Download Buku: Syarah Ringkas Manzhumah Al-Baiquniyah
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-syarah-ringkas-manzhumah-albaiquniyah.html
Syarah Ringkas Manzhumah Al-Baiquniyah
Download pdf > https://norkandirblog.files.wordpress.com/2016/12/syarah-ringkas-manzhumah-al-baiquniyyah.pdf
Judul:
Syarah Ringkas Manzhumah Al-Baiquniyah
Penyusun:
Nor Kandir
Penerbit:
Pustaka Syabab, cet ke-1 th. 2016
MUQADDIMAH
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ
لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا
وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ
أَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا
بَعْدُ:
K
|
itab
Manzhumah Al-Baiquniyyah (atau Al-Baiquniyah) yang disusun oleh
Imam Al-Baiquni merupakan matan musthalah hadits rujukan dan
banyak disyarah oleh ulama tetapi semua berbahasa ‘Arab. Saya pun memandang
perlu ikut serta dalam amal agung ini dengan mensyarahnya menggunakan bahasa
Indonesia yang mudah dimengerti orang pribumi dengan ungkapan yang ringkas,
padat, tidak berpanjang lebar, dan selalu disertai dalil pada setiap
pembahasan. Saya berusaha memberikan contoh yang paling mengena dan mencukupi
tanpa berpanjang lebar. Syarah ringkas ini bukanlah buah pikir saya pribadi,
tetapi saya rangkum dari beberapa kitab musthalah dan yang paling banyak
dari At-Taudhîhul Mukhtashar ‘alal Manzhûmah Al-Baiqûniyyah karya Syaikh
Sa’id Da’as, At-Ta’lîqât Al-Atsariyyah ‘alal Manzhûmah Al-Baiqûniyyah
karya Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi, dan Taisîru Musthalahil Hadîts karya
Dr. Mahmud Thahhan.
Koreksi
dan masukan pembaca sangat diharapkan atas kekhilafan saya dalam buku ini.
Semoga Allah menerimanya sebagai pemberat timbangan dan menerima amal kebaikan
saya, orang tua saya, pembaca, dan seluruh orang Islam. Allahu Waliyyul
Mukminin.
«رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ»
«وَآخِرُ
دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ»
Semoga
shalawat dan salam tercurah kepada pemuka para ahli hadits Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, para Shahabatnya, dan para penghafal hadits
seluruhnya.
Selesai ditulis pada 22 Ramadhan 1436
H
Surabaya, Jawa Timur
Nor Kandir
Matan dan Terjemah Manzhumah
المَنْظُومَة البَيقُونِيَّة
بسم الله الرحمن الرحيم
١ - أَبْدَأُ بِالْحَمْدِ مُصَلِّياً عَلَى ... مُحَمَّدٍ خَيْرِ
نَبِيٍّ أُرْسِلَا
Aku memulai dengan memuji Allâh dan bershalawat kepada
Muhammad Nabi terbaik yang diutus
٢ - وَذِي مِنَ اقْسَامِ الحَدِيثِ عِدَّهْ ... وَكُلُّ وَاحِدٍ أَتَى
وَحَدَّهْ
Inilah pembagian hadits yang banyak dan setiap bagian
datang dengan ciri khasnya
٣ – أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ ... إسْنَادُهُ
وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ
Yang pertama hadits shahih yaitu yang sanadnya
bersambung tanpa adanya syadz dan ‘illat
٤ - يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ
... مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ
Yang diriwayatkan
oleh perawi adil dan
dhabit dari yang semisalnya yang diakui kedhabitan dan penukilannya
٥ - وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقاً وَغَدَتْ ... رِجَالُهُ لاَ
كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ
Hadits
hasan
jalan periwayatannya terkenal tetapi para perawinya tidak seperti hadits shahih
٦ - وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ ... فَهْوَ الضَّعِيفُ
وَهْوَ أَقْسَاماً كَثُرْ
Setiap
hadits yang lebih rendah derajatnya dari hadits hasan disebut hadits dha’if
dan ia banyak macamnya
٧ - وَمَا أُضِيفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُوعُ ... وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ
الْمَقْطُوعُ
Apa
yang disandarkan ke Nabi adalah hadits marfu’ dan apa yang disandarkan
ke tabi’in adalah hadits maqthu’
٨ - وَالْمُسْنَدُ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ ... رَاوِيهِ
حَتَّى المُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ
Hadits
musnad
adalah yang sanadnya bersambung dari para perawi hingga Al-Musthafa tanpa
terputus
٩ - وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ ... إسْنَادُهُ
لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِلْ
Hadits
yang didengar semua perawi dan bersambung sanadnya hingga Al-Musthafa adalah hadits
muttashil
١٠ - مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى ... مِثْلُ أَمَا
وَاللهِ أَنْبَانِي الْفَتَى
Katakanlah,
hadits musalsal adalah yang mengandung sifat tertentu seperti: Demi Allâh
seorang pemuda mengabarkan kepadaku
١١ - كَذَاكَ قَدْ حَدَّثَنِيهِ قَائِمَا ... أَوْ بَعْدَ أَنْ
حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا
Begitu
pula: sungguh dia mengabarkan kepadaku sambil berdiri, atau setelah mengabarkan
kepadaku ia tersenyum
١٢ - عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ
مَرْوِي فَوْقَ مَا ثَلَاثَهْ
Hadits
‘aziz
adalah yang perawinya dua atau tiga, dan hadits masyhur perawinya lebih
dari tiga
١٣ - مُعَنْعَنٌ كَعَن سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ... وَمُبْهَمٌ مَا
فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ
Hadits
mu’an’an
contohnya: dari Sa’id dari Karam, dan hadits mubham adalah jika ada
perawi yang tidak disebutkan namanya
١٤ - وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ ... وَضِدُّهُ ذَاكَ الَّذِي
قَدْ نَزَلاَ
Setiap
hadits yang perawinya sedikit disebut hadits ‘ali, dan kebalikannya
adalah hadits nazil
١٥ - ومَا أَضَفْتَهُ إِلَى الأَصْحَابِ مِنْ ... قَوْلٍ وَفِعْلٍ
فَهْوَ مَوْقُوفٌ زُكِنْ
Apa
yang disandarkan kepada para Shahabat baik ucapan maupun perbuatan adalah hadits
mauquf, mengertilah
١٦ - وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَابِيُّ سَقَطْ ... وَقُلْ غَرِيبٌ
مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Hadits
mursal
adalah bila perawi Shahabat gugur, dan katakanlah hadits gharib itu bila
perawinya hanya satu
١٧ - وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ ... إسْنَادُهُ
مُنْقَطِعُ الأَوْصَالِ
Setiap
hadits yang keadaan sanadnya tidak bersambung disebut hadits munqathi
١٨ - والْمُعْضَلُ السَّاقِطُ مِنهُ اثْنَانِ ... وَمَا أَتَى مُدَلَّساً
نَوعَانِ
Hadits
mu’dhal
adalah bila perawi yang gugur dua, dan hadits mudallas ada dua macam
١٩ - اَلْأَوَّلُ: الْاِسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ ... يَنْقُلَ
عَمَّنْ فَوْقَهُ بِعَنْ وَأَنْ
Pertama:
gurunya gugur dengan penukilan di atasnya memakai (عَنْ) dan (أَنْ)
٢٠ - وَالثَّانِ: لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ ... أَوْصَافَهُ
بِمَا بِهِ لاَ يَنْعَرِفْ
Kedua:
gurunya tidak gugur tetapi menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal
٢١ - وَمَا يُخَالِفْ ثِقَةٌ بِهِ الْمَلَا ... فَالشَّاذُّ وَالَمقْلُوبُ
قِسْمَانِ تَلَا
Hadits
tsiqah yang menyelisihi jamaah disebut hadits syadz, dan hadits
maqlub ada dua macam, bacalah
٢٢ - إبْدَالُ رَاوٍ مَا بِرَاوٍ قِسْمُ ... وَقَلْبُ إسْنَادٍ لِمَتْنٍ
قِسْمُ
Pertama:
mengganti perawi dengan perawi lain dan kedua: membalik sanad-matan
٢٣ - وَالفَرْدُ مَا قَيَّدْتَهُ بِثِقَةِ ... أَوْ جَمْعٍ أوْ
قَصْرٍ عَلَى رِوَايَةِ
Hadits
fard
adalah yang periwayatannya diikat dengan satu perawi tsiqah, banyak, atau
terbatas
٢٤ - وَمَا بِعِلَّةٍ غُمُوضٍ أَوْ خَفَا ... مُعَلَّلٌ
عِنْدَهُمُ قَدْ عُرِفَا
Hadits
yang cacatnya tersembunyi atau tersamar disebut hadits mu’allal menurut
pengertian ahli hadits
٢٥ - وَذُو اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ ... مُضْطَرِبٌ عِنْدَ
أُهَيْلِ الْفَنِّ
Hadits
yang sanad atau matannya berbeda disebut hadits mudhtharib menurut ahli
hadits
٢٦ - وَالْمُدْرَجَاتُ فِي الْحَدِيثِ مَا أَتَتْ ... مِنْ بَعْضِ
أَلْفَاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ
Hadits
mudraj
adalah hadits yang tercampuri sebagian lafazh perawi
٢٧ - وَمَا رَوَى كُلُّ قَرِينٍ عَنْ أَخِهْ ... مُدَّبَّجٌ فَاعْرِفْهُ
حَقًّا وَانْتَخِهْ
Setiap
hadits yang diriwayatkan oleh perawi segenerasi dari saudaranya adalah hadits
mudabbaj, maka ketahuilah ini dengan baik
٢٨ - مُتَّفِقٌ لَفْظاً وَخَطّاً مُتَّفِقْ ... وَضِدُّهُ فِيمَا
ذَكَرْنَا المُفْتَرِقْ
Hadits
yang lafazh (pengucapan) dan khat (tulisan) perawi sama disebut hadits
muttafiq, dan kebalikan apa yang kami sebutkan adalah hadits muftariq
٢٩ - مُؤْتَلِفٌ مُتَّقِقُ الخَطِّ فَقَطْ ... وَضِدُّهُ مُخْتَلِفٌ
فَاخْشَ الْغَلَطْ
Hadits
mu`talif
adalah jika hanya khat nama perawi yang sama, dan kebalikannya adalah hadits
mukhtalif, maka hati-hatilah jangan salah
٣٠ - وَالْمُنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا ... تَعْدِيلُهُ
لاَ يْحمِلُ التَّفَرُّدَا
Hadits
munkar adalah
yang perawinya menyendiri dan keadilannya tidak diakui saat menyendiri
٣١ - مَتْرُوكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ ... وَأَجْمَعُوا
لِضَعْفِهِ فَهْوَ كَرَدْ
Hadits
matruk
adalah yang perawinya satu menyendiri dan mereka sepakat atas kelemahannya, sehingga
ia tertolak
٣٢ - وَالكَذِبُ المُخْتَلَقُ المَصْنُوعُ ... عَلَى النَّبِي
فَذلِكَ المَوْضُوعُ
Hadits
dusta yang direka-reka dan dibuAt-buat atas nama Nabi itulah hadits maudhu’
٣٣ - وَقَدْ أَتَتْ كَالجَوْهَرِ المَكْنُونِ ... سَمَّيْتُهَا
مَنْظُومَةَ البَيْقُونِي
Sungguh
nazham ini seperti mutiara yang tersimpan dan aku menamainya Manzhumah
Al-Baiquniyyah
٣٤ - فَوْقَ الثَّلاَثِيْنَ بِأَرْبَعٍ أَتَتْ ... أَقْسَامُهَا
تَمَّتْ بِخَيْرٍ خُتِمَتْ
Berisi
34 bagian yang sempurnya dan ditutup dengan kebaikan
***
Biografi Singkat Penulis
A
|
l-Baiquni
bernama lengkap Thaha (ada yang menyebutkan ‘Umar) bin Muhammad bin Futuh Al-Baiquni,
seorang muhaddits ternama dan ahli ilmu ushul. Beliau hidup sebelum
tahun 1080 H/1669 M. Beliau memiliki kitab Fathul Qâdir Al-Mughîts dalam
bidang hadits.
Sejarah Penulisan Kitab Musthalah
Y
|
ang
pertama kali menyusun kitab musthalah hadits (istilah-istilah hadits)
adalah Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi berjudul Al-Muhaddits Al-Fâshil bainar
Râwî wal Wâ’î, tetapi karena masih permulaan kitab ini belum mencakup semua
istilah hadits.
Kemudian
kitab ini dikaji oleh Al-Hakim Abu ‘Abdillah An-Naisaburi pemilik Al-Mustadrâk
‘alash Shahîhain kitab induk hadits terkenal. Dari pengkajian itu, lahirlah
kitab Ma’rifah Ulûmil Hadîts meski tanpa pengeditan dan penataan
sehingga mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan sebaliknya, sehingga bab
hadits shahih diletakkan pada bab ke-9.
Kemudian
dikaji ulang oleh Al-Khathib Al-Baghdadi sehingga lahirlah Al-Kifâyah fi
‘Ilmir Riwâyah, Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî wa Adâbis Sâmi’, dan lainnya. Hampir
semua disiplin ilmu hadits, Al-Khathib memiliki karya yang membahasnya secara
detail. Beliau melengkapi dengan berbagai istilah hadits yang disebutkan para
ahli hadits. Setelah itu kajian musthalah menjadi masyhur dan menyebar
serta mendapat perhatian. Mereka
berhutang budi kepada Al-Khatib. Abu Bakar Ibnu Nuqthah berkata:
كُلُّ مَنْ أَنْصَفَ عَلِمَ أَنَّ الْمُحَدِّثِينَ بَعدَ الْخَطِيبِ
عِيَالٌ عَلَى كُتُبِهِ
“Setiap
orang yang objektif akan tahu bahwa ahli hadits sepeninggal Al-Khathib semuanya
merujuk kepada kitab-kitabnya.” (Muqaddimah Ibnu Shalâh hal. 12)
Di
antara yang memberi perhatian kitab-kitab beliau adalah Al-Qadhi ‘Iyyadh dan
Abu ‘Amr Ibnu Shalah Asy-Syahruzi lalu lahirlah kitab terkenal yang dijadikan
pegagan ahli hadits, yaitu Muqaddimah fî ‘Ulûmil Hadîts (Muqaddimah
Ibnu Shalah).
Dari
zaman ke zaman muncul para pakar hadits dalam jahr wa ta’dil (ilmu
tentang kritik perawi), dirayah, riwayah, maupun kajian fiqih. Di antara pakar jahr
wa ta’dil adalah Imam An-Nawawi, Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Al-Hafizh Al-Mizzi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Hafizh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Imam
Ibnul Qayyim, Al-Hafizh Al-‘Iraqi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Hafizh As-Suyuthi,
dan lainnya yang banyak sekali. Al-Hafizh As-Suyuthi berkata:
إِنَّ
الْمُحَدِّثِينَ عِيَالٌ فِي الرِّجَالِ وَغَيرِهَا مِن فُنُونِ الْحَدِيثِ عَلَى أَربَعَةٍ:
المِزِّي، وَالذَّهَبِي، وَالْعِرَاقِي، وَابْنِ حَجَرٍ
“Semua
ahli hadits merujuk tentang perawi atau ilmu lainnya dalam hadits kepada empat
orang, yaitu Al-Mizzi, Adz-Dzahabi, Al-‘Iraqi, dan Ibnu Hajar.” (Syarhul
Mûqizhah I/4 oleh Abul Mundzir Al-Munawi)
Karya-karya
dalam ilmu hadits ini ada yang berupa mantsur (narasi/paragraf) maupun mandhum
(bentuk bait syair), yang ringkas maupun panjang lebar. Di antara mandhum
terbaik (karena ringkas dan lengkap) adalah matan musthalah hadits
Mandzumah Al-Baiquniyyah ini. Beliau menyebutkan 32 istilah hadits dalam
34 bait. Sungguh ringkas dan padat sekali!
Urgensi Sanad
S
|
anad adalah rantai perawi yang bersambung
hingga nash hadits (matan atau pengucapnya). Nama lain sanad
adalah isnad. Tidak ada satu pun umat terdahulu yang memiliki isnad
selain Islam. Ini anugrah terbesar umat Islam. Andai tanpa sanad, semua
orang bebas berbicara tanpa bisa diketahui keabsahan nukilan itu apa benar dari
pengucapnya. Untuk itu Ibnul Mubarak (w. 181 H) berkata:
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ
شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad
bagian
agama. Andai tanpa isnad tentu setiap orang berbicara sesuai
kehendaknya.” (Muqaddimah Shahîh Muslim I/15)
Muhammad
bin Sirin (w. 110 H) berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Ilmu
ini (hadits) adalah agama, maka perhatikanlah kepada siapa kalian mengambil
agama kalian.” (Muqaddimah Shahîh Muslim I/14)
Pada
zaman Shahabat belum muncul fitnah kecuali di akhir mereka, sehingga apabila
ada orang yang menyampaikan kabar diminta menyebutkan isnadnya. Muhammad
bin Sirin berkata:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ
الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ
فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dulu
orang-orang tidak meminta isnad, tetapi setelah terjadi fitnah, mereka
berkata, ‘Sebutkan nama-nama perawi kalian kepada kami.’ Jika dari Ahli Sunnah maka
haditsnya diambil dan jika dari ahli bid’ah haditsnya tidak diambil.” (Muqaddimah
Shahîh Muslim I/15)
Akhirnya
dengan isnad ini, seorang Muslim bisa beragama dengan yakin dan benar
saat mengambil isnad yang shahih dari Ahli Sunnah.
***
SYARAH RINGKAS MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
N
|
azhim (pembuat manzhumah/Al-Baiquni)
mengawali dengan basmalah untuk meneladai Al-Qur`an dimana semua suratnya
selain Taubah/Bara`ah dimulai dengan basmalah. Kedua, meneladani Nabi Muhammad
dan Nabi Sulaiman Shallallahu ‘Alaihim wa Sallam dimana mereka memulai
suratnya dengan basmalah. Yaitu surat beliau kepada raja Heraklius:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى،
أَمَّا بَعْدُ»
“Bismillahirrahmânirrhîm.
Dari Muhammad hamba Allâh dan Rasul-Nya kepada Heraklius Pembesar Romawi.
Keselamatan atas yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.” (HR. Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no.
1773 dari Abu Sufyan bin Harb Radhiyallahu ‘Anhu)
Adapun
surat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam kepada Bilqis Ratu Saba terdapat dalam
ucapan Bilqis:
«إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
* أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ»
“Surat
ini dari Sulaiman dan berisi Bismillahirrahmânirrhîm. Kalian jangan sombong dan
datanglah kepadaku dalam keadaan menyerah.” (QS. An-Naml [27]: 30-31)
Ketiga,
meneladani Salafush Shalih. Riwayat surat-menyurat mereka dengan basmalah
adalah shahih. Di antara contohnya Ibnu ‘Umar dalam suratnya:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ لِعَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ
الْمُؤْمِنِينَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ سَلَامٌ عَلَيْكَ»
“Bismillahirrahmânirrhîm.
Untuk ‘Abdul Malik Amirul Mukminin dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Semoga keselamatan
atasmu.” (HR. Al-Bukhari no. 1119 dalam Al-Adab Al-Mufrâd dalam bab Bagaimana
Menulis di Awal Surat. Dinilai shahih Al-Albani)
‘Umar
mengawali tulisannya dengan basmalah:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ: مِنْ عِنْدِ عُمَرَ أَمِيرِ
الْمُؤْمِنِينَ إِلَى عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ، أَمَّا بَعْدُ»
“Bismillahirrahmânirrhîm.
Dari ‘Umar Amirul Mukminin kepada ‘Ammar bin Yasir. Amma ba’du.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah no. 24010 dalam Mushannafnya)
Khalid
Ibnul Walid dalam suratnya:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ
إِلَى مَرَازِبَةِ فَارِسَ سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى، أَمَا بَعْدُ»
“Bismillahirrahmânirrhîm.
Dari
Khalid Ibnul Walid kepada Raja Persia. Keselamatan atas yang mengikuti
petunjuk. Amma ba’du.” (HR. Sa’id bin Manshur no. 2482 dalam Sunannya)
***
١ - أَبْدَأُ بِالْحَمْدِ مُصَلِّياً عَلَى ... مُحَمَّدٍ خَيْرِ
نَبِيٍّ أُرْسِلَا
Aku memulai dengan memuji Allâh dan bershalawat kepada
Muhammad Nabi terbaik yang diutus
Nazhim
mengawali bait syairnya dengan hamdalah untuk meneladani Al-Qur`an di mana di
sebagian awal ayat dimulai dengan hamdalah seperti surat Al-Fatihah, Al-An’am, Al-Kahfi,
Saba, dan Fathir.
Setelah
itu, bershalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar
tulisan ini berkah dan terhidar dari keburukan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ، وَلَمْ
يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ، إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ
وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ»
“Tidaklah
sekelompok kaum bermajlis tanpa menyebut Allâh dan tanpa bershalawat kepada
Nabi mereka, melainkan mereka mendapatkan kerugian. Jika mau Allâh menyiksa
mereka dan jika mau Dia mengampuni mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 3380 dan dinilai shahih Al-Albani)
Makna
(الْحَمْدُ) adalah:
ثَنَاءٌ عَلَيْهِ بِأَسمَائِهِ الْحُسْنَى وَصِفَاتِهِ الْعُلْيَ،
وَالشُّكْرُ لِلَّهِ ثَنَاءٌ عَلَيْهِ بِنِعَمِهِ وَأَيَادِيهِ
“Memuji-Nya
karena nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berbeda dengan
syukur yang maknanya memuji-Nya karena nikmat-Nya dan karunia-Nya.” (Tafsîr
Ibni Katsîr I/128)
Sedangkan
makna shalawat diterangkan oleh Abul ‘Aliyah:
صَلَاةُ اللَّهِ: ثَنَاؤُهُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَلَائِكَةِ، وَصَلَاةُ
الْمَلَائِكَةِ: الدُّعَاءُ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يُصَلُّونَ: يُبَرِّكُوْنَ
“Shalawat
dari Allâh adalah memuji beliau di tengah malaikat dan shalawat malaikat adalah
mendoakannya. Ibnu ‘Abbas mengartikan (يُصَلُّونَ)
dengan (manusia) mendoakan berkah.” (HR. Al-Bukhari (VI/120). Sufyan Ats-Tsauri
berpendapat, dari Allâh rahmat dan dari malaikat istighfar)
Ucapan
Nazhim ‘Muhammad Nabi terbaik yang diutus’ disebabkan yang terbaik dari para Nabi dan Rasul adalah Nabi
Ulul ‘Azmi yang berjumlah lima: Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad ‘Alaihimussalam.
Dari lima itu yang diangkat khalil (kekasih tertinggi) hanya Ibrahim dan
Muhammad Shallallahu ‘Alaihima wa Sallam. Di antara keduanya Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang terbaik karena diutus ke seluruh manusia. Allâh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
«وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا»
“Tidaklah
Aku utus kamu melainkan untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan
peringatan.”
(QS. Saba [34]: 28)
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى
النَّاسِ عَامَّةً»
“Nabi-Nabi
diutus untuk kaumnya saja sementara aku diutus untuk semua manusia.” (HR. Al-Bukhari no. 335 dan Muslim
no. 521)
***
٢ - وَذِي مِنَ اقْسَامِ الحَدِيثِ عِدَّهْ ... وَكُلُّ وَاحِدٍ أَتَى
وَحَدَّهْ
Inilah pembagian hadits yang banyak dan setiap bagian
datang dengan ciri khasnya
(batasannya)
Jumlah
macam hadits yang Nazhim cantumkan ada 32 hadits dalam 34 bait. Namun intinya
hadits itu ada tiga: shahih, hasan, dan dha’if. Akan tetapi kadang dalam sanad
maupun matan suatu hadits terdapat sifat tertentu yang membedakannya
dengan yang lainnya sehingga perlu dibagi-bagi untuk memudahkan penyebutannya,
sehingga muncullah banyak istilah hadits. Sifat khusus yang membedakannya
dengan lainnya inilah yang disebut dengan (الحدُّ).
Jumlah
keseluruhan 32 macam ini adalah hadits shahih, hasan, dha’if, marfu’, maqthu’,
musnad, muttashil, musalsal, ‘aziz, masyhur,
mu’an’an, mubham, ‘ali, nazil, mauquf, mursal,
gharib, munqathi’, mu’dhal, mudallas, syadz,
maqlub, fard, mu’allal, mudhtharib, mudraj, mudabbaj,
muttafiq-muftariq, mu`talif-mukhtalif, munkar, matruk,
dan maudhu’.
Sebelum
melangkah lebih jauh, baiknya kita mengenal beberapa istilah yang sering
dipakai:
1. Hadits
(الحَدِيثُ)
Hadits secara bahasa artinya (الجَدِيدُ) baru, karena dia datang belakangan dari
pengucapnya. Secara istilah hadits adalah:
مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ مِن قَولٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيرٍ أَوْ صِفَةٍ
“Apa saja yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
baik ucapan, perbuatan, penetapan, atau sifat.” (Fathul Mughîts (I/21)
oleh As-Sakhawi)
Contoh hadits ucapan: “Shalat adalah cahaya.”
Contoh hadits perbuatan: Shababat mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam shalat Zhuhur 4 rakaat. Contoh hadits penetapan: dikabarkan
kepada/dilihat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Sahabatnya shalat
begini-begitu lalu beliau mendiamkannya yang menunjukkan penetapan (boleh). Sifat
sendiri dibagi dua, yaitu khalqi (sifat fisik) dan huluqi (sifat
perangai). Contoh sifat khalqi: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berjenggot lebat. Contoh sifat khuluqi: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sangat dermawan. Semua ini adalah makna hadits secara mutlak. Namun,
terkadang hadits juga dipakai untuk selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dalam kondisi tertentu, contohnya hadits maqthu’ yang ucapannya
disandarkan kepada Tabi’in.
Apa perbedaan hadits dengan khabar (الْخَبَرُ)? Khabar memiliki tiga arti:
a. Muradif (sinonim makna hadits)
b. Mughayir
lah
(kebalikan makna hadits), maksudnya hadits khusus Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sementara khabar untuk selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam.
c. A’am
minh
(lebih umum), maksudnya khabar lebih umum dari hadits dan mencakupnya.
Apa perbedaannya dengan atsar (الأَثَرُ)? Secara bahasa artinya jejak/sisa
sesuatu. Perbedaannya dengan hadits sama dengan pembahasan khabar. Hanya
saja umumnya hadits dipakai untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
atsar dipakai untuk Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in.
2. Sanad/Isnad
(السَّنَدُ أَوِ الْإِسْنَادُ)
Secara bahasa isnad artinya sandaran dan sambungan.
Secara istilah isnad adalah:
سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ المُوصِلَةِ إِلَى الْمَتْنِ
“Silsilah para perawi yang bersambung sampai ke matan
(nash hadits).” (Nuzhatun Nazhar hal. 83 oleh Ibnu Hajar)
Dari sini muncul istilah musnid (orang yang meriwayatkan
secara sanad) dan musnad (hadits marfu’ muttashil
atau kitab yang menghimpun hadits-hadits muttashil dari Shahabat seperti
kitab Musnad Ahmad).
3. Matan
(المَتْنُ)
Secara bahasa matan artinya punggung. Mungkin nash
hadits disebut matan karena fungsinya sebagai tempat sandaran isnad.
Secara istilah matan adalah nash hadits itu sendiri.
4. Perawi
(الرَّاوِي)
Bentuk jamaknya adalah (الرُواةُ)
artinya orang yang meriwayatkan hadits dari awal hingga ke pengucapnya.
Kumpulan perawi inilah yang membentuk isnad.
Di antara perawi ada yang disebut muhaddits artinya
orang yang menyibukkan dirinya dalam hadits sekaligus mendalami ilmu dirayah,
riwayah, dan ahwal hadits. Adapula Al-Hafizh, yang maknanya sama dengan muhaddits
atau lebih tinggi dari muhaddits karena yang diketahui jauh lebih banyak
daripada yang tidak diketahui.
Contoh mudahnya adalah hadits yang tercantum di kitab Shahih
Al-Bukhari (no. 109):
قَالَ البُخَارِي: حَدَّثَنَا مَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ
سَلَمَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
Al-Bukhari berkata: Makki bin Ibrahim menceritakan kepada
kami, dia berkata: Yazid bin Abi ‘Ubaid menceritakan kepada kami, dari Salamah,
dia berkata: aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: «Siapa yang mengucapkan atasku
apa yang tidak aku katakan, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka»
Maka, yang digaris bawah adalah isnad, yang miring
adalah perawi, dan yang dalam kurung adalah matan.
***
٣ – أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ ... إسْنَادُهُ
وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ
Yang pertama hadits shahih yaitu yang sanadnya
bersambung tanpa adanya syadz dan illat
٤ - يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ ... مُعْتَمَدٌ فِي
ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ
Yang diriwayatkan
dari perawi adil dan dhabit dari yang semisalnya yang diakui kedhabitan dan
penukilannya
Meskipun
banyaknya istilah hadits, pada dasarnya hanya ada tiga: shahih, hasan,
dan dha’if, sebagaimana yang disampaikan Al-Khaththabi.
01. Hadits Shahih
S
|
hahih secara bahasa artinya sehat lawan
sakit, atau terbebas dari aib dan keraguan. Secara istilah, didefinisikan
Nazhim sebagai hadits yang terpenuhi 5 syarat:
1.
Sanadnya bersambung (اِتِّصَالُ السَّنَدِ)
Ini
berdasarkan ucapan Nazhim: (ما اتصل
إسناده). Maksudnya,
dari satu perawi ke perawi berikutnya benar-benar mendengar yang ada di atasnya
bersambung hingga kepada pengucapnya.
2.
Para perawinya adil (عَدَالَةُ الرُّوَاةِ)
Ini diambil dari ucapan Nazhim: (يَرْوِيهِ عَدْلٌ). Maksud (عَدَالَةُ)
adalah sebuah sifat yang mendorongnya senantiasa bertaqwa sehingga bersegera
dalam ketaatan, menjauhi dosa besar, dan tidak terus-menerus melakukan dosa
kecil. Taqwa dan rasa takutnya kepada Allâh ini menjadikannya tidak khianat
dalam periwayatan baik berdusta, menambah, mengurangi, atau lainnya. Imam Asy-Syafi’i
mendefinisikannya:
العَدْلَ: العَامِلُ بِطَاعَتِهِ، فَمَنْ رَأَوْهُ
عَامِلاً بِهَا كَانَ عَدْلاً، وَمَنْ عَمِلَ بِخِلَافِهَا كَانَ خِلاَفَ الْعَدْلِ
“Adil adalah orang yang mengerjakan ketaatan-Nya. Siapa
melihat orang itu melakukannya berarti orang itu adil, tetapi siapa yang
melakukan kebalikannya berarti dia menyelisihi adil.” (Ar-Risâlah I/34
oleh Asy-Syafi’i)
Ucapan ‘Siapa melihat orang itu melakukan ketaatan berarti
orang itu adil’ menunjukkan bahwa yang dijadikan ukuran muhadditsin
dalam menilai perawi adalah zhahirnya, meskipun apa yang ditampakkan terkadang
berbeda dengan apa yang disembunyikan. Seolah-olah Asy-Syafi’i berpendapat,
“Kami menilai keshalihan perawi berdasarkan apa yang nampak bagi kami dan kabar
yang sampai kepada kami, adapun hati itu bukan urusan kami dan kami serahkan
sepenuhnya kepada Allâh.” Muhadditsin berkata, “Kami menghukumi berdasarkan
zhahirnya.”
3. Para
perawinya dhabt sempurna (ضَبْطُ الرًّوَاةِ تَمَام الضَّبْطِ)
Secara bahasa dhabt artinya kuat, terjaga, teliti,
dan cermat. Yang dimaksud di sini adalah kuat dan terjaganya periwayatan perawi
baik dalam hafalan maupun kitab. Untuk itu, dhabt dibagi dua:
a. Kuat
hafalan (ضَبْطُ صَدْرٍ), yaitu seorang
perawi memiliki hafalan yang kuat dan akurat sehingga dia bisa menghadirkannya
kapan pun dia mau meski tanpa membawa kitab.
b. Terjaganya
kitab (ضَبْطُ كِتَابٍ), yaitu seorang
perawi meriwayatkan haditsnya lewat kitabnya yang terjaga di mana kitabnya
telah dikoreksi gurunya atau sama persis dengan periwayatan gurunya dan
terhindar dari penambahan atau pengurangan yang bukan dari aslinya.
Dengan sifat dhabt ini, perawi akan terhindar dari
kesalahan periwayatan tanpa kesengajaan karena kuat dan akurat hafalannya yang
sempurna. Ini yang membedakan dengan hadits hasan dimana kedhabitan
perawi hasan di bawah perawi shahih, misalnya agak kuat dan
kadang salah.
4. Terbebas
dari syadz (عَدَمُ
الشُّذُوذِ)
Secara bahasa syadz artinya menyelisihi. Maksudnya
di sini, perawi tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah
darinya baik karena hafalan maupun jumlah. Contohnya menyusul pada pembahasan
hadits syadz.
5. Terbebas
dari ‘illat (عَدَمُ
الْعِلَّةِ)
Secara bahasa ‘illat artinya penyakit atau cacat,
tepatnya penyakit atau cacat tersembunyi. Maksudnya di sini, hadits yang
memiliki cacat tersembunyi atau samar sehingga yang nampak adalah shahih.
Cacat tersembunyi ini hanya diketahui oleh pakar hadits yang mendalam seperti Abu
Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Ali Ibnul Madini, Yahya bin Ma’in, Al-Bukhari,
Muslim, dan yang semisalnya. Contohnya menyusul pada pembahasan hadits mu’allal.
Jika salah satu syarat ini tidak ada, maka hadits tersebut
tidak dihukumi shahih. Jika berhubungan dengan kelemahan dhabt
yang ringan, turun ke hasan. Jika tidak, maka dipastikan dha’if
(lemah) atau mardud (tertolak).
Contoh hadits shahih adalah semua hadits yang
tercantum di kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
di mana kedua imam hadits ini mensyaratkan kriteria shahih dalam kitab
mereka ini.
Shahih terbagi dua: shahîh lidzhâtih yang sedang kita
bahas dan shahîh li ghairih, yaitu hadits hasan yang terangkat ke
shahih karena adanya syahid atau mutaba’ah (hadits dari
jalur lain sehingga menguatkan hadits hasan tersebut menjadi shahih).
***
٥ - وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقاً وَغَدَتْ ... رِجَالُهُ لاَ
كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ
Hadits
hasan
jalan periwayatannya terkenal tetapi para perawinya tidak seperti hadits shahih
02. Hadits Hasan
Secara
bahasa hasan artinya baik dan maqbul (diterima). Oleh karena itu
hadits hasan diterima dan dijadikan hujjah sebagaimana hadits shahih.
Secara
istilah, hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung dinukil
dari perawi adil tetapi khafif dhabt (dhabtnya kurang sempurna)
dari perawi semisalnya tanpa adanya syadz dan ‘illat. Lima syarat
ini mirip dengan syarat shahih, bedanya di tingkatan dhabtnya. Perincian
lima syarat ini:
1.
Sanadnya bersambung (اِتِّصَالُ السَّنَدِ).
Ini diambil dari ucapan Nazhim: (الْمَعْرُوفُ طُرْقا).
Jalan periwayatannya terkenal menunjukkan sanadnya bersambung, karena jika
terputus bearti tidak dikenal.
2.
Para perawinya adil (عَدَالَةُ الرُّوَاةِ)
Apakah
‘adâlah ini sama dengan ‘adâlah perawi shahih? Jawabanya
ya. Apakah ‘adâlah perawi dituntut ma’shum (terbebas dari
kesalahan)? Jawabannya tidak, karena tidak ada manusia yang ma’shum selain
para Nabi dan Rasul. Mereka dituntut untuk bertaqwa semampu mereka dan
senantiasa menjalankan ketaatan dan menjauhi dosa besar. Dalilnya:
«كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»
“Setiap
anak Adam banyak melakukan kesalahan dan sebaik-baik mereka adalah yang
bertaubat.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, dan Ahmad no. 13049. Dinilai hasan
Al-Albani)
Kalaupun
maksiat, sebatas dosa kecil dan itu pun tidak terus-menerus. Allâh tidak
mengingkari bahwa penghuni Surga-Nya pernah melakukan kesalahan hanya saja
mereka murung dan menyesal sehingga menghentikannya dan bertaubat. Yaitu firman
Allâh:
«وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا
اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ * أُولَئِكَ
جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ»
“Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allâh? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka
itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya
mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik
pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali Imrân [3]: 135-136)
Inilah
standarisasi ‘adâlah yang dituntut. Semakin shalih dan bertaqwa, maka
semakin tinggi ketsiqahannya. Dulu orang-orang sebelum mengambil hadits melihat
dulu shalat perawi tersebut. Jika baik shalatnya maka diambil riwayatnya,
tetapi jika tidak maka tidak.
3. Para perawinya dhabt ringan
(ضَبْطُ الرًّوَاةِ خَفِيف
الضَّبْطِ)
Inilah
yang membedakan dengan kriteria shahih. Untuk itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar
mendefinisikan shahih dengan (بِنَقْلِ الْعَدْلِ تَام الضَّبْطِ) dan hasan dengan (بِنَقْلِ الْعَدْلِ خَفْيْف الضَّبْطِ). (Nuzhatun
Nazhar hal. 82-91) Inilah yang menyebabkan hadits yang awalnya shahih
bisa turun ke hasan.
