubur
Bisyr al-Hafi.
Ketika kembali ke Baghdad, dia menceritakan
sejarah di sana. Dia memiliki beberapa juz yang ingin disimakkan langsung kepada khalifah al-Qa`im
Bi`amrillah, lalu dia membawa juz itu dan pergi ke pintu Majdah Khalifah, serta
meminta izin untuk membacakan juz tersebut. Maka khalifah berkata, ‘Ini adalah
orang besar dalam hadits, maka tidak mungkin dia memiliki hajat untuk memperdengarkan
kepadaku. Bertanyalah kepadanya tentang keperluannya?’ Ketika ditanya dia
menjawab, ‘Keperluanku supaya aku diberi izin untuk mendiktekan di masjid Jami’
al-Manshur.’ Khalifah lalu memerintahkan salah satu pembesar agar memberikan
izin kepadanya, lalu pembesar itu hadir.
Ketika dia wafat, mereka ingin
menguburnya di sisi Bisyr al-Hafi sesuai wasiat darinya.’ Ibnu Asakir berkata,
‘Syaikh kami Ismail bin Abu Sa’ad ash-Shufi menyebutkan, ‘Tempat yang ada di
sisi Bisyr itu telah digali oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali ath-Thartsitsi sebagai
kubur untuk dirinya. Dia datang ke tempat itu untuk mengkhatamkan al-Qur`an dan
berdoa. Dia melakukan demikian selama beberapa tahun. Ketika al-Khathib
meninggal, mereka meminta kepadanya untuk menguburkannya di tempat tersebut,
maka dia menolak seraya berkata, ‘Ini adalah kuburku yang telah aku gali dan
aku khatamkan al-Qur`an di dalamnya beberapa kali khatam. Aku tidak mungkin
mengizinkan seorang pun dimakamkan di sini, dan ini suatu hal yang mustahil.’
Ketika kabar itu sampai kepada ayahku, maka dia berkata, ‘Wahai Syaikh, seandainya Bisyr masih hidup
dan engkau bersama al-Khathib menemuinya, siapakah di antara kalian yang akan
didekati olehnya? Engkau ataukah al-Khathib?’ Dia menjawab, ‘Tidak, bahkan
al-Khathib.’ Dia berkata kepadanya, ‘Begitu pula semestinya pada saat kematiannya,
dia lebih berhak dengannya darimu.’ Mendengar itu hatinya rela bila al-Khathib
dikuburkan di tempat itu, lalu al-Khathib dikuburkan di dalamnya.”[112]
Ibu Imam al-Bukhari adalah wanita
ahli ibadah yang memiliki banyak karomah. Diriwayatkan Ghunjar dalam Tarîkhul
Bukhârâ dan al-Lalika`i dalam Syarhus Sunnah dalam Bab Karamâtul
Auliyâ` bahwa kedua mata Muhammad bin Ismail al-Bukhari buta ketika
kecilnya, lalu ibunya melihat al-Khalil Ibrahim dalam mimpinya seraya berkata,
“Wahai wanita, sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena
banyaknya doamu.” Pada pagi harinya, ternyata Allah telah mengembalikan
penglihatannya.[113]
Maka berdoalah dan pasti Allah akan
memenuhi janji-Nya. Berdoalah dengan doa yang ma’tsur, maka Allah akan
mendengar dan mengabulkannya, karena apa yang datang dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik taqarrub kepada Allah ta’ala.
ﮋ ﮁ
ﮂ ﮃ ﮄ
ﮅ ﮆ ﮇﮈ ﮉ ﮊ
ﮋ ﮌ ﮊ
“Mahasuci Engkau, tiada
ilmu bagi kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya
Engkau maha berilmu lagi maha bijaksana.”[114]
ﮋ ﭡ ﭢ
ﭣ ﮊ
«اللّٰهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي
مَا يَنْفَعُنِي، وَزِدْنِي عِلْمًا»
“Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang
Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarilah aku ilmu yang bermanfaat bagiku, serta
tambahkanlah aku ilmu.”[116]
«اللّٰهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ
سَهْلًا، وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزَنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا»
“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa
yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau jadikan kesedihan[117] --jika Engkau kehendaki-- mudah.”[118]
يَا مُعَلِّمَ إِبْرَاهِيْمَ عَلِّمْنِي وَيَا مُفَهِّمَ
سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِي
“Wahai yang mengajari
Ibrahim, ajarilah saya. Wahai yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, berilah saya
pemahaman.”[119]
اللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فَهْمَ النَّبِيِّيْنَ
وَحِفْظَ المُرْسَلِيْنَ وَإِلْهَامَ الْمَلاَئِكَةِ المُقَرَّبِيْنَ، اللّٰهُمَّ أَغْنِنِيْ
بِالْعِلْمِ وَزَيِّنْنِـيْ بِالحِلْمِ وَأَكِرْمنِيْ بِالتَّقْوَى وَجَمِّلْنِيْ بِالْعَافِيَةِ
يَاأَرْحَمَ الرّٰحِمِيْنَ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
pemahaman para nabi, hafalan para rasul, dan ilham para malaikat yang
didekatkan. Ya Allah, kayakanlah aku dengan ilmu, hiasilah aku dengan
kelembutan, muliakanlah aku dengan taqwa, dan indahkanlah aku dengan kesehatan,
wahai yang paling pemurah dari yang semua pemurah.”[120][]
8. Mengulang-Ulang Hafalan
Manusia memiliki tabiat lupa, karena
Adam juga lupa. Baru kemarin seseorang berkenalan, tetapi sekarang sudah lupa
siapa namanya. Alangkah cepatnya manusia lupa!
Lupa adalah penyakit dan obatnya
adalah mengulang-ulang. Imam az-Zuhri (w. 124 H) berkata:
إِنَّمَا يُذْهِبُ الْعِلْمَ النِّسْيَانُ وَتَرْكُ الْمُذَاكَرَةِ
Al-Hasan bin Abu Bakar an-Naisaburi
al-Faqih berkata:
أَنَّ فَقِيْهًا أَعَادَ الدَّرْسَ فِي بَيْتِهِ
مِرَارًا كَثِيْرَةً فقَالَتْ لَهُ عَجُوزٌ فِي بَيْتِهِ قَدْ وَاللّٰهِ
حَفِظْتُهُ أَنَا. فَقَالَ: أَعِيْدِيْهِ! فَأَعَادَتْهُ. فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ
أَيَّامٍ قَالَ: يَا عَجُوزُ،
أَعِيدِي ذَلِكَ الدَّرْسَ، فَقَالَتْ: مَا أَحْفَظُهُ. قَالَ: إِنِّي أُكَرِّرُ
عَدَّ الْحِفْظِ لِئَلاَّ
يُصِيبَنِي مَا أَصَابَكِ
“Ada seorang
ahli fiqih yang banyak mengulang-ulang pelajaran, lalu wanita tua yang ada di
rumahnya berkata kepadanya, ‘Demi Allah, aku telah menghafalnya.’ Ahli fiqih
itu berkata, ‘Ulangilah.’ Lalu dia mengulanginya. Setelah berlalu beberapa
masa, dia berkata, ‘Hai wanita tua, coba kamu ulangi pelajaran itu.’ Dia
berkata, ‘Aku tidak lagi hafal.’ Ahli fiqih itu berkata, ‘Sungguh aku banyak
mengulang-ulang hafalanku sehingga tidak menimpaku apa yang telah menimpamu.’”[122]
Kaum salaf adalah teladan luar biasa
bagi kita. Mereka terdepan dalam ketekunan dan kesabaran dalam belajar,
mengajar, menghafal, dan beramal. Mereka mengulang-ngulang pelajaran hingga
berkali-kali dan tidak merasa jenuh. Mari kita melihat sedikit dari kisah-kisah
mereka.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata tentang
Bakar bin Muhammad al-Hanafi:
وَسُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَقَالَ: هَذِهِ
الْمَسْأَلَةُ أَعَدْتُهَا فِي بُرْجٍ مِنْ حِصْنِ بُخَارِ الرّبع مِائَةَ مَرَّةٍ
“Dia pernah ditanya tentang sebuah masalah lalu berkata,
‘Masalah ini aku ulang-ulang di menara kastil Bukhar ar-Rib’i sebanyak 100
kali.’”[123]
Abul Arab al-Qairawani berkata,
“Ahmad bin Tamim bercerita kepada saya bahwa dia mendapatkan di akhir sebagian
kitab Abbas bin Ali al-Farisi tertulis kalimat, ‘Saya mempelajari kitab ini
lebih dari 1.000 kali.’”[124]
Ahli fiqih Ali bin Muhammad
an-Naisaburi berkata, “Di Madrasah Sarhank di Naisabur terdapat anak sungai
yang memiliki 70 anak tangga. Apabila saya ingin menghafal sebuah pelajaran
saya mendatangi anak sungai tersebut. Saya mengulang-ulangi pelajaran sebanyak
satu kali setiap anak tangga, dengan cara naik dan turun kembali. Begitu yang
saya lakukan untuk setiap pelajaran yang telah saya hafal.”[125]
Al-Fairuz Abadi membaca kitab Shahih
al-Bukhari lebih dari 50 kali.
Al-Hafizh Burhanuddin al-Halabi
pernah membaca Shahih al-Bukhari lebih dari 60 kali dan Shahih Muslim
20 kali, selain bacaannya sendiri semasa belajar atau bacaan orang lain yang
dia dengar.[126]
Ibnu Basykual al-Andalusi berkata,
“Saya membaca dari tulisan sebagian teman bahwa Abu Bakar bin Athiyah
al-Muharibi mengulang-ulangi membaca Shahih al-Bukhari sebanyak 700
kali.”
Al-Hafizh Sulaiman bin Ibrahim
al-Alawi membaca ulang Shahih al-Bukhari lebih dari 280 kali dengan membaca,
mendengar, atau dibacakan.
Imam an-Nawawi ketika menulis
biografi Imam Abdul Ghafir bin Muhammad al-Farisi berkata, “Al-Hafizh al-Hasan
as-Samarqandi membaca Shahih Muslim lebih dari 30 kali, dan Abu Sa’id
al-Buhairi membaca Shahih Muslim di hadapannya lebih dari 20 kali.”[127]
Ibnu Makhluf ketika menceritakan biografi
Syaikh Abu Muhammad bin Abdullah bin Ishaq, dia berkata, “Dia belajar dari Ibnu
Lubab kitab al-Mudawwanah --kitab fiqih madzhab Maliki-- lebih dari
1.000 kali.”
Ahli fiqih dan ahli hadits Abu Bakar
al-Anbari berkata, “Aku membaca kitab Mukhtashar Ibnu Abi Hakam sebanyak
500 kali, al-Asadiyah 75 kali, al-Muwaththa` 45 kali, Mukhtashar
al-Barqi 70 kali, dan al-Mabsuth sebanyak 70 kali.”[128]
Jika ada yang bertanya, “Kaum salaf
berbeda-beda dalam mengulang hafalannya, lantas berapa batas mengulang yang
paling baik?”
Jawabannya bahwa tidak ada batasan
atau patokan, karena masing-masing orang berbeda-beda kondisinya. Hanya saja,
pada umumnya mereka mengulang-ulang antara 50 sampai 100 kali.
Al-Hasan bin Abu Bakar an-Naisaburi
al-Faqih berkata:
لا يَحْصُلُ الْحِفْظُ إِلَيَّ حَتَّى يُعَادَ خَمْسِينَ مَرَّةً
“Bagiku hafalan tidak akan kokoh
hingga diulang-ulang sebanyak 50 kali.”[129]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H)
berkata:
كَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيُّ يُعِيدُ
الدَّرْسَ مِائَةَ مَرَّةٍ، وَإِنْ كَانَ إِلْكِياَ يُعِيدُ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Abu Ishaq asy-Syairazi
mengulang-ulang pelajaran hingga 100 kali, sementara Ilkiya mengulang-ulang
pelajaran hingga 70 kali.”[130]
Perlu diketahui bahwa hal ini hanya
berlaku sebentar tidak begitu lama, karena seiring dengan banyaknya hafalan dan
digunakannya otak untuk menghafal dan mengulang-ulang, setelah itu otak akan
cepat merekam apa yang didengar dan dibaca, bahkan terkadang hanya sekali dengar
dan baca langsung hafal, sebagaimana penjelasan otak di muka. Contohnya adalah Imam
asy-Sya’bi, Imam az-Zuhri, Abu Zur’ah ar-Razi, Sufyan ats-Tsauri, Qatadah bin
Du’amah, dan Imam asy-Syafi’.
Imam asy-Sya’bi (w. 105 H) berkata:
مَا كَتَبْتُ سَوْدَاءَ فِي بَيْضَاءَ إِلَى يَوْمِي
هَذَا، وَلاَ حَدَّثَنِي رَجُلٌ بِحَدِيْثٍ قَطُّ إِلاَّ حَفِظْتُهُ، وَلاَ أَحْبَبْتُ
أَنْ يُعِيْدَهُ عَلَيَّ
“Aku tidak pernah menulis sesuatu
yang hitam di dalam sesuatu yang putih.[131] Tidak pernah seorang pun
menyampaikan hadits kepadaku melainkan aku telah menghafalnya, dan aku tidak
suka dia mengulanginya untukku.”[132]
Abu al-Khaththab Qatadah bin Du’amah as-Sadusi (w. 118 H)
berkata:
مَا سَمِعَتْ أُذُنَايَ شَيْئًا قَطُّ إِلا
وَعَاهُ قَلْبِي
“Tidaklah
kedua telingaku mendengar sesuatu melainkan akan dihafal oleh hatiku.”[133]
Sufyan ats-Tsauri berkata:
إِنِّيْ لَأَمُرُّ بِالحَائِكِ فَأَسُدُّ أُذُنَيَّ
مَخَافَةَ أَنْ أَحْفَظَ مَا يَقُوْلُ
“Aku pernah melewati seorang penenun
lalu aku sumbat kedua telingaku karena khawatir aku hafal apa yang
dikatakannya.”[134]
Abu Zur’ah ar-Razi berkata:
وَمَا سَمِعَ
أُذُنَيَّ شَيْئًا مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ وَعَاهُ قَلْبِي، فَإِنِّي كُنْتُ
أَمْشِي فِي سُوْقِ بَغْدَادَ فَأَسْمَعُ مِنَ الْغُرَفِ صَوْتَ الْمُغَنِّيَاتِ
فَأَضَعُ أُصْبُعِي فِي أُذُنَيَّ مَخَافَةَ أَنْ يَعِيَهُ قَلْبِي
“Tidaklah kedua telingaku mendengar sesuatu dari ilmu
melainkan akan dihafal oleh hatiku. Aku pernah berjalan di pasar Baghdad lalu
aku mendengar dari beberapa ruko suara para biduanita lalu aku menyumbatkan jari-jemariku
kedua telingaku karena khawatir akan dihafal hatiku.”[135][]
9. Mengkonsumsi dan Menghindari
Makanan Tertentu
a.
Makanan yang Perlu Dikonsumsi
Allah subhanahu wa ta’ala
menyukai orang-orang yang tidak berpangku tangan dalam menyambut takdir baik.
Memang semuanya terjadi atas takdir Allah tetapi Allah memerintahkan manusia
untuk berusaha dan menempuh jalan-jalannya. Di antara jalan untuk menguatkan
hafalan adalah mengkonsumi beberapa jenis makanan: madu, kismis (anggur kering), habbatus sauda`
(jinten hitam), kurma, dan susu.
a) Madu
Imam az-Zuhri
(w. 124 H) berkata:
عَلَيْكَ بِالْعَسَلِ فَإِنَّهُ جَيِّدٌ لِلْحِفْظِ
Dikatakan bahwa
terapi penyembuhan penyakit itu ada dua, yaitu al-Qur`an dan madu.[137] Seolah-olah
penyakit rohani diterapi dengan al-Qur`an sementara penyakit jasmani diterapi
dengan madu. Makanan
yang secara tegas disebutkan di al-Qur`an untuk penyembuhan adalah madu. Ini menunjukkan
kedudukan agung madu sebagai obat karena datang dari pemberitaan wahyu. Allah
berfirman:
ﮋ ﮥ ﮦ ﮧ ﮊ
Al-Hafizh Ibnu
Katsir (w. 774 H) berkata, “Maksudnya, di dalam madu ada penyembuh bagi manusia
dari segala penyakit yang menjangkiti mereka.”[139]
Al-Hafizh Ibnul
Jauzi (w. 597 H) berkata, “Dhamir “nya” di sini kembali kepada madu. Ini
diriwayatkan oleh al-Aufi dari Ibnu Abbas, dan ini juga pendapat Ibnu Mas’ud.
