Download Buku: Perbedaan Tajam Syi’ah dengan Ahlus Sunnah - Pustaka Syabab
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-perbedaan-tajam-syiah.html?m=0
Perbedaan Tajam Syi’ah dengan Ahlus Sunnah
Disusun oleh:
