Download Buku: Syarah Ringkas 10 Pembatal Keislaman - Pustaka Syabab
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-syarah-ringkas-10.html?m=0
Syarah Ringkas
10 Pembatal Keislaman
Download > https://norkandirblog.files.wordpress.com/2016/12/syarah-ringkas-10-pembatal-keislaman.pdf
Penulis: Nor
Kandir
Penerbit: Pustaka
Syabab
Cetakan: Pertama,
Dzulqadah 1437 H/Agustus 2016
Daftar
Isi
Muqaddimah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا
طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
Kitab Nawâqidhul Islâm yang disusun oleh Mujaddid
abad ini banyak disyarah oleh ulama tetapi semua berbahasa ‘Arab dan sudah
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, begitu juga syarah-syarah turut
diterjemahkan. Saya pun memandang perlu ikut serta dalam amal agung ini dengan
mensyarahnya menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti orang pribumi
dengan ungkapan yang ringkas, padat, dan selalu disertai dalil pada setiap
pembahasan. Saya berusaha mencukupkan satu atau dua dalil yang paling mengena
dan mencukupi tanpa berpanjang lebar. Tujuan semua ini untuk mendekatkan
pribumi kepada Al-Qur`an dan as-Sunnah juga untuk menjelaskan bahaya 10 pembatal
keislaman ini yang banyak terjadi di tengah umat Islam.
Koreksi dan masukan pembaca sangat diharapkan atas
kekhilafan saya dalam buku ini dan bisa dilayangkan ke norkandir@gmail.com atau 085730219208. Semoga Allah
menerimanya sebagai pemberat timbangan dan menerima amal kebaikan saya, orang
tua saya, pembaca, dan seluruh orang Islam. Allahu Waliyyul Mukminin.
«رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ»
«وَآخِرُ
دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ»
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Penegak tauhid Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, para Shahabatnya, dan para pengikut setia
mereka.
Selesai
ditulis pada dini hari 14 Ramadhan 1436 H
Nor
Kandir
Syarah Ringkas 10 Pembatal Keislaman
Syaikhul Islam Mujaddid Muhammad At-Tamimi An-Najdi Rahimahullah
berkata:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اعْلَمْ أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ
نَوَاقِضِ الإِسْلَامِ عَشَرَة:
Bismillahirrahmaanirrohiim. Ketahuilah bahwa termasuk
pembatal keislaman terbesar ada 10 yaitu:
Syarah
Maksud dari pembatal di sini adalah perkara-perkara yang
jika dilakukan, diucapkan, atau diyakini seorang Muslim maka keislamannya batal
alias murtad atau kafir. Yang batal bukan agama Islam tetapi keislaman yang ada
pada seseorang. Banyak ayat yang menunjukkan akan adanya perubahan status Muslim
menjadi murtad atau kafir. Di antaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
«إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى
لَهُمْ»
“Sesungguhnya orang-orang yang murtad (kembali) ke
belakang setelah jelas baginya petunjuk, telah ditipu setan dan dipanjangkan
angan-angannya.”
(QS. Muhammad [47]: 25)
«إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ
ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ»
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir setelah beriman
kemudian bertambah kekafirannya, niscaya taubat mereka tidak akan diterima dan
mereka orang-orang sesat.”
(QS. Alî Imrân [3]: 90)
Ucapan Asy-Syaikh ‘Ketahuilah bahwa termasuk pembatal terbesar
keislaman seseorang ada 10’ menunjukkan bahwa pembatal keislaman ada banyak,
dan apa yang beliau sebutkan sebanyak 10 ini adalah yang perlu diwaspadai
karena banyak terjadi di tengah manusia. Berikut syarah singkat dan ringkasnya:
Pembatal Ke-1: Syirik
الأَوَّلُ: الشِّرْكُ فِي عِبَادَةِ
اللهِ، وَالدَلِيلُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء﴾ وَمِنْهُ الذَّبْحُ لِغَيْرِ اللهِ،
كَمَنْ يَذْبَحُ لِلْجِنِّ أَوْ لِلْقَبْرِ.
Pertama: syirik dalam beribadah kepada-Nya. Dalilnya adalah firman-Nya:
«إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ»
“Sesungguhnya Allâh tidak mengampuni dosa syirik dan
mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisâ [4]:
48)
Di antara syirik adalah menyembelih
untuk selain Allâh seperti orang yang menyembelih untuk jin atau orang mati.
Ayat ‘Allâh tidak mengampuni dosa syirik’
menunjukkan bahwa orang musyrik gugur seluruh amalnya dan kekal di Neraka
selamanya. Seluruh ibadahnya baik shalat, puasa, zakat dan sedekah, haji dan
umrah, serta ketaatan lainnya dihapus pahalanya sehingga dia rugi di akhirat
kelak. Dalil syirik menghapus seluruh amal adalah:
«وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ»
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi
sebelummu bahwa jika engkau berbuat syirik maka terhapuslah seluruh amalmu dan
kamu termasuk orang-orang rugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Dalil syirik menjadikan kekal pelakunya adalah:
«إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ»
“Sesungguhnya siapa yang berbuat syirik kepada Allâh, maka
Allâh haramkan Surga atasnya dan tempatnya adalah Neraka dan tidak ada penolong
bagi orang-orang zhalim.” (QS.
Al-Mâ`idah [5]: 72)
Yang dimaksud orang zhalim di sini adalah orang musyrik.
Ia disebut zhalim karena menempatkan ibadah yang seharusnya dipersembahkan
kepada Allâh justru diserahkan kepada selain-Nya dan inilah sebesar-besar
kezhaliman. Dalilnya adalah ucapan hamba shalih Luqman Al-Hakim kepada
putranya:
«يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيمٌ»
“Wahai ananda, kamu jangan berbuat syirik kepada Allâh
karena kesyirikan itu adalah kezhaliman yang paling besar.” (QS. Luqman [31]: 13)
Ayat ‘Allâh mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang
dikehendaki-Nya’ mengandung dua faidah:
1.
Ada dosa lain selain syirik yang juga tidak akan Allâh
ampuni karena sejajar dengan syirik yaitu kufur dan nifak i’tiqadi. Tiga
dosa ini tidak akan Allâh ampuni dan pelakunya (musyrik, kafir, dan munafik)
kekal di Neraka selamanya.
2. Dosa
yang derajatnya di bawah tiga ini akan Allâh ampuni tetapi terbatas bagi siapa
yang Allâh kehendaki. Artinya jika ada ahli tauhid yang meninggal membawa dosa
selain tiga ini seperti zhalim, jahat, minum khamar, zina, curang, khianat,
bohong, dan lainnya maka urusannya ada dua kemungkinan: Allâh mengampuninya
dengan rahmat-Nya atau Allâh menyiksanya dengan keadilan-Nya.
Definisi syirik adalah:
الشّرْكُ هُوَ تَسوِيَةُ غَيرِ اللهِ بِاللهِ فِيمَا
هُوَ مِن خَصَائِصِ اللهِ
Syirik adalah menyamakan selain Allâh dengan Allâh
terhadap perkara yang khusus bagi Allâh.
Defini ini mengacu kepada firman Allâh tentang ucapan
orang-orang musyrik yang berkata kepada tuhan-tuhan mereka:
«تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ*
إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ»
“Demi Allâh, kami dulu benar-benar sesat karena telah menyamakan
kalian dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’arâ` [26]: 97-98)
Masuk dalam definisi ini adalah menyamakan Rububiyah Allâh,
Uluhiyah-Nya, dan Asma dan Sifat-Nya dengan selain-Nya.
Di antara syirik adalah menyembelih untuk selain Allâh
seperti orang yang menyembelih untuk jin atau orang mati. Dalilnya adalah:
«فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ»
“Maka shalatlah kepada Rabb-mu dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar [108]: 2)
Sisi pendalilan, tatkala Allâh menyandingkan shalat dengan
menyembelih menunjukkan kesamaan hukum yaitu sama-sama ibadah. Kaidah
menyatakan ibadah apapun yang dipalingkan untuk selain Allâh adalah kesyirikan.
«قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ»
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalat, sembelihan, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam, tiada
kesyirikan bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama Muslim.’” (QS. Al-An’âm [6]: 106-107)[]
Pembatal Ke-2: Pelantara
الثَّانِي: مَنْ
جَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ وَسَائِطَ يَدْعُوهُمْ وَيسْأَلُهُمْ الشَّفَاعَةَ،
وَيَتَوَكَّلُ عَلَيْهِمْ كَفَرَ إِجْمَاعًا.
Kedua: siapa menjadikan perantara-perantara antara dirinya dengan Allâh di mana
dia berdoa kepada mereka, meminta syafaat kepada mereka, dan bertawakkal kepada
mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.
Perantara yang dilakukan kaum musyrikin ada dua tujuan,
yaitu untuk qurbah (menjadikan mereka agar mendekatkannya kepada Allâh) dan
syafaat (menjadikan mereka sebagai pemberi syafaat di sisi Allâh).
Dalil qurbah:
«وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ
بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ
كَاذِبٌ كَفَّارٌ»
“Dan orang-orang yang menjadikan sesembahan selain Allâh
berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan kami
kepada Allâh dengan sedekatnya.’ Sesungguhnya Allâh akan menghakimi mereka atas
perselisihan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang
yang dusta dan kafir.”
(QS. Az-Zumar [39]: 3)
Ayat ‘Dan orang-orang yang menjadikan sesembahan selain
Allâh’ menunjukkan bahwa kaum yang Allâh kabarkan ini adalah kaum
musyrikin.
Ucapan mereka ‘Kami tidak menyembah mereka kecuali agar
mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekatnya’ menunjukkan bahwa
mereka mengaku tidak menyembah mereka dan yang mereka lakukan hanyalah
menjadikan mereka sebagai wasilah antara dirinya dengan Allâh agar dekat.
Ayat ‘Sesungguhnya Allâh akan menghakimi mereka atas
perselisihan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang
yang dusta dan kafir’ menunjukkan bahwa meskipun mereka mengaku tidak menyembah
mereka tetapi Allâh menganggap itu sebagai bentuk penyembahan sehingga
pelakunya kafir. Untuk itu Allâh menutup ayat-Nya dengan ‘Sesungguhnya Allâh
tidak memberi petunjuk kepada orang yang dusta dan kafir.’
Adapun dalil kaum musyrikin adalah mereka merasa banyak
dosa sehingga tidak pantas berhubungan dengan Allâh langsung kecuali dengan perantara.
Ini dalil keliru karena menyamakan Allâh dengan makhluk yang butuh perantara.
Sementara Allâh sendiri berfirman:
«وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ»
“Apabila hamba-Ku bertanya tentang-Ku jawablah bahwa Aku
dekat. Aku penuhi permintaan orang yang berdoa kepada-Ku apabila berdoa
kepada-Ku.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 186)
Hikmah larangan perantara adalah menjauhkan hamba dari
bergantung kepada selain-Nya.
Dalil syafaat adalah:
«وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ
وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ
اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ»
“Dan mereka menyembah selain Allâh apa yang tidak bisa
menimpakan mudzharat dan mendatangkan manfaat dan mereka berkata, ‘Mereka ini
hanyalah pemberi syafaat kami di sisi Allâh.’ Katakanlah: apakah kalian
mengajari Allâh apa yang tidak diketahui-Nya di langit-langit dan di bumi?
Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari kesyirikan mereka.” (QS. Yunus [10]: 18)
Meskipun alasan mereka ‘Mereka ini hanyalah pemberi
syafaat kami di sisi Allâh’ tetapi Allâh tetap menganggapnya sebagai bentuk
kesyirikan sehingga di awal ayat Allâh menyebut mereka sebagai ‘mereka
menyembah selain Allâh apa yang tidak bisa menimpakan mudzharat dan
mendatangkan manfaat’ dan di akhir ayat menyebut mereka sebagai kaum
musyrikin dalam ayat-Nya ‘Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari kesyirikan
mereka.’
Syafaat ini manfiyah alias batal dan tidak
bermanfaat sebagaimana firman-Nya:
«فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ»
“Maka tidak bermanfaat syafaat orang yang memberi
syafaat.”
(QS. Al-Muddatstsir [74]: 48)
Memang ada syafaat mutsbatah yang bermanfaat di
hari Kiamat tetapi syafaat ini khusus bagi ahli tauhid bukan ahli syirik.
Semakin kuat dan besar tauhidnya maka semakin kuat dan besar pula syafaat yang
dia peroleh. Dalilnya adalah:
«أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ»
“Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari Kiamat
adalah orang yang mengucapkan (لاَ
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)
ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Al-Bukhari no. 99 dan Ahmad no. 8858)
Syarat untuk mendapatkan syafaat ini ada dua:
1.
Allâh memberi izin kepada yang memberi syafaat.
2. Allâh
meridhai orang yang diberi syafaat.
Dalil kedua syarat ini adalah:
«وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي
شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى»
“Dan banyak malaikat di langit-langit yang tidak berguna
syafaat mereka sedikitpun kecuali setelah mendapat izin dari Allâh untuk siapa
yang dikehendaki-Nya dan diridhai-Nya.” (QS. An-Najm [53]: 26)[]
Pembatal Ke-3: Tidak Mengkafirkan Orang Kafir
الثَّالِثُ: مَنْ
لَمْ يُكَفِّرِ المُشْرِكِينَ أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُم،ْ كَفَرَ.
Ketiga: siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, ragu akan kekafiran mereka, atau
membenarkan keyakinan mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.
Hal ini disebabkan syahadat (لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)
tidak berlaku kecuali dengan mengingkari kesyirikan dan kekafiran berikut
pelakunya. Dalilnya adalah:
«فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا»
“Siapa yang mengkafirkan thagut dan beriman kepada Allâh
niscaya dia telah berpegang teguh kepada urwatul wutsqa yang tidak akan
terputus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Yang dimaksud (الْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى)
adalah (لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) sebagaimana yang dikatakan Said bin
Jubair dan adh-Dhahhak. (Tafsir Ibni Katsir I/648)
Dalil dari as-Sunnah:
«مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَكَفَرَ
بِمَا يُعْبَدُ مَنْ دُونِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ»
“Siapa yang mengucapkan (لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ)
dan mengkafirkan apa yang disembah selain Allâh maka haram harta dan darahnya
sementara hisabnya terserah Allâh.” (HR. Muslim no. 23 dan Ahmad no. 15875)
Semua nabi juga meyakini ini termasuk Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
dan pengikut setianya:
«قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ»
“Sungguh telah ada suri teladan dalam diri Ibrahim dan
pengikutnya, yaitu tatkala mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allâh.
Kami mengkafirkan kalian dan telah nampak permusuhan dan kebencian antara kami
dan kalian selamanya hingga kalian beriman kepada Allâh semata.” (QS. Al-Mumtahanah
[60]: 4)
Termasuk pembatal keislaman adalah ragu akan kekafiran
mereka. Yakni dia bimbang, apakah selain Muslim kafir atau tidak? Dalilnya
adalah firman Allâh:
«إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ»
“Orang-orang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allâh
dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa
mereka di jalan Allâh. Mereka itulah orang-orang benar.” (QS. Al-Hujurat [49]:
15)
Lafazh (إِنَّمَا) berfaidah pembatasan yang berkonsekuensi
keimanan tidak berlaku dengan adanya keraguan. Jika keimanan ini tidak dimasuki
keraguan maka itulah keimanan yang benar. Untuk itulah Allâh menutup dengan ‘Mereka
itulah orang-orang benar.’
Dalil dari as-Sunnah:
«أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنِّي
رَسُولُ اللهِ، لَا يَلْقَى اللهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا، إِلَّا دَخَلَ
الْجَنَّةَ»
“Syahadat (أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ), tidaklah seseorang bertemu Allâh dengan
dua syahadat ini tanpa keraguan melainkan masuk Surga.” (HR. Muslim no. 27 dan
Ahmad no. 9466)
Termasuk pembatal keislaman adalah membenarkan
madzhab/keyakinan mereka. Hal ini disebabkan Allâh telah mengkafirkan selain
Islam sehingga siapa yang justru membenarkan mereka berarti menuduh Allâh
berbohong atau mengingkari firman Allâh dan sabda Rasulullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Tentang kekafiran orang Yahudi Allâh
berfirman:
«لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى
ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ»
“Sungguh telah dilaknat orang-orang kafir
Bani Isara`il lewat lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka
durhaka dan mereka melampaui batas.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 78)
Tentang kekafiran orang Nashrani
Allâh berfirman:
«لَقَدْ كَفَرَ
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا
إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ»
“Sungguh telah kafir orang-orang yang
mengatakan bahwa Allâh adalah bagian dari yang tiga. Padahal tidak ada ilah
yang berhak disembah kecuali ilah yang satu. Jika mereka tidak berhenti dari
perkataan itu, sungguh orang-orang kafir dari mereka akan disentuh adzab yang
pedih.”
(QS. Al-Mâ`idah [5]: 73)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dalam sabdanya juga menegaskan akan kekafiran mereka para ahli kitab. Beliau
bersabda:
«وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ
يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي
أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ»
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada
di tangan-Nya, tidak seorang pun dari kalangan umat Yahudi atau Nasrani ini
yang mendengar ajaranku, kemudian ia mati tanpa mengimani risalahku, kecuali ia
tergolong penghuni Neraka.” (HR. Muslim no. 153 dan Ahmad no. 8203)
Allâh telah mengkafirkan agama Yahudi
dan Nashrani (Kristen) yang diturunkan kitab (Taurat dan Injil) dari langit,
maka tentu agama Hindu, Budha, Konghucu, Sito, dan lain-lain banyaknya yang
merupakan buatan manusia lebih layak untuk dikafirkan, setelah Islam datang
yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[]
Pembatal Ke-4: Meyakini Petunjuk Nabi Tidak Sempurna
الرَّابِعُ: مَنْ
اعْتَقَدَ أَنَّ غَيْرَ هَدْي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَم أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِ وَأَنَّ حُكْمَ غَيْرِهِ أَحْسَنُ مِنْ حُكْمِهِ كَالذِينَ يُفَضِّلُونَ
حُكْمَ الطَّوَاغِيتِ عَلَى حُكْمِهِ فَهُوَ كَافِرٌ.
Keempat: siapa
yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
lebih sempurna daripada petunjuk beliau, atau selain hukum beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lebih baik daripada hukum beliau seperti orang-orang yang
lebih mendahulukan hukum thaghut daripada hukum beliau, maka dia kafir.
Makna kalimat
pertama: ‘siapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam lebih sempurna daripada petunjuk beliau maka dia kafir.’
Hal ini disebabkan ia meyakini kebalikan apa yang
difirmankan Allâh dan disabdakan Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Yaitu firman Allâh:
«الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا»
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama
kalian dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai
agama kalian.”
(QS. Al-Mâ`idah [5]: 3)
Sisi pendalilalnya: Ini dalil tegas akan kesempurnaan
Islam. Maka siapa yang meyakini ada yang lebih sempurna selain ini berarti dia
kafir karena mendustakan ayat ini.
Dalil dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah:
«إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“Sesungguhnya ucapan terbaik adalah Kitabullah dan
petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad dan perkara terburuk adalah perkara
baru dan setiap perkara baru adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867 dan an-Nasa`i no. 1578)
Sisi pendalilan, setiap petunjuk selain petunjuk Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah sesat karena ia termasuk perkara baru dan
merupakan perkara terburuk, ini menunjukkan pentunjuk selain dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sesat dan Neraka.
Di antara bentuk keyakinan kufur ini adalah meyakini
ucapan selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih pantas
didahulukan daripada sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Keyakinan ini meyelisihi firman Allâh:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ»
“Wahai orang-orang beriman janganlah kalian mendahului Allâh
dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allâh.” (QS. Al-Hujurât [49]: 1)
Dalil lainnya adalah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa lembaran Taurat
lalu beliau marah seraya bersabda:
«أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً،
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَصْبَحَ مُوسَى فِيكُمْ فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي
لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ، وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي
مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي»
“Apakah kamu meragukan Al-Qur`an wahai Ibnul Khaththab?
Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sunggu aku datang kepada kalian
membawa ajaran yang putih mengkilap. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, andai
Musa di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku niscaya
kalian tersesat dari jalan lurus. Andai saja Musa masih hidup dan menjumpai
risalahku, maka tidak ada kebebasan baginya kecuali harus mengikutiku.” (HR. Ahmad, Al-Bazzar, dan
dicantumkan dalam Muqaddimah Al-Jâmi’ ash-Shahîh dan dinilai hasan Al-Albani
dalam Al-Irwâ` no. 1589, Shahîhul Jâmi’ no. 5308, dan Ash-Shahîhah
no. 3207)
Makna kalimat kedua: ‘siapa meyakini selain hukum
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih baik daripada hukum beliau
seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut daripada hukum
beliau, maka dia kafir.’
Kalimat kedua ini adalah cabang dari kalimat pertama.
Dalil kekafiran keyakinan ini adalah firman Allâh:
«أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ
آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا» –إلى قوله- «فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا
مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا»
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
menyangka bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang
diturunkan sebelummu, tetapi justru mereka menginginkan berhukum kepada thaghut
padahal mereka diperintah untuk mengkafirkannya. Setan ingin menyesatkan mereka
dengan kesesatan yang jauh,” –hingga firman-Nya- “Demi Rabb-mu, mereka tidak
beriman hingga menjadikanmu hakim atas perseteruan yang terjadi di tengah
mereka kemudian mereka tidak merasa berat atas keputusanmu dan menerimanya
dengan pasrah.”
(QS. An-Nisâ` [4]: 60-65)
Ayat ‘orang-orang yang menyangka bahwa mereka beriman’
menunjukkan orang-orang yang berhukum dengan selain hukum Islam adalah tidak
beriman alias kafir.
Di sini Allâh besumpah tidak mengakui mereka sebagai orang
beriman kecuali dengan 3 syarat:
1.
Menjadikan Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sebagai hakim pemutus masalah mereka.
2. Tidak
merasa berat atas keputusan Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3. Menerima
keputusan itu dengan pasrah.
Termasuk jenis kekufuran ini adalah:
1.
Meyakini hukum buatan manusia atau perundang-undangan
lebih baik daripada syariat Islam atau sama kedudukannya.
2. Meyakini
kebolehan berhukum dengannya meskipun tetap meyakini syariat Islam lebih utama.
3. Meyakini
syariat Islam tidak relevan dengan masa kini meskipun tetap mengamalkannya.
Apakah setiap yang berhukum dengan selain hukum Islam
kafir? Diperinci.
1.
Jika dia berhukum dengan keyakinan tiga di atas, maka dia
kafir. Dalilnya:
«وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ»
“Siapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allâh turunkan maka dia kafir.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 44)
2. Jika
dia berhukum dengan selain hukum Islam karena tendensi dunia atau hawa nafsu (seperti
karena suap atau jabatan) sementara hatinya tetap meyakini hukum Islam, maka
dia zhalim dan fasiq. Dalilnya:
«وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ»
“Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allâh
turunkan maka dia zhalim.”
(QS. Al-Mâ`idah [5]: 45)
«وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ»
“Siapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allâh turunkan maka dia fasiq.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 47)
Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan sanad hasan meriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:
مَن جَحَدَ مَا أَنزَلَ اللهُ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَن
أَقَرَّ بِهِ وَلَم يَحْكُمْ، فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ
“Siapa menentang apa yang Allâh turunkan maka kafir dan
siapa tidak berhukum dengannya tetapi masih mengakuinya maka dia zhalim fasiq.”
(Tafsir Ath-Thabari no. 12063 dan Ash-Shahîhah VI/114)
Al-Hafizh Ibnul Jauzi menyimpulkan:
وَفَصلُ الْخِطَابِ: أَنَّ مَن لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنزَلَ اللهُ جَاحِداً لَهُ، وَهُوَ يَعلَمُ أَنَّ اللهَ أَنزَلَهُ، كَمَا فَعَلَتِ
الْيَهُودُ فَهُوَ كَافِرٌ، وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِهِ مَيْلاً إِلَى الْهَوَى مِن
غَيِر جُحُودٍ، فَهُوَ ظَالِمٌ وَفَاسِقٌ
“Kesimpulannya bahwa siapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allâh turunkan karena menentangnya padahal dia tahu Allâh menurunkannya
seperti yang dilakukan Yahudi maka dia kafir, dan siapa yang tidak berhukum
dengannya karena condong kepada hawa nafsu tanpa penentangan maka dia zhalim
dan fasiq.” (Zâdul Masîr I/553)
Ada yang berpendapat fasiq lebih umum daripada zhalim karena
fasiq definisinya orang yang bermaksiat dan menyimpang dari kebenaran,
sementara zhalim terbatasi merugikan orang lain.[]
Pembatal Ke-5: Membenci Syariat Nabi
الخَامِسُ: مَنْ
أَبْغَضَ شَيْئًا مِمَّا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم - وَلَوْ
عَمِلَ بِهِ -، كَفَرَ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ﴾
Kelima: siapa
membenci apa pun dari apa yang dibawa Rasulullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meskipun mengerjakannya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Demikian
itu karena mereka membenci apa yang Allâh turunkan sehingga Dia menghapus amal
kebaikannya.” (QS. Muhammad [47]: 9)
Lengkapnya ayat ini adalah:
«وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ
أَعْمَالَهُمْ * ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ»
“Dan orang-orang kafir, kecelakaan bagi mereka dan Dia
menghapus amal mereka. Demikian itu karena mereka membenci apa yang Allâh
turunkan sehingga Dia menghapus amal kebaikannya.” (QS. Muhammad [47]: 8-9)
Sisi pendalilannya, tatkala Allâh mensifati orang kafir
dengan membenci syariat Islam menunjukkan benci syariat Islam adalah kekufuran.
Contoh kekufuran jenis ini yang banyak terjadi adalah
membenci syariat poligami, membenci bagian warisan lelaki 2x lipat dari
perempuan, membenci persaksian satu lelaki sama dengan dua perempuan, membenci
haji di Baitullah Makkah.
Apakah semua kebencian terhadap syariat Islam atau
simbol-simbolnya adalah kufur? Tidak. Benci ada dua keadaan:
1.
Benci secara asal, yaitu membenci syariat dan pembuat
syariat. Inilah yang kufur.
2. Benci
karena berat atau malas. Jenis ini tidak membatalkan keislaman dan berdosa
dengan kadar yang berbeda-beda sesuai kadar kebenciannya.
Dalil berat dan malas ini adalah:
«كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ
لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ»
“Diwajibkan atas kalian berperang padahal kalian
membencinya. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik bagi kalian dan
boleh jadi kalian mencintai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Allâh lebih
tahu sementara kalian tidak tahu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)[]
Pembatal Ke-6: Mengejek Agama
السَّادِسُ: مَنِ اسْتَهْزَأَ
بِشَيْءٍ مِنْ دِينِ اللهِ، أَوْ ثَوَابِهِ، أَوْ عِقَابِهِ، كَفَرَ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ
تَعَالَى: ﴿قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ
تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾
Keenam: siapa yang mengolok-olok apa pun dari agama Allâh, atau
pahala-Nya, atau siksa-Nya adalah kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Katakanlah:
apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-ngolok.
Tidak perlu meminta maaf karena sungguh kalian telah kafir setelah kalian
beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Kelengkapan ayat ini adalah:
«يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ
سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ
مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ»
“Orang munafik khawatir turun surat atas mereka yang
mengabarkan apa yang di hati mereka. Katakanlah: silahkan memperolok
sesungguhnya Allâh akan mengeluarkan apa yang kalian khawatirkan itu. Jika kamu
bertanya kepada mereka, pasti mereka menjawab, ‘Kami hanya bermain-main dan
bercanda.’ Katakanlah: apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya
kalian mengolok-ngolok. Tidak perlu meminta maaf karena sungguh kalian telah
kafir setelah kalian beriman.’”
(QS. At-Taubah [9]: 64-66)
Asbabun nuzul ayat: Abu Ja’far Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad
shahih dari Zaid bin Aslam berkata:
أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْمُنَافِقِينَ قَالَ لِعَوْفِ
بْنِ مَالِكٍ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ: مَا لِقُرَّائِنَا هَؤُلَاءِ أَرْغَبَنَا بُطُونًا
وَأَكْذَبَنَا أَلْسِنَةً وَأَجَبَنَنَا عِنْدَ اللِّقَاءِ، فَقَالَ لَهُ عَوْفٌ: كَذَبْتَ،
وَلَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لَأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَذَهَبَ عَوْفٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَهُ،
فَوَجَدَ الْقُرْآنَ قَدْ سَبَقَهُ، فَقَالَ زَيْدٌ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ:
فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ مُتَعَلِّقًا بِحَقَبِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، تَنْكُبُهُ الْحِجَارَةُ، يَقُولُ: {إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ}
فَيَقُولُ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « {أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ} مَا يَزِيدُهُ»
“Seorang munafiq berkata kepada ‘Auf bin Malik dalam
perang Tabuk, ‘Apa itu tukang baca Qur`an: paling rakus, paling dusta, dan
paling takut saat perang berkecamuk?’ Lantas ‘Auf merespon, ‘Kamu dusta bahkan
kamu muanafik! Akan aku laporkan kepada Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam!’ Maka ‘Auf pergi menemui Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam untuk mengabarkannya dan ternyata Al-Qur`an telah mendahuluinya.
‘Abdullah bin ‘Umar berkata, ‘Aku melihat orang itu memegang tali kendali unta
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tersandung batu seraya berkata,
‘Kami hanya bermain-main dan bercanda.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawabnya, ‘Apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian
memperolok-olok?’” (Tafsir Ath-Thabari no. 16911 dan Tafsir Ibnu
Abi Hatim no. 1307. Dinilai shahih Ahmad Syakir)
Zhahir ayat ‘sungguh kalian telah kafir setelah kalian
beriman’ menunjukkan bahwa awalnya mereka beriman meski dengan keimanan
yang tipis dan lemah. Bukankah konteks ayat tentang orang munafiq di mana dia
dihukumi kafir sebelum mengolok-olok karena kekafiran kemunafikannya? Memang
benar, tetapi orang munafiq tidak dipungkiri memiliki keimanan meski tidak
diakui karena saking lemah dan tipisnya disertai hilangnya keimanan pokok. Dalilnya
adalah:
«وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى
يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا»
“Apabila mereka berdiri shalat mereka berdiri dengan malas
sekedar pamer di tengah manusia dan mereka tidak mengingat Allâh kecuali
sedikit.”
(QS. An-Nisâ` [4]: 142)
Telah dimaklumi bahwa shalat dan berdzikir menambah
keimanan sesuai kadarnya.
Ada yang mengatakan —dan ini penjelasan yang shahih— bahwa
keimanan itu ada dua, yaitu pokok/asal dan ibadah. Yang memasukkan seseorang
menjadi orang beriman adalah jika ia memiliki keimanan pokok ini seperti
bersyahadat dan meyakini rukun imam yang enam. Adapun ibadah akan menambah
keimanan, dan ibadah tidak diterima tanpa keimanan pokok, meski beramal sendiri
adalah bagian dari keimanan. Ini pokok inilah yang dimaksud dalam hadits bahwa
akan masuk Surga seseorang yang memiliki keimanan meskipun hanya sebesar dzarroh
(bagian terkecil dari sesuatu).
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memandang keumuman
lafazh bahwa mereka memang awalnya orang beriman dengan keimanan yang lemah
lalu kafir. Beliau berkata, “Ayat ‘sungguh kalian telah kafir setelah kalian
beriman’ menunjukkan bahwa mereka dulunya belum melakukan kekafiran bahkan
mereka menyangka mengolok-ngolok bukan kekufuran, lalu jelas bahwa istihzak
terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya adalah kekufuran yang mengkafirkan
pelakunya. Ini menunjukkan juga bahwa mereka memiliki iman yang lemah lalu
mereka melakukan keharaman ini yang mereka sadar bahwa ia haram tetapi tidak
menyangka kufur.” (Al-Imân hal. 273 oleh Syaikhul Islam)
Ayat ‘Kami hanya bermain-main dan bercanda’
menunjukan bahwa istihza` baik serius maupun bercanda dihukumi kafir.
Bentuk istihza ada 2:
1.
Istihza sharih (jelas) seperti ucapan dalam ayat ini.
2. Istihza
ghairu sharih (tidak jelas) seperti dengan kedipan mata atau isyarat lainnya.
Ia bagaikan lautan tak bertepi. Dalilnya:
«إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا
مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ * وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ * وَإِذَا
انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوا فَكِهِينَ * وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا
إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ * وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ * فَالْيَوْمَ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ * عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ
* هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ»
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa
adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.
Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling
mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada
kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang
mukmin, mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang
yang sesat.’ Padahal orang-orang yang berdosa
itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan
orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas
dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya
orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka
kerjakan.”
(QS. Al-Muthaffifîn [83]: 29-36)
Objek istihza ada 2:
1.
Syariat Islam atau simbol-simbol agama. Inilah kekufuran.
2. Orang
yang istiqomah dan ini tidak sampai membatalkan keislaman. Siapa yang
mengolok-olok seseorang atas agamanya seperti jenggotnya, shalatnya, atau
lainnya dengan niat mengolok agamanya maka dia kafir menurut ijma, tetapi siapa
yang niatnya mengolok pribadi —karena dianggap belum pantas misalnya— bukan
agama, maka dia bermaksiat dan menanggung dosa besar. Dalilnya:
«وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا»
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 57)
Apa alasan mendasar istihza mengakibatkan kekufuran?
Syaikh As-Sa’di menjelaskan:
لِأَنَّ أَصْلَ الدِّينِ مَبْنِيٌ عَلَى تَعظِيمِ اللهِ
وَتَعظِيمِ دِينِهِ وَرُسُلِهِ، وَالإِسْتِهزَاءُ بِشَيءٍ مِن ذَلِكَ مُنَافٍ لِهَذَا
الأَصْلِ وَمُنَاقِضٌ لَهُ أَشَدَّ الْمُنَاقَضَةِ
“Karena asal agama dibangun di atas mengagungkan Allâh dan
mengagungkan agama-Nya dan Rasul-Rasul-Nya, sementara istihza terhadapnya
menafikan asal ini dan membatalkannya seberat-beratnya.” (Tafsir As-Sa’di hal.
342-343)
Istihza tidak memiliki batas minimal sehingga sedikitnya
terhitung banyak. Ia bagaikan lautan tak bertepi. Ucapan sederhana dari istihza
bisa menghancurkan seseorang. Waspadalah. Allâh berfirman:
«وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
عَظِيمٌ»
“Kalian menganggapnya remeh padahal di sisi Allâh besar.” (QS. An-Nûr [24]: 15)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ
مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ»
“Sesungguhnya
seorang hamba benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang remeh, tetapi karena
itu dia tergelincir ke Neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406)
Bagaimana dengan hukum orang yang ikut tertawa atau tersenyum
saat mendengar orang lain mengolok agama? Jika ia niatkan juga mengolok maka
mereka sama dalam kekufuran. Dalilnya adalah:
«وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ
إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا
مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ
اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا»
“Dan sungguh telah Dia turunkan atas kalian di dalam Al-Kitab
bahwa jika kalian mendengar ayat-ayat Allâh diingkari dan diolok-olok maka
kalian jangan duduk bersama mereka hingga berpindah ke pembicaraan lain. Jika
tidak, kalian berarti sama dengan mereka. Sesungguhnya Allâh mengumpulkan
orang-orang munafiq dan kafir di Jahannam seluruhnya.” (QS. An-Nisâ` [4]: 140)
Namun jika hatinya mengingkarinya dan tidak ridha maka
statusya bukan kekufuran tetapi ia bermaksiat dan berdosa. Allahu alam.[]
Pembatal Ke-7: Sihir
السَّابِعُ: السِّحْرُ
- وَمِنْهُ: الصَّرْفُ وَالعَطْفُ-، فَمَنْ فَعَلَهُ أَوْ رَضِيَ بِهِ كَفَرَ، وَالدَلِيلُ
قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ
إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ﴾
Ketujuh: sihir misalnya sharf dan ‘athf. Siapa yang melakukannya atau
ridha terhadapnya maka kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Keduanya tidak
mengajari seorangpun kecuali mengatakan: kami hanyalah fitnah maka janganlah
kamu kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)
Sihir (السِّحْرَ) secara bahasa artinya tersembunyi dan
samar. Secara istilah adalah ikatan-ikatan dan jampi-jampi tertentu yang
dengannya pelaku mengabdi kepada setan untuk mencelakakan korban.
Sharf
(memalingkan) adalah jenis sihir yang pengaruhnya berupa memalingkan hati
seseorang dari cinta kepada benci. Sementara ‘athf (kasih) kebalikan
dari sharf di mana pengaruhnya berupa menjadikan seseorang dari benci
kepada cinta.
Ayat lengkapnya:
«وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى
مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ
النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا
هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ
وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ
خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ * وَلَوْ
أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ»
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan
pada masa kerajaan Sulaiman (dengan mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya
setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir) karena mengajarkan sihir
kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sihir) kepada
seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab
itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa
yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya
kepada seorang pun kecuali dengan izin Allâh. Dan mereka mempelajari sesuatu
yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka
telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allâh) dengan sihir
itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka
menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau
mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan
sesungguhnya pahala dari sisi Allâh adalah lebih baik, kalau mereka
mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 102-103)
Banyak tafsiran tentang ayat ini tetapi kebanyakan israiliyah
sementara penjelasan terbaik ayat ini adalah:
Orang Yahudi menuduh Nabi Sulaiman memiliki kerajaan besar
dan pasukan hebat dari kalangan jin, manusia, dan burung adalah hasil kerja
sihir. Maka, Allâh hendak membebaskan tuduhan itu dengan mengutus dua Malaikat bernama
Harut dan Marut untuk menjelaskan kepada mereka ilmu sihir agar mereka bisa
membedakan mana sihir dan mana mukjizat. Tetapi keduanya tidak mengajarkan
(sihir) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya
cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maksudnya, ilmu ini
adalah ilmu kufur maka jangan kamu amalkan sehingga kamu menjadi kafir. Namun,
setan jin dan manusia menekuninya dan mengajarkannya kepada manusia untuk
menyesatkan manusia dari keimanan. (Disarikan dari Tafsir Ath-Thabari
dan Tafsir Ibnu Katsir)
Ayat ini mengandung banyak faidah, di antaranya:
Pertama:
Sihir hukumnya haram dan pelakunya kafir. Ini ditujukan oleh ayat ‘setan-setan
itulah yang kafir karena mengajarkan sihir.’ Juga ditujukkan dalam hadits:
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا [أَوْ سَاحِرًا]
فَصَدَّقَهُ فِيمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Siapa mendatangi tukang ramal, dukun, [atau tukang sihir]
lalu membenarkan ucapannya maka dia kafir terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Al-Hakim no. 15 dan Al-Bazzar no. 1873. Dinilai
shahih Al-Hakim dan disepakati Adz-Dzahabi sementara dalam kurung tambahan Al-Bazzar)
Hanya saja terkadang ada sihir yang sama sekali tidak
mengandung kekufuran. Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad tetap menghukumi kafir,
sementara Syafi’i tidak mengkafirkannya.
Apakah mereka dibunuh? Jumhur berpendapat dibunuh meski
sihirnya tidak mengandung kekufuran karena tukang sihir membahayakan masyarakat
dan individu. ‘Umar, Hafsah, dan Jundab telah melakukan eksekusi bunuh terhadap
tukang sihir laki-laki dan perempuan tanpa pengingkaran dari Shahabat lainnya
menunjukkan persetujuan mereka, sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Allâh telah menjadikan kebenaran lewat lisan ‘Umar.” (Shahih:
HR. At-Tirmidzi I/169 dalam Tuhfatul Ahwadzî) juga, “Ikutilah dua orang
sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar.” (Shahih: HR. Ahmad V/399 dan
at-Tirmidzi X/147 At-Tuhfah)
Bajalah bin ‘Abadah menceritakan surat perintah ‘Umar
setahun sebelum meninggal:
«اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ»، فَقَتَلْنَا فِي يَوْمٍ
ثَلَاثَةَ سَوَاحِرَ
“Bunuhlah setiap tukang sihir.”… kami pun membunuh tiga tukang sihir
perempuan. (HR. Abu Dawud no. 3043 dan Ahmad no. 1657. Dinilai shahih Al-Albani)
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih
bahwa Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu ‘Anha disihir budaknya. Budak itu
mengaku melakukannya lalu dikeluarkan dan dibunuh. Kabar itu sampai kepada
‘Utsman Radhiyallahu ‘Anhu dan marah lalu Ibnu ‘Umar menemuinya dan
berkata, “Budaknya menyihirnya dan dia pun mengakuinya sehingga dikeluarkan.”
‘Utsman diam. Mungkin marahnya ‘Utsman karena pembunuhan itu tanpa menunggu
perintahnya (sebagai kepala negara). Imam Syafi’i berkomentar, “Yang jelas ’Umar
memerintahkan agar para tukang sihir dibunuh.” Allahu a’lam, ini jika sihirnya
mengandung kesyirikan dan begitulah masalah Hafsah Radhiyallahu ‘Anha. (As-Sunan
Al-Kubrâ no. 16499)
Kedua:
Sihir tidak berpengaruh kecuali dengan seizin Allâh. Ini ditunjukkan oleh ayat ‘mereka
itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun
kecuali dengan izin Allâh.’ Ini artinya setan dan dukun itu lemah dan
pengaruh kejahatannya masih di dalam kekuasaan Allâh. Tatkala hamba-Nya terkena
sihir berarti atas takdir-Nya dengan hikmah agung yang Dia inginkan.
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا
هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Sekali-kali tidak
akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.
Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal.” (QS. At-Taubah [9]: 51)
Ketiga:
sihir memiliki hakikat sehingga efeknya nyata bisa membunuh, membuat sakit,
memisahkan suami-istri, menumbuhkan rasa cinta, menimbulkan rasa benci, dan
lain-lain. Sihir juga terkadang hanya berupa tahayul, yaitu dikhayalkan
seseorang melakukan sesuatu padahal tidak, atau dikhayalkan pada penglihatan
dan pendengaran apa yang menyelisihi hakekatnya seperti tali yang dikhayalkan
ular dalam kisah Musa ‘alaihissalam:
«فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى»
“Tiba-tiba tali dan tongkat mereka bergerak-gerak akibat
sihir mereka yang dikhayalkan kepada Musa.” (QS. Thaha [20]: 66)[]
Pembatal Ke-8: Menolong Musyrikin
الثَّامِنُ: مُظَاهَرَةُ
المُشْرِكِينَ وَمُعَاوَنَتُهُمْ عَلَى المُسْلِمِينَ وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾
Kedelapan: menolong orang-orang musyrik dan membantu mereka dalam melawan
kaum Muslimin. Dalilnya adalah firman-Nya: “Siapa dari kalian yang berloyal
kepada mereka maka ia bagian dari mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 51)
Menurut Fairuz Abadi lafazh loyal (التَّوَلِّي) artinya mengambilnya sebagai wali (اتَّخَذَهُ ولِيًّا). (الوَلِيُّ) artinya yang mencintai (المُحِبُّ), yang menolong (النَّصيرُ),
dan yang membenarkan (الصَّدِيقُ). (الوَلِيُّ) jamaknya adalah (أَوْلِيَاءُ).
(Al-Qâmûs Al-Muhîth hal. 1344)
Dasarnya adalah ayat: Allâh wali orang-orang beriman (اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا) yang maknanya Allâh mencintai, menolong,
dan membenarkan mereka.
Tawalli
di sini hukumnya kufur. Banyak dalil yang menunjukkan ini, di antaranya:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ»
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya; sebahagian mereka adalah wali
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka sebagai
wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allâh
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Ma`idah [5]: 51)
Ayat ‘Barang siapa di antara kalian mengambil mereka
sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka’
menunjukkan ia kafir sebagaimana mereka kafir. Dan ia di sini awalnya adalah
orang Islam.
Tawalli termasuk
sifat orang munafik. Orang munafik loyal dengan mencintai dan menolong orang
kafir dalam memusuhi umat Islam meskipun mereka dusta belaka. Jika perkara
mereka dusta saja dianggap tawalli oleh Allâh, apalagi dengan perkara sungguh-sungguh
memberikan cinta, pertolongan, pikiran, dan loyak kepada orang kafir tentu
lebih kufur hukumnya. Dalilnya adalah:
«أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ
لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ
مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ * لَئِنْ أُخْرِجُوا لَا يَخْرُجُونَ مَعَهُمْ
وَلَئِنْ قُوتِلُوا لَا يَنْصُرُونَهُمْ وَلَئِنْ نَصَرُوهُمْ لَيُوَلُّنَّ الْأَدْبَارَ
ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ»
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munafik yang
berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari ahli Kitab: ‘Sesungguhnya
jika kalian diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kalian; dan kami
selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kalian,
dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.’ Allâh bersaksi
bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya
jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka,
dan sesungguhnya jika mereka diperangi niscaya mereka tidak akan menolong
mereka; sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari
ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 11-12)
Ayat ‘orang-orang munafik yang berkata kepada
saudara-saudara mereka yang kafir dari ahli Kitab’ menunjukkan mereka
sama-sama kafir karena kesamaan persaudaraan menunjukkan kesamaan keyakinan dan
misi.