Para ulama berselisih apakah penyembuh di sini untuk penyakit tertentu atau tidak?
Ada dua pendapat: pertama bahwa dia umum untuk berbagai penyakit. Ibnu Mas’ud
berkata, ‘Madu adalah penyembuh dari segala penyakit.’ Qatadah berkata, ‘Di
dalam madu ada penyembuh bagi manusia dari berbagai penyakit.’ (Hal ini
berdasarkan hadits) Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan
bahwa dia berkata, ‘Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berkata, ‘Saudaraku sakit perut.’ Lalu beliau bersabda, ‘Beri
dia minum madu.’ Lalu dia memberinya minum madu lalu kembali dan berkata, ‘Aku
telah memberinya minum madu
tetapi justru bertambah sakitnya.’ Beliau bersabda, ‘Beri dia minum madu.’
Disebutkan dalam hadits sampai ucapan, ‘Lalu dia sembuh pada kali yang ketiga
atau yang keempat.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Allah mahabenar dan perut saudaramu telah berdusta.’[140]
Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim.[141] Yang
dimaksud “Allah mahabenar” adalah kebenaran ayat ini.
Yang kedua:
bahwa ia untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang memang bisa disembuhkan oleh
madu, ini pendapat as-Suddi. Tafsir yang benar adalah ia mencakup keumuman.
Ibnul Anbari berkata, ‘Pada umumnya madu bisa bereaksi pada segala jenis
penyakit dan mencakup sebagai obat-obatan. Jika ada seseorang yang tidak cocok
dengannya, sungguh ia telah cocok bagi kebanyakan orang. Ini seperti pepatah
Arab:
الْمَاءُ حَيَاةُ كُلِّ شَيْءٍ، وَقَدْ نَرَى مَنْ
يَقْتُلُهُ الْمَاءُ
‘Air adalah
kehidupan segala sesuatu tetapi kita terkadang melihat ada yang dibunuh oleh
air.’
Madu mengandung
vitamin, mineral, protein, antiseptik, dan enzim yang bisa meningkatkan daya
ingat juga kecerdasan mental seseorang. Dengan kandungan zat galian yang
dimilikinya, ia mampu meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Zat galian
adalah manganese (belerang), klorin, silica, kuprum, potassium (kalium),
magnesium, sulfur, karbon, kalsium, fosforus,
dan zat besi. Dua sendok teh tiap pagi dan malam adalah cara minum madu
yang baik.
Madu mengandung
glukosa (gula anggur), fruktosa (gula buah), sukrosa (gula tebu), dan maltosa
(gula gandum). Glukosa dan fruktosa menghasilkan suplai glikogen dalam hati.
Memakan satu sendok madu asli sebelum tidur akan meningkatkan fungsi otak,
karena fruktosa yang terkandung dalam madu menjadi energi cadangan di dalam
hati dan bekerja di otak semalaman. Tak heran, madu menjadi rahasia penambah
energi bagi atlet zaman Yunani kuno yang menghadapi olimpiade.
Di dalam madu
juga terkandung berbagai vitamin yang hampir memenuhi seluruh vitamin yang dibutuhkan
oleh manusia, yaitu : A, B1, B2, B3, B5, B6, D, K, E, Uric Acid, dan asam
nikotinat. Bahkan berdasarkan hasil penelitian ahli gizi dan pangan, madu
mengandung karbohidrat yang paling tinggi di antara produk ternak lainnya:
susu, telur, daging, keju, dan mentega sekitar (82,3% lebih tinggi). Setiap 100
gram madu murni bernilai 294 kalori atau perbandingan 1.000 gram madu murni
setara dengan 50 butir telur ayam atau 5,675 liter susu atau 1.680 gram daging.
Dari hasil penelitian terbaru ternyata zat-zat atau senyawa yang ada di dalam
madu sangat komplek yaitu mencapai 181 jenis.
Di dalam madu
juga terdapat kandungan mineral dan garam seperti: besi, sulfur, magnesium,
kalsium, kalium, sodium, klorin, tembaga, krom, nikel, lead, silica, mangan,
alumunium, aurum, lithium, thin, zink, dan titanium. Sungguh menakjubkan,
karena semua mineral tersebut merupakan komposisi tanah yang darinya manusia
diciptakan.
Di dalam madu
juga terkandung bermacam-macam enzim dan asam yang sangat penting untuk
kehidupan dan aktivitas tubuh manusia, misalnya: enzim amilase, enzim
katalase, enzim fosfolirase, dan beberapa enzim lainnya.
Adapun
macam-macam asam yang terkandung dalam madu adalah: formic acid, lactic acid,
atric acid, tartaric acid, oxalid acid asam fosfat, dan asam glukomat.
Di dalam madu
juga terkandung hormon-hormon kuat yang berfungsi menggiatkan dan memacu kerja
organ-organ tubuh. Karena itu di dalam madu juga terkandung antibiotik yang
melindungi manusia dari seluruh penyakit dan membunuh berbagai bakteri dan mikroba.
Telah diketahui
pula bahwa di dalam madu terdapat dotorium (hydrogen berat) yang berfungsi
sebagai anti kanker.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنْ كَانَ فِى
شَىْءٍ مِنْ أَدْوِيَتِكُمْ -أَوْ يَكُونُ فِى شَىْءٍ مِنْ أَدْوِيَتِكُمْ- خَيْرٌ
فَفِى شَرْطَةِ مِحْجَمٍ، أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ، أَوْ لَذْعَةٍ بِنَارٍ تُوَافِقُ
الدَّاءَ، وَمَا أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِيَ»
“Jika
ada sesuatu dari obat kalian –atau jika ada sesuatu dari obat kalian– yang bisa
menyembuhkan, maka ia ada pada bekam, minum madu, atau mengecos dengan
besi panas pada luka tetapi saya tidak suka kay (pengobatan dengan besi panas
ini).”[143]
Adapun untuk
kemampuan otak yang mengagumkan, madu adalah pilihan yang tepat. Madu dapat
meningkatkan perkembangan mental anak-anak dalam semua bidang. Laju perjalanan
glukosa ke otak yang cepat berguna untuk mempertahankan fungsi normal dari
nutrisi penting otak. Asetilkolin merupakan bahan penting untuk meningkatkan
memori, dan vitamin untuk meningkatkan kegiatan berpikir dalam otak dengan normal.
Mineral penting untuk menjaga fungsi otak yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir, kalsium dapat memastikan otak bekerja ulet dan intens, dan germanium
dapat meningkatkan kecerdasan.
Madu mendukung
keseimbangan asam-basa dalam tubuh yang kaya garam anorganik. Garam anorganik
dalam tubuh manusia dapat dikombinasikan dengan bahan-bahan asam, sehingga
memberikan kontribusi untuk keseimbangan asam-basa, tubuh dapat menghilangkan
kelelahan.
Pakar obat
tradisional Prof. Hembing Widjayakusumah berkata, “Aneka zat yang terdapat
dalam madu berkhasiat bagi perkembangan otak anak, terutama zat gulanya yang
sangat dibutuhkan otak untuk melaksanakan fungsinya secara optimal.”
Fakta ilmiah
lain tentang madu telah dibicarakan oleh para ilmuwan yang bertemu pada Konferensi
Apikultur Sedunia (World Apiculture Conference) yang diselenggarakan pada
tanggal 20-26 September 1993 di Cina. Konferensi tersebut membahas pengobatan
dengan menggunakan ramuan yang berasal dari madu. Para ilmuwan Amerika
mengatakan bahwa madu, royal jelly, serbuk sari, dan propolis dapat mengobati
berbagai penyakit. Seorang dokter Rumania mengatakan bahwa ia mengujikan madu
untuk pengobatan pasien katarak, dan 2.002 dari 2.094 pasiennya sembuh total.
Para dokter Polandia juga menyatakan dalam konferensi tersebut bahwa resin
lebah dapat membantu penyembuhan banyak penyakit seperti wasir, masalah kulit,
penyakit ginekologis, dan berbagai penyakit lainnya.
Dari al-Laits
bin Sa’ad, dari Ibnu Syihab bahwa dia bercakap-cakap dengan bersulang madu,
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang-orang pada malam hari.
Mereka berkata, “Berilah kami minum dan bertuturlah kepada kami.” Dia banyak
minum madu dan tidak makan buah-buahan sedikitpun.[144]
Menjauhi
buah-buahan secara mutlak perlu ditinjau ulang. Para penduduk surga sebelum
dihidangkan daging, terlebih dahulu dihidangkan buah-buahan. Di antara dalil
yang digunakan oleh yang berpendapat ini adalah firman Allah:
ﮋ ﮚ ﮛ
ﮜ ﮝ ﮞ
ﮟ ﮊ
Begitu pula
Allah memerintahkan Nabi Yahya untuk memakan buah-buahan pasca sakit berat
beberapa lama di perut ikan. Allah berfirman:
ﮋ ﯔ ﯕ
ﯖ ﯗ ﯘ
ﯙ ﮊ
Dijelaskan oleh
sebagian pakar kesehatan bahwa mendahulukan buah-buahan sebelum makan daging
membantu memudahkan pencernaan, menjaga kesehatan, dan beberapa manfaat
lainnya.
Menurut kaum
Yahudi memakan hidangan berkarbohidrat (roti dan nasi) kemudian ditutup dengan
buah-buahan menyebabkan ngantuk. Mereka mengetahui kaidah penemuan ini,
sehingga sebelum makan menu utama, mereka mendahuluinya dengan buah-buahan.
Penulis
berpendapat tidak masalah mengkonsumsi buah-buahan bagi para penghafal hanya
saja tidak berlebihan, tetapi yang terbaik adalah menghindarinya ala kadarnya
karena terdapat riwayat bahwa Abu Bakar al-Anbari tidak menyentuh buah-buahan
sedikitpun saat dijamu oleh Khalifah ar-Radhi Billah, lalu saat beliau sakit
keras meminta keluarganya untuk mendatangkan buah-buahan yang lezat lalu
memakannya dengan lahap. Ketika ditanya beliau menjawab, “Aku merasa sakit ini
akan mengantarkanku kepada kematian, sehingga aku tidak begitu khawatir dengan
hafalanku.” Setelah itu beliau wafat. Orang-orang pada zamannya mengatakan,
“Abu Bakar al-Anbari adalah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dalam
menghafal,” karena saking banyak dan kuat hafalannya. Allahu a’lam.
b)
Kismis
Kismis adalah anggur
yang telah dikeringkan dan rasanya manis karena kandungan zat gula yang
melimpah di dalamnya. Nama lain kismis adalah zabib (Arab), grape seed/raisin
(Inggris), dan vitis vinifera (Latin/Saintifik).
Imam az-Zuhri (w. 124 H) berkata:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَحْفَظَ الْحَدِيثَ فَلْيَأْكُلِ الزَّبِيبَ
Imam al-Hakim
menjelaskan, “Karena kismis Hijaz itu panas, manis, lembut, agak kering, dan
menghilangkan lendir.”[148]
Dalam riwayat
Abu Ja’far ath-Thusi disebutkan bahwa kismis dapat menghilangkan lendir dan
menyehatkan jiwa.
Sebanyak 60%
berat kismis terdiri dari gula, di mana separuh darinya adalah fruktosa dan
separuh lagi adalah glukosa. Kismis sangat tinggi kandungan antioksidannya
sebanding dengan buah prune dan aprikot. Terdapat sekitar 54% zat gula dengan
berat 90 gram dari sekitar 165 gram berat kismis. Fruktosa dan glukosa berguna
untuk meningkatkan, menajamkan, dan menguatkan daya ingatan. Penjelasannya,
otak manusia memerlukan zat gula secara cepat dengan kadar yang banyak agar
bisa bekerja dengan baik dan kismis dapat menyediakan keperluan itu dalam
jumlah yang banyak dan cepat.
Juga, hal ini
disebabkan otak yang kekurangan oksigen akan menyebabkan rasa kantuk, lemah
ingatan, dan mudah lupa. Kismis mengandung zat besi yang diperlukan untuk mengatur peredaran darah dan menyediakan pasokan oksigen yang akhirnya akan
dikirim ke otak.
Prof. Hembing
Widjayakusumah berkata, “Jika suplai darah dan oksigen ke otak lancar, maka
daya ingat bisa menjadi lebih baik.”
Seorang ibu
kebangsaan Malaysia menulis di internet --dengan pengeditan ke bahasa
Indonesia--, “Saya telah mempraktekkan kepada anak-anak saya untuk mengkonsumsi
kismis setiap hari dan al-hamdulillah walaupun tanpa tuisyen, hasil pemeriksaan
amat membanggakan. Di antaranya Nurul Amerah (16 tahun) mencapai UPSR 4A1B dan
PMR 8A, Nurul Ezzati (14 tahun) mencapai UPSR 5A, Muhammad Naim (9 tahun) juara
satu di kelasnya, dan Nurul Izzyan (6 tahun) sudah bisa membaca, menulis, dan
menghitung dengan lancar.”
Selain itu,
kismis sendiri mampu menurunkan kadar radikal bebas. Radikal bebas merupakan
senyawa yang dapat merusak sel dan membuat tubuh sulit untuk kembali bugar
setelah berolahraga. Fakta ini terungkap dalam pertemuan tahunan American
College of Nutrition. Para peneliti mempelajari delapan atlet triathlon yang
berkompetisi dalam dua minggu yang terpisah. Pada satu perlombaan, mereka diberi
makan kismis dan pada perlombaan lainnya tidak. Akhirnya Gene Spiller, Ph.D --pimpinan utama
penelitian ini-- menyimpulkan,
“Kismis secara signifikan mengurangi jumlah kerusakan sel pada tubuh atlet
akibat radikal bebas.” Dia menyarankan mengkonsumsi segenggam kismis sebelum
berolahraga berat.
c)
Habbatus Sauda`
Nama lain
habbastus sauda` adalah jinten hitam (Indonesia), fennel flower (Inggris),
habat et baraka (Mesir), nigella (Italia), nigelle (Prancis), nidella (Jerman), black cumin/black seed (Amerika),
dan black caraway (Eropa).
Habbatus sauda` mampu
meningkatkan daya ingat, konsentrasi, dan kewaspadaan. Dengan kandungan asam
linoleat (omega 6) dan asam linolenat (omega 3), habbatus sauda` merupakan
nutrisi bagi sel otak untuk meningkatkan daya ingat dan kecerdasan. Habbatus
sauda juga memperbaiki peredaran darah mikro ke otak dan cocok diberikan kepada
anak usia masa pertumbuhan maupun lansia.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«فِى الْحَبَّةِ
السَّوْدَاءِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامَ»
d) Kurma
Orang
Yahudi dikenal sebagai orang-orang cerdas, dan al-Qur`an memberitahukan bahwa
Allah telah melebihkan mereka dengan kecerdasan ini atas makhluk di bumi,
terlepas dari kesesatan mereka dan kelicikan mereka bahkan mereka adalah
manusia yang paling bertanggung jawab atas kekacauan umat manusia di bumi. Apa
di antara langkah mereka dalam mewujudkan kecerdasan ini? Dr. Stephen Carr
Leon melakukan penelitian selama 8 tahun untuk meneliti prilaku kecerdasan kaum
Yahudi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kaum wanita mereka banyak
mengkonsumsi kurma dan susu terutama di masa hamil dan masa menyusui. Namun,
liciknya mereka menutup-nutupi hal ini dan merekomendasikan manusia dengan makanan-makanan
lain sebagaimana yang dimuat di buku-buku yang beredar.
Sebenarnya
Islam telah memberitahukannya kepada kaum muslimin, yaitu saat Allah
menjelaskan tentang Maryam si perawan suci yang disuruh Allah untuk menggoyangkan
pohon kurma agar berguguran ruthabnya (kurma basah) pasca melahirkan Isa ‘alaihissalam.