Dua
syarat ini diisyarakan Nazhim dalam ucapannya: (وَغَدَتْ رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيحِ
اشْتَهَرَتْ).
4
& 5. Terbebas dari syadz dan ‘illat.
Nazhim
tidak menyebutkan dua syarat ini barangkali beranggapan dua ini secara otomatis
harus ada dalam hadits maqbul (diterima) sehingga tidak perlu disinggung
karena sama persis dengan pembahasan syarat shahih. Jika tidak terpenuhi
salah satu syarat ini maka haditsnya mardud (ditolak).
Shighah
ta’dil
(ungkapan ‘adâlah) untuk perawi hasan biasanya memakai ungkapan (صَدُوقٌ) jujur, (لَا بَأسَ بِهِ)
tidak masalah, (صَالِحُ
الْحَدِيثِ)
haditsnya shalih, dan semisalnya.
Contoh
hadits hasan dalam Musnad Abu Ya’la (no. 6147):
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا ضِمَامٌ، عَنْ مُوسَى
بْنِ وَرْدَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَكْثِرُوا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَبْلَ
أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا»
Semua
perawi adalah shahih selain Dhimam bin Ismail, dia hasan.
Adz-Dzahabi berkata, “Haditsnya shalih meski sebagian orang mendha’ifkannya
tanpa hujjah.” Imam Ahmad berkata, “Haditsnya shalih.” Ibnu Hajar berkata,
“Jujur meski terkadang keliru.”
Hadits
hasan juga ada dua: hasan lidzhâtih yang sedang dibahas dan hasan
lighairih, yaitu hadits dha’if yang diangkat hasan karena
adanya syahid (hadits penguat) selagi tidak parah kedha’ifannya.
***
٦ - وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ ... فَهْوَ الضَّعِيفُ
وَهْوَ أَقْسَاماً كَثُرْ
Setiap
hadits yang lebih rendah derajatnya dari hadits hasan disebut hadits dha’if
dan ia banyak macamnya
03. Hadits Dha’if
Secara
bahasa dha’if artinya lemah atau gagal. Yang dimaksud di sini adalah
setiap hadits yang derajatnya di bawah hadits hasan atau yang tidak
memenuhi kriteria hasan. Ini diisyaratkan Nazhim dalam ucapannya: (وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ).
Jumlah
hadits dha’if banyak sekali seperti yang dinyatakan Nazhim sendiri. Hal
ini disebabkan pemicunya banyak sekali dan bermacam-macam. Untuk itu, sisa
pembagian hadits berikutnya banyak menyinggung hadits dha’if, misalnya
hadits munqathi’, mu’dhal, mudallas, syadz, maqlub,
mu’allal, mudhtharib, munkar, matruk, dan maudhu’.
Akan datang penjelasannya in syaa Allâh.
***
٧ - وَمَا أُضِيفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُوعُ ... وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ
الْمَقْطُوعُ
Apa
yang disandarkan ke Nabi adalah hadits marfu’ dan apa yang disandarkan
ke tabi’in adalah hadits maqthu’
04. Hadits Marfu’
S
|
ecara
bahasa marfu’ artinya terangkat. Maksud di sini adalah setiap hadits
yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik sanadnya
bersambung atau tidak, shahih atau dha’if. Jika yang dinisbatkan
ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah ucapannya disebut marfu’
qauli, jika perbuatannya marfu’ ‘amali, jika penetapannya marfu’
taqriri, jika sifatnya marfu’ shifati khalqi atau shifati
khuluqi.
05. Hadits Maqthu’
Maqthu’
artinya
terputus, maksudnya khabar yang dinisbatkan kepada Tabi’in baik bersanad
atau tidak, shahih atau dha’if.
***
٨ - وَالْمُسْنَدُ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ ... رَاوِيهِ
حَتَّى المُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ
Hadits
musnad
adalah yang sanadnya bersambung dari para perawi hingga Al-Musthafa tanpa
terputus
06. Hadits Musnad
Musnad (الْمُسْنَدُ)
adalah isim maf’ul (objek) dari asnada yang seakar dengan isnad,
sehingga maksudnya adalah hadits yang sanad para perawinya bersambung
hingga kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah disinggung
dimuka bahwa ada pula yang mengartikan musnad dengan hadits marfu’
muttashil atau kitab yang menghimpun hadits-hadits muttashil dari
Shahabat seperti kitab Musnad Ahmad. Namun, yang dimaksud Nazhim di sini
adalah yang pertama.
***
٩ - وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ ... إسْنَادُهُ
لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِلْ
Hadits
yang didengar semua perawi dan bersambung sanadnya hingga Al-Musthafa adalah hadits
muttashil
07. Hadits Muttashil
Secara
bahasa muttashil artinya yang bersambung. Maka hadits muttashil
adalah hadits yang sanadnya bersambung kepada Al-Musthafa Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, menurut definisi Nazhim. Namun, definisi ini berakibat
tidak adanya perbedaan dengan hadits musnad. Yang benar, bersambung
kepada orang terakhir, sehingga mencakup Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
maupun selain beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam manuskrip lain
dengan redaksi (للمُنْتَهَى) sebagai ganti
(لِلْمُصْطَفَى). Ini yang benar.
Kesimpulannya,
perbedaan antara hadits marfu’, musnad, dan muttashil
adalah khabar apapun yang bersambung disebut muttashil. Bila
bersambungnya itu sampai ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut musnad.
Adapun marfu’ apa yang disandarkan ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam baik sanadnya bersambung maupun terputus.
***
١٠ - مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى ... مِثْلُ أَمَا
وَاللهِ أَنْبَانِي الْفَتَى
Katakanlah,
hadits musalsal adalah yang mengandung sifat tertentu seperti: Demi Allâh
seorang pemuda mengabarkan kepadaku
١١ - كَذَاكَ قَدْ حَدَّثَنِيهِ قَائِمَا ... أَوْ بَعْدَ أَنْ
حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا
Begitu
pula: sungguh dia mengabarkan kepadaku sambil berdiri, atau setelah mengabarkan
kepadaku ia tersenyum
08. Hadits Musalsal
Secara
bahasa (مُسَلْسَلٌ) artinya (التَتَابُعُ) mengiringi, yaitu bersambungnya sesuatu
satu dengan lainnya.
Secara
istilah hadits musalsal adalah hadits yang diiringi dengan sebuah
ungkapan dari perawi pertama hingga terakhir dengan sifat (ucapan/perbuatan) atau
hâl (keadaan tertentu). Contoh musalsal yang dibawakan Nazhim di
atas adalah musalsal ucapan (وَاللهِ أَنْبَانِي الْفَتَى), musalsal perbuatan (بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا), dan musalsal
hal (قَدْ حَدَّثَنِيهِ قَائِمَا). Ini termasuk
keunikan hadits.
Musalsal harus ada di setiap tingkatan
perawi. Ada yang berpendapat bahwa musalsal tidak harus ada pada semua
perawi, yang penting mayoritas.
Contoh
lainnya adalah hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu dimana Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:
«يَا مُعَاذُ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ
فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولَ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ
وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ»
“Wahai
Muadz, aku benar-benar mencintaimu. Aku wasiatkan kepadamu wahai Muadz agar
kamu jangan pernah meninggalkan doa di akhir shalat, ‘Ya Allâh tolonglah aku
untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadah
kepada-Mu.’”
(HR. Ahmad no. 22119, At-Tirmidzi no. 1522, dan An-Nasai no. 1303. Dinilai shahih
Al-Albani dan Al-Arna`uth)
Masing-masing
perawi berwasiat kepada muridnya (إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ). Muadz berwasiat kepada Ash-Shunabihi, Ash-Shunabihi
kepada Abu ‘Abdirrahman, Abu ‘Abdurrahman kepada ‘Uqbah bin Muslim, dan begitu
seterusnya.
***
١٢ - عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ
مَرْوِي فَوْقَ مَا ثَلَاثَهْ
Hadits
‘aziz
adalah yang perawinya dua atau tiga, dan hadits masyhur perawinya lebih
dari tiga
Ditinjau
dari jumlah generasi yang meriwayatkan hadits, hadits dibagi dua: mutawatir dan
ahad. Hadits ahad dibagi tiga: gharib, ‘aziz, dan masyhur.
Gharib akan datang pada pembahasan berikutnya.
09. Hadits ‘Aziz
Secara
bahasa ‘aziz artinya kedatangan yang lain dari arah lain. Secara istilah
artinya hadits yang diriwayatkan oleh dua perawi pada setiap thabaqat (tingkatan
generasi) dimulai setelah thabaqat Shahabat. Ditentukan hanya satu Shahabat
karena seorang Shahabat adalah hujjah yang kuat dan menyendirinya mereka tidak
berbahanya selagi tidak ada Shahabat lain yang menyelisihinya. Adapun ucapan
Nazhim bahwa jumlahnya dua atau tiga, karena memang ada khilaf di dalamnya.
Muhadditsin seperti Ibnu Shalah, Al-‘Iraqi, dan An-Nawawi menganggap dua atau
tiga, sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkan hanya dua, dan ini yang lebih kuat.
Ibnu
Hajar memberikan contohnya dalam Nuzhatun Nazhar (hal. 70) sebuah hadits
dari Anas bin Malik dan Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
“Salah
seorang di antara kalian tidak (sempurna) beriman hingga aku lebih dicintainya
melebihi orangtuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari no. 14-15 dan Muslim
no. 44)
Yang
meriwayatkan dari Anas hanya Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz, yang dari Qatadah hanya
Syu’bah dan Sa’id, yang dari ‘Abdul ‘Aziz hanya ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits.
Setelah itu banyak orang yang meriwayatkannya.
Faidah
berharga mengumpulkan jalan periwayatan sehingga mencapai ‘aziz atau masyhur
bermanfaat dalam mengangkat hadits lemah kepada hasan lighairih selagi kedha’ifannya
ringan.
10. Hadits Masyhur
Adapun
masyhur diriwayatkan minimal tiga perawi dalam semua thabaqat
yang tidak sampai mencapai derajat mutawatir (10 lebih perawi dalam satu
thabaqah). Definisi jumhur ini berbeda dengan Nazhim yang jumlahnya
minimalnya empat. Jumlah perawi mutawatir melebihi masyhur dan
ada yang mengatakan batas minimal 10 perawi pada setiap thabaqat.
Contoh
hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari no. 100 dan
Muslim no. 2673:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ،
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ
العَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
«إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ
يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا»
قَالَ الفِرَبْرِيُّ: حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ
Yang
meriwayatkan dari Ibnu ‘Amr tiga lebih: Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair bin
Awwam, dan Khaitsamah. Yang meriwayatkan dari ‘Urwah adalah anaknya, Abil
Aswad, Az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir, dan lainnya. Yang dari Hisyam bin ‘Urwah
ada putranya Muhammad, Hammad bin Zaid, Muhammad bin Ajlan, Malik, dan Jarir.
Begitu seterusnya dimana tiap thabaqat minimal tiga perawi.
Inilah
masyhur isthilahi. Ada pula masyhur majazi yang memiliki definisi
lain yaitu setiap hadits yang terkenal di kalangan tertentu baik muttashil
atau munqathi’, shahih atau dha’if, ahad atau mutawatir. Masyhur
ada banyak macamnya:
1.
Masyhur di kalangan muhadditsin saja
2.
Masyhur di kalangan muhadditsin, ulama, dan ahli fiqih
3.
Masyhur di kalangan semua orang termasuk orang awam
4.
Dan masyhur lainnya.
***
١٣ - مُعَنْعَنٌ كَعَن سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ... وَمُبْهَمٌ مَا
فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ
Hadits
mu’an’an
contohnya: dari Sa’id dari Karam, dan hadits mubham adalah jika ada
perawi yang tidak disebutkan namanya
11. Hadits Mu’an’an
Secara
bahasa (مُعَنْعَنٌ) berasal dari (عَنْ) yang artinya “dari”. Secara istilah
adalah hadits yang diungkapkan dengan lafazh (عَنْ)
tanpa kejelasan mendengar atau dikabarkan.
Di
antara tujuan perawi menggunakan shighah (عَنْ):
1. Mengaburkan
perawi-bawah sehingga terkesan ia mendengar langsung dari syaikhnya atau
dikabarkan kepadanya. Padahal ia mendengarkannya dari orang lain.
2.
Pada perawi tsiqah, biasanya untuk tujuan
menyingkat.
Status hadits mu’an’an menurut jumhur muhadditsin
seperti Al-Bukhari dan Ibnul Madini adalah muttashil dengan tiga syarat:
1.
Perawinya ‘adâlah.
2. Perawinya
tidak dikenal gemar tadlis (menyamarkan sanad dha’if
sehingga terkesan shahih)
3.
Bertemunya perawi dengan perawi yang dilafazhkan ‘an’anah.
(Disebutkan Ibnu ‘Abdilbarr dalam At-Tamhîd I/17)
Adapun
Imam Muslim lebih longgar, yaitu dengan mensyaratkan (المُعَاصِرَة مَعَ إِمْكَانِ اللِّقَاءِ) sezaman
disertai kemungkinan bertemu. Maksudnya, Ali Ibnul Madini dan Al-Bukhari
mengharuskan antar perawi ada kejelasan riwayat mereka bertemu, sementara
Muslim tidak harus karena yang penting sezaman disertai kemungkinan bertemu.
12. Hadits Mubham
Adapun
mubham secara bahasa artinya belum jelas dan misterius. Adapun secara
istilah telah dijelaskan sendiri oleh Nazhim sebagaimana yang kita lihat dalam
ucapan beliau (مَا
فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ).
Mubham ada dua, yaitu mubham isnad
di mana ada nama perawi yang tidak disebut seperti seorang lelaki mengabarkan
kepadaku, dan kedua: mubham matan seperti hadits bahwa ada
seorang wanita yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bertanya tentang haidh. Setelah diselidiki muhadditsin rupanya dia adalah Asma
binti Abu Bakar.
Di
antara tujuan perawi tidak menyebut nama adalah:
1. Pada
isnad, biasanya untuk menyembunyikan perawi dha’if. Status asal mubham
isnad adalah dha’if sampai ditemukan referensi namanya. Jika
ternyata perawi tsiqah, maka hukumnya shahih, tetapi jika tidak
maka tidak.
2.
Pada matan, biasanya untuk menjaga aib, rahasia,
atau kehormatan seseorang. Mubham matan tidak membahayakan hadits
jika keadaanya salah satu dari dua ini: yang mubham itu adalah nama Shahabat
atau yang menceritakannya adalah Shahabat atau orang tsiqah, karena
disepakati bahwa semua Shahabat ‘adâlah sehingga tidak perlu
diperbincangkan.
***
١٤ - وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ ... وَضِدُّهُ ذَاكَ الَّذِي
قَدْ نَزَلاَ
Setiap
hadits yang perawinya sedikit disebut hadits ‘ali, dan kebalikannya
adalah hadits nazil
13. Hadits ‘Ali
Secara
bahasa (العَالِي) artinya tinggi
atau mulia. Secara istilah hadits ‘ali adalah hadits yang thabaqat
(generasi) perawi dalam sanadnya sangat sedikit. Hadits ‘ali ada dua
macam:
1.
Mutlak, yaitu sedikit dari sisi jumlah thabaqatnya
di mana perawi yang bersambung hingga ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sangat sedikit. Contoh kitab hadits ‘ali adalah Al-Muwaththa` di
mana antara Imam Malik dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya
dua sampai tiga perawi. Juga kitab Musnad Ahmad dan Shahih
Al-Bukhari di mana antara mereka berdua dengan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam hanya empat hingga enam perawi.
2.
Nisbi, yaitu dilihat dari sisi ketinggian perawi di mana
para perawinya adalah para imam meskipun jumlah thabaqat perawi sanadnya
banyak.
Faidah:
Ada hadits ‘ali sekaligus nisbi yang disebut dengan silsilah
dzahabiyah (silsilah emas) karena thabaqat para perawinya sedikit
sekaligus para imam tsiqah, yaitu sanad dalam kitab Muwaththa`:
Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Keistimewaan
hadits ‘ali adalah sedikitnya kemungkinan kesalahan perawi karena
banyaknya perawi memungkinkan terjadinya kesalahan periwayatan baik karena lupa
atau keliru, apalagi manusia itu tempat lupa dan salah. Kebalikannya adalah
hadits nazil.
14. Hadits Nazil
Secara
bahasa (النَّازِل) artinya yang turun.
Yang dimaksud di sini adalah hadits yang jumlah perawinya bersambung ke Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lebih banyak daripada hadits ‘ali. Mudahnya,
misalnya hadits niat yang diriwayatkan oleh Ahmad (no. 168) dalam Musnadnya
dan Al-Baihaqi (no. 1) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr. Antara Ahmad dengan
Nabi terdapat 5 perawi, sementara Al-Baihaqi terdapat 8 perawi. Maka hadits
niat milik Ahmad adalah hadits ‘ali sementara Al-Baihaqi adalah nâzil.
***
١٥ - ومَا أَضَفْتَهُ إِلَى الأَصْحَابِ مِنْ ... قَوْلٍ وَفِعْلٍ
فَهْوَ مَوْقُوفٌ زُكِنْ
Apa
yang disandarkan kepada para Shahabat baik ucapan maupun perbuatan adalah hadits
mauquf, mengertilah
15. Hadits Mauquf
Secara
bahasa mauquf artinya yang terhenti atau tertahan. Secara istilah adalah
hadits yang berhenti sampai Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum, baik ucapan
maupun perbuatan, baik muttashil maupun munqhathi’ selagi tidak
ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya ke marfu’. Adapun Al-Hakim
mensyaratkan muttashil untuk disebut hadits mauquf.
Jadi
perbedaan marfu’, mauquf, dan maqthu’ adalah jika marfu’
maka disandarkan ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mauquf ke
Shahabat, dan maqthu’ ke Tabi’in, baik muttashil maupun munqathi’.
Terkadang
hadits mauquf dihukumi marfu’ bila ada qarinah seperti
ungkapan sharih (jelas) marfu’ atau yang semisalnya, atau yang berkaitan
dengan keghaiban atau ushuluddin, karena mustahil para Shahabat berbicara dari
akalnya semata.
***
١٦ - وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَابِيُّ سَقَطْ ... وَقُلْ غَرِيبٌ
مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Hadits
mursal
adalah bila perawi Shahabat gugur, dan katakanlah hadits gharib itu bila
perawinya hanya satu
16. Hadits Mursal
Secara
bahasa (مُرْسَلٌ) berasal dari (نَاقةٌ مُرْسَالٌ) artinya unta yang cepat larinya,
seolah-olah karena saking cepatnya hingga hilang sebagian sanadnya.
Secara
istilah hadits mursal adalah hadits yang disandarkan Tabi’in kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik Tabi’in besar maupun Tabi’in kecil.
(Disebutkan Ibnu Shalah dalam Muqaddimah hal. 130) Definisi ini
mengandung arti bahwa dimungkinkan yang gugur ada yang selain Shahabat sehingga
derajatnya menjadi dha’if. Ini berbeda dengan definisi Nazhim di mana
perawi yang gugur adalah Shahabat, sementara Shahabat semuanya ‘udûl
sehingga tidak membahayakan atas tidak diketahuinya nama mereka. Padahal hadits
mursal termasuk hadits dha’if. Dalam literatur lain bait di atas
diganti:
وَمُرْسَلٌ
مِنْ فَوْقِ تَابِعِي سَقَطَ
“Dan
hadits mursal adalah perawi di atas Tabi’in gugur.” Ini yang shahih.
17. Hadits Gharib
Sementara
gharib secara istilah artinya asing atau menyendiri dari yang lain.
Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja dalam semua
thabaqat. Ini lanjutan dari pembahasan hadits ahad (gharib,
‘aziz, dan masyhur) dimuka.
***
١٧ - وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ ... إسْنَادُهُ
مُنْقَطِعُ الأَوْصَالِ
Setiap
hadits yang keadaan sanadnya tidak bersambung disebut hadits munqathi’
18. Hadits Munqathi’
Secara
bahasa munqathi’ artinya terputus. Berdasarkan bait di atas, Nazhim
mengartikan munqathi’ hanya secara bahasa sehingga mencakup semua hadits
yang terputus sanadnya seperti hadits mursal dan mu’dhal, berbeda
dengan definisi yang masyhur di kalangan muhadditsin. Menurut
muhadditsin hadits munqathi’ artinya hadits yang gugur satu perawi atau
lebih di bawah Shahabat asal tidak berurutan sehingga tidak mencakup hadits mursal
dan mu’dhal.
***
١٨ - والُمعْضَلُ السَّاقِطُ مِنهُ اثْنَانِ ... وَمَا أَتَى مُدَلَّساً
نَوعَانِ
Hadits
mu’dhal
adalah bila perawi yang gugur dua, dan hadits mudallas ada dua macam
١٩
- اَلْأَوَّلُ: الْاَسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ ... يَنْقُلَ عَمَّنْ فَوْقَهُ
بِعَنْ وَأَنْ
Pertama:
gurunya gugur dengan penukilan di atasnya memakai (عَنْ) dan (أَنْ)
٢٠
- وَالثَّانِ: لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ ... أَوْصَافَهُ بِمَا بِهِ لاَ يَنْعَرِفْ
Kedua:
gurunya tidak gugur tetapi menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal
19. Hadits Mu’dhal
Secara
bahasa mu’dhal artinya rumit, seolah-olah muhadditsin memakai ungkapan
itu karena hadits mu’dhal memang rumit disebabkan ada dua atau lebih
perawi yang gugur secara berurutan. Jika tidak berurutan masuk kategori hadits munqathi’.
Hukum
hadits mu’dhal adalah dha’if bahkan lebih dha’if daripada munqathi’.
20. Hadits Mudallas
Secara
bahasa mudallas artinya gelap, seolah-olah disebabkan keadaan riwayat
itu tertutupi. Mudahnya, hadits yang ada cacatnya tetapi oleh perawi memakai
ungkapan tetentu untuk menyembunyikan cacatnya. Mudallas ada dua macam,
yaitu:
Pertama:
tadlis isnad (تَدْلِيسُ
الْإِسْنَادِ),
yaitu seorang perawi yang meriwayatkan dari gurunya dengan sighah (عَنْ) dan (أَنْ)
untuk mengelabuhi orang seolah-olah dia mendengarnya langsung dari gurunya,
padahal dia mendapatkannya dari orang lain. Jadi antara dia dan gurunya masih
ada satu orang tapi dia ingin menyembunyikannya sehingga dalam riwayatnya
memakai ungkapan “dari” atau “bahwa”. Ini tidak lain bentuk tadlis dari
perawi mu’an’an yang sudah dibahas, dan jika bentuk tadlisnya (أَنْ) maka disebut (مُئَنْئَنْ). Bentuk tadlis ini amat dibenci
muhadditsin hingga Syu’bah mengatakan, “Tadlis adalah teman dusta,” juga,
“Sungguh aku berzina lebih aku sukai daripada aku melakukan tadlis.”
Hukum hadits mudallas ini dha’if kecuali dengan memakai ungkapan
yang jelas menunjukkan dengar seperti: aku mendengar (سَمِعْتُ) yang disebut shighah tasmi’ dan
menceritakan kepadaku (حَدَّثَنَا) yang disebut shighah
tahdits.
Kedua:
tadlis syuyukh (تَدْلِيسُ
الشُّيُوْخِ),
yaitu perawi memang mendengar langsung dari gurunya tetapi ia menyembunyikan
identitas gurunya dengan ungkapan tertentu sehingga tidak dikenal, seperti
kunyahnya, nasabnya, atau sifatnya. Jenis tadlis ini lebih ringan dari
yang pertama.
Tujuan
tadlis ada banyak dan umumnya karena perawinya dha’if.
***
٢١ - وَمَا يُخَالِفْ ثِقَةٌ بِهِ الْمَلَا ... فَالشَّاذُّ وَالَمقْلُوبُ
قِسْمَانِ تَلَا
Hadits
tsiqah yang menyelisihi hadits jamaah disebut hadits syadz, dan hadits
maqlub ada dua macam, bacalah
٢٢
- إبْدَالُ رَاوٍ مَا بِرَاوٍ قِسْمُ ... وَقَلْبُ إسْنَادٍ لِمَتْنٍ قِسْمُ
Pertama:
mengganti perawi dengan perawi lain dan kedua: membalik sanad-matan
21. Hadits Syadz
Secara
bahasa (الشَّاذّ) artinya
menyendiri dari mayoritas (المُنْفَرِدُ
عَنِ الْجُمْهُورِ).
Secara istilah hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan perawi tsiqah
tetapi menyelisih perawi yang lebih tsiqah darinya secara kedhabitan
atau jumlahnya. Jadi adakalanya perawi yang diselisihi itu lebih dhabit
atau jumlahnya lebih satu.
Tsiqah adalah sifat perawi shahih
sehingga tidak tercakup perawi hasan. Untuk itu Al-Hafizh Ibnu Hajar
membuat definisi yang lebih mencakup dengan “Hadits yang diriwayatkan perawi
maqbul tetapi menyelisih perawi yang lebih utama darinya.”
22. Hadits Maqlub
Secara
bahasa (المَقْلُوبُ) artinya terbalik/tertukar
yaitu mengganti sesuatu dengan lainnya. Nazhim mendefinisikannya lewat dua
pembagian dari hadits maqlub ini:
1.
Hadits yang masyhur dengan perawi tertentu lalu
ditukar dengan perawi lain dalam satu thabaqat sehingga menjadi hadits gharib,
seperti menukar Salim dengan Nafi’.
2.
Hadits yang masyhur dengan sanad tertentu
lalu ditukar dengan sanad lain atau matan dengan matan
lain. Jenis ini masuk hadits maudhu’ (palsu). Terkadang terjadi karena
keraguan perawi atau tujuan untuk menguji kekuatan hafalan seperti yang terjadi
pada Al-Bukhari.
Contoh
maqlub matan dengan matan lain adalah hadits Abu Hurairah
milik Muslim:
«وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِينُهُ
مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ»
“Seseorang
yang bersedekah dengan sembunyi hingga tangan kanannya tidak tahu apa
yang disedekahkan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 1031)
Matan
ini maqlub karena matan yang masyhur adalah:
«وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ
مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ»
“Seseorang
yang besedekah dengan sembunyi hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang
disedekahkan tangan kanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1423, At-Tirmidzi no.
2391, An-Nasai no. 5380, Ahmad no. 9665, Ibnu Hibban no. 358, Ibnu Khuzaimah
no. 4486, dan lain-lain)
***
٢٣ - وَالفَرْدُ مَا قَيَّدْتَهُ بِثِقَةِ ... أَوْ جَمْعٍ أوْ
قَصْرٍ عَلَى رِوَايَةِ
Hadits
fard
adalah yang periwayatannya diikat dengan satu perawi tsiqah, banyak, atau
terbatas
23. Hadits Fard
Secara
bahasa (الفَرْدُ) artinya ganjil
(الوِتْرُ). Hadits fard
ada dua:
Pertama:
fard mutlaq (فَرْدٌ
مُطْلَقٌ),
yaitu perawi tsiqah tafarrud (menyendiri) dalam periwayatan di
mana tidak ada perawi-perawi tsiqah lainnya mengambil kecuali darinya.
Hadits fard adalah turunan dari hadits gharib di atas. Contohnya
hadits Muslim dalam Shahihnya no. 891:
وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا أَبُو عَامِرٍ
الْعَقَدِيُّ، حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ، عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ
بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، قَالَ: سَأَلَنِي
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: عَمَّا قَرَأَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ الْعِيدِ؟ فَقُلْتُ: «بِاقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ، وَق وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيدِ»
Al-Hafizh
Al-‘Iraqi menjelaskan, “Hadits ini dari jalur riwayat Dhamrah bin Sa’id Al-Mazini
dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah dari Abu Waqid Al-Laitsi dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Hadits ini tidak diriwayatkan para tsiqah kecuali
dari Dhamrah.” (At-Tabsirah wat Tadzkirah I/220)
Kedua:
fard nisbi (فَرْدٌ
نِسْبِيٌّ),
yaitu tafarrudnya dikaitkan dengan jamaah atau perawi tertentu. Fard
nisbi ada dua:
1.
Jamaah tertentu (جَمْع),
seperti hadits yang diriwayatkan penduduk negeri tertentu (misal penduduk
Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah) sementara penduduk-penduduk negeri
lain/negerinya sendiri tidak meriwayatkan kecuali dari mereka. Contohnya hadits
Muslim no. 973 dalam Shahihnya:
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ
اللهِ، وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ - وَاللَّفْظُ لِابْنِ رَافِعٍ -، قَالَا: حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ، أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ، عَنْ أَبِي
النَّضْرِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عَائِشَةَ، لَمَّا
تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، قَالَتْ: ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى
أُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَأُنْكِرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَقَالَتْ: «وَاللهِ، لَقَدْ صَلَّى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي الْمَسْجِدِ
سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ» قَالَ مُسْلِم: «سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ
أُمُّهُ بَيْضَاءُ»
Al-Hakim
mengomentari, “Penduduk Madinah tafarrud dalam hadits ini dan seluruh
perawinya penduduk Madinah. Diriwayatkan juga dengan sanad lain dari
Musa bin ‘Uqbah dari ‘Abdul Wahid bin Hamzah dari ‘Abdullah bin Az-Zubair dari
‘Aisyah dan semuanya penduduk Madinah. Tidak ada penduduk lain yang berserikat
dengan mereka dalam hadits ini.” (Ma’rifat Ulûmil Hadîts hal. 97)
2.
Orang tertentu (قَصْر),
misalnya ada seorang perawi tertentu yang mana tidak ada yang meriwayatkan
darinya kecuali perawi tertentu juga, meskipun ia juga meriwayatkan dari jalur
lain. Contohnya hadits At-Tirmidzi no. 1095 dalam Al-Jâmi’ yang dishahihkan
Al-Albani:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ
قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ وَائِلِ بْنِ دَاوُدَ، عَنْ ابْنِهِ،
عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ»: «هَذَا حَدِيثٌ
غَرِيبٌ»
Ibnu
Thahir mengomentarinya dalam Athrâful Gharâ`ib, “Hadits ini gharib
dari hadits Bakar bin Wa`il, Wa`il bin Dawud tafarrud, dan tidak ada
yang meriwayatkan darinya selain Sufyan bin ‘Uyainah.” (At-Tabshirah wat
Tadzkirah I/218)
***
٢٤ - وَمَا بِعِلَّةٍ غُمُوضٍ أَوْ خَفَا ... مُعَلَّلٌ
عِنْدَهُمُ قَدْ عُرِفَا
Hadits
yang cacatnya tersembunyi atau tersamar disebut hadits mu’allal menurut
pengertian ahli hadits
24. Hadits Mu’allal
Definisi
hadits mu’allal (memiliki ‘illat) telah disinggung pada pembahasan
syarat hadits shahih bahwa secara bahasa ‘illat artinya penyakit
atau cacat, tepatnya penyakit atau cacat tersembunyi. Maksudnya di sini, hadits
yang memiliki cacat tersembunyi atau samar sehingga yang nampak adalah shahih.
Cacat tersembunyi ini hanya diketahui oleh pakar hadits yang mendalam seperti
Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Ali Ibnul Madini, Yahya bin Ma’in, Al-Bukhari,
Muslim, Ad-Daruquthni, dan yang semisalnya. Sebab, untuk mengetahui ‘illat
suatu hadits diharuskan mengumpulkan seluruh tatabu’ wa thuruq (jalur periwayatan)
yang ada lalu diteliti.
Hadits
mu’allal termasuk hadits dha’if tetapi terkadang ada yang shahih
seperti perawi tsiqah diganti tsiqah lain. Mu’allal
terjadi pada sanad dan matan. Al-Hakim menyebutkan dalam Al-Ma’rifah
hal. 119 sepuluh jenis ‘illat dan yang tidak beliau sebutkan lebih
banyak lagi.
Cara
mengetahui ‘illat hadits ada 4:
1.
Mengumpulkan semua tatabu’ wa thuruqul hadits.
2.
Menganalisa perbedaan antar riwayat yang ada.
3.
Membandingkan tingkat ketsiqahan perawi antar riwayat.
4.
Baru ditentukan riwayat yang ber’illat.
Contoh
mu’allal sanad adalah hadits An-Nasa`i no. 4477 yang dishahihkan
Al-Albani:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مَخْلَدٌ
قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ بَيِّعَيْنِ لَا بَيْعَ
بَيْنَهُمَا حَتَّى يَتَفَرَّقَا إِلَّا بَيْعَ الْخِيَارِ»
Di
sana tertulis ‘Amr bin Dinar padahal yang benar ‘Abdullah bin Dinar. ‘Illat ini
kemungkinan dari keraguan perawi di bawahnya: Makhlad atau ‘Abdulhamid bin
Muhammad. ‘Illat ini tidak berbahaya karena ‘Amr maupun ‘Abdullah sama-sama
perawi shahih. Sanad ini berlainan dengan apa yang terdapat dalam riwayat
Al-Bukhari no. 2113, Abu Dawud no. 3454, An-Nasa`i no. 4465 & 4475, Ahmad
no. 4566, dan lainnya di mana yang tercantum ‘Abdullah bin Dinar bukan ‘Amr bin
Dinar. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur Nafi’ dari Ibnu ‘Umar oleh Al-Bukhari
no. 2108 dan Muslim no. 1531.
Contoh
mu’allal matan adalah hadits Muslim no. 399 dalam Shahihnya:
حَدَّثَنَا مُحمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ،
عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، أَخْبَرَنِي، إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ،
أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ [وَعَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ قَالَ]: صَلَّيْتُ خَلَفَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، فَكَانُوا
يَسْتَفْتِحُونَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا يَذْكُرُونَ {بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا
Matan
(فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا يَذْكُرُونَ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ} فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا) tidak terdapat dalam riwayat yang masyhur
seperti Al-Bukhari no. 743, At-Tirmidzi no. 246, Abu Dawud no. 782, An-Nasa`i
no. 902, Ibnu Majah no. 813, Ahmad no. 12084, Ibnu Khuzaimah no. 491, dan
lainnya. Jadi tambahan tersebut dari perawi yang menyangka ucapan Anas di atas
menafikan basmalah hingga ia pun menambah di akhir hadits, “Mereka membukanya
dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) tanpa menyebut
(بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) di awal bacaan
maupun di akhirnya.” Ini keliru, yang benar mereka membacanya tetapi dengan
suara lirih sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan Asy-Syafi’i
menganjurkan dikeraskan saat shalat jahr. At-Tirmidzi menjelaskan hadits
ini dalam Al-Jâmi’ no. 246 seusai membawakan hadits di atas, “Hadits ini
diamalkan ahli ilmu dari kalangan Shahabat, Tabi’in, dan generasi setelahnya,
yaitu mereka memulai bacaan dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ). Asy-Syafi’i menjelaskan, ‘Makna hadits:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman
memulai bacaan dengan (الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)
adalah mereka memulai bacaan dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) sebelum surat-surat lain, dan bukanlah
maknanya mereka tidak membaca (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ).’ Asy-Syafi’i berpendapat untuk dimulai
dengan (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dan dikeraskan
bila shalat jahr (Maghrib, ‘Isya, dan Shubuh).” (Al-Jâmi’ II/15)
Pendapat
Asy-Syafi’i ini shahih ada dalilnya, di antaranya ucapan Anas bin Malik:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ
بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Di
akhir hadits, Al-Hakim dalam Al-Mustadrâk no. 853 menyatakan semua
perawinya tsiqah hingga akhir dan disetujui Adz-Dzahabi dalam At-Talkhîs.
Untuk
itu, dalam masalah ini ada keluasan dan lapang dada antara yang mengeraskan
bacaan basmalah dengan yang melirihkan, meski yang kuat dan masyhur
adalah dengan dilirihkan. Ini dipegang Imam Ahmad, Ibnul Qayyim, dan lainnya.
Mu’allal matan ini termasuk kategori
hadits mudraj (tambahan redaksi oleh perawi). Akan datang pembahasan mudraj
secara khusus, in syaa Allâh.
***
٢٥ - وَذُو اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ ... مُضْطَرِبٌ عِنْدَ
أُهَيْلِ الْفَنِّ
Hadits
yang sanad atau matannya berbeda disebut hadits mudhtharib menurut ahli
hadits
25. Hadits Mudhtharib
Secara
bahasa mudhtharib artinya (مُخْتَلٌّ)
yaitu goncang, tidak teratur, bingung, tidak seimbang, tidak normal, dan sakit
pikiran. Secara istilah hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan
seorang atau banyak perawi dalam bentuk redaksi yang berbeda dengan riwayat
yang masyhur, padahal sama-sama kuat sehingga tidak bisa ditarjih
(ditentukan yang kuat) karena tidak mungkin dijama’ (digabungkan).
Idhthirab
(kegoncangan)
ini kebanyakan terjadi pada sanad tetapi kadang terjadi juga pada matan.
Ia termasuk hadits dha’if.
Contoh
muththarib sanad adalah hadits Abu Dawud no. 689 dalam Sunannya
yang dinilai dha’if Al-Albani:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ، حَدَّثَنِي أَبُو عَمْرِو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حُرَيْثٍ،
أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ حُرَيْثًا يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ
تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ»
Sanad
hadits ini idhthirab karena beberapa riwayat antara Ismail bin Umayyah
sampai Abu Hurairah goncang redaksinya hingga mencapai 10 lebih, di antaranya:
١- عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو
بْنِ حُرَيْثٍ يُحَدِّثُهُ عَنْ جَدِّهِ
٢- عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ جَدِّهِ حُرَيْثِ بْنِ سُلَيْمٍ
٣- عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ،
عَنْ أَبِيهِ
٤- عَنْ أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ جَدِّهِ
Sya’aib
Al-Arnauth mengomentari ini dalam ta’liq Shahih Ibnu Hibban no. 2361,
“Sanadnya dha’if karena idhthirab dan kemajhulan (tidak dikenal) Abu
Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dan kakeknya. Hadits ini didha’ifkan oleh
Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Asy-Syafi’i, Al-Baghawi, dan lain-lain. Ibnu Qudamah
berkata dapat Al-Muharrar, ‘Ini hadits mudhtharib isnad.’”
Contoh
mudhtharib matan adalah hadits Ibnu Majah no. 1789 yang dinilai dha’if
munkar oleh Al-Albani:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
آدَمَ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ
قَيْسٍ، أَنْهَا سَمِعَتْهُ تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
«لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ»
Penilaian
Al-Albani akan kedha’ifan hadits ini dilihat dari Syarik yang buruk
hafalannya dan Abu Hamzah Maimun Al-A’raj yang didha’ifkan Ahmad, Ad-Daruquthni,
Al-Bukhari, dan An-Nasa`i. Penilaian munkar karena hadits dha’if
ini menyelisihi hadits shahih bahkan menyelisihi ayat, “Berikanlah
kepada kerabat haknya, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.” [17: 26]
Dari
sisi idhthirab, matan ini berlainan dengan riwayat-riwayat lain
padahal satu sanad, misalnya riwayat At-Tirmidzi no. 660 yang dinilai dha’if
Al-Albani:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الطُّفَيْلِ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «إِنَّ فِي المَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ» هَذَا حَدِيثٌ إِسْنَادُهُ لَيْسَ
بِذَاكَ، وَأَبُو حَمْزَةَ مَيْمُونٌ الأَعْوَرُ يُضَعَّفُ، وَرَوَى بَيَانٌ وَإِسْمَاعِيلُ
بْنُ سَالِمٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ هَذَا الحَدِيثَ قَوْلَهُ، وَهَذَا أَصَحُّ
Sungguh
mengejutkan sama-sama dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari Fathimah
tetapi yang itu meniadakan dan yang ini menetapkan. Maksud hadits At-Tirmidzi
ini, disamping harta memiliki hak zakat juga memiliki hak lain seperti yang
tertera dalam Al-Isra` ayat 26 di atas. Ini yang benar. Kemudian At-Tirmidzi
menjelaskan bahwa sanad ini keliru karena yang benar ucapan ini milik Asy-Sya’bi
yang diriwayatkan Bayan dan Isma’il bin Salim.
***
٢٦ - وَالُمدْرَجَاتُ فِي الْحَدِيثِ مَا أَتَتْ ... مِنْ بَعْضِ
أَلْفَاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ
Hadits
mudraj adalah
hadits yang kemasukan sebagian lafazh perawi
26. Hadits Mudraj
Secara
bahasa (الإدراج) artinya
kemasukan (الإدخال). Secara
istilah hadits mudraj adalah hadits yang di sanadnya atau matannya
ketambahan lafazh yang bukan darinya yang dimasukkan oleh perawi tanpa
menjelaskan tambahan itu sehingga seolah-olah bagian dari hadits. Tambahan ini
tidak boleh diyakini bagian hadits tersebut dan larangan ini ijma muhadditsin
dan ahli fiqih.
Idraj
ini memiliki tujuan tertentu dari perawi, seperti:
1.
Menjelaskan tafsir hadits, makna kata gharib, atau
kesimpulan perawi.
2.
Agar ucapannya yang dianggap baik itu diterima manusia.
3.
Karena keliru. Yang ini umumnya terjadi pada sanad.
Mudraj terjadi pada sanad dan matan.
Contoh mudraj sanad adalah riwayat At-Tirmidzi no. 3182:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: «أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ»،
قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ
مَعَكَ»، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «أَنْ تَزْنِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ».
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ
قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، وَالأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ. هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
At-Tirmidzi
mendapatkan hadits ini dari dua jalur: Muhammad bin Basyar dan Bundar. Riwayat
Bundar benar tetapi riwayat Muhmmad bin Basyar keliru karena riwayat Washil
dari Wa`il tanpa ‘Amr bin Syurahbil, adapun riwayat Manshur dan A’masy dari
Wa`il memang benar melalui ‘Amr bin Syurahbil. Riwayat Washil tanpa ‘Amr ini
bisa diketahui dari riwayat lain seperti yang tertera dalam riwayat Al-Bukhari
no. 4761, At-Tirmidzi no. 3183, dan An-Nasa`i no. 4014. At-Tirmidzi menjelaskan
setelah membawakan sanad lain:
عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ. هَكَذَا رَوَى شُعْبَةُ، عَنْ وَاصِلٍ،
عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَمْرَو بْنَ شُرَحْبِيلَ
Ini
artinya ada kesalahan penambahan satu orang dalam riwayat Muhammad bin Basysyar
di atas sehingga ia termasuk hadits mudraj.
Contoh
mudraj matan adalah hadits Al-Bukhari no. 2541:
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا
يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ المُسَيِّبِ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لِلْعَبْدِ المَمْلُوكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ
الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالحَجُّ وَبِرُّ أُمِّي، لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوتَ
وَأَنَا مَمْلُوكٌ»
Sekilas
lafazh (وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ...) adalah ucapan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena ketiadaan pemisah dengan
sebelumnya, padahal ia adalah ucapan Abu Hurairah. Ini diketahui dari riwayat-riwayat
lain yang banyak yang menunjukkan demikian, misalnya riwayat Muslim no. 1665, Ahmad no. 9224, Al-Baihaqi no. 15809 dalam Al-Kubrâ,
dan Abu ‘Awanah no. 6086 dalam Al-Mustakhrâj dengan lafazh (وَالَّذِي نَفْسُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ). Kemungkinan
ini terjadi karena kesalahan perawi atau Abu Hurairah mengucapkannya beberapa
kali kepada beberapa muridnya dalam kesempatan berbeda-beda dan sebagian tidak
diberi pemisah karena sudah dikenal oleh selainnya bahwa itu tambahan darinya.
***
٢٧ - وَمَا رَوَى كُلُّ قَرِينٍ عَنْ أَخِهْ ... مُدَّبَّجٌ فَاعْرِفْهُ
حَقًّا وَانْتَخِهْ
Setiap
hadits yang diriwayatkan oleh perawi segenerasi dari saudaranya adalah hadits
mudabbaj, maka ketahuilah ini dengan baik
27. Hadits Mudabbaj
Secara
bahasa mudabbaj artinya yang diperindah atau dihiasi. Secara bahasa (الأقران) artinya semasa atau sezaman, maksudnya
para perawi yang saling berdekatan dalam umur atau sanad. Jika dua
perawi aqran saling meriwayatkan satu dengan lainnya disebut mudabbaj.
Mudabbaj bisa terjadi pada generasi:
1.
Shahabat, seperti ‘Aisyah dari Abu Hurairah dan
sebaliknya.
2.
Tabi’in, seperti Az-Zuhri dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘aziz
dan sebaliknya.
3.
Tabi’ut Tabi’in, seperti Malik dari Al-Auza’i dan
sebaliknya.
4.
Dan generasi berikutnya.
Hadits
dengan jenis ini sangat langka sekali laksana langkanya pemuda yang jamaah di
masjid. Contoh hadits aqran tetapi belum mudabbaj, yaitu hadits Al-Bukhari
no. 9 dan Muslim no. 35:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الجُعْفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا
أَبُو عَامِرٍ العَقَدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسِتُّونَ شُعْبَةً، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ»
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengomentari, “Di hadits yang disebutkan ini ada riwayat aqran
yaitu ‘Abdullah bin Dinar dan Abu Shalih karena keduanya Tabi’in. jika
ditemukan riwayat Abu Shalih darinya, jadilah ia mudabbaj.” (Fathul
Bârî I/53)
***
٢٨ - مُتَّفِقٌ لَفْظاً وَخَطّاً مُتَّفِقْ ... وَضِدُّهُ فِيمَا
ذَكَرْنَا المُفْتَرِقْ
Hadits
yang lafazh dan khat (tulisan) perawi sama disebut hadits muttafiq, dan
kebalikannya apa yang kami sebutkan adalah hadits muftariq
28. Hadits Muttafiq Muftariq
Secara
bahasa muttafiq artinya yang disetujui, bersatu pendapat, dan bersepakat.
Muftariq artinya berbeda, terpecah, berseberangan, dan tidak sama.
Maksud hadits muttafiq muftariq adalah hadits yang terdapat
perawi yang namanya, ayahnya, atau nasabnya sama dengan perawi lain baik secara
lafazh (ucapan) maupun khat (tulisan) tetapi beda orang. Mudahnya, Ahmad bin
Ja’far bin Hamdan dalam satu zaman ada 5 orang dengan nama itu. Dari kesamaan
nama ini mereka muttafiq tetapi muftariq dari sisi beda orang.
Al-Khathib
Al-Baghdadi memiliki kitab yang menghimpun hingga 1500 lebih perawi muttafiq
muftariq berjudul Al-Muttafiq wal Muftariq. Sebagai contoh:
1.
Anas bin Malik berjumlah 5 orang.
2.
Ibrahim bin Yazid ada 14.
3.
Ibrahim bin Musa ada 12.
4.
Jabir bin ‘Abdillah ada 7.
5.
Muhammad bin Aban ada 10.
6.
Muhammad bin Salamah ada 14.
7.
Yahya bin Sa’id ada 16.
Manfaat
mengetahui ini untuk membedakan perawi yang shahih dari yang dha’if.
***
٢٩ - مُؤْتَلِفٌ مُتَّقِقُ الخَطِّ فَقَطْ ... وَضِدُّهُ
مُخْتَلِفٌ فَاخْشَ الْغَلَطْ
Hadits
mu`talif
adalah jika hanya khat nama perawi yang sama, dan kebalikannya adalah hadits
mukhtalif, maka hati-hatilah jangan salah
29. Hadits Mu`talif Mukhtalif
Secara
bahasa mu`talif artinya yang disatukan atau diselaraskan. Mukhtalif
artinya yang berbeda dan menyelisihi. Mu`talif mukhtalif mirip muttafiq
muftariq bedanya yang sama hanya khatnya saja (lafazh dan orangnya beda).
Penulisan bahasa ‘Arab zaman dulu belum memakai syakl (harakat) dan nuqthah
(titik) sehingga huruf sin bisa dibaca sa, si, atau su dan huruf sin dan syin
ditulis sama tanpa titik. Perawi yang tidak jeli terkadang salah membaca
sehingga salah orang.
Imam
Ad-Daruquthni memiliki kitab yang menghimpun perawi-perawi ini dalam kitabnya Al-Mu`talif
wal Mukhtalif. Sekedar contoh di hal. 247-248 disebutkan bab nama
dengan lafazh (ــرك). Perawi dengan
khat ini ada tiga orang:
1.
(بَرْك) bernama
lengkap (البَرْك بن وَبَرة أخو كلب بن
وَبَرة بن حُلْوان بن عِمْران بن الحاف بن قُضَاعَة)
2.
(بُرَك) bernama asli (عَوْف بن مالك بن ضُبَيْعَة بن قَيْس بن ثَعْلَبة). Ada pula
Burak lain yaitu (البُرَك
بن عبد الله الخارجي)
dan dialah yang mau membunuh Mu’awiyah tetapi justru terbunuh.
3.
(تُرْك) ia adalah
muqri` (ahli qiaraah dengan qiraah Hamzah) yang mengambil qiraah dari
‘Abdurrahman bin Qaluq dan Sulaim bin Hamzah.
Hasilnya,
(بَرْك) dan (بُرَك)
termasuk mu`talif mukhtalif dari sisi syakl, sementara (بُرَك) dengan (تُرْك)
dari sisi nuqthah.
***
٣٠ - وَالْمُنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا ... تَعْدِيلُهُ
لاَ يْحمِلُ التَّفَرُّدَا
Hadits
munkar
adalah yang perawinya menyendiri dan keadilannya tidak diakui saat menyendiri
Tiga
hadits berikutnya (munkar, matruk, maudhu’) terkait cacat
perawi. Cacat perawi ada dua: sisi agama dan sisi hafalan.
Cacat
perawi sisi agama ada 5:
1.
Dusta (الكذب), maksudnya
berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini dha’if
paling berat dan haditsnya maudhu’.
2.
Tertuduh berdusta (متهما بالكذب),
maksudnya belum diketahui berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tetapi dikenal pernah berdusta atas selain Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam seperti dalam bersaksi, berjanji, jaul-beli, atau
muamalah lainnya. Hadits perawi ini adalah matruk.