Allâh mengancam orang Islam yang bertawalli dengan
ketidakbutuhan Allâh atas mereka dan tidak mendapatkan apapun dari Allâh,
artinya Islamnya gugur. Allâh hanya memberikan rukhshah saat kaum Muslimin
lemah dan mengkhawatirkan kejahatan musuh. Dalilnya adalah:
«لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ
اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ»
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allâh kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allâh
memperingatkan kalian terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allâh kembali
(mu).”
(QS. Alî Imrân [3]: 28)
Tawalli
ini ada yang kufur dan ada yang di bawahnya sesuai dengan kadarnya. Dari
definisi Fairuz Abadi diketahui bahwa menjadikan orang kafir sebagai wali
(auliya) memiliki tiga arti:
Pertama: mencintai orang kafir dan ini ada tiga keadaan:
1.
Mencintai mereka secara mutlak atas kekafirannya, hukum
orang seperti ini kafir dan inilah yang dimaksud dalam bab ini. Hal ini
disebabkan Allâh mensyaratkan keimanan dengan membenci kekufuran dan pelakunya
meskipun kerabatnya sendiri. Dalilnya adalah:
«لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ
كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ»
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu
kaum yang beriman kepada Allâh dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allâh dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang Allâh telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka.”
(QS. Al-Mujâdalah [59]: 22)
Dalam ayat ini Allâh menafikan mawaddah
(kasih sayang) orang beriman kepada orang kafir, menunjukkan tidak sah keimanan
kecuali dengan membenci mereka.
Dalil dari As-Sunnah adalah:
«ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ
حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا،
وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ»
“Tiga perkara
yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Allâh
dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, ia mencintai
seseorang hanya karena Allâh, dan dia benci
kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke Neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
2. Mencintai
orang kafir atas dasar kedunian semata atau tujuan pribadi lainnya. Ini haram
tapi tidak sampai derajat kufur. Biasanya penyakit ini menjangkiti orang yang
sering berintraksi dengan orang kafir baik karena urusan bisnis maupun belajar
ilmu dunia kepada mereka.
Di antara bentuk ini adalah
bertamasya ke negeri mereka, tinggal bersama mereka, belajar kepada mereka
tanpa darurat, ridha memakai kalender mereka, meniru gaya hidup mereka, dan
yang semisalnya. Ini tidaklah dilakukan kecuali ada dorongan cinta. Dalilnya:
إِنَّ الَّذِينَ
تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ
وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا * إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ
لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا * فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ
أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
malaikat bertanya: ‘Ada apa dengan kalian ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata:
‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?’
Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun
anak-anak yang lemah dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.”
(QS. An-Nisâ [4]: 97-99)
3.
Cinta tabiat, seperti tabiat manusia yang mencintai orang
berakhlak mulia, mencintai istri, dan orang tua. Ini tidak terlarang selagi
tidak melampaui kadarnya, maksudnya tidak berlebihan disertai benci
kekafirannya. Andaikan terlarang tentu Allâh tidak membolehkan Muslim menikahi
wanita ahli kitab sementara suami-istri mau tidak mau ada rasa cinta dan ini
perkara umum dan diketahui. Dalil yang lebih jelas adalah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam masih mencintai ayah-ibunya padahal keduanya kafir
sehingga beliau meminta izin Allâh untuk menziarahinya. Juga Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mencintai Abu Thalib paman yang selalu membantu dakwah
meski enggan masuk Islam, bahkan beliau berdoa setelah meninggalnya pamannya:
«أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ
لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ»
“Demi Allâh sungguh aku akan
memintakan ampun untukmu selagi tidak dilarang.” Lalu turun at-Taubah ayat 113 berisi
pelarangan ini. (HR. Al-Bukhari no. 1360)
Kedua: menolong dan membantu orang kafir dalam melawan kaum Muslimin. Ini ada
dua keadaan:
1.
Menolong mutlak atas faktor kekafiran maka orang ini kafir,
karena ini menunjukkan pengkhianatannya kepada Allâh dan kaum Muslimin.
Dalilnya adalah ayat di atas, “Siapa dari kalian yang berloyal kepada mereka
maka ia bagian dari mereka.” [5: 51] Kekafiran inilah yang dimaksud oleh Asy-Syaikh.
2. Menolong
dalam arti membantu karena faktor dunia bukan agama. Ini dosa besar tetapi
tidak membatalkan keislaman. Dalilnya adalah kisah dalam Shahih Al-Bukhari (no.
3007) dan Muslim (no. 2494) tentang Hathib bin Abi Balta’ah Radhiyallahu
‘Anhu yang mengirim surat untuk Musyrikin Makkah perihal rencana Rasulullâh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tujuan Shahabat ini adalah agar kaum
Musyrikin Makkah simpati dan berhutang budi kepadanya sehingga keluarga dan
hartanya yang ditinggal di Makkah tidak diganggu. Tatkala kabar ini diketahui
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Hathib beralasan dan berkata, “Aku
melakukannya bukan karena kekufuran dan murtad dan tidak pula ridha kufur
setelah masuk Islam.” Tatkala ‘Umar minta izin memenggal lehernya, beliau
bersabda:
«إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا،
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ»
“Dia, Hatib, telah ikut perang Badar. Tahukah kamu bahwa Allâh
telah mengintip semua pengikut perang Badar dan berfirman, ‘Lakukan yang
kalian suka, Aku telah
mengampuni kalian.’” Lalu turun ayat:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ
بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ
الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ
بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ
يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ»
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia
yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepada kalian, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kalian karena kalian
beriman kepada Allâh Rabb kalian. Jika kalian benar-benar keluar untuk berjihad
pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kalian
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena
rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa
yang kalian nyatakan. Dan barang siapa di antara kalian yang melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Mumtahanah [60]: 1)
Dalam ayat ini Allâh masih memanggil
mereka dengan keimanan menunjukkan perbuatan mereka ini tidak membatalkan
keimanan.
Ketiga: membenarkan dan menyutujui keyakinan mereka. Tanpa diragukan ini kekufuran dan
batal keislamannya, meskipun dia membaca syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
haji.
Hikmah agung Allâh melarang kaum Muslimin berloyal kepada
orang kafir pada dasarnya untuk kebaikan diri mereka sendiri agar tidak
menyesal di kemudian hari, mengingat bengis dan kejamnya hati orang kafir.
Dalilnya adalah:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ * هَا
أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ
كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ
الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
بِذَاتِ الصُّدُورِ * إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ
سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ
كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ»
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil
menjadi teman kepercayaan kalian dari orang-orang yang di luar kalangan kalian
sendiri (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi
kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.
Beginilah kalian, kalian menyukai mereka, padahal mereka
tidak menyukai kalian, dan kalian beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila
mereka menjumpai kalian, mereka berkata, ‘Kami beriman,’ dan apabila mereka
menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap
kalian. Katakanlah (kepada mereka): ‘Matilah kalian karena kemarahan kalian
itu.’ Sesungguhnya Allâh mengetahui segala isi hati.
Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih
hati, tetapi jika kalian mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika
kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak
mendatangkan kemudaratan kepada kalian. Sesungguhnya Allâh mengetahui segala
apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Alî Imrân [3]: 118-120)
Adil dan Berbuat Baik kepada Non-Muslim
Benci dan memusuhi orang kafir tidak berarti curang dan
jahat kepada mereka, bahkan wajib berbuat adil dan baik. Dalilnya adalah:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا
قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ
عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ»
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allâh, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum,
mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 8)
«لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ»
“Allâh tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan
tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allâh menyukai
orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan rukhshah
(keringanan) dari Allâh untuk menyambung silarurrahmi kepada orang-orang yang
tidak memusuhi dan memerangi orang-orang beriman. Ibnu Zaid berkata, ‘Ini
terjadi di awal Islam saat tidak diwajibkan berperang kemudian dinaskh (dihapus
hukumnya).’ Qatadah berkata, ‘Ini dinaskh dengan ayat, ‘Bunuhlah orang-orang
musyrik di mana saja kalian menjumpainya.’ Ada yang berpendapat bahwa hukum ini
berlaku karena illat penjanjian damai, maka saat perjanjian damai habis dengan
pembebasan Makkah hukum ini pun tidak berlaku lagi meskipun tulisannya tetap
dibaca.” (Tafsir Al-Qurthubi XIX/59)
Yang benar hukum ini tetap berlaku hingga hari Kiamat.
Dalil lainnya diriwayatkan Al-Bukhari (no. 5978) bahwa Asma` binti Abu Bakar
berkata:
أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً، فِي عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
آصِلُهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»
“Ibuku mendatangiku (saat masih musyrik) meminta dengan
sangat sesuatu di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu aku
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apakah aku perlu
menyambung silaturrahmi (dengan memberinya)? Beliau menjawab, ‘Ya.’” Kata Ibnu
‘Uyainah, “Lalu turunlah ayat ini.”
Ayat ini tidak khusus bagi kerabat saja tetapi juga orang
kafir secara umum yang memenuhi 3 kriteria di atas: tidak memerangi, tidak
mengusir, dan tidak membantu lainnya dalam melawan kaum Muslimin. Jika tidak,
maka tidak berlaku. Dalilnya adalah ayat berikutnya:
«إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ»
“Sesungguhnya Allâh hanya melarang kalian menjadikan
sebagai wali orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian
dari negeri kalian dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Dan barang
siapa menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang
zhalim.”
(QS. Al-Mumtahanah [60]: 9)
Umat Islam yang cerdas menarik simpati non-Muslim dengan
akhlakhnya yang mulia dan sikap yang baik kepada non-Muslim awam niscaya mereka
akan bersimpati dan diharapkan masuk Islam. Walhamdulillah.
Membenci orang kafir tidak berarti boleh membunuhnya,
merampas hartanya, dan menodai kehormatannya. Bahkan semuanya haram. Yang boleh
dibunuh hanya orang kafir yang terang-terangan memusuhi/memerangi Islam.
Perlu diingat bahwa orang kafir ada 4 macam, yaitu kafir
harbi, dzimmi, musta’man, dan mu’ahad.
Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi Islam atau
terang-terangan memusuhi Islam. Orang kafir inilah yang diperbolehkan dibunuh.
Adapun tiga sisanya, tidak boleh dibunuh.
Kafir dzimmi adalah orang kafir yang tinggal di negeri
kaum Muslimin dengan membayar pajak sehingga ia mendapatkan jaminan keamanan di
sana, dan wajib baginya menerapkan syariat Islam di negeri kaum Muslimin,
meskipun ia sendiri masih non-Muslim. Contoh untuk sekarang adalah orang-orang
kafir yang menjadi WNI (warga negara Indonesia). Kafir ini tidak boleh dibunuh,
dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا
بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ
دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ
يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai (kecuali) mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk (syariat Islam di negeri kaum Muslimin).” (QS. At-Taubah [9]: 29)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«مَنْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ
لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ
عَامًا»
“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak
akan mencium bau Surga. Padahal sesungguhnya bau Surga itu tercium dari
perjalanan 60 tahun. ”
(HR. An-Nasa’i no 4749 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan
kaum Muslimin. Mereka tidak boleh dibunuh hingga jatuh tempo. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ
الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا»
“Barangsiapa yang membunuh kafir
mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau Surga. Padahal bau Surga itu telah
didapati dalam perjalanan 40 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 3166)
Kafir musta’man adalah orang kafir yang
meminta perlindungan atau jaminan keamanan kepada penguasa kaum Muslimin atau
seorang Muslim lalu diterima maka ia tidak boleh dibunuh. Kafir musta’man bisa
berupa pedagang, utusan, orang yang ingin mempelajari Islam, ataupun semisalnya.
Contoh sekarang seperti mahasiswa asing, wisatawan asing, dan semisalnya karena
mereka telah mendapatkan jaminan dan izin tinggal sementara di negeri kaum
Muslimin dengan bukti paspor atau visa. Allah berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang
musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya
ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)[]
Pembatal Ke-9: Meyakini Boleh Keluar Syariat
التَّاسِعُ: مَنْ
اعْتَقَدَ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَسَعُهُ الخُرُوجُ عَنْ شَرِيعَةِ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم كَمَا وَسِعَ الخَضِرُ الخُرُوجَ عَنْ شَرِيعَةِ
مُوسَى عَلَيهِ السَّلَامُ، فَهُوَ كَافِرٌ.
Kesembilan: siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia
tidak wajib mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ia boleh keluar dari syariat
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana Khidhir keluar dari
syariat Musa ‘alaihissalam, maka ia kafir.
Penjelasan kalimat pertama: siapa yang meyakini bahwa
sebagian manusia tidak wajib mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka
ia kafir.
Dalil-dalil akan hal ini banyak sekali. Dalil dari Al-Qur`an:
«وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ
لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا
مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ
عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ
الشَّاهِدِينَ»
“Dan (ingatlah), ketika Allâh mengambil perjanjian dari
para nabi: ‘Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan
hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul (Muhammad) yang membenarkan
apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya
dan menolongnya.’ Allâh berfirman: ‘Apakah kalian mengakui dan menerima
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: ‘Kami mengakui.’ Allâh
berfirman: ‘Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi
(pula) bersama kalian.’”
(QS. Ali Imrân [3]: 81)
Sisi pendalilannya, jika para Nabi saja yang memiliki ilmu
dan petunjuk wajib menjadi pengikut setia Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dan menjadi penolongnya, maka yang lain lebih ditekankan.
Dalil dari As-Sunnah:
«كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا
مَنْ أَبَى»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: «مَنْ أَطَاعَنِي
دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى»
“Setiap umatku akan masuk Surga kecuali
orang yang enggan.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullâh, siapa yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Siapa
yang mentaatiku masuk Surga dan siapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan
itu.” (HR. Al-Bukhari no. 7280, Ahmad no. 8728, dan Al-Hakim no. 182)
Hadits ini jelas sekali menafikan Surga bagi yang
berkeyakinan tidak wajib mentaati beliau yang menunjukkan dia kafir karena
orang kafir diharamkan masuk Surga.
Penjelasan kalimat kedua: siapa meyakini boleh keluar dari
syariat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana Khidhir keluar
dari syariat Musa ‘alaihissalam, maka ia kafir.
Dalilnya adalah ayat risalah kaffah:
«وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ»
“Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (QS. Saba` [34]: 28)
Ini menunjukkan bahwa tidak ada
kebebasan bagi siapa pun untuk keluar dari syariat Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam karena beliau untuk seluruh manusia. Bahkan, andai masih ada
Yahudi dan Nashrani yang bepegang teguh dengan ajaran Nabinya setelah mendengar
diutusnya Nabi terakhir ini diancam masuk Neraka hingga masuk syariat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dalilnya:
«وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ
يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي
أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ»
“Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari kalangan ummat
Yahudi atau Nasrani ini yang mendengar ajaranku, kemudian ia mati tanpa
mengimani risalahku, kecuali ia tergolong penghuni Neraka.” (HR. Muslim no.
153 dan Ahmad no. 8203)
Telah berlalu hadits tentang kewajiban Musa ‘Alaihissalam
mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَصْبَحَ مُوسَى
فِيكُمْ فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ،
وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي»
“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, anda Musa di tengah
kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku niscaya kalian tersesat dari
jalan lurus. Anda saja Musa masih hidup dan menjumpai risalahku, maka tidak ada
kebebasan baginya kecuali harus mengikutiku.” (Al-Irwâ` no. 1589 dan Shahîhul Jâmi’ no.
5308)
Tidak ketinggalan Nabi Isa ‘Alaihissalam. Beliau
kelak turun di akhir zaman menjadi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sehingga beliau menegakkan syariat Islam dengan mematahkan
salib, membunuh babi, dan menghapus jizyah. Dalilnya:
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُوشِكَنَّ أَنْ
يَنْزِلَ فِيكُمْ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا، فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ، وَيَقْتُلَ
الخِنْزِيرَ، وَيَضَعَ الجِزْيَةَ، وَيَفِيضَ المَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ»
“Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, benar-benar telah dekat saatnya Isa Putra Maryam turun (dari
langit) sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi,
menerapkan jizyah (pajak bagi nonMuslim), dan harta benda akan banyak tersebar
sehingga tidak ada seorang pun yag mau menerima (shadaqah).” (HR. Al-Bukhari
no. 2222 dan Muslim
no. 155)
Apakah benar Nabi Khidzir keluar dari syariat Nabi Musa ‘Alaihissalam?
Jawabannya tidak. Musa tidak diutus untuk semua umat tetapi khusus Bani Israil
sehingga tidak ada kewajiban bagi Khidhir untuk mengikutinya. Dalilnya:
«وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً»
“Nabi-Nabi diutus untuk kaumnya saja sementara aku
diutus untuk semua manusia.”
(HR. Al-Bukhari no. 335 dan Muslim no. 521)[]
Pembatal Ke-10: Mengacuhkan Agama
العَاشِرُ: الإِعْرَاضُ
عَنْ دِينِ اللهِ تَعَالَى لَا يَتَعَلَّمُـهُ وَلَا يَعْمَـلُ بِهِ، وَالدَلِيلُ
قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ
ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ﴾
Kesepuluh:
berpaling dari agama Allâh dengan tidak mempelajarinya atau
mengamalkannya. Dalilnya firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada
seseorang yang dibacakan kepadanya ayat-ayat Rabb-nya lalu dia berpaling
darinya. Sesungguhnya
Kami akan menghukum orang-orang pendosa.” (QS. As-Sajdah [32]: 22)
Secara bahasa (الإعراض) bermakna berpaling. Al-Ashmu’i berkata,
“Ucapan: orang beragama dengan berpaling maksudnya beragama tanpa peduli
menjalankannya dan tidak mau menjadi pengikutnya. (Lisânul ‘Arâb VII/176
oleh Ibnu Manzhur)
Ucapan ‘berpaling dari agama Allâh dengan
tidak mempelajarinya atau mengamalkannya’
menunjukkan bahwa pembatal keislaman yang dimaksud pengarang apabila pelakunya
berpaling dari belajar dan beramal.
Yang dimaksud berpaling dari belajar di sini adalah
tidak mempelajari dasar-dasar agama yang memasukkan seseorang ke dalam Islam.
Adapun jahil terhadap ajaran Islam secara terperinci bukan termasuk pembatal
karena ilmu tafshil (terperinci) hanya mampu dilakukan oleh ulama dan penuntut
ilmu.
Yang dimaksud berpaling dari beramal di sini adalah
tidak beramal sedikitpun dari anggota badan secara mutlaq padahal ia mampu dan
mencukupkan diri hanya bersyahadat. Adapun tidak mengamalkan salah satu
kewajiban tidak kafir, kecuali shalat karena ulama berselisih akan kekafiran
orang yang meninggalkannya.
Tidak beramal sedikitpun dari anggota badan secara mutlaq
padahal ia mampu dan mencukupkan diri hanya bersyahadat adalah kafir menurut
ijma, sebagaimana yang dikatakan Al-Humaidi dalam As-Sunnah Al-Khallal
(no. 1027), Asy-Syafi’i dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (VII/120),
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam Kitabul Imân (hal. 18-19), dan Al-Ajurri
dalam Asy-Syarî’ah (II/611).
Tentang dua hal ini, sepertinya Syaikh berdalil dengan
ayat:
«هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى
وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ»
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa Al-Huda
dan Dinulhaq untuk mengunggulkannya atas semua agama meskipun orang-orang
musyrik tidak menyukainya.”
(QS. At-Taubah [9]: 33 dan Ash-Shaff [61]: 9)
Yang dimaksud Al-Huda dan Dinulhaq adalah ilmu dan amal
sebagaimana tafsiran Ibnu Katsir. Lafazh ‘orang-orang musyrik tidak
menyukainya’ menunjukkan berpaling dari dua hal ini adalah kekufuran.
Kesimpulannya, berpaling itu ada dua: kulli dan juz’i. Kulli
adalah berpaling dari mempelajari ushululddin (dasar agama) dan tidak beramal
secara muthlak, hanya bersyahadat saja, maka ini kekufuran. Inilah yang
dimaksud pengarang di sini. Dalil akan hal ini banyak, di antaranya:
«وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ
ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ
مُنْتَقِمُونَ»
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada seseorang yang
dibacakan kepadanya ayat-ayat Rabb-nya lalu dia berpaling darinya. Sesungguhnya
Kami akan menghukum orang-orang pendosa.” (QS. As-Sajdah [32]: 22)
Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan, “Tidak condong
kepadanya dan tidak peduli sama-sekali.” (Tafsîr Ibni Katsîr III/911)
«وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ»
“Dan orang-orang kafir berpaling dari apa yang mereka
diperingatkan.”
(QS. Al-Ahqâf [46]: 3)
Sisi pendalilan, Allâh menyebut berpaling sebagai sifat
orang kafir menunjukkan berpaling dari agama adalah kekufuran.
Adapun berpaling juz’i adalah berpaling dari mempelajari
secara terperinci dan tidak menjalankan sebagian kewajiban agama, maka ini
tidak membatalkan keislamannya karena masih memiliki sisa keimanan. Dalilnya
adalah hadits shahih tentang orang yang membunuh 100 orang lalu bertaubat dan
hijrah ke negeri shalih untuk beribadah tetapi keburu meninggal di jalan lalu Allâh
mengampuninya dan memasukkannya ke Surga. Adapun ucapan Malaikat Adzab, “Dia
belum melakukan kebaikan sedikitpun,” tidak berarti tidak beramal sama-sekali
bahkan taubat dan hijrah adalah amal agung. Juga dia berniat ingin beribadah di
negeri yang akan dikunjunginya sementara niat lebih sampai ketimbang amal. Allahu
a’lam.
Orang yang berpaling dari ilmu menyebabkannya terjerumus
ke dalam kekufuran atau kesyirikan tanpa disadarinya karena kejahilannya.
Apakah mereka dapat udzur atas kejahilannya? Jawabannya tidak, karena makna
berpaling adalah kebenaran/risalah datang kepadanya dengan jelas lalu dia
menolaknya, menjauhinya, atau tidak mengamalkannya, sementara jahil berlaku
bagi orang yang belum sampai kepadanya kebenaran/risalah. Dalilnya:
«بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ
فَهُمْ مُعْرِضُونَ»
“Bahkan kebanyakan mereka tidak mengenal kebenaran
sehingga mereka berpaling.”
(QS. Al-Anbiyâ [20]: 24)[]
Bercanda, Serius, dan Takut Sama Saja
وَلَا فَرْقَ فِي
جَمِيعِ هَذِهِ النَّوَاقِضِ بَيْنَ الهَازِلِ وَالجَادِّ وَالخَائِفِ إِلَّا المُكْرَهِ.
Tidak ada perbedaan dalam pembatAl-pembatal ini antara
orang yang bercanda, serius, atau takut kecuali orang yang dipaksa.
Dalil bercanda adalah kisah pada poin ke-6 di muka. Dalil
takut adalah kisah lalat yang memasukkan seseorang ke dalam Neraka:
«دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ، وَدَخَلَ
النَّارَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ» قَالُوا: وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: «مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى
قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا
لِأَحَدِهِمَا: قَرِّبْ قَالَ: لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ فَقَالُوا لَهُ: قَرِّبْ وَلَوْ
ذُبَابًا فَقَرَّبَ ذُبَابًا، فَخَلَّوْا سَبِيلَه» قَالَ: «فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا
لِلْآخَرِ: قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا قَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا
دُونَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ» قَالَ: «فَضَرَبُوا عُنُقَهُ» قَالَ: «فَدَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Ada seorang lelaki yang masuk Surga gara-gara seekor
lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk Neraka gara-gara lalat.” Mereka
(para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullâh?”
Beliau menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang
memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu
melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala
tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu,
“Berkorbanlah.” Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.”
Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” Ia pun
berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk
lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk Neraka. Mereka
juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah.” Ia menjawab, “Tidak
pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allâh ‘azza wa jalla.” Akhirnya,
mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk Surga.” (HR. Ahmad
no. 84 dalam Az-Zuhd mauquf dari Thariq bin Syihab dengan sanad tsabit)
Adapun dalil dipaksa bukan termasuk pembatal adalah:
«مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ»
“Barangsiapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan
baginya azab yang besar.”
(QS. An-Nahl [16]: 107)[]
وَكُلُّهَا مِنْ أَعْظَمِ
مَا يَكُونُ خَطَرًا، وَأَكْثَرِ مَا يَكُونُ وُقُوعًا، فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ
أَنْ يَحْذَرَهَا وَيَخَافَ مِنْهَا عَلَى نَفْسِهِ. نَعُوذُ بِاللهِ
مِنْ مُوجِبَاتِ غَضَبِهِ، وَأَلِيمِ عِقَابِهِ.
Semua pembatal ini termasuk perkara besar yang perlu
diwaspadai dan termasuk perkara yang sering terjadi. Wajib bagi setiap Muslim
untuk mewaspadainya dan takut menimpa dirinya. Kita berlindung kepada Allâh
dari mendapatkan kemurkaan-Nya dan pedihnya siksa-Nya.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى
خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Semoga shalawat dan salam untuk Nabi kita Muhammad,
keluarganya, dan para Shahabatnya.[]
Penjelasan Tambahan Tentang Takfir, Tabdi’, dan Tafsiq
Hukum ditinjau dari objeknya ada dua: hukum mutlak dan
hukum mu’ayyan. Hukum mutlak maksudnya hukum umum berupa kabar perintah
atau ancaman, seperti hukum orang yang meminta kepada penghuni kubur adalah
musyrik. Bila vonis musyrik ini dijatuhkan kepada orang tertentu (personnya),
inilah yang disebut hukum mu’ayyan (tunjuk hidung). Apakah setiap hukum mutlak
bisa dijatuhkan kepada setiap orang? Jawabannya tidak, karena di sana
membutuhkan terpenuhinya syarat dan hilangnya mawani’ (penghalang).
Syarat vonis takfir ini ada lima, 2 pertama syarat umum
dan 4 sisa syarat khusus, yaitu baligh, berakal, ilmu, ikhtiyar (pilihan
sendiri), qasdu (menyengaja), tiadanya takwil. Hilangnya penghalang juga ada
lima, kebalikan dari 5 di atas, yaitu: anak, gila, jahil, ikrah (dipaksa),
keliru, takwil.
Dalil syarat ke-1 dan ke-2
baligh dan berakal (bukan anak dan tidak gila):
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ»
“Pena diangkat dari tiga orang, yaitu orang yang tidur
hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam (mimpi basah tanda baligh), dan orang
gila hingga sadar.”
(HR. Abu Dawud no. 4403 dan at-Tirmidzi no. 1423. Dinilai shahih Al-Albani, Al-Arna`uth,
Al-Hakim, dan disepakati adz-Dzahabi)
Ini artinya tidak boleh mengkafirkan anak kecil atau orang
gila yang melakukan amalan kufur, karena anak dan gila menjadi penghalang
takfir.
Pendapat yang kuat menyatakan bayi, orang tuli, gila,
pikun, dan ahli fatrah (masa kosong dari kenabian) setelah meninggal akan diuji
oleh Allah. Allah akan menyuruhnya masuk Neraka yang hakekatnya Surga. Jika
taat akan masuk Surga dan jika membangkan akan dimasukkan Neraka. Dalilnya:
«أَرْبَعَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ
لَا يَسْمَعُ شَيْئًا، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرَمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي فَتْرَةٍ،
فَأَمَّا الْأَصَمُّ فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الْإِسْلَامُ وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا،
وَأَمَّا الْأَحْمَقُ فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الْإِسْلَامُ وَالصِّبْيَانُ
يَحْذِفُونِي بِالْبَعْرِ، وَأَمَّا الْهَرَمُ فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الْإِسْلَامُ
وَمَا أَعْقِلُ شَيْئًا، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ فَيَقُولُ: رَبِّ،
مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ، فَيُرْسِلُ
إِلَيْهِمْ أَنْ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ،
لَوْ دَخَلُوهَا لَكَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلَامًا»
“Ada empat orang (yang akan berhujjah) kelak di hari
kiamat: (1) orang tuli yang tidak bisa mendengar apa-apa, (2) orang idiot, (3)
orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan
berkata: ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya
sama sekali.’ Orang yang idiot akan berkata: ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah
datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan.’ Orang yang pikun
akan berkata: ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat
memahaminya.’ Adapun orang yang mati dalam masa fatrah akan berkata: ‘Wahai
Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu yang datang kepadaku.’ Maka diambillah
perjanjian mereka untuk mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul
yang memerintahkan mereka agar masuk ke dalam api/Neraka.’” Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam kembali bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan
dingin dan selamat.”
(HR. Ahmad no. 16301 & 26302 dan Al-Bazzar no. 2175. Al-Haitsami berkata,
“Perawi Ahmad dan Al-Bazzar shahih.”)
Dalil syarat ke-3 berilmu (tidak jahil):
«وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا»
“Dan Kami tidak akan menyiksa hingga Kami mengutus Rasul.” (QS. Al-Isrâ [17]: 15)
Ini artinya orang yang belum sampai kepadanya seorang Rasul
terkena penghalang takfir. Termasuk kategori Rasul adalah risalahnya dan ilmu
karena mengikuti peninggalan Rasul sama dengan mengikutinya.
Jahil terhadap syariat ada 2, yaitu zhahir (jelas) dan khafi
(tersamar). Jahil terhadap syariat zhahir ini tidak ada toleransi sehingga
pelanggarnya adalah kafir, seperti ma’rifatullah dan rukun islam-iman
serta syariat umum (seperti haramnya zina dan riba) yang diketahui umumnya kaum
Muslimin secara turun-menurun.
Di antara dalilnya adalah Allâh tidak menerima udzur orang
yang berbuat syirik disebabkan jahil dan ikut-ikutan pendahulunya:
«وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ
مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا
كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ * أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ
قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ
الْمُبْطِلُونَ»
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allâh mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhan
kalian?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah (jahil) terhadap
ini (keesaan Tuhan),’ atau agar kalian tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami berbuat syirik sejak dahulu,
sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka
apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat
dahulu?’”
(QS. Al-A’râf [7]: 172-173)
Juga firman Allâh:
«مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا
أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ
سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ
ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ»
“Kalian tidak menyembah yang selain Allâh kecuali hanya
(menyembah) nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian membuat-buatnya. Allâh
tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allâh. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(jahil).”
(QS. Yûsûf [12]: 40)
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengomentari, “Disebabkan (jahil)
inilah mereka berbuat kesyirikan.” (Tafsir Ibnu Katsir IV/390)
Juga dikarenakan belajar agama hukumnya wajib. Maka jika
dia tidak belajar sehingga jahil lalu berbuat kekufuran dan kemusyrikan atas
kejahilannya itu, salahnya sendiri.
Adapun jahil terhadap syariat khafi diberi udzur seperti
permasalahan rumit dalam agama yang tidak diketahui kecuali oleh ahli ilmu
seperti rincian nama dan sifat Allâh. Dalilnya:
«أَنَّ رَجُلًا
كَانَ قَبْلَكُمْ، رَغَسَهُ اللّٰهُ مَالًا، فَقَالَ لِبَنِيهِ لَمَّا حُضِرَ:
أَيَّ أَبٍ كُنْتُ لَكُمْ؟ قَالُوا: خَيْرَ أَبٍ، قَالَ: فَإِنِّي لَمْ أَعْمَلْ
خَيْرًا قَطُّ، فَإِذَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اسْحَقُونِي، ثُمَّ ذَرُّونِي
فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ، فَفَعَلُوا، فَجَمَّعَهُ اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَقَالَ: مَا
حَمَلَكَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، فَتَلَقَّاهُ بِرَحْمَتِهِ»
“Ada seseorang
sebelum kalian yang diberi Allâh harta lalu dia berkata kepada anak-anaknya
saat sekarat, ‘Ayah yang seperti apa aku ini menurut kalian?’ Mereka menjawab,
‘Sebaik-baik ayah.’ Dia berkata, ‘Akan tetapi aku tidak pernah beramal kebaikan
sedikitpun. Apabila aku mati bakarlah aku lalu tumbuklah sampai halus lalu
tebarkanlah abuku di hari angin sangat kencang.’ Lalu mereka pun
melaksanakannya. Lalu Allâh mengumpulkannya lalu berkata, ‘Apa yang mendorongmu
melakukan itu?’ Dia menjawab, ‘Rasa takutku kepadamu.’ Lalu Allâh memberinya rahmat
(ampunan).” (HR. Al-Bukhari no. 3478 dan Muslim no. 2757)
Imam Qatadah berkata:
«رَجُلٌ خَافَ
عَذَابَ اللّٰهِ، فَأَنْجَاهُ اللّٰهُ مِنْ مَخَافَتِهِ»
“Dia adalah lelaki yang takut kepada
siksa Allâh, lalu Allâh menyelamatkannya karena rasa takutnya itu.”
(Diriwayatkan Ahmad XVIII/203 dalam Musnadnya)
Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah (w. 728
H) menjelaskan, “Orang ini ragu akan kemahakuasaan Allâh dan kemahamampuan-Nya
untuk membangkitkan kembali setelah tulangnya hancur menjadi debu, bahkan
berkeyakinan bahwa dia tidak akan dibangkitkan kembali. Tentu ini merupakan
kekufuran menurut kesepakatan seluruh ulama` kaum Muslimin. Akan tetapi ia
seorang yang jahil akan itu semua, sementara ia adalah orang beriman yang takut
kepada siksa Allâh, maka dia diampuni karena hal tersebut.” (Lihat Maj’mû’ Fatawâ
III/230-231)
Abu Muhammad Ibnu Hazm Al-Andalusi
menjelaskan, “Orang ini jahil hingga mati bahwa Allâh Mahakuasa untuk
mengumpulkan tulang-belulang dan menghidupkannya, tetapi ia diampuni karena
keyakinan dan rasa takutnya juga kejahilannya.” (Lihat Al-Fishâl III/252)
Objek udzur jahil ada tiga orang: muallaf, orang yang
tidak menemukan ahli ilmu yang mengajarinya, dan orang yang berada di tempat
yang jauh/pelosok dari komunitas kaum Muslimin sehingga jahil dari syiar-syiar agama.
Dalil udzur jahil bagi muallaf adalah hadits Abu Waqid Al-Laitsi
yang bercerita:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ [وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ] مَرَّ بِشَجَرَةٍ
لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ،
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ
أَنْوَاطٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سُبْحَانَ اللَّهِ
هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى {اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ} وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ»
“Rasulullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika
berangkat menuju Hunain [saat itu kami masih baru keluar dari kekufuran],
beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang disebut dengan
dzatu anwath. Mereka menggantungkan pedang mereka di atas pohon itu. Mereka
berkata, ‘Wahai Rasulullâh, buatkanlah bagi kami dzatu anwath seperti dzatu
anwath yang mereka miliki.’ Rasulullâh menjawab, ‘Maha Suci Allâh, inilah
yang seperti dikatakan oleh kaum Musa, 'Buatkanlah tuhan bagi kami sebagaimana
tuhan-tuhan yang mereka miliki.’ Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, kalian
sungguh mengikuti perilaku umat terdahulu.’” (HR. At-Tirmidzi no. 2180 dan
dinilai shahih Al-Albani. Dalam kurung tambahan Ath-Thabarani no. 3291)
Dalil beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyamakan ucapan mereka dengan ucapan kufur Bani Israil menunjukkan bahwa
perkara mereka syirik besar bukan syirik kecil. Seandainya bukan, tentu Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak akan mengutip ayat ‘Buatkanlah tuhan bagi kami
sebagaimana tuhan-tuhan yang mereka miliki.’ Setelah itu Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak mengkafirkan mereka, menunjukkan muallaf yang jahil
mendapat udzur.
Apa bedanya jahil udzur dan jahil i’rad (jahil karena
berpaling)? Hakikat jahil udzur belum sampai padanya ilmu dan kebenaran,
sementara jahil i'rad kebodohannya disebabkan tidak mau mencari kebenaran atas
teguran kesalahannya atau justru menolak kebenaran yang datang kepadanya. Ini
harus dipahami sehingga jelas antara jahil yang dapat udzur dengan yang tidak.
Allâh berfirman tentang jahil i'rad ini:
«وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ»
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allâh,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah [2]: 170)
«وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا
عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ»
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah
di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’” (QS. Az-Zuhrûf [43]: 23)
Kesimpulan jahil ini dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, “Siapa mengingkari 4 kewajiban (shalat, zakat, puasa, dan haji)
setelah tegak baginya hujjah, maka dia kafir. Demikian pula siapa yang
mengingkari perkara yang jelas-jelas diharamkan: zina, zhalim, dan dusta, maka
ia kafir. Adapun orang yang belum tegak hujjah atasnya disebabkan baru masuk
Islam atau tinggal di daerah terpencil, maka tidak boleh dikafirkan.” (Majmu’
Fatâwâ VII/610)
Dalil ke-4 ikhtiyar bukan ikrah:
Dalilnya adalah kisah ‘Ammar bin Yasir yang dipaksa
mengucapkan lafazh kafir sebagaimana tertera dalam an-Nahl ayat 107 di atas.
Dalil dari as-Sunnah:
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ،
وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ»
“Sesungguhnya Allâh mengampuni umatku karena kekeliruan,
lupa, dan apa yang dipaksakan kepadanya.” (HR. Ibnu Majah no. 2043 dan dinilai
shahih Al-Albani)
Dalil ke-5 menyengaja bukan keliru:
«وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا»
“Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hati kalian.
Dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 5)
«رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ
أَخْطَأْنَا»
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami keliru.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 286)
Di dalam Shahih Muslim (no. 125) Allâh mengabulkannya
dengan befirman, “Ya.”
Dalil ke-6 salah takwil:
Takwil adalah salah memahami nash karena meletakkan dalil
bukan pada tempatnya berdasarkan ijtihad atau syubhat. Jika kesalahan takwil
kufur itu dilakukannya tidak lantas dia kafir kecuali telah dijelaskan
kesalahannya lalu tetap pada takwilnya. Dalilnya adalah:
«إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»
“Apabila seorang
hakim mengambil keputusan dengan berijtihad lalu ternyata benar, maka dia
mendapat dua pahala. Apabila dia mengambil keputusan dengan berijtihad lalu
ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Al-Bukhari no. 7352 dan Muslim no. 1716 dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu)
Sisi pendalilan: tatkala Allah memaafkan kesalahan
mujtahid dalam memahami nash, menujukkan Allah memberi udzur atas kesalahan
takwil.
Dalil lainnya adalah kisah Shahabat Qatadah bin Mazh’um
yang diceritakan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, “Qudamah bin Mazh’un
minum khamr di Bahrain lalu ada yang melihatnya lalu diintrogasi dan mengaku.
‘Umar bertanya kepadanya, ‘Apa yang mendorongmu melakukan itu?’ Jawabnya, ‘Allâh
befirman:
«لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
جُنَاحٌ، فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا، وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ»
‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang shalih atas apa yang mereka makan, selagi mereka bertakwa serta
beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih.’ [5:93]
Sementara aku termasuk kaum Muhajirin pertama, ikut perang
Badar, dan ikut perang Uhud.’ ‘Umar berkata kepada orang-orang, ‘Sanggahlah
ucapan ini!’ Tetapi mereka diam lalu berkata kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Jawablah!’ Ia
menjawab, ‘Ayat ini turun sebagai udzur bagi orang-orang yang telah minum
sebelum diharamkannya yaitu ayat:
«إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ»
‘Sesungguhnya khamr dan maisir dan ashab termasuk perbutan
setan.’ Ayat ini hujjah atas orang setelahnya.’ [5:90]
Kemudian ‘Umar bertanya kepada orang-orang di sisinya
tentang hukuman had lalu Ali bin Abi Thalib menjawab, ‘Siapa yang minum akan
mabuk dan siapa yang mabuk akan kacau ucapannya. Cambuklah 80 kali.’” (HR.
An-Nasai no. 5270 dan Al-Baihaqi no. 17516 keduanya dalam Al-Kubrâ)
Syaikhul Islam menjelaskan, “Ia mengira bahwa orang-orang
beriman dan beramal shalih dikecualikan dari keharaman khamr, sebagaimana
kesalahan orang-orang yang disuruh taubat oleh ‘Umar dan yang semacam mereka.
Mereka disuruh taubat dan ditegakkan hujjah kepada mereka. Ketika mereka tetap
pada pendapat mereka, seketika itu ia kafir. Mereka tidak divonis kafir sebelum
dilakukan hal itu, seperti para Shahabat yang tidak mengkafirkan Qudamah bin
Mazh’un dan Shahabat-Shahabatnya karena kesalahan takwil.” (Majmu’ Fatawa
VII/610)
Apakah semua kesalahan takwil dimaafkan? Jawabannya tidak.
Takwil yang dimaafkan adalah takwil yang didasarkan merujuk dalil syar’i.
Adapun takwil berdasarkan pikiran dan hawa nafsu belaka tidak diberi udzur.
Untuk itu iblis yang mentakwil api lebih baik daripada tanah tidak berudzur,
karena berasal dari pikiran semata.
Tiga Catatan Penting Takfir:
1.
Siapa yang menjatuhkan vonis kafir maka vonis itu akan
ditanggung oleh salah satunya. Jika benar maka jatuh dan jika tidak maka yang
menuduh kafir. Dalilnya:
«أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ
بِهَا أَحَدُهُمَا»
“Lelaki mana saja yang
mengucapkan kepada saudaranya, ‘Wahai kafir!’ maka salah satu dari keduanya
akan pulang dengan membawa vonis tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no. 60 dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma)
2. Konsekuensi
kafir di dunia adalah orang tersebut halal darah dan hartanya. Dalilnya:
«أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُواْ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ وَيُقِيْمُواْ الصَّلاةَ وَيُؤْتُواْ
الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُواْ ذَلِكَ عَصَمُواْ مِنِّي دِمَاءَهَمْ
وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللّٰهِ
تَعَالَى»
“Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat lâ ilâha illâllâh dan muhammadur
rasûlûllâh, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melaksanakan
hal tersebut, maka mereka telah memelihara harta dan darah mereka dariku
kecuali dengan hak Islam, dan hisab
mereka diserahkan kepada Allâh Ta’ala.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 22 dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma)
3.
Yang berhak menjatuhkan vonis kafir bukan sembarang orang,
tetapi ulama yang wara dan takut kepada Allâh. Siapa yang
tergesa-gesa sebelum masanya maka diharamkan mendapatkannya.
«كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ
مُتَوَاخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي
الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ
فَيَقُولُ: أَقْصِرْ! فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ!
فَقَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللّٰهِ لَا
يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللّٰهُ الْجَنَّةَ، فَقَبَضَ
أَرْوَاحَهُمَا، فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَالَ لِهَذَا
الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا، أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟
وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي، وَقَالَ
لِلْآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ»
“Ada dua bersaudara dari Bani Isra`il. Salah satunya gemar berbuat dosa dan
yang lainnya ahli ibadah. Si ahli ibadah selalu melihat saudaranya melakukan
dosa lalu berkata, ‘Berhentilah!’ Pada hari berikutnya melakukan dosa lagi lalu
dia menasihatinya lagi, ‘Berhentilah!’ Dia berkata, ‘Biarkan saja aku! Demi
Allâh, apakah kamu dikirim untuk menjadi pengawas bagiku?’ Ahli ibadah berkata,
‘Demi Allâh, Allâh tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke Surga!’
Lalu keduanya meninggal, lalu keduanya dikumpulkan di hadapan Rabb semesta
alam. Allâh berkata kepada ahli ibadah, ‘Apakah kamu merasa lebih tahu dariku
ataukah kamu merasa Mahamampu atas apa yang ada di tangan-Ku?’ Allâh berkata
kepada pelaku dosa, ‘Pergi dan masuklah ke Surga dengan rahmat-Ku!’ Allâh
berkata kepada (malaikat) tentang ahli ibadah, ‘Seretlah ia ke Neraka!’” (HR. Abu Dawud no. 4901 dan Ahmad no.
8292. Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku di tangannya, sungguh dia
telah mengucapkan suatu ucapan yang membinasakan dunia dan akhiratnya.”)[]
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم
BalasHapusAfwan, pada halaman 10 yang terdapat ayat surat Al-An'am itu ayatnya ada kesalahan tulis seharusnya ayat 162-163
BalasHapusIzin bertanya, konsekuensi org kafir halal darah dan hartanya dan nabi memeranginya karena mereka tidak mau beriman, lalu bagaimana mengkompromikan dengan hadits-hadits yang diperintahkan berbuat baik kepada kafir dzimmi, muahad.
BalasHapus