Allah mengisahkan:
ﮋ ﯼ ﯽ
ﯾ ﯿ ﰀ
ﰁ ﰂ ﰃ
ﰄ ﮊ
“Dan
goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu agar ia menggugurkan kepadamu
ruthab yang masak.”[150]
Jika kita
menilik sejarah kaum salaf dahulu, makanan keseharian mereka adalah kurma.
Diriwayatkan bahwa di antara makanan keseharian Imam an-Nawawi adalah kurma.
As-Sakhawi berkata, “Dia ridha meluruskan tulang sulbinya dan menutupi
kebutuhan hidupnya dengan apa yang dikirimkan oleh ayahnya berupa kue Ka’ak
kering dan Tin Haurani atau cukup dengan roti. Dia tidak makan kecuali satu
jenis lauk berupa madu, kurma, cuka, atau minyak.”[151] Begitu
pula telah diriwayatkan bahwa di antara makanan keseharian Imam asy-Syafi’i
adalah kurma dan roti kering.
Sungguh
telah shahih bahwa Rasulullah makan kurma begitu pula para shahabatnya. Urwah
bin Zubair bin Awwam menceritakan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata kepadanya:
ابْنَ أُخْتِي، إِنْ كُنَّا
لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلاَلِ، ثُمَّ الْهِلاَلِ، ثَلاَثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ،
وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَارٌ. فَقُلْتُ: يَا خَالَةُ، مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ؟ قَالَتْ: الأَسْوَدَانِ: التَّمْرُ
وَالمَاءُ، إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جِيرَانٌ مِنَ الأَنْصَارِ، كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ، وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ
اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ، فَيَسْقِيْنَا
“Wahai putra
saudariku, kami dulu benar-benar melihat bulan sabit, lalu bulan sabit, tiga
bulan sabit dalam dua bulan, sementara api tidak mengepul di rumah-rumah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku bertanya, “Wahai bibi,
lantas dengan apa kalian makan?” Dia menjawab, “Dengan aswadan yaitu kurma dan
air. Hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
tetangga Anshar yang memiliki manihah (kambing/unta betina). Mereka memberi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam susu perahannya lalu kami
meminumnya.”[152]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
«مَنْ تَصَبَّحَ
سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سَمٌّ وَلاَ سِحْرٌ»
“Barangsiapa
yang memasuki pagi memakan tujuh kurma ajwah, maka pada hari itu racun dan
sihir tidak akan membahayakannya.”[153]
Cukuplah
menjadi kemuliaan kurma saat Allah menjadikan-Nya sebagai tanda kebesaran-Nya.
Allah berfirman:
ﮋ ﮇ ﮈ
ﮉ ﮊ ﮋ
ﮌ ﮍ ﮎ
ﮏ ﮐﮑ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮊ
“Dengan
air itu Allah menumbuhkan untuk kalian tanaman, zaitun, kurma, anggur,
dan berbagai buah-buahan. Sesungguhnya pada demikian itu terdapat tanda bagi
kaum yang berpikir.”[154]
e) Susu
Enam kelas
makanan yang diperlukan terdapat dalam susu yaitu air, mineral,
lemak, karbohidrat, protein, dan semua jenis vitamin. Susu yang terbaik untuk
mempertajam otak dan pikiran adalah susu kambing di samping susu
lembu yang segar. Susu yang pekat/cair lebih baik khasiatnya dibandingkan susu
tepung. Susu segar juga bisa menguatkan tulang belakang, meningkatkan
kecerdasan, memperbaiki penglihatan, dan mencegah/menghindari kelupaan. Aturan minum susu
yang baik adalah lebih kurang segelas pada waktu pagi dan malam. Sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum susu kambing sebagaimana
yang terdapat pada hadits-hadits yang shahih.
Cukuplah menjadi
kemuliaan susu saat
Allah menjadikannya sebagai salah satu dari empat minuman utama penduduk
surga. Allah berfirman:
ﮋ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮊ
Imam Ibnu Syihab
az-Zuhri[156] telah
mempraktekkannya dengan mengkonsumsi makanan-makanan tersebut dan hasilnya
beliau menjadi imam dalam menghafal, setelah taufiq dari Allah. Disebutkan bahwa beliau menghafal
al-Qur`an hanya dalam 2 bulan 20 hari.
Imam adz-Dzahabi
berkata, “Bukti (kekuatan) hafalan az-Zuhri adalah bahwa dia hafal al-Qur`an
dalam 80 malam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh keponakannya, Muhammad bin
Abdullah.”[157]
Imam az-Zuhri
berkata:
مَا اسْتَعَدْتُ حَدِيثًا
قَطُّ، وَلا شَكَكْتُ فِي حَدِيثٍ إِلا حَدِيثًا وَاحِدًا فَسَأَلْتُ صَاحِبِي
فَإِذَا هُوَ كَمَا حَفِظْتُ
“Aku tidak
pernah mempersiapkan hadits sama sekali. Aku tidak pernah ragu dalam suatu
hadits kecuali satu hadits saja lalu aku tanyakan kepada temanku, ternyata
hadits tersebut persis seperti yang aku hafal.”[158]
Abu Bakar
al-Hudzali berkata, “Aku duduk di majlis al-Hasan dan Ibnu Sirin, dan aku tidak
melihat seorang pun yang lebih mulia darinya,” yakni az-Zuhri.[159]
Al-Hasan
al-Bashri dan Muhammad bin Sirin masyhur dikenal sebagai ulama besar Bashrah
dan mereka lebih tua dan lebih tinggi tingkatan thabaqahnya daripada az-Zuhri.
Hanya saja ilmu adalah anugerah dan anugerah Allah diberikan-Nya kepada siapa
saja yang Dia kehendaki dan Allah pemilik karunia yang besar.
Dari Ja’far bin
Rabi’ah bahwa dia berkata, “Aku berkata kepada Irak bin Malik, ‘Orang yang
paling faqih dari penduduk Madinah dan yang paling tahu tentang sesuatu yang
telah berlalu dari urusan manusia adalah Sa’id bin al-Musayyib. Adapun yang
paling melimpah haditsnya di antara mereka adalah Urwah bin az-Zubair. Tidaklah
engkau berkehendak untuk memancarkan lautan dari Ubaidullah bin Abdullah
melainkan engkau pasti bisa memancarkannya.” Irak berkata, “Namun yang paling
berilmu di antara mereka semua menurutku adalah Ibnu Syihab, karena dia
mengumpulkan ilmu mereka semua pada ilmunya.”[160]
b. Makanan yang
Perlu Dihindari
a) Apel
Adapun makanan
yang perlu dihindari adalah buah apel. Imam az-Zuhri berkata:
التُّفَّاحُ يُورِثُ النِّسْيَانَ
“Buah apel mewarisi sifat lupa.”[161]
b) Rokok
Rokok memang
bukan makanan tetapi di masa sekarang rokok seperti makanan pokok bagi sebagian
orang. Bahkan sebagian mereka tidak ridha hanya makan 3 batang sehari tetapi 3
bungkus!!! Sehingga bibir mereka hitam legam berbau menyengat seperti aspal
yang diinjak-injak kendaraan di jalan raya!!!
Hasil penelitian
Universitas Israel menyebutkan bahwa nikotin dapat merusak sel utama otak dan
akan melekat pada gen. Artinya keturunan perokok akan mewarisi generasi yang cacak otak (bodoh).
Allahu a’lam.[]
[Sengaja[[ dikosongkan]
[Sengaja dikosongkan]
BAB III
JANGAN LUPAKAN
TUJUAN UTAMA
S
|
egala sesuatu akan terarah,
tercapai, dan sukses jika memiliki tujuan, baik urusan kecil maupun besar.
Dengan adanya tujuan inilah sesuatu memiliki kemuliaan dan keutamaan. Misalnya
manusia yang merupakan makhluk yang diciptakan Allah paling sempurna dan mulia,
karena mereka membawa tujuan mulia yakni beribadah kepada Allah ta’ala.
Seandainya manusia enggan beribadah kepada Allah, niscaya kesempurnaan dan
kemuliaannya pun sirna dan hilang, bahkan ia lebih hina daripada binatang
ternak dan bahkan lebih hina lagi. Begitu pula dalam hadits ini. Untuk itu,
perhatikanlah setiap tujuan ini agar megaproyek ini tidak membawa duka dan
sengsara di esok hari.
Berikut
pembahasan dan perinciannya.
1. Ikhlas Hanya karena Allah
Setan amat
cerdik. Amal yang agung
dan berpahala bisa digelincirkannya menjadi amal yang membinasakan lewat jalan
merusak niat. Bercita-cita menjadi al-hafizh adalah cita-cita yang mulia dan
agung, tetapi bisa membinasakan karena rusaknya niat, yaitu menghafal hadits
bukan diniatkan untuk mencari wajah Allah tetapi semata-mata agar disebut-sebut
sebagai al-hafizh.
Siapa yang
menghafal hadits dengan niat untuk menghilangkan kebodohan, menegakkan sunnah dan menyebarkannya serta mengamalkannya,
maka dia telah selamat dalam niatnya.
Allah mahabaik
dan tidak menerima amal kecuali yang baik, yaitu yang ikhlas dan ittiba’.
Setiap amal yang tidak diniatkan karena Allah, pasti akan menjadi penyesalan di
akhirat.
Allah berfirman:
ﮋ ﮘ ﮙ
ﮚ ﮛ ﮜ
ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮊ
“Dan
mereka tidak diperintah kecuali menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama yang
lurus kepada-Nya.”[162]
Muhammad
al-Hanafiyah berkata:
كُلُّ مَا لَا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللّٰهِ تَعَالَى
يَضْمَحِلُّ
Disamping
amalnya tidak diterima, Allah juga mengancamnya dan menyiapkan siksa yang pedih
baginya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ تَعَلَّمَ
عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا
لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Barangsiapa
menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah, justru dia tidak
mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dari dunia, niscaya dia tidak
akan mendapatkan bau surga pada hari Kiamat.”[164]
Syaraful Haq
Abadi berkata, “Tidak mencium bau surga menunjukan akan penegasan keharaman
surga baginya, karena siapa yang tidak mendapatkan bau sesuatu sudah pasti
tidak akan mendapatkannya. Mungkin juga maksudnya dia berhak untuk itu tetapi
tidak langsung memasukinya dan urusannya terserah Allah sebagaimana kasus para
pelaku dosa, asal meninggal di atas keimanan.”[165]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ تَعَلَّمَ
الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُجَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، وَيَصْرِفَ
بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللّٰهُ جَهَنَّمَ»
“Barangsiapa
mencari ilmu untuk berbangga-bangga di tengah ulama, mengelabui orang-orang
bodoh, dan memalingkan wajah-wajah manusia ke arahnya, niscaya Allah akan
memasukannya ke Jahanam.”[166]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ
يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ
نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى
اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ
قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ.
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ،
وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا،
قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ
فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ:
عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ
بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ.
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللّٰهُ عَلَيْهِ،
وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ
فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ
أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ
فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَّادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ»
“Manusia
pertama yang akan diadili pada hari Kiamat adalah orang mati syahid. Lalu dia
didatangkan lalu diberitakan akan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya
lalu dia pun mengakuinya. Allah berfirman, ‘Untuk apa kamu gunakan
nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang di jalan-Mu hingga
terbunuh syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu bohong! Bahkan kamu berperang
supaya disebut sang pemberani, sungguh telah disebut.’
Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya hingga dilempar ke
neraka.
Dan
seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan membaca al-Qur`an. Lalu
dia didatangkan lalu diberitakan akan nikmat-nikmat yang telah diberikan
kepadanya lalu dia pun mengakuinya. Allah berfirman, ‘Untuk apa kamu gunakan
nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku belajar ilmu dan mengajarkannya serta
membaca al-Qur`an karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Kamu bohong! Bahkan kamu mempelajari
ilmu supaya disebut sang alim dan membaca al-Qur`an supaya disebut dia
qari`, sungguh telah disebut.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret di
atas wajahnya hingga dilempar ke neraka.
Dan
seseorang yang Allah luaskan rezeki baginya dan memberikannya perbendaharaan
harta yang banyak. Lalu dia didatangkan lalu diberitakan akan nikmat-nikmat
yang telah diberikan kepadanya lalu dia pun mengakuinya. Allah berfirman,
‘Untuk apa kamu gunakan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku
tinggalkan jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq di sana melainkan aku berinfaq
karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Kamu bohong! Bahkan kamu berinfaq supaya disebut sang
dermawan, sungguh telah disebut.’ Kemudian diperintahkan agar
dia diseret di atas wajahnya hingga dilempar ke neraka.”[167]
Dalam riwayat
at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim ada tambahan:
«يَا أَبَا هُرَيْرَةَ!
أُولَئِكَ الثَّلَاثَةُ أَوَّلُ خَلْقِ اللّٰهِ تُسَعَّرُ بِهِمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Wahai
Abu Hurairah! Mereka bertiga
adalah makhluk pertama yang neraka disulut untuk mereka pada hari Kiamat.”
Imam an-Nawawi
berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang
berperang, orang alim, dan orang dermawan berserta hukuman bagi mereka atas
perbuatannya beramal untuk selain Allah dan dimasukannya mereka ke dalam
neraka, adalah dalil atas beratnya keharaman riya` dan kerasnya siksa-Nya serta
dorongan untuk ikhlas dalam semua amal, sebagaimana firman Allah, ‘Dan
mereka tidak diperintah kecuali menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama yang
lurus kepada-Nya.’ Di dalam hadits ini juga terdapat penjelasan bahwa
dalil-dalil umum tentang keutamaan jihad hanya diperuntukan bagi siapa yang
beramal ikhlas karena Allah, begitu pula pujian bagi para ulama dan bagi para
munfiqin (orang-orang yang berinfaq) dalam segala kebaikan. Semuanya khusus
bagi siapa yang melakukan hal tersebut ikhlas karena Allah ta’ala.”[168]
Bagaimana
caranya agar bisa ikhlas karena Allah dalam menuntut ilmu? Ibnu Jama’ah
al-Kinani menjawab, “Niat yang baik dalam menuntut ilmu adalah bila bertujuan
untuk mencari keridhaan Allah, untuk mengamalkannya, untuk menghidupkan
syariat, untuk menyinari hati, untuk membersihkan batinnya, untuk dekat dengan
Allah pada hari Kiamat, untuk mendapatkan apa yang dipersiapkan bagi pemilik
ilmu berupa keridhaan Allah dan keagungan ilmu. Dia tidak belajar untuk
tujuan-tujuan duniawi seperti mendapatkan jabatan, kehormatan, harta, dan
berbangga-bangga di hadapan kawan atau untuk mendapatkan pujian teman dan
penghormatan di majlis dan lainnya.”[169]
Bagaimana cara
mendidik jiwa agar terbiasa ikhlas karena Allah? Ibnul Qayyim menjawab, “Tidak
akan berkumpul di dalam hati keikhlasan dan keinginan untuk dipuji dan
disanjung, juga kerakusan dengan apa yang ada pada orang lain, kecuali seperti
berkumpulnya air dan api. Apabila Anda bertekad untuk ikhlas, maka pertama kali
datangilah sifat rakus (terhadap pujian dan harta manusia) dan sembelihlah ia
dengan pisau keputus-asaan. Berlakulah kasar terhadap pujian dan sanjungan, dan
bersikaplah merasa tidak butuh sebagaimana
yang dilakukan para pecinta dunia terhadap akhirat. Apabila Anda
menyembelih ketamakan
dan merasa tidak perlu pujian dan sanjungan, maka akan mudah bagi Anda untuk
ikhlas.
Jika Anda
bertanya, ‘Apa yang membantu saya untuk menyembelih ketamakan serta pujian dan
sanjungan manusia?’ Saya jawab, ‘Adapun yang bisa membantu Anda menyembelih
ketamakan adalah keyakinan Anda bahwa tidak ada yang pantas ditamaki karena
gudang kekayaan ada di tangan Allah. Adapun menyembelih pujian dan sanjungan
adalah dengan meyakini bahwa tidak ada pujian dan sanjungan yang bermanfaat
serta cacian yang membahayakan kecuali dari Allah.’”[170]
Ilmu adalah
hibah dari Allah dan tidak diberikan kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang
ikhlas. Sebab mereka yang berhak membawa kemuliaan yang agung ini. Merekalah
yang memiliki keahlian untuk menyebarkannya, mendakwahkannya, dan
mengamalkannya.