3.
Fasik (الفسق), artinya cacat
agamanya karena maksiat atau menyimpang.
4.
Bid’ah (البدعة)
5.
Bertingkah bodoh (الجهالة)
Cacat
perawi sisi dhabt juga ada 5:
1.
(فحش الغلط) artinya
hafalannya sangat buruk sehingga kesalahannya mendominasi atau seimbang dengan benarnya
2.
(سوء
الحفظ) artinya
hafalannya buruk
3.
(كثرة
الغفلة) artinya banyak
lalai sehingga tidak mampu membedakan riwayat yang salah dari yang benar
4.
(كثرة
الأوهام) artinya banyak
wahm (sangkaan lemah)
5.
(مخالفة
الثقات) artinya riwayatnya
menyelisihi para perawi tsiqah.
30. Hadits Munkar
Secara
bahasa munkar artinya mengingkari dan menentang. Definisi munkar
ada 2:
1.
Definisi Nazhim sebagaimana yang kita lihat. Maksud
‘keadilannya tidak diakui saat menyendiri’ adalah perawi cacat dari tiga sisi: (فحش الغلط), (كثرة الغفلة),
dan (الفسق).
2.
Hadits yang diriwayatkan perawi dha’if dan
menyelisihi para perawi tsiqah. Ini yang masyhur dikenal para
muhadditsin.
Jadi
hadits munkar termasuk hadits dha’if yang berat.
Contoh
untuk definisi pertama adalah hadits Ibnu Majah no. 3330 yang dinilai munkar
oleh Adz-Dzahabi:
حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَدَنِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «كُلُوا الْبَلَحَ بِالتَّمْرِ، كُلُوا الْخَلَقَ بِالْجَدِيدِ، فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَغْضَبُ، وَيَقُولُ بَقِيَ ابْنُ آدَمَ، حَتَّى أَكَلَ الْخَلَقَ بِالْجَدِيدِ»
Al-Haitsami
menyatakan bahwa Abu Zakaria Yahya bin Muhammad didha’ifkan Ibnu Ma’in
dan lainnya. An-Nasa`i menyatakan bahwa ini hadits munkar. Abu Zukair tafarrud
dan ia syaikh shalih yang haditsnya dikeluarkan Imam Muslim sebagai mutaba’ah
saja. Hanya saja tafarrudnya tidak diakui.” (At-Tadrîb I/230)
Contoh
untuk definisi kedua adalah apa yang cantumkan Ibnu Abu Hatim dalam ‘Ilalul
Hadîts no. 2043:
سُئِلَ أَبُو زُرْعَةَ عَنْ حديثٍ رَوَاهُ حَبِيبُ بنُ حَبِيب أَخُو حَمْزَةَ بْنِ حَبِيب، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ،
عَنِ العَيْزار بْنِ حُرَيْث، عَنِ ابْنِ عبَّاس؛ قَالَ: قال رسولُ الله: «مَنْ أَقَامَ
الصَّلاَةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَحَجَّ البَيْتَ، وَصَامَ رَمَضَانَ، وَقَرَى الضَّيْفَ؛
دَخَلَ الجَنَّةَ»
Abu
Zur’ah mengomentari, “Ini hadits munkar karena yang benar mauquf
dari Ibnu ‘Abbas.” Abu Hatim mengomentari, “Ini hadits munkar karena
para perawi tsiqat selainnya meriwayatkan dari Abi Ishaq secara mauquf
ma’ruf.” Adapun riwayat mauquf diriwayatkan Al-Baihaqi no. 9147 dalam Syu’abul
Imân dan ‘Abdurrazzaq no. 20529 dalam Al-Mushannaf:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بُشْرَانَ، أَنَا إِسْمَاعِيلُ
بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ، نَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ، نَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْعَيْزَارِ بْنِ حُرَيْثٍ، أَنَّ ابْنَ
عَبَّاسٍ أَتَاهُ الْأَعْرَابُ، فَقَالُوا: إِنَّا نُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَنُؤْتِي الزَّكَاةَ،
وَنَحُجُّ الْبَيْتَ، وَنَصُومُ رَمَضَانَ، وَإِنَّ أُنَاسًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
يَقُولُونَ: إِنَّا لَسْنَا عَلَى شَيْءٍ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ،
وَآتَى الزَّكَاةَ، وَحَجَّ الْبَيْتَ، وَصَامَ رَمَضَانَ، وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ
الْجَنَّةَ
Hadits
pembanding yang shahih ini disebut hadits ma’ruf.
***
٣١ - مَتْرُوكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ ... وَأَجْمَعُوا
لِضَعْفِهِ فَهْوَ كَرَدْ
Hadits
matruk adalah yang perawinya satu menyendiri dan mereka sepakat atas
kelemahannya, sehingga ia tertolak
31. Hadits Matruk
Matruk artinya ditinggal, seolah-olah
karena kecacatan perawinya ditinggal haditsnya. Definisi hadits matruk menurut
An-Nazhim adalah hadits yang perawinya disepakati kedha’ifannya karena muttaham
bil kadzib (tertuduh berdusta). Maksud muttaham bil kadzib di sini,
dia dikenal berdusta dalam muamalah meskipun tidak diketahui pernah berdusta
atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi dikhawatirkan
kedustaannya ini akan menggiringnya untuk berdusta atas nama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Untuk itu ia disebut tertuduh berdusta atas nama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Contoh
hadits matruk adalah riwayat Ibnu Majah no. 1337 yang didha’ifkan
Al-Albani:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ
الدِّمَشْقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو
رَافِعٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ السَّائِبِ، قَالَ:
قَدِمَ عَلَيْنَا سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَقَدْ كُفَّ بَصَرُهُ، فَسَلَّمْتُ
عَلَيْهِ، فَقَالَ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: مَرْحَبًا بِابْنِ أَخِي،
بَلَغَنِي أَنَّكَ حَسَنُ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ، فَإِذَا
قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا، وَتَغَنَّوْا بِهِ فَمَنْ
لَمْ يَتَغَنَّ بِهِ فَلَيْسَ مِنَّا»
Al-Haitsami
mengatakan bahwa di dalam sanadnya ada Abu Rafi’ Isma`il bin Rafi’ yang dha’if
matruk.
***
٣٢ - وَالكَذِبُ المُخْتَلَقُ المَصْنُوعُ ... عَلَى النَّبِي
فَذلِكَ المَوْضُوعُ
Hadits
dusta yang direka-reka dan dibuat-buat atas nama Nabi itulah hadits maudhu’
32. Hadits Maudhu’
Maudhu’ artinya palsu. Definisinya
sebagaimana yang telah diberikan Nazhim. Hadits maudhu’ adalah hadits dha’if
paling jelek dan buruk bahkan sebagian muhadditsin menyebutnya hadits bathil
atau la asla lah (tidak ada asal usulnya). Maksud la asla lah ada
dua, yaitu tidak ada sanadnya atau ada sanadnya tetapi hanya sampai ke Shahabat
atau Tabi’in.
Hukum
meriwayatkan hadits dha’if haram kecuali disertai penjelasan kedha’ifannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ
الْكَاذِبِينَ»
“Siapa
menyampaikan hadits atas namaku dengan hadits yang dipandang dusta, maka ia
salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim I/8 dalam Muqaddimah dan At-Tirmidzi
no. 2662)
Hukuman
bagi pemalsu hadits adalah Neraka. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu
berkata:
إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِيْ أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Sungguh
benar-benar menghalangiku untuk banyak menyampaikan hadits kepada kalian sabda
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Barangsiapa sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.’” (HR. Al-Bukhari no. 108 dan Muslim no. 2)
Bagaimana
cara mereka membuat hadits maudhu’? Minimal ada dua cara:
1.
Matan dan sanad darinya. Ia memalsukan ucapan darinya
lalu dibuatlah sanadnya sendiri.
2.
Hanya sanad darinya. Ia mengambil ucapan ahli
hikmah atau selainnya lalu dibuatlah sanadnya sendiri.
Bagaimana
cara mengetahui hadits maudhu’? Di antaranya lewat:
1.
Pengakuannya sendiri, seperti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi
Maryam yang mengaku memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan surat-surat Al-Qur`an
dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
2.
Menguji biografi perawinya, seperti kapan lahirnya, jika
ternyata lahirnya sebelum tanggal wafatnya dan ia menyendiri dalam periwayatan
menunjukkan kedustaannya.
3.
Keadaan perawi, seperti orang Rafidhah haditsnya tentang
keutamaan ahlul bait.
4.
Keadaan riwayat, seperti uslub hadits yang rancau.
Apa
tujuan para pemalsu hadits? Ada banyak sebab, di antaranya:
1.
Taqarrub kepada Allâh, yaitu dia membuat hadits palsu agar
orang-orang semakin taqarrub kepada Allâh seperti motifasi beramal,
menakuti amal jelak, dan lainnya. Misalnya Maisarah bin ‘Abdirabbih. Ibnu Mahdi
berkata kepadanya, “Dari mana kamu dapat hadits-hadits ini bahwa siapa yang
membaca demikian dapat pahala demikian?” Jawabnya, “Aku memalsunya untuk
memotifasi manusia.” (Tadrîbur Râwî I/283)
2.
Membela madzhab atau sekte, misalnya Rafidhah yang meriwayatkan,
“Ali manusia terbaik dan siapa yang ragu kafir.”
3.
Menciderai Islam, yang dilakukan oleh kaum zindiq seperti
Muhammad bin Sa’id Asy-Syami Al-Mashlub di mana meriwayatkan dari Anas marfu’,
“Aku penutup para Nabi dan tidak ada Nabi setelahku kecuali jika Allâh
menghendaki.”
4.
Menjilat penguasa, maksudnya orang yang lemah imannya memalsukan
hadits demi mencari muka seperti Ghiyats bin Ibrahim An-Nakhai Al-Kufi besama
Amirul Mukminin Al-Mahdi.
5.
Pekerjaan dan rezki, seperti tukang cerita yang
mengelabuhi manusia agar memberinya seperti Abu Sa’id Al-Madaini, atau tukang
semangka yang menyebutkan keutamaan semangka.
6.
Popularitas, yaitu memalsukan hadits-hadits aneh dan
ganjil yang tidak dimiliki syaikh muhadditsin agar menarik perhatian manusia,
seperti Ibnu Abu Dihyah dan Hammad An-Nashibi.
Siapakah
mufassir (ahli tafsir) yang banyak menukil hadits maudhu’ tanpa
menjelaskan kepalsuannya? Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi,
dan Asy-Syaukani dalam kitab tafsir mereka.
Di
antara kitab generasi awal yang menghimpun hadits-hadits maudhu’ adalah Al-Maudhû’at
karya Ibnul Jauzi. Hanya saja menurut peneliti, selesai menyusun kitab tersebut
tidak dikoreksi ulang —dan ini umumnya kitab beliau karena saking produktifnya
menulis dan kesibukan beliau— sehingga dalam kitab ini terdapat hadits dalam
kitab Shahih tetapi justru tertulis dha’if.
Contoh
hadits palsu dengan sanad adalah yang diriwayatkan Ibnu Majah no. 896
yang dinilai maudhu’ Al-Albani:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ قَالَ: حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ: أَنْبَأَنَا الْعَلَاءُ أَبُو مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«إِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ، فَلَا تُقْعِ كَمَا يُقْعِي الْكَلْبُ،
ضَعْ أَلْيَتَيْكَ بَيْنَ قَدَمَيْكَ، وَأَلْزِقْ ظَاهِرَ قَدَمَيْكَ بِالْأَرْضِ»
Al-Haitsami
mengatakan bahwa tentang Al-‘Ala: Ibnu Hibban dan Al-Hakim mengatakan bahwa dia
meriwayatkan dari Anas hadits-hadits maudhu’. Al-Bukhari dan selainnya
mengatakan haditsnya munkar. Ibnul Madini mengatakan ia biasa memalsukan
hadits.
***
٣٣ - وَقَدْ أَتَتْ كَالجَوْهَرِ المَكْنُونِ ... سَمَّيْتُهَا
مَنْظُومَةَ البَيْقُونِي
Sungguh
nazham ini seperti mutiara yang tersimpan dan aku menamainya Manzhumah
Al-Baiquniyyah
٣٤ - فَوْقَ الثَّلاَثِيْنَ بِأَرْبَعٍ أَتَتْ ... أَقْسَامُهَا
تَمَّتْ بِخَيْرٍ خُتِمَتْ
Berisi
34 bagian yang sempurnya dan ditutup dengan baik
ijin download, semoga menjadi sedekah jariyah
BalasHapusIzin download...semoga bermanfaat di dunia dan akhiranya
BalasHapusAamiin allohummaa aamiin