Imam
asy-Syaukani berkata, “Niat yang baik dan ikhlas dalam amal sangat berpengaruh
dalam menghafal ilmu, memahami, dan bersemangat mencarinya.”[]
2.
Mengamalkan Ilmu
Menjadi hafizh
bukanlah segala-galanya, tetapi yang segala-galanya adalah mengamalkan apa yang
telah diketahui dan dihafal. Tujuan dari ilmu adalah untuk diamalkan dan karena hal ini ilmu dipuji.
Maka jika ilmu tidak diamalkan, ia sama saja dengan kebodohan bahkan lebih
hina. Sebab mempertanggungjawabkan hisab untuk kesalahan yang tidak diketahui
lebih ringan daripada kesalahan yang telah diketahui.
Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) berkata:
إِنَّمَا يُطْلَبُ الْعِلْمُ لِيُتَّقَى اللّٰهَ بِهِ
فَمِنْ ثَمَّ فُضِّلَ، فَلَوْلَا ذَلِكَ لَكَانَ كَسَائِرِ الْأَشْيَاءِ
“Sesungguhnya ilmu itu dicari untuk menunjang ketaqwaan kepada
Allah dan dari situlah dia memiliki keutamaan. Jika bukan karena hal itu,
niscaya ia akan sama seperti yang lainnya.”[171]
Ilmu dicari untuk digunakan beribadah
kepada Allah, karena Allah murka bila diibadahi tanpa ilmu, buktinya Allah
murka kepada kaum Nashrani dan menyebut mereka sebagai kaum yang sesat. Di sisi
lain, Allah juga murka kepada kaum yang memiliki ilmu tetapi tidak diamalkan,
buktinya Allah murka kepada kaum Yahudi dan menyebut mereka sebagai kaum yang
dimurkai.
Allah berfirman:
ﮋ ﮣ ﮤ ﮥ
ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬ
ﮭ ﮮ ﮯ ﮊ
“Apakah kalian hendak memerintahkan
kebaikan kepada manusia tetapi kalian sendiri melupakan diri-diri kalian, padahal
kalian membaca al-Kitab? Apakah kalian tidak berakal???”[172]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ
الْخَيْرَ ويَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ ويَحْرِقُ نَفْسَهُ»
“Perumpamaan orang alim yang mengajari
manusia kebaikan tetapi melupakan dirinya seperti lilin yang menerangi manusia
tetapi membakar dirinya.”[173]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى
فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ
بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ! مَا
شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟
قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ
وَآتِيهِ»
“Akan didatangkan seseorang pada hari
Kiamat lalu dilempar ke neraka lalu usus-ususnya keluar berceceran di neraka. Dia
berputar-putar seperti putaran keledai di tempat penggilingan. Kemudian
penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya, ‘Wahai fulan, apa yang terjadi
padamu? Bukankah dahulu kamu memerintah kami yang ma’ruf dan melarang kami yang
mungkar?’ Dia menjawab, ‘Dulu memang aku memerintahkan kalian yang ma’ruf
tetapi aku sendiri tidak melaksanakannya, dan aku melarang kalian yang mungkar
tetapi aku sendiri melanggarnya.’”[174]
Wahab bin Munabbih berkata:
قَرَأْتُ فِي بَعْضِ الْكُتُبِ: «ابْنَ آدَمَ، لَا
خَيْرَ لَكَ فِي أَنْ تَعْلَمَ مَا لَا تَعْلَمُ وَلَمْ تَعْمَلْ بِمَا عَلِمْتَ، فَإِنَّ
مَثَلَ ذَلِكَ كَرَجُلٍ احْتَطَبَ حَطَبًا فَحَزَمَ حُزْمَةً فَذَهَبَ يَحْمِلُهَا
فَعَجَزَ عَنْهَا، فَضَمَّ إِلَيْهَا أُخْرَى»
“Aku membaca di sebagian kitab: Hai anak Adam! Tidak ada
kebaikan bagimu mempelajari apa yang tidak kamu ketahui dan tidak mengamalkan
apa yang kamu ketahui. Perumpamaan itu seperti seseorang yang mengumpulkan kayu
bakar lalu mengikatnya lalu dipikulnya dengan kepayahan, tetapi justru ditambah
jumlahnya dengan kayu
lain.”[175]
Jika umur habis untuk menulis dan
menghafal hadits, lantas kapan mengamalkannya???
Hafsh bin Humaid berkata:
سَأَلْتُ دَاوُدَ الطَّائِيَّ، عَنْ مَسْأَلَةٍ فَقَالَ
دَاوُدُ: أَلَيْسَ الْمُحَارِبُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَلْقَى الْحَرْبَ، أَلَيْسَ يَجْمَعُ
لَهُ آلَتَهُ؟ فَإِذَا أَفْنَى عُمْرَهُ فِي جَمْعِ الْآلَةِ فَمَتَى يُحَارِبُ؟ إِنَّ
الْعِلْمَ آلَةُ العَمَلِ، فَإِذَا أَفْنَى عُمْرَهُ فِيهِ فَمَتَى يَعْمَلُ؟
“Aku bertanya kepada Dawud ath-Tha`i
tentang suatu masalah lalu Dawud berkata, ‘Bukankah seorang prajurit yang
hendak pergi ke medan perang akan mengumpulkan alat-alat dan perlengkapannya?
Tetapi jika umurnya habis untuk mengumpulkan alat, lalu kapan dia berperang?
Ilmu itu sesungguhnya alat untuk beramal. Namun, jika umurnya habis untuk
menuntut ilmu, lalu kapan dia beramal?’”[176]
Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
berkata:
إِذَا كَانَ نَهَارِي نَهَارَ سَفِيهٍ وَلَيْلِي لَيْلَ
جَاهِلٍ، فَمَا أَصْنَعُ بِالْعِلْمِ الَّذِي كَتَبْتُ؟
“Jika siang hariku adalah siang harinya orang idiot dan malam
hariku adalah malam harinya orang jahil, lantas apa yang telah kuamalkan dengan
ilmu yang telah aku tulis?”[177]
Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
berkata:
لَيْسَ الْعَاقِلُ الَّذِي يَعْرِفُ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ،
إِنَّمَا الْعَاقِلُ الَّذِي إِذَا رَأَى الْخَيْرَ اتَّبَعَهُ وَإِذَا رَأَى الشَّرَّ
اجْتَنَبَهُ
“Orang berakal bukanlah yang mengetahui kebaikan dan keburukan,
tetapi orang berakal adalah yang melihat kebaikan lalu mengikutinya dan apabila
melihat keburukan dijauhinya.”[178]
Malik bin Dinar (w. 130 H) berkata:
إِذَا تَعَلَّمَ الْعَبْدُ الْعِلْمَ لِيَعْمَلَ بِهِ
كَسَرَهُ عِلْمُهُ وَإِذَا تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ الْعَمَلِ بِهِ زَادَهُ فَخْرًا
“Apabila seorang hamba mempelajari ilmu untuk diamalkan, maka
ilmunya akan melunakkannya. Apabila dia mempelajari ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmunya
akan menambah kesombongannya.”[179]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata, “Saya
menemukan diri bersemangat untuk belajar, sehingga ilmu memberikan saya
segalanya. Tetapi saya mendapatkan diri saya hanya sibuk dengan belajar ilmu,
maka saya berteriak, ‘Apa manfaatnya ilmu bagi dirimu? Di mana rasa takut,
khawatir, dan kesadaranmu? Tidakkah kamu mendengar kabar orang-orang terbaik
dalam ibadah dan tahajjud mereka? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang merupakan penghulu semuanya melaksanakan shalat malam hingga bengkak
kakinya? Bukankah Abu Bakar banyak bersedih dan sering menangis? Bukankah ada
dua garis di pipi Umar bekas air mata? Bukankah Utsman mengkhatamkan al-Qur`an
dalam satu rakaat? Bukankah Ali menangis semalaman di mihrabnya hingga
jenggotnya basah sambil berkata, ‘Wahai dunia, godalah selain diriku!’ Bukankah
al-Hasan al-Bashri hidup dengan makanan khasyyatullah? Bukankah Sa’id
bin al-Musayyib selalu ke masjid dan tidak pernah tertinggal shalat jamaahnya
selama 40 tahun? Bukankah putri ar-Rabi’ bin Khaitsam berkata kepada ayahnya,
‘Saya melihat orang lain tidur, sementara Ayah tidak pernah tidur?’ Ar-Rabi’
menjawab, ‘Karena Ayahmu takut adzab yang turun secara tiba-tiba.’ Bukankah Abu
Muslim al-Khaulani menggantungkan cemeti di masjid untuk memukul dirinya
apabila malas beribadah? Bukankah Yazid ar-Raqqasy puasa selama 40 tahun tetapi
berkata, ‘Alangkah ruginya, aku sudah didahului oleh ahli ibadah yang lain dan
tidak bisa mengikuti mereka.’ Bukankah Manshur bin al-Mu’tamir juga berpuasa
sunnah selama 40 tahun? Tidakkah kamu mendengar cerita kezuhudan keempat Imam:
Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad? Berhati-hatilah hanya terpaku pada
ilmu tetapi tidak mengamalkannya, karena demikian keadaan pemalas yang
berbahaya.”[180]
Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan
Imam al-Bukhari adalah teladan dalam mengamalkan hadits-hadits yang mereka
hafal.
Imam Ahmad berkata, “Tidaklah aku
menulis satu hadits pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melainkan aku mengamalkannya, hingga aku menjumpai hadits bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berbekam dan memberi satu dinar kepada Abu Thaybah, maka
aku pun berbekam dan memberinya satu dinar.”[181]
Meskipun memanah bukan keahlian
khusus para ulama, tetapi karena sunnah telah menyebutkannya, maka Imam
al-Bukhari pergi ke lapangan untuk berlatih memanah. Di antara bukti kemahirannya
dalam memanah, dia tidak keliru dalam membidik sasaran.[182] Begitu pula dengan Imam asy-Syafi’i.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata, “Saya
bertemu dengan para masyayikh dalam keadaan berbeda-beda. Mereka tidak sama
dalam keilmuan. Yang paling banyak memberikan manfaat kepadaku dari
persahabatanku dengan mereka adalah yang paling banyak mengamalkan ilmunya,
sekalipun yang lain lebih alim darinya.
Saya bertemu dengan sekelompok ulama
hadits. Mereka banyak menghafal dan pandai, tetapi terkadang melakukan ghibah dengan
alasan jarh wa ta’dil. Mereka segera menjawab agar tidak hilang
kewibawaannya, sekalipun jatuh pada kesalahan.
Saya bertemu dengan Abdul Wahhab
al-Anmathi. Beliau mengikuti ajaran salaf. Saya tidak pernah mendengar di
majlisnya ada ghibah. Beliau juga tidak meminta imbalan selama mengajarkan
hadits. Apabila saya membacakan kepadanya hadits-hadits raqa’iq (tentang
kelembutan hati), beliau menangis terus-menerus. Waktu itu saya masih kecil
tetapi tangis beliau itu sangat berpengaruh dalam hati saya dan membangun
prinsip-prinsip adab dalam diriku. Beliau memiliki sifat-sifat sebagaimana para
masyayikh yang kami ketahui sifat-sifat mereka dari sejarah.
Saya bertemu dengan Syaikh Abu
Manshur al-Jawaliqi. Beliau banyak diam dan sangat menjaga perkataannya dengan hati-hati dan klarifikasi.
Terkadang beliau ditanya tentang suatu masalah yang sangat jelas dan segera
bisa dijawab oleh sebagian muridnya, tetapi beliau berhenti hingga yakin akan
jawabannya. Beliau banyak berpuasa dan diam.
Saya banyak mengambil pelajaran dari
kedua orang ini melebihi orang-orang selainnya. Dari mereka saya memahami bahwa
dalam dalil perbuatan lebih bisa memberi petunjuk daripada dalil perkataan.
Demi Allah, hendaklah kalian beramal dengan ilmu, karena itulah landasan yang
agung. Seorang yang menderita adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk
belajar ilmu tetapi tidak mengamalkannya. Dia telah kehilangan kelezatan dunia
sekaligus kenikmatan akhirat. Dia akan datang dalam keadaan bangkrut, sementara
kuatnya hujjah siap menyerangnya.”[183][]
3. Mengajar dan Berdakwah
Bayangkanlah bahwa ketika Anda telah
meninggal yang dengan itu Anda tidak bisa lagi menambah amal ibadah, tetapi
tiba-tiba ada kiriman bonus pahala dari Allah. Itulah pahala ilmu yang
disebarkan yang pahalanya terus mengalir meskipun kita telah meninggal.
Allah berfirman:
ﮋ ﯢ ﯣ
ﯤ ﯥﯦ ﮊ
Sa’id bin Jubair (w. 95 H) berkata
saat menjelaskan makna ayat ini:
مَا سَنُّوا مِنْ سُنَّةٍ فَعَمِلُوا بِهَا مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمْ
Ilmu yang mereka ajarkan dan kitab
yang mereka tinggalkan adalah sebaik-baik jejak yang mereka tinggalkan, karena
jejak ini dibutuhkan oleh setiap manusia sampai akhir zaman, oleh karena itu
pahala para nabi dan rasul alaihimus salam melimpah ruah, begitu pula
pewaris mereka dari kalangan para ulama, ahli ilmu, dan para da’i yang ikhlas
mengajak kepada jalan Allah. Inilah sebesar-besar kesibukan yang tidak ada
bandingannya.
Syaikh as-Sa’di (w. 1376 H) berkata,
“Setiap kebaikan yang dikerjakan manusia yang disebabkan ilmu seseorang,
pengajarannya, nasihatnya, perintahnya yang ma’ruf dan larangannya yang
mungkar, ilmu dakwah bagi para pelajar, kitab-kitabnya yang dimanfaatkan saat
hidup dan wafatnya, atau amal shalih berupa shalat, zakat, sedekah, dan berbuat
baik yang ditiru oleh orang lain, atau membangun masjid, atau tempat-tempat
lain yang bermanfaat bagi manusia, serta apa yang menyerupai itu semua, maka
itu semua adalah jejak yang akan ditulis dalam kebaikannya.”[186]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ
مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا»
“Barangsiapa yang mengajak kepada
petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.”[187]
Allah telah menunjukkan kepada kita
akan kelembutan dan kemurahannya. Orang yang rugi adalah orang yang diberi
Allah ilmu dan hadits yang melimpah tetapi pelit menyedekahkannya. Justru
dengan menyedekahkannya, ilmunya akan bertambah, beda dengan harta yang terus
berkurang.
Allah mengancam mereka dengan neraka
siapa yang menyembunyikan ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ
اللّٰهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu
ilmu lalu menyembunyikannya, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian dari
api neraka pada hari Kiamat.”[188]
Cukuplah menjadi kemuliaan da’i saat
Allah menjadikan para nabi dan rasulnya sebagai da’i yang menyampaikan risalah
Allah untuk umat manusia. Allah secara terang-terangan menjadikan sebaik-baik
rasul-Nya sebagai da’i:
ﮋ ﭛ ﭜ
ﭝ ﭞ ﭟ
ﭠ ﭡ ﭢ
ﭣ ﭤ ﭥ
ﭦ ﭧ ﭨ
ﭩ ﮊ
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah
mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan da’i
kepada Allah dengan izin-Nya serta lentera yang benderang.”[189]
Allah juga berfirman:
ﮋ ﭼ ﭽ
ﭾ ﭿ ﮀ
ﮁ ﮂ ﮃ
ﮄ ﮅ ﮆ
ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ
“Dan siapakah yang lebih baik
ucapannya selain orang yang mengajak kepada Allah dan beramal shalih serta
mengatakan, ‘Sungguh aku termasuk orang-orang muslim.’?”[190]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»
Jadikan di antara agenda hidup Anda
adalah berdakwah untuk mendulang pahala yang melimpah di hari tidak berguna
lagi harta dan kedudukan. Jika memungkinkan, hendaklah fokus menuntut ilmu
hingga umur 40 tahun, kemudian fokus berdakwah hingga umur 50 tahun, kemudian
di sisa umur fokus beribadah dan mengarang kitab. Allahul muwaffiq.[]
[Sengaja dikosongkan]
[Sengaja dikosongkan]
BAB IV
ANTARA AHLI
HADITS DAN AHLI DUNIA
A
|
da hubungan erat antara ahli
hadits dan ahli dunia. Pasalnya, kebanyakan ahli dunia --karena sudah asyik dan
terbuai dengan kenikmatan dunia-- tidak lagi butuh untuk mendalami hadits.
Sebaliknya, para ahli hadits kebanyakan adalah orang-orang yang menghinakan
dunia dan zuhud terhadapnya. Dari sini seolah-olah mereka tidak akan pernah
bertemu meskipun di persimpangan jalan. Seolah-olah mereka hanya diberi satu
pilihan: menjadi ahli hadits atau ahli dunia? Mana yang lebih mulia dan
menguntungkan?
1. Mana yang Lebih Mulia?
Allah berfirman:
ﮋ ﯞ ﯟ
ﯠ ﯡ ﯢ
ﯣ ﯤ ﮊ
Akal yang sehat akan menyatakan
dengan tegas bahwa ahli hadits lebih utama daripada ahli dunia. Sayangnya,
kenyataan berbicara lain. Fakta yang ada membuktikan bahwa perguruan tinggi
teknik dan umum dibanjiri pendaftar daripada jurusan agama, mall dan pasar
lebih padat daripada majlis ta’lim, kebanyakan pembicaraan manusia seputar dunia bukan
akhirat, dan para pelaku dosa laksana buih di lautan sementara para pengikut
sunnah laksana musafir di padang pasir.
Mereka menyangka bahwa kemuliaan dan
kebahagiaan itu ada pada dunia dan mengekor kaum kafir. Mereka telah ditipu
oleh setan. Setan membungkus kehinaan itu dengan seindah-indahnya hingga
kehinaan tampak sebagai kemuliaan, padahal tipu daya setan itu lemah. Adapun orang-orang
mukmin tidak akan tertipu karena melihat dengan mata hati yang bersinar karena
cahaya keimanan.
Allah berfirman:
ﮋ ﯞ ﯟ
ﯠ ﯡ ﯢ
ﯣ ﯤ ﯥ ﮊ
Az-Zujaj menafsirkan:
أَيَبْتَغِي الْمُنَافِقُوْنَ عِنْدَ الْكَافِرِيْنَ العِزَّةَ؟
Banyak ayat al-Qur`an yang memuji
ilmu dan ahlinya, tetapi tidak untuk dunia dan ahlinya meskipun sekali. Justru
yang ada adalah
celaan dan ancaman. Sifat-sifat buruk mengelilingi dunia dan ahlinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
«لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ
لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ
اللّٰهُ عَلَى مَنْ تَابَ»
“Seandainya anak Adam memiliki dua
lembah harta, niscaya dia menginginkan yang ketiga. Perut anak Adam tidak akan
penuh kecuali dengan tanah. Allah menerima tobat bagi siapa yang bertobat.”[195]
Seandainya kemuliaan itu milik ahli
dunia, tentu Fir’aun, Qarun, dan Hamam lebih mulia daripada Musa dan Harun ‘alahimas
salam. Dari sini telah nampak akan kemuliaan ahli hadits daripada ahli
dunia.
Kekayaan berapapun yang dimiliki ahli
dunia akan segera sirna karena dikelola tanpa ilmu atau berkurang karena
dibelanjakan. Kekayaan tidak menambah kebahagiaan mereka tetapi justru
menimbulkan hati mereka tidak tentram karena khawatir hilang atau dicuri.
Kekayaan mengkhianati ahli dunia karena mereka telah menyerahkan seluruh
hidupnya untuk mencarinya tetapi ketika saat-saat sendirian di alam kubur ia
justru meninggalkannya.
Adapun ahli hadits akan bertambah haditsnya
saat dibelanjakan di jalan Allah. Hatinya tentram karena mendapat penjagaan dan
bimbingan ilmu yang senantiasa menyertainya di dalam hatinya.
Mereka mendapat kedudukan tinggi di
sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik di dunia maupun di
akhirat. Di dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan
para shahabatnya untuk menyambut dan memuliakan para pendatang yang ingin
belajar hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
bersabda:
«سَيَأْتِيكُمْ أَقْوَامٌ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ،
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَقُولُوا لَهُمْ: مَرْحَبًا مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُولِ
اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ! وَاقْنُوهُمْ»
“Akan datang kepada kalian suatu kaum
untuk menuntut ilmu. Jika kalian melihat mereka maka ucapkanlah, ‘Selamat
datang, selamat datang dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’
Dan ajarilah mereka.”[196]
Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) berkata:
الْمَلَائِكَةُ حُرَّاسُ السَّمَاءِ، وَأَصْحَابُ
الْحَدِيثِ حُرَّاسُ الْأَرْضِ
Di akhirat, tempat duduknya paling
dekat dengan tempat duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda:
«إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلَاةً»
“Sesungguhnya manusia yang paling
berhak atasku pada hari Kiamat adalah yang paling banyak membaca shalawat
kepadaku.”[198]
Hadits ini menunjukan kedekatan ahli
hadits dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat kelak,
karena mereka adalah orang-orang yang paling banyak bershalawat kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nama para perawi senantiasa bersanding dengan nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik saat diriwayatkan,
ditulis, dan didengarkan.
Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:
إِذَا رَأَيْتَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ
كَأَنِّي رَأَيْتُ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apabila aku melihat seorang dari
para ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari para shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”[199]
Cukuplah kemuliaan ahli hadits bila
pada hari Kiamat nanti berada di iring-iringan rombongan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman:
ﮋ ﮡ ﮢ
ﮣ ﮤ ﮥﮦ ﮊ
Sebagian kaum salaf berkata:
هَذَا أَكْبَرُ شَرَفٍ لِأَصْحَابِ الْحَدِيثِ، لِأَنَّ
إِمَامَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ini adalah sebesar-besar kemuliaan bagi para ahli hadits, karena imam
mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[201][]
2. Jangan Ragu Menjadi Ahli Hadits
Hidup hanya sekali maka hiduplah yang
berarti. Apapun kesibukan seseorang, hal itu tidak menghalanginya untuk menjadi
ahli hadits. Meskipun dia kuliah di perguruan tinggi umum atau teknik karena
desakan orang tuanya, meskipun dia sibuk bisnis karena tuntutan hutang dan
keluarga, meskipun dia orang miskin yang melarat tidak memiliki bekal, meskipun
dia cacat tidak bisa bergerak bebas. Sebab ilmu adalah hibah dari Allah dan
akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah-lah pemilik
karunia yang agung.
Jika ada seseorang yang memiliki
keinginan kuat belajar ilmu syar’i sementara orang tua dan biaya mendukung,
maka jangan sia-siakan umurnya untuk mempelajari dunia dan meninggalkan ilmu syar’i, tetapi
pilihlah dunia ilmu syar’i. Sebab, di sana banyak saudara kita yang kuat
keinginannya untuk mendalami agama tetapi situasi, kondisi, lingkungan, orang
tua, atau keluarga menghalangi-halangi dan menghambat mereka.
Ingatlah apa yang telah Allah
persiapkan untuk para ahli hadits agar hati kita tentram dan tidak goyah karena
hembusan bisikan setan.
Dari Jarir, dia berkata, “Aku melihat
al-A’masy dalam mimpi setelah kematiannya, maka aku bertanya kepadanya, ‘Wahai
Abu Muhammad, bagaimana keadaan kalian?’ Dia menjawab, ‘Kami selamat berkat
ampunan Allah. Alhamdulillahi rabbil ‘âlamîn.’”[202]
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin
al-Mubarak membuka kedua matanya ketika hendak meninggal lalu tertawa seraya
membaca:
ﮋ ﮇ ﮈ
ﮉ ﮊ ﮋ ﮊ
Dari al-Hasan bin Imran bin Uyainah
bin Abu Imran putra saudara Sufyan bin Uyainah, dia bercerita, “Aku berhaji
bersama pamanku Sufyan bin Uyainah pada akhir haji yang dilakukannya pada 197
H. Ketika kami berada di Jam’ (Muzdalifah), dan dia telah selesai shalat, maka
dia tidur di atas tidurnya. Kemudian dia berkata, “Aku telah menempati tempat
ini selama 70 tahun, dan aku berdoa setiap tahun, ‘Ya Allah janganlah Engkau
jadikan akhir masaku di tempat ini,’ tetapi hari ini aku malu kepada Allah
karena sedemikian banyaknya aku memohon itu kepada-Nya.’ Kemudian dia pulang
lalu meninggal di tahun itu pada hari Sabtu, awal Rajab tahun 198 H dan
dimakamkan di al-Hajun.
Ali al-Madini berkata:
رَأَيْتُ خَالِدَ بنَ الحَارِثِ فِي النَّومِ، فَقُلْتُ:
مَا فَعَلَ اللّٰهُ بِكَ؟ قَالَ: غَفَرَ لِي، عَلَى أَنَّ الأَمْرَ شَدِيْدٌ.
قُلْتُ: فَمَا فَعلَ يَحْيَى القَطَّانُ؟ قَالَ: نَرَاهُ كَمَا يُرَى الكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ
فِي أُفُقِ السَّمَاءِ
“Aku bermimpi bertemu dengan Khalid bin al-Harits, lalu aku
bertanya kepadanya, ‘Apa yang telah diperbuat Allah terhadapmu?’ Dia menjawab,
‘Dia mengampuniku, tetapi perkaranya sangat berat.’ Aku bertanya lagi, ‘Apa
yang dilakukan Yahya al-Qaththan?’ Dia menjawab, ‘Kami melihatnya sebagaimana
bintang yang bersinar dilihat di langit.’”[206]
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Aku
bermimpi bahwa Adam meninggal lalu jenazahnya diusung oleh orang-orang. Pada
pagi harinya aku tanyakan kepada ahli ilmu mengenai mimpi itu, lalu dia
menjawab, ‘Ini adalah kematian orang paling berilmu dari penduduk bumi, karena
Allah telah mengajari Adam semua nama (ilmu).’ Tidak lama kemudian Imam
asy-Syafi’i meninggal, semoga Allah merahmatinya.”[207]
Dari Abu Rafi’, anak dari putri Yazid
bin Harun, dia berkata, “Aku berada di sisi Ahmad bin Hanbal, dan saat itu di
sisinya ada dua orang --aku mengiranya mengatakan, ada dua orang syaikh--.
Salah satu dari keduanya berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, aku melihat Yazid bin
Harun dalam mimpi, lalu aku katakan kepadanya, ‘Wahai Abu Khalid, apa yang
telah diperbuat Allah padamu?’ Dia menjawab, ‘Allah mengampuniku dan memberi
syafaat kepadaku, tetapi Dia mencelaku.’ Aku berkata, ‘Aku mengetahui Allah
mengampunimu dan memberi syafaat kepadamu, tetapi karena apa Dia mencelamu?’
Dia menjawab, ‘Allah berkata kepadaku, ‘Wahai Yazid, apakah kamu menceritakan
hadits dari Jarir bin Utsman?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, aku tidak
mengenalnya kecuali kebaikan.’ Dia berkata, ‘Wahai Yazid, sungguh dia membenci
al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.’
Abu Rafi’ melanjutkan, “Sementara
orang kedua bercerita, ‘Adapun aku pernah melihat Yazid bin Harun dalam mimpi lalu aku bertanya
kepadanya, ‘Apakah Mungkar dan Nakir telah mendatangimu?’ Dia menjawab, ‘Ya,
demi Allah. Keduanya bertanya kepadaku, ‘Siapakah Rabb-mu? Apa agamamu?’ Lalu
aku katakan, ‘Apakah orang sepertiku pantas diberi pertanyaan seperti ini,
padahal aku mengajarkan manusia tentang hal ini sewaktu di dunia???’ Keduanya
mengatakan kepadaku, ‘Kamu benar, maka tidurlah sebagaimana pengantin baru.’”[208]
Muhammad bin Yusuf al-Bukhari
berkata, “Aku dan sahabatku menunaikan haji bersama Yahya bin Ma’in. Kami
memasuki Madinah pada hari Jum’at, dan dia meninggal pada malam itu. Ketika
kami berada di pagi hari, orang-orang mendengar kedatangan Yahya dan
kematiannya, lalu mereka berkumpul dan datang pula Bani Hasyim seraya berkata,
‘Kami akan mengeluarkan papan-papan yang dahulu digunakan untuk memandikan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Namun, kebanyakan orang tidak menyukai
dan tidak setuju. Bani Hasyim berkata, ‘Kami lebih berhak dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam daripada kalian, dan dia pantas dimandikan di atasnya.’
Papan-papan pun dikeluarkan dan dia dimandikan di atasnya, serta dimakamkan
pada hari Jum’at bulan Dzulqa’dah 233 H.”
Ja’far bin Muhammad bin Kazal
berkata, “Ketika dia dinaikkan di atas papan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka seorang lelaki berseru, ‘Inilah orang yang memberantas
kedustaan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[209]
Jumlah kaum pelayat yang mengiringi
jenazah Imam Ahmad bin Hanbal melimpah ruah yang belum pernah ada sebelumnya di
masa jahiliyyah. Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Kami belum pernah mendengar
bahwa ada orang banyak berkumpul di masa jahiliyyah dan Islam seperti pada saat
pemakaman Imam Ahmad. Kami mendapat kabar bahwa yang hadir di tempat itu
dihitung secara shahih, ternyata jumlahnya sekitar satu juta, dan kami menghitung di pemakaman
ada sekitar 60.000 wanita.”[210]
Abu Nashr bin Makula berkata, “Aku
bermimpi seakan-akan aku bertanya tentang keadaan ad-Daruquthni di akhirat,
maka aku diberi jawaban, ‘Dia dipanggil Imam di surga.’”[211]
Al-Hasan bin Asy’ats al-Qurasyi
berkata, “Aku melihat al-Hakim dalam mimpi sedang menunggang kuda dalam kondisi
yang indah dan dia berkata, ‘Selamat.’ Aku bertanya, ‘Wahai Abu Abdillah,
karena apa?’ Dia menjawab, ‘Karena menulis hadits.’”[212]
Ahmad bin Yunus al-Maqdisi al-Amin
berkata, “Aku bermimpi seakan-akan aku berada di Masjid ad-Dair dan di dalamnya
terdapat beberapa orang laki-laki yang berpakaian putih-putih yang menurut
dugaanku mereka adalah para malaikat. Lalu masuklah al-Hafizh Abdul Ghani
al-Maqdisi, lalu mereka semua berseru, ‘Kami menjadikan Allah sebagai saksi
bahwa engkau termasuk golongan kanan!’ dua atau tiga kali.”[213]
Sebagian murid Ibnul Qayyim
menceritakan bahwa sebelum meninggal, Ibnul Qayyim bermimpi melihat gurunya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan bertanya kepadanya tentang kedudukannya.
Syaikhul Islam mengatakan bahwa kedudukannya melebihi kedudukan para tokoh lalu
berkata, “Kamu sebentar lagi akan menyusul kami, dan kamu berada pada tingkatan
Ibnu Khuzaimah.”
Diriwayatkan bahwa saat sakit yang
mengantarkan kematian Abu Zur’ah ar-Razi, para ahli hadits berdatangan untuk
menjenguknya. Hadir pula pada waktu itu Abu Hatim ar-Razi. Mereka memandang
bahwa Abu Zur’ah sedang sekarat, sehingga mereka ingin mengikuti sunnah dengan
mentalqinnya. Salah seorang dari mereka membaca sanadnya tetapi terputus, lalu
digantikan yang lain dengan sanadnya tetapi juga terputus. Yang lain memilih
diam, karena kewibawaan Abu Zur’ah sebagai syaikh besar. Akhirnya, berkatalah
Abu Hatim ar-Razi, ‘Telah menceritakan kepadaku fulan, dari fulan, dari fulan…’
tetapi terhenti karena lupa. Tiba-tiba terdengar suara parau, ‘Telah
mengabarkan kepadaku fulan, dari fulan, dari fulan, dari Muadz bin Jabal bahwa
dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللّٰهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah lâ ilaha illallâh,
maka dia akan masuk surga.”[214] Seketika itu Abu Zur’ah wafat.
Semoga Allah merahmati mereka semua
dan membalas jasa-jasa mereka dalam menjaga agama.[]
Penutup
M
|
asih terngiang di ingatan setahun yang lalu beberapa hari
setelah Idul Fithri 1433 H tepatnya tanggal 22 Agustus 2012, penulis memposting
di dinding FB:
Jika masih
punya umur, demi Allah! aku akan
menyusun buku MUNGKINKAH AKU HAFAL SATU JUTA HADITS SEPERTI IMAM AHMAD??? Akan
aku bawakan dalil-dalilnya dari al-Qur`an dan hadits serta atsar kaum salaf
tentangnya. Aku akan jadikan Anda ragu untuk menjawab TIDAK MUNGKIN… Insya
Allah.
Kemudian berlalulah masa setahun dan
penulis telah lupa karena kesibukan penuh di tahun tersebut. Setelah Allah
memudahkan urusan penulis, dan kembali mulai aktif kuliah maka teringat akan
postingan tersebut. Penulis khawatir kalau itu menjadi sumpah, akhirnya dengan
berat hati penulis mulai menggarap buku itu usai hari raya Idul Fithri 1434 H
dan selesai 27 Syawal 1434 H, dengan taufiq dari Allah. Walhamdulillah.
Pelajaran berharga yang penulis
dapatkan dari penggarapan buku satu juta hadits ini adalah “jangan
mudah-mudahnya bersumpah”. Bagaimana nasibnya jika umurnya tidak mencukupi
sementara sumpahnya butuh masa yang panjang dan memberatkan jiwanya??? Sungguh
telah diriwayatkan bahwa Imam al-A’masy, Imam asy-Syafi’i, dan Imam al-Bukhari
tidak pernah bersumpah dengan nama Allah meski hanya sekali baik benar maupun
dusta. Namun, penulis memuji Allah yang mengatur takdir-Nya sedemikian rupa
terhadap penulis. Walhamdulillah dan segala puji milik Allah Rab semesta alam.
Kepada para pembaca budiman, penulis
sangat senang dihubungi di eth.thulaib@gmail.com untuk menyampaikan
koreksi-koreksi atau lainnya, karena agama adalah nasihat. Penulis dengan
senang hati akan mengkajinya dan mempertimbangkannya. Semoga Allah membalas
kebaikan orang yang berbuat baik. Tidak ada balasan bagi yang berbuat baik
kecuali kebaikan pula.
ﮋ ﭘ ﭙ ﭚﭛ
ﭜ ﭝ ﭞ
ﭟ ﮊ
ﮋ ﮁ ﮂ
ﮃ ﮄ ﮅ
ﮆ ﮇﮊ
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarganya, para shahabatnya, dan para ahli hadits di
setiap zaman.[]
Surabaya, 27
Syawal 1434 H
Abu Zur’ah
ath-Thaybi
Referensi
Al-Qur`an dan Tafsirnya
1.
Mushhaf al-Qur`ân rash Utsmani cetakan Beirut.
2.
Tafsîrul Qur`ânil Adzîm (Tafsîr Ibnî Katsîr) karya Abu al-Fida Ismail bin Umar
bin Katsir al-Qurasy ad-Dimasyqi (w. 774 H), Tahqiq: Sami Muhammad Salamah,
Penerbit: Dar Tayyibah, cet. ke-2 th. 1420 H/1999 M.
3.
Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (Tafsîr Ibnul Jauzî) karya
Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Jauzi (w. 597 H), Tahqiq:
Abdurrazzaq al-Mahdi, Penerbit: Darul Kutub al-Arabi Beirut, cet. ke-1 th. 1422
H.
4.
Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (Tafsîr as-Sa’di) karya
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah as-Sa'di (w. 1376 H), Tahqiq: Abdurrahman
bin Ma'la al-Luwaihaq, Penerbit: Muassasah ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1420
H/2000 M.
Hadits dan Syarahnya
5.
Al-Jâmi’ as-Musnad ash-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri
Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanih wa Ayyamih (Shahîh
al-Bukhârî) karya
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari al-Ju’fi (w. 256 H), Tahqiq: Muhammad Zuhair bin
Nashir an-Nashir, Penerbit: Dar Thauqun Najah, cet. ke-1 th. 1422 H.
6.
Al-Musnad ash-Shahîh al-Mukhtashar Binaqlil Adli ‘anil
Adli ilâ Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Shahîh Muslim) karya Abu al-Husain Muslim bin
Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (w. 261 H), Tahqiq: Dr. Muhammad Fuad
Abdul Baqi, Penerbit: Ihyaut Turats al-Arabi Beirut, tanpa tahun.
7.
Sunan at-Tirmidzî karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi
(w. 249 H), Tahqiq:
Ahmad Muhammad Syakir dkk, Penerbit: Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir, cet.
ke-2 th. 1395 H/1975 H.
8.
Sunan Abû Dâwûd karya Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani as-Azdi
(w. 275 H), Tahqiq:
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Penerbit: Maktabah al-Ishriyyah Beirut, tanpa
tahun.
9.
Al-Mujtabâ (Sunan an-Nasâ`i) karya Abu Abdirrahman Ahmad bin
Syu’aib bin Ali an-Nasa`i (w. 303 H), Tahqiq: Abu Ghuddah Abdul Fattah, Penerbit: Maktab
al-Mathbu’at al-Islamiyah Halab cet. ke-2 th. 1406 H/1986 M.
10.
Sunan Ibnu Mâjah karya Abu Abdillah Muhammad bin Majah (nama aslinya
Yazid) al-Qazwini (w. 273 H), Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Dar Ihya`ul Kutub
al-Arabiyyah.
11.
Musnad Ahmad karya Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani (w. 241 ), Tahqiq: Syuaib al-Arnauth
dkk, Penerbit: Muassasah ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
12.
As-Sunan al-Kubrâ karya Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali
an-Nasa`i (w.
303 H), Tahqiq: Hasan Abdul Mun’im Syalabi, Penerbit: Muassasah ar-Risalah
Beirut, cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
13.
Shahîh Ibnu Khuzaimah karya Abu Bakar Muhammad bin Ishaq
bin Khuzaimah bin al-Mughirah bin Shalih bin Bakar as-Sulami an-Naisaburi (w.
311 H), Tahqiq: Dr. Musthafa al-A’dzami, Penerbit: al-Maktabah al-Islami
Beirut, cet. tanpa tahun.
14.
Shahîh Ibnu Hibbân karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin
Hibban bin Muadz bin Ma’bad at-Tamimi ad-Darimi (w. 354 H), Tahqiq: Syu’aib
al-Arna`ut, Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut, cet. ke-2 th. 1414 H/1993 H.
15.
Al-Mustadrâk alâsh Shahîhain karya Abu Abdillah al-Hakim bin
Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamadiyyah bin Tsu’aim bin al-Hakam
adh-Dhabi ath-Thahmani an-Naisaburi (nama ma’ruf Ibnul Bayyi’) (w. 405 H),
Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut,
cet. ke-1 th. 1411 H/1990 H.
16.
Ar-Raudhu ad-Dânî (al-Mu’jam ash-Shaghîr) karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad
bin Ayyub bin Muthir al-Lahmi asy-Syami ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq:
Muhammad Syakur Mahmud al-Hajj al-Amiri, Penerbit: al-Maktab al-Islami Beirut,
cet. ke-1 th. 1405 H/1985 H.
17.
Al-Mu’jam al-Ausath karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin
Muthir al-Lahmi asy-Syami ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Thariq bin
Iwadhullah bin Muhammad dan Abdul Muhsin bin Ibrahim al-Husni, Penerbit: Darul
Haramain Mesir, cet. tanpa tahun.
18.
Al-Mu’jam al-Kabîr karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin
Muthir al-Lahmi asy-Syami ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Hamdi bin Abdul
Majid as-Salafi, Penerbit: Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir, cet. ke-2 tanpa
tahun.
19.
Al-Mu’jam al-Kabîr (juz 13, 14, dan 21) karya Abul Qasim Sulaiman bin
Ahmad bin Ayyub bin Muthir al-Lahmi asy-Syami ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq:
penelitian di bawah pengawasan Dr. Sa’ad bin Abdullah al-Hamid dan Dr. Khalid
bin Abdurrahman al-Jarisi, cet. ke-1 th. 1427 H/2006 H.
20.
As-Sunan al-Kubrâ karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali
al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Muhamamd Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub
al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-3 th. 1424 H/2003 H.
21.
As-Sunan ash-Shughrâ karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali
al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Abdul Mu’thi Amin, Penerbit: Jami’atud Dirâsât
al-Islâmiyyah Pakistan, cet. ke-1 th. 1410 H/1989 H.
22.
Syu'abul Iman karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa
al-Baihaqi al-Khurasani (w. 458 H), Tahqiq: Dr. Abdul Ali Abdul Hamid Hamid,
Penerbit: Maktabah ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1423 H/2003 M.
23.
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah karya Abu Bakar Abdullah bin Abu
Syaibah al-Abasi al-Kufi (w. 235 H), Tahqiq: Kamal Yusuf al-Hut, Penerbit:
Maktabah ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1409 H.
24.
Mushannaf Abdurrazzâq karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin
Hammam ash-Shan'ani (w. 211 H), Tahqiq: Habiburrahman al-A'dhami, Penerbit:
al-Maktab al-Islami Beirut, cet. ke-2 th. 1403 H.
25.
Musnad ad-Dârimî (Sunan ad-Dârimî) karya Abu Muhammad Abdullah bin
Abdurrahman bin al-Fadhal bin Bahram bin Abdush Shamad ad-Darimi at-Tamimi
as-Samarqandi (w. 255 H), Tahqiq: Husain Salim Asad ad-Darani, Penerbit: Darul
Mughni KSA, cet. ke-1 th. 1412 H/2000 M.
26.
Al-Mustakhrâj karya Abu Awanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim an-Naisaburi
al-Isfirayaini (w. 316 H), Tahqiq: Aiman bin Arif ad-Dimasyq, Penerbit: Darul
Ma’rifah Beirut, cet. ke-1 th. 1419 H/1998 H.
27.
Sunan ad-Dâruquthnî karya Abul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi bin
Mas’ud bin Nu’man bin Dinar al-Baghdadi ad-Daruquthni (w. 385 H), Tahqiq:
Syu’aib al-Arna`uth dkk, Penerbit: Muassasah ar-Risalah Beirut, cet. ke-1 th.
1424 H/2004 H.
28.
Musnad Abû Ya’lâ karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna bin
Yahya bin Isa bin Hilal at-Tamimi al-Maushuli (w. 307 H), Tahqiq: Husain Salim
Asad, Penerbit: Darul Ma`mun lit Turâts Damaskus, cet. ke-1 th. 1404 H/1984 H.
29.
Musnad Ibnu Abî Syaibah karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad
bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasiti al-Abasi Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), Tahqiq: Adil bin Yusuf al-Azazi dan Ahmad bin
Farid al-Mazidi, Penerbit: Darul Wathan Riyadh, cet. ke-1 th. 1997 H.
30.
Musnad Abû Dâwûd ath-Thayâlisî karya Abu Dawud Sulaiman bin Dawud
bin al-Jarud ath-Thayalisi al-Bashri (w. 204 H), Tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdul
Muhsin at-Turki, Penerbit: Dar Hijr Mesir, cet. ke-1 th. 1419 H/1999 H.
31.
Al-Bahr az-Zakhkhâr (Musnad al-Bazzâr) karya Abu Bakar Ahmad bin Amr bin
Abdul Khaliq bin Khalad bin Ubaidillah al-Ataki (nama ma’ruf al-Bazzar) (w. 292
H), Tahqiq: Mahfuzhur Rahman Zainullah (juz 1-9), Adil bin Sa’ad (juz 10-17),
dan Shabari Abdul Khaliq asy-Syafi’i (juz 18), Penerbit: Maktabah al-Ulum wal
Hikam Madinah, cet. ke-1 th. 1988-2009 H.
32.
Musnad al-Humaidi karya Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair bin Isa bin
Abdillah al-Qurasyi al-Asadi al-Humaidi al-Makki (w. 219 H), Tahqiq: Hasan
Salim Asad ad-Darani, Penerbit: Darus Saqa`, cet. ke-1 th. 1996 M.
33.
Al-Ibânah al-Kubrâ karya Abu Abdillah Ubaidillah bin Muhammad bin
Muhammad bin Hamdan al-Ukbari (ma’ruf dengan nama Ibnu Baththah al-Ukbari) (w.
387 H), Tahqiq: Ridha Mu’thi dkk, Penerbit: Darur Râyah Riyadh, dicetak berkala
dari 1415 H/1994 H sampai 1426 H/2005 M sebanyak 9 jilid.
34.
Az-Zuhd wal Raqa`iq karya Abu Abdirrahman Abdullah bin al-Mubarak bin
Wadhih al-Handhali at-Turki al-Marwazi (w. 181 H), Tahqiq: Habiburrahman
al-A'dhami, tanpa tahun.
35.
At-Tauhîd wa Ma’rifatu Asmâ`illah Azza wa Jalla wa
Sifâtuhu ‘alal Ittifâq wat Tafarrudi (Kitâbut Tauhîd) karya Abu Abdillah Muhammad bin
Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah al-Abdi (w. 395 H), Tahqiq: Dr. Ali bin
Muhammad Nashir al-Faqihi, Penebit: Maktabatul Ulum wal Hikam Madinah, cet.
ke-1 th. 1423 H/2002 M.
36.
Az-Zuhd karya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal
bin Asad asy-Syaibani (w. 241 H), Hawasyiah: Muhammad Abdus Salam SYahain, Penerbit:
Darul Kutub Ilmiyyah Beirut, cet. ke-1 th. 1420 H/1999 M.
37.
As-Sunnah karya Abu Bakar Ahmad bin Amr bin adh-Dhahhak bin Makhlad
asy-Syaibani (w. 287 H), Tahqiq: Muhammad Nashiruddin al-Albani, Penerbit:
al-Maktab al-Islami, cet. ke-1 th. 1400 H.
38.
Syarafu Ashhabil Hadits karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin
Tsabit bin Mahdi al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H), Tahqiq: Dr. Muhammad Sa'id
Khathi Aughali, Penerbit: Dar Ihya`us Sunnah an-Nabawiyyah, tanpa tahun.
39.
Al-Jâmi` li Akhlâqir Râwî wa Adâbis Sâmi' karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin
Tsabit bin Ahmad bin Mahdi al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H), Tahqiq: Dr.
Mahmud ath-Thalhan, Penebit: Maktabah al-Ma'arif Riyadh, tanpa tahun.
40.
Iqtidhâ`ul Ilmi al-Amal karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin
Tsabit bin Ahmad bin Mahdi al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H), Tahqiq: Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Penerbit: al-Maktab al-Islami, cet. ke-4 th. 1397 H.
41.
Fathul Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî karya Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin
Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i (w. 852 H), Tahqiq: Abdul Aziz bin Baz, Tarqim:
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Takhrij: Muhibuddin al-Khathib, Penerbit: Darul
Ma’rifat Beirut, cet. th. 1379 H.
42.
Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim bin al-Hajjâj karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H), Penerbit: Dar Ihyâ`ut Turâts al-Arabi Beirut,
cet. ke-2 th. 1392 H.
43.
Aunul Ma'bûd karya Abu Abdirrahman Muhammad Asyraf bin Amir bin Ali bin
Hidar Syaraful Haq ash-Shadiqi al-Adhimi Abadi (w. 1329 H), Penerbit: Darul
Kutub al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-3 th. 1425 H.
44.
Syarah Arbain an-Nawawi karya Ibnu Daqiq al-Id, Darus Salam:
cet. ke-3 th. 1428 H/2007 M.
45.
Jâmi'ul Ulûm wal Hikam karya Abdurrahman bin Ahmad bin
Rajab bin al-Hasan as-Sualmi al-Baghdadi ad-Dimasyq al-Hanbali (w. 795 H),
Tahqiq: Dr. Muhammad Ahmadi Abu an-Nur, Penerbit: Darus Salam, cet. ke-3 th.
1424 H/2004 H.
Bahasa dan Kamus
46.
Mu'jam Maqâyisil Lughah karya Abu al-Hasan Ahmad bin Faris
bin Zakaria, Tahqiq: Abdul Salam Muhammad Harun, Penerbit: Darul Fikr, cet. th.
1399 H/1979 M.
47.
Lisânul Arâb karya Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri,
Penerbit: Dar Shadir Beirut, cet. ke-1.
48.
Al-Qâmûs al-Muhîth karya Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi
(w. 817 H), Tahqiq: Muhammad Nu’aim al-Arqasusi dkk, Penerbit: Muassasah
ar-Risalah Beirut, cet. ke-8 th. 1426 H/2005 M.
49.
Al-Mu'jam al-Wasîth karya Ibrahim Musthafa dkk, Tahqiq: Majma' al-Lughah
al-Arabiyyah, Penerbit: Darud Da'wah, tanpa tahun.
Sejarah dan Biografi
50.
Siyar A'lâmin Nubalâ` karya Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad bin Ustman adz-Dzahabi (w. 748 H), Tahqiq: Syu'aib al-Arna`uth dkk,
Penerbit: Muassasah ar-Risalah, cet. ke-3 th. 1405 H/1985 M.
51.
Hilyâtul Auliyâ` wa Thabaqâtul Ashfiyâ` karya Abu Nu'aim Ahmad bin Abdillah
al-Ashfahani (w. 430 H), Penerbit: Darus Sa’âdah, cet. th. 1394 H/1974 M.
52.
Wafayâtul A'yân wa Abnâ Abnâ az-Zamân karya Syamsyuddin Abu al-Abbas
Ahmad bin Muhammad bin Khallikan (w. 681
H), Tahqiq: Ihsan Abbas, Penerbit: Dar Shadir Beirut, dicetak berkala dari th.
1900 M sampai 1994 dalam 7 jilid.
53.
Mu'jamul Udabâ` karya Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah ar-Rumi al-Hamawi (w.
626 H), Tahqiq: Ihsan Abbas, Penerbit: Darul Gharb al-Islami Beirut, cet. ke-1
th. 1414 H/1993 H
54. Al-A'lân karya Khairuddin bin Mahmud bin
Muhammad bin Ali bin Faris az-Zarkali ad-Dimasyqi (w. 1396 H), Penerbit: Darul
Ilmi, cet. ke-15 th. 2002.
Lain-Lain
55.
Al-Hatstsu ‘ala Hifzhil Ilmi wa Tadzkiratul Huffâdz karya Ibnul Jauzi (w. 597 H),
Tahqiq: Prof. Dr. Fu’ad Abdul Mun’im, Penerbit: Muassasah Syababul Jami’ah
Iskandariyah, cet. 2 th. 1412.
56.
Az-Zuhd Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Ahmad bin
Hilal bin Asad asy-Syaibani (w. 241 H), Hawasyi: Muhammad Abdus Salam Syahin,
Penerbit: Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-1 th. 1420 H/1999 M.
57.
Iqtidhâ` ash-Shirâth al-Mustaqim li Mukhâlifati
Ashhâbil Jahîm karya
Abu al-Abbas bin Taimiyyah (w. 728 H), Tahqiq: Dr. Nashir Abdul Karim al-Aql,
Penerbit: Maktabah ar-Rusyd Riyadh.
58.
Huqûqû Alil Bait karya Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam
bin Abdullah bin Abul Qasim bin Muhammad bin Taimiyyah al-Harani al-Hanbali
ad-Dimasyqi (w. 728 H), Tahqiq: Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub
al-Ilmiyyah Beirut, cet. tanpa tahun.
59.
`Ilâmul Muwaqqi’în ‘an Rabbil ‘Alamîn karya Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Ibnul
Qayyim al-Jauziyyah (w.
751 H), Tahqiq: Muhammad Abdus Salam Ibrahim, Penerbit: Darul Kutub al-Ilmiyyah
Beirut, cet. ke-1 th. 1411 H/1991 H.
60.
Ar-Risâlah karya Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (w. 204
H), Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Penerbit: Darul Kutub al-Ilmiyyah.
61.
Al-Faqîh wal Mutafaqqih karya Abu Bakar bin Ahmad bin Ali bin
Tsabit bin Ahmad bin Mahdi al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H), Tahqiq: Abu
Abdirrahman Adil bin Yusuf al-Gharazi, Penerbit: Dar Ibnul Jauzi, cet. ke-2 th.
1421 H.
62.
Muqaddimah al-Jazariyyah karya Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Jazari (w. 833 H), Tahqiq: Dr. Aiman Rusydi Suwaid, Penerbit: Dar
Nurul Maktabat Jeddah, cet. ke-5 th. 1430 H/2009 M.
63. Al-Mahmudûn
min asy-Syu'ara` wa Asy'ârihim karya Abu al-Hasan Ali bin Yusuf al-Qifthi (w. 646 H),
Tahqiq: Hasan Ma'mari, Penerbit: Darul Yamamah, cet. th. 1390 H/1970 M.[]
Catatan
............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................[]
[1] Budak yang telah
dimerdekakan.
[2] Shahih: HR.
Muslim (no. 817), Ibnu Majah (no. 218), Ahmad (no. 232), Ibnu Hibban (no. 772)
dalam Shahihnya, ad-Darimi (no. 3408) dalam Sunannya, Abu Ya’la
(no. 211) dalam Musnadnya, al-Bazzar (no. 249) dalam Musnadnya,
dan Abu Awanah (no. 3762) dalam al-Mustakhraj.
كُلُّ
مَا مَشَى عَلَى الْأَرْضِ فَهُوَ دَابَّةٌ
“Segala sesuatu yang berjalan di atas bumi
adalah dabbah.” [Mu’jam Maqâyisil Lughah (II/263)]
[6] Tafsîr Ibnu Katsîr (I/223-224).
[7] Al-Hatstsu âla Hifzhil Ilmi wa Dzikru Kibâril Huffâzh (hal. 91) oleh Ibnul Jauzi.
[9] Al-Jâmi` li
Akhlâqir Râwî (no. 3, I/77) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[10] Lihat Manaqib
Imam Ahmad oleh Ibnul Jauzi.
[11] Al-Jâmi` li
Akhlâqir Râwî (no. 2) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[12] Ibid (no.
1525).
[13] Lihat Ibid (IV/255).
[14] Al-Mu’jam
al-Wasîth (I/185) oleh Ibrahim Musthafa dkk.
[18] Ibid (hal. 74).
[19] Ibid (hal. 59).
[26] Jumlah 200.000 ini
adalah jumlah hafalannya yang sangat mutqin. Sebenarnya jumlah hafalan Abu
Zur’ah adalah 600.000 hadits dan ini atas persaksian Imam Ahmad bin Hanbal. Abu
Zur’ah adalah guru utama Imam Muslim dan memiliki kedudukan mulia di sisinya
sehingga usai mengarang kisab Shahihnya diberikannya kitab itu kepada
Abu Zur’ah untuk dikoreksi.
[32] Ibid (hal. 57).
[33] Siyar A’lâmin Nubalâ` (XVI/454)
oleh adz-Dzahabi.
[34] Al-Hatstsu ‘alâ
Hifzhil Ilmi (hal. 103) oleh Ibnul Jauzi.
[35] Ibid (hal. 65).
[36] Ibid (hal. 57).
[37] Lihat Hilyatul
Auliyâ` (IV/325-326) oleh Abu Nu’aim.
[38] Ibid (hal. 89).
[39] Siyar ‘Alamin
Nubalâ` (IV/301) oleh adz-Dzahabi.
[40] Al-Hatstsu
(hal. 53-54) oleh Ibnul Jauzi.
[41] Ibid (hal. 53).
[42] Ibid (hal. 52).
[45] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no.
1088) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[46] Ar-Risâlah
(hal. 42) oleh Imam asy-Syafi’i.
[47] Iqtidhâ`
ash-Shirât al-Mustaqîm (I/449-450) oleh Syaikhul Islam.
[49] Mu’jamul Udabâ` (I/17)
oleh Yaqut al-Hamawi.
[50] “Allah
mewasiatkan kalian tentang (bagian warisan untuk) anak-anak kalian.” [QS.
An-Nisâ` [4]: 11]
[52] Ibid (no. 81,
I/108).
[53] Lihat as-Siyar
(XIV/371-372) oleh adz-Dzahabi.
[55] As-Siyar
(X/11) oleh adz-Dzahabi. Lihat Târikh Baghdâd (II/62), Tawâlît
Ta`sîs (hal. 50), dan Tahdzîbul Kamâl (hal 1161).
[56] Lihat as-Siyar
(IV/277).
[58] Diriwayatkan ath-Thabarani (no. 8666) dalam al-Mu’jam al-Kabîr,
Ibnu Abi Syaibah (no. 30018) dalam Mushannafnya, Ibnu al-Mubarak (no.
814, hal. 280) dalam az-Zuhd war Raqâ`iq, dan al-Baihaqi (no. 1808)
dalam Syu’abul Iman.
[59] Membaca di sini artinya hafal al-Qur`an sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar
dalam Fathul Bârî (IX/84) dengan dalil penguat dari hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’id dan lainnya dengan sanad yang shahih.
[60] Maksud al-Muhkam di
sini adalah al-Mufashshal sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
dalam as-Shahîh al-Bukhârî (no. 5036). Dinamai
al-Mufashshal karena surat-surat ini banyak fashl (pendek-pendek ayatnya).
Al-Mufashshal adalah kumpulan dari surat al-Hujurat sampai
an-Nas menurut pendapat jumhur. Al-Hafizh Ibnu Katsir berpendapat agar
anak-anak disuruh menghafal ayat-ayat al-Mufashshal untuk membentuk kepribadian
dan adab yang baik karena surat-surat ini kebanyakan berbicara mengenai tauhid
dan ketuhanan.
[61] Shahih: HR. Al-Bukhari
(no. 5035), Ahmad (no. 2601), ath-Thabarani (no. 10577) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, dan ath-Thayalisi (no. 2761) dalam Musnadnya.
[62] Lihat al-Hatstsu
‘alâ Thalabil Ilmi oleh Abu Hilal al-Askari.
[63] Hilyatul Auliyâ`(VIII/304)
oleh Abu Nu’aim al-Ashfahani.
[65] Aunul Ma’bûd
(IV/237) oleh Syaraful Haq Abadi.
[66] Hilyatul Auliyâ` (VI/319) oleh Abu Nu’aim.
Maksudnya, semua ilmu adalah bagus dan banyak. Karena banyaknya ilmu, maka
dahulukanlah yang penting dulu, yaitu yang akan kamu gunakan untuk beribadah
sehari-hari, dan amalkanlah ibadah itu dengan konsisten dan rutin. Allahu
a’lam.
[70] Al-Fairuz Abadi
menjelaskan bahwa jazur artinya unta muatan barang (ba’îr) atau unta
betina (nâqah) atau kambing (syâh). [Al-Qâmûs al-Muhîth (hal. 364)]
[71] Diriwayatkan
al-Baihaqi (no. 1805) dalam Syu’abul Iman. Barangkali masa yang lama ini
dikarenakan Umar sibuk dengan kekhalifahan atau menghafal per lima ayat dengan
ilmu dan amal, sebagaimana ucapannya sendiri, “Pelajarilah al-Qur`an per lima
ayat karena Jibril ‘alaihis salam menurunkan al-Qur`an kepada beliau
lima ayat-lima ayat.” [Syu’abul Iman (no. 1807)]
[72] Baiknya menghafal
ringkasannya dulu, Mukhtashar Shahih al-Bukhari yang disusun Imam
az-Zabidi. Usai itu baru kitab aslinya.
[73] Baiknya menghafal
ringkasannya dulu, Mukhtashar Shahih Muslim yang disusun Imam al-Mundzir.
Usai itu baru kitab aslinya.
[74] Kitab hadits induk
yang sampai kepada kita masih banyak sekali, selain yang telah disebutkan. Di
sana ada al-Muwaththa` Imam Malik, Sunan ad-Darimi, Sunan
ad-Daruquthni, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, al-Mustadrak
al-Hakim, al-Mu’jam ash-Shaghir/al-Ausath/al-Kabir ath-Thabarani, Sunan
ash-Shughra/al-Kubra al-Baihaqi, Musnad Abu Ya’la, Musnad al-Bazzar, Mustakhraj
Abu Awanah, Mushannaf Abdurrazzaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, al-Adab
al-Mufrad al-Bukhari, dan lain-lain banyak sekali.
[75] QS. Asy-Syûrâ [42]:
30.
[76] Al-Jâmi` li
Akhlâqir Râwî (no. 1787, II/258) oleh al-Khathib al-Baghdadi. Lihat Jâmi’
Bayânil Ilmi wa Fadlih (I/196) oleh Ibnu Abdil Barr.
[77] Hilyatul Auliyâ`
(II/271) oleh Abu Nu’aim al-Ashfahani.
[78] Ibid (VI/288).
[79] Ibid (V/79).
[80] Lihat Thabaqâtul
Hanafiyyah (II/487) oleh Ali al-Qari.
[81] Siyar A’lâmin
Nubalâ` (IX/151) oleh adz-Dzahabi. Mengenai hafalannya, Abu Hatim ar-Razi
berkata, “Waki’ lebih hafal daripada Ibnul Mubarak.” [Ibid (IX/152)]
[82] Al-Jâmi` li Akhlâqir
Râwî (no. 1783, II/258) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[83] Al-Mahmûdun min
asy-Syu'arâ` wa Asy'ârihim (hal. 139) oleh Abu al-Hasan al-Qifthi.
[84] Al-Jâmi` li
Akhlâqir Râwî (no. 1784, II/258) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[85] Hilyatul Auliyâ`
(II/158) oleh Abu Nu’aim al-Ashfahani.
[87] Shahih: HR.
Al-Bukhari (no. 6307), at-Tirmidzi (no. 3259), an-Nasa`i (no. 10196, 10197, dan
10198) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Hibban (no. 925) dalam Shahihnya,
dan ath-Thabarani (no. 8770) dalam al-Mu’jam al-Ausath dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu.
[88] Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 3577) dan Abu Dawud (no. 1517). Dinilai shahih oleh al-Hakim,
at-Tirmidzi, dan al-Albani, serta disetujui adz-Dzahabi.
[89] Hasan:
HR.
At-Tirmidzi (no. 1987). Lihat Ahmad (V/153, 158, 177) dalam Musnadnya dan ad-Darimi (II/323) dalam Sunannya dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu
‘anhuma.
[91] Tafsîr Ibnu Abi
Hâtim (no. 11269, VI/2091).
[92] QS. An-Nisâ` [4]:
31.
[93] Shahih: HR.
Muslim (no. 233), at-Tirmidzi (no. 214), Ibnu Majah (no. 1086), Ibnu Khuzaimah
(no. 314 dan 1814) dalam Shahihnya, Ibnu Hibban (no. 1733 dan 2418)
dalam Shahihnya, al-Hakim (no. 412 dan 7665) dalam al-Mustadrâk,
Abu Ya’la (no. 6486) dalam Musnadnya, Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 2592)
dalam Musnadnya, dan Abu Awanah (no. 1311 dan 2695) dalam al-Mustakhraj
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[94] Al-Jâmi` li
Akhlâqir Râwî (no. 1788, II/258) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[95] Lihat Tadzkiratul
Huffâdz (I/314) oleh adz-Dzahabi.
[96] Siyar A’lâmin
Nubalâ` (X/36) oleh adz-Dzahabi, Hilyatul Auliyâ` (IX/127) oleh Abu
Nu’aim al-Ashfahani, dan Tahdzîbul Asmâ` (I/54).
[97] Lihat Tadzkiratul
Huffâdz (IV/1472) oleh adz-Dzahabi.
[98] Lihat Tashfiyatul
Qulûb oleh adz-Dzimari.
[99] Hilyatul Auliyâ`
(IV/224) oleh Abu Nu’aim al-Ashfahani.
[100] Lihat Tafsir
Surat al-Ikhlas oleh Ibnu Taimiyyah. Lihat Huqûqu Alil Bait (hal.
12) oleh Ibnu Taimiyyah.
[102] QS. Ghâfir [40]:
60.
[103] Beribadah di sini
artinya berdoa sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«الدُّعَاءُ هُوَ
العِبَادَةُ»
“Doa adalah ibadah.” Lalu beliau membaca
ayat di atas. [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3372), an-Nasa`i (no. 11464)
dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Majah (no. 3828), dan Ahmad (IV/271)
dalam Musnadnya dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu]
[104] QS. Ghâfir [40]:
60.
[105] Dalam riwayat lain,
“meminta.”
[106] Hasan: HR.
Ibnu Majah (no. 3827), at-Tirmidzi (no. 3373), dan Ahmad (II/477) dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[107] Tafsîr Ibnu
Katsîr (VII/153).
[108] Shahih: HR.
Ibnu Majah (no. 3062), Ahmad (no. 14849, XXIII/140), al-Hakim (no. 1739) dalam al-Mustadrâk,
ath-Thabarani (no. 849, I/259) dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan al-Baihaqi
(no. 9660) dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma.
[109] Lihat Târîkhul
Baghdâd (X/166) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[110] Siyar A’lamin
Nubalâ` (XVII/171) oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Anshâb (II/371), Tadzkiratul
Huffâdz (III/1044), dan Thabaqât as-Subkî (IV/159).
[112] Lihat Mu’jamul
Udabâ` (IV/16-17) oleh Yaqut al-Hamawi.
[113] Lihat Hadyus
Sari (hal. 502) oleh Ibnu Hajar.
[116] Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 3599), Ibnu Majah (no. 251), Ibnu Abi Syaibah (no. 29393)
dalam al-Mushannaf dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[118] Shahih: HR. An-Nasa`i
(no. 351) dalam Amalul Yaum wal Lailah, Ibnu Hibban (no. 974) dalam Shahîhnya,
al-Baihaqi (no. 265) dalam ad-Da’awât al-Kabîr, Abu Nu’aim al-Asbahani
(II/276) dalam Târîkh Asbahân, dan Abu Abdillah al-Mahamili (no. 42)
dalam ad-Du’â`dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dinilai
shahih al-Albani dalam as-Shahîhah (II/2643), dan al-Arna`uth, dan juga
Ibnu Hajar dalam Amâlîl Adzkâr sebagaimana yang dinukil Ibnu Alan
(IV/25).
[119] Telah berlalu
takhrijnya.
[120] Lihat al-Manhaj
as-Sawî (hal. 233). Ini bukan hadits sehingga kedudukannya sama dengan
redaksi doa-doa orang yang berdoa dan tidak boleh meyakini keutamaan tertentu
dari doa ini kecuali dengan dalil yang tsabit. Ini tidak lain hanya untuk
mempermudah ungkapan.
[121] Hilyatul Auliyâ`
(III/364) oleh Abu Nu’aim.
[122] Al-Hatstsu
(hal. 44) oleh Ibnul Jauzi.
[123] Ibid (hal. 61).
[124] Thabaqatul
Ulamâ` Ifriqiyyah wa Tunis olehnya.
[125] Lihat Thabaqatusy
Syafi’iyyah al-Kubrâ (VII/233) oleh as-Subki.
[126] Lihat adh-Dhau`ul
Lami’ (I/141) oleh as-Sakhawi.
[127] Lihat Syarhul
Muslim (I/8) oleh an-Nawawi.
[128] Lihat Tartîbul
Madârik (VI/186) oleh al-Qadhi Iyadh.
[129] Al-Hatstsu
(hal. 44) oleh Ibnul Jauzi.
[130] Ibid (hal. 43-44).
[131] Maksudnya, Imam
asy-Sya’bi menghafal semua yang dia dengar sehingga tidak perlu ditulis.
[132] Siyar A’lâmin
Nubalâ` (VII/272) oleh adz-Dzahabi.
[133] Al-Hatstu ‘alâ Hifzhil Ilmi (hal. 89) oleh Ibnul
Jauzi.
[134] Siyar A’lâmin
Nubalâ` (II/272) oleh adz-Dzahabi.
[135] Al-Hatstsu
(hal. 75) oleh Ibnul Jauzi.
[136] Al-Hatstsu ‘alâ
Hifzhil Ilmi (hal. 40) oleh Ibnul Jauzi. Lihat Al-Adab al-Syar’iyyah (III/22) oleh Ibnul Muflih.
«عَلَيْكُمْ
بِالشِّفَاءَيْنِ: الْعَسَلِ وَالْقُرْآنِ»
“Hendaklah kalian dengan dua penyembuh: madu dan al-Qur`an.” [Shahih: HR. Abu Dawud (no. 3452) dan Tafsîr Ibnu Katsîr
(IV/584) dari Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Dinilai dhaif oleh al-Albani
tetapi Fuad Abdul Baqi berkata, “Di dalam az-Zawaid dijelaskan bahwa
sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah.” Barangkali ada beberapa jalan
periwayatan]
[140] Barangkali yang menyebabkan tidak bereaksinya terapi madu itu karena
shahabat tersebut keliru dalam takarannya atau tidak sesuai dengan yang
diinginkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mustahil Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam salah. Demikian penjelasan Ibnul Qayyim dalam Thibbun
Nabawî secara makna.
[141] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5716 dan 5684) Muslim (no. 2217), at-Tirmidzi (no. 2083),
Ahmad (III/19 dan 93), Abu Ya’la (no. 1261), dan al-Baghawi (no. 3125) dalam Syarhus
Sunnah.
[143] Muttafaqun ‘Alaih: HR.
Al-Bukhari (no. 5683) dan Muslim (no. 2205) dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma.
[144] Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ` (V/335) oleh adz-Dzahabi.
[146] QS. Ash-Shâffât [37]: 146.
[147] Al-Hatstsu alâ Hifzhil Ilmi (hal. 40). Dalam riwayat lain ada tambahan, “sebanyak 21 biji setiap
pagi.” [Lihat al-Adab al-Syar’iyyah (III/20) oleh Ibnu Muflih]
[148] Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ` (V/346-347) oleh adz-Dzahabi.
[149] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
5688) dan Muslim (no. 2215) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[153] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
5769) dan Muslim (no. 2047) dari ‘Amir bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu.
[154] QS. An-Nahl [16]: 11.
[155] QS. Muhammad [47]: 15.
[156] Dia adalah Muhamad bin Muslim bin Ubaid bin Abdullah bin Syihab bin
Abdullah bin al-Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah az-Zuhri. Lahir pada
tahun 51 H dan wafat tahun 124 H. Dia berguru kepada beberapa shahabat di
antaranya Sahl bin Sa’ad dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dan
juga ulama-ulama terkenal: Sa’id bin al-Musyayyib, Ali bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib, Urwah bin az-Zubair bin Awwam, Abdul Malik bin Marwan, Salim bin
Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Jubair bin Muth’im, Muhammad bin
an-Nu’man bin Basyir, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Kharijah
bin Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Ka’ab bin Malik.
Adapun muridnya yang masyhur adalah Atha` bin Abi Rabah, Amr bin Dinar,
Qatadah bin Du’amah, Zaid bin Aslam, Ayyub as-Sikhtiyani, Ibnu Juraij, Ma’mar
bin Rasyid, al-Auza’i, Imam Malik bin Anas, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan bin
Uyainah dan lain-lain.
[157] Lihat Tadzkiratul Huffâzh (I/110) oleh adz-Dzahabi.
[158] Al-Hatstsu ‘alâ Hifzhil Ilmi
(hal. 90) oleh Ibnul Jauzi dan Hilyatul Auliyâ` (III/363) oleh Abu
Nu’aim al-Ashfahani.
[164] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 3664), Ibnu Majah (no. 252), Ahmad
(no. 8457) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 78) dalam Shahihnya,
al-Hakim (no. 288) dalam al-Mustadrak, Ibnu Abi Syaibah (no. 26127)
dalam al-Mushannaf, Abu Ya’la (no. 6373) dalam al-Musnad,
al-Khathib (no. 17) dalam al-Jâmi’, dan al-Baihaqi (no. 1634)
dalam Syu’abul Iman dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘ahnu.
Al-Hakim berkata, “Hadits shahih sanadnya dan tsiqah para perawinya atas syarat
Syaikhan, tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan disetujui oleh
adz-Dzahabi.
[166] Hasan: HR. Ibnu Majah (no. 260) dan al-Khathib (II/174) dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘ahnu. Didhaifkan dalam az-Zawa’id tetapi dinilai
hasan oleh al-Albani.
[167] Shahih: HR. Muslim (no. 1905), at-Tirmidzi (no. 2382), an-Nasa`i
(no. 3137) dalam al-Mujtabâ dan (no. 4330, 8029, dan 11495) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Ahmad (no. 8277), Ibnu Khuzaimah (no. 2482) dalam Shahihnya,
Ibnu Hibban (no. 408) dalam Shahihnya, dan al-Hakim (no. 364 dan 365, 1527, dan 2524, dan 2528) dalam al-Mustadrak dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘ahnu.
[172] QS. Al-Baqarah [2]: 44.
[173] Jayyid: HR. Ath-Thabarani (no. 1681) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, al-Khathib
al-Baghdadi (no. 70) dalam Iqtidhâ`ul Ilmi al-Amal, dan Ahmad (no. 1018)
dalam az-Zuhd dari Jundub Abu Dzar radhiyallahu ‘ahnu.
[174] Muttafaqun
‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 3267), Muslim (no. 2989), Ahmad (no. 21784),
al-Hakim (no. 7010) dalam al-Mustadrâk, al-Baihaqi (no. 20209) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah (no. 152) dalam Mushannafnya, al-Humaidi
(no. 557) dalam Musnadnya, dan Abu Nu’aim (IV/112) oleh al-Hilyah
dari Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘ahnuma.
[175] Hilyatul Auliyâ`
(IV/71) oleh Abu Nu’aim.
[176] Ibid (VII/341).
[177] Ibid (VII/271).
[178] Ibid (VI/163).
[179] Ibid (II/372).
[180] Lihat Shaidul
Khathîr oleh Ibnul Jauzi.
[181] Lihat al-Manhaj
al-Ahmad fî Tarajum Ashhâbil Imâm Ahmad (I/24) oleh al-Ulaimi.
[182] Lihat as-Siyar
(hal. 77) oleh adz-Dzahabi.
[183] Lihat Shaidul
Khathîr oleh Ibnul Jauzi.
[184] QS. Yâsîn [36]: 12.
[186] Tafsîr as-Sa’di
(hal. 692).
[187] Shahih: HR.
Muslim (no. 2674),
at-Tirmidzi (no. 2674), Abu Dawud (no. 4609), Ibnu Majah
(no. 206), Ahmad (no. 9160), Ibnu Hibban (no. 112) dalam Shahihnya, ad-Darimi
(no. 530) dalam Sunannya, Abu Ya’la (no. 6489) dalam Musnadnya,
Ibnu Abi Ashim (no. 113) dalam as-Sunnah, Abu Awanah (no. 5823) dalam al-Mustakhraj,
dan Ibnu Baththah (no. 146) dalam al-Ibanah al-Kubrâ dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘ahnu.
[188] Hasan Shahih:
HR. At-Tirmidzi (no. 3658),
Ibnu Majah (no. 266), Ahmad (no. 8638), Ibnu Hibban (no. 95) dalam Shahihnya,
al-Hakim (no. 345) dalam al-Mustadrak, ath-Thabarani (no. 3529) dalam al-Mu’jam
al-Ausath, Ibnu Abi Syaibah (no. 26454) dalam al-Mushannaf, Abu
Ya’la (no. 6383) dalam Musnadnya, ath-Thayalisi (no. 2657) dalam Musnadnya,
dan al-Baihaqi (no. 1612) dalam Syu’abul Iman dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘ahnu.
[189] QS. Al-Ahzâb [33]:
45-46.
[190] QS. Fushshilat
[41]: 33.
[191] Shahih: HR.
Al-Bukhari (no. 5027), at-Tirmidzi (no. 2907), Abu Dawud (no. 1452), an-Nasa`i
(no. 7982) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Majah (no. 211), Ahmad (no.
500), Ibnu Hibban
(no. 118) dalam Shahihnya, al-Baihaqi (no. 942) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah (no. 30071) dalam al-Mushannaf, Abdurrazzaq
(no. 5995) dalam al-Mushannaf, ad-Darimi (no. 3381) dalam Sunannya,
ath-Thayalisi (no. 73) dalam Musnadnya, dan Abu Awanah (no. 3766) dalam al-Mustakhrâj
dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘ahnu.
[192] QS. Fâthir [35]:
10.
[193] QS. An-Nisâ` [4]:
139.
[194] Zâdul Masîr fî
Ilmit Tafsîr (I/487) oleh Ibnul Jauzi.
[195] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6436), Muslim (no. 1049), Ahmad (no. 21111),
Ibnu Hibban (no. 3237) dalam Shahihnya, dan ath-Thabarani (no. 2544)
dalam al-Mu’jam al-Ausath dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘ahnuma.
[196] Hasan: HR.
Ibnu Majah (no. 247), al-Hakim (no. 298) dalam al-Mustadarak, dan
ath-Thayalisi (no. 2305) Musnadnya dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu
‘ahnu. Dalam riwayat lain “waftûhum” artinya berilah
mereka fatwa, maksudnya ajarilah ia.
[197] Syarafu Ashhâbil
Hadîts (hal 44) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[198] Hasan Lighairih:
HR. Ibnu Hibban (no. 911) dalam Shahihnya, at-Tirmidzi (no. 484) tanpa
lafazh “inna”, ath-Thabarani (no. 9800) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, Ibnu
Abi Syaibah (no. 31787) dalam al-Mushannaf, dan Abu Ya’la (no. 5011)
dalam al-Musnad dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘ahnu. Al-Arna`uth
berkata, “Sanadnya dhaif. Musa bin Ya’qub az-Zam’i buruk hafalannya dan
Abdullah bin Kaisan tidak tsiqah,” tetapi dinilahi hasan gharib oleh
at-Tirmidzi dan hasan lighairih oleh al-Albani dalam at-Targhib
(II/280).
[199] Al-Hilyah
(IX/109) oleh Abu Nu’aim dan Syarafu Ashhâbil
Hadîts
(hal. 46) oleh al-Khathib al-Baghdadi dengan ganti, “Seolah-olah aku melihat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup.”
[200] QS. Al-Isrâ` [17]:
71.
[201] Tafsîr Ibnu
Katsîr (V/99).
[202] Lihat Târîkhul
Baghdâd (IX/130) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[203] As-Siyar
(VII/448).
[204] QS. Ash-Shâffât
[37]: 61.
[205] Lihat Târîkhul
Dimasyq (XXVIII/380) oleh Ibnu Asakir.
[206] As-Siyar
(IX/187).
[207] Lihat Manâqib
asy-Syafi’î (II/301) oleh al-Baihaqi.
[208] Lihat Târîkhul
Baghdad (XIV/347) oleh al-Khathib.
[209] Lihat Tahdzîbul
Kamâl (XXXI/567) oleh al-Mizzi.
[210] Lihat Târîkhul
Islâm (hal. 241-250) oleh adz-Dzahabi.
[211] Lihat Thabaqâtusy
Syafi’iyyah al-Kubrâ (III/466) oleh as-Subki.
[212] Lihat Thabaqâtusy
Syafi’iyyah (IVI/161) oleh as-Subki.
[213] As-Siyar
(XXI/468-469).
[214] Shahih: HR.
Abu Dawud (no. 3116),
at-Tirmidzi (no. 977 ) dengan “qaulihi” sebagai ganti dari “kalâmihi”,
Ahmad (no. 22034), al-Bazzar (no. 2626) dalam Musnadnya, ath-Thabarani (no. 221)
dalam al-Mu’jam al-Kabîr, Ibnu Mandah (no. 185) dalam Kitâbut Tauhîd,
dan al-Hakim (no. 1842) dalam al-Mustadrâk dan berkata,
“Hadits yang shahih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Hadits ini memiliki kisah tentang Abu Zur’ah yang telah kami sebutkan
di kitab al-Ma’rifah.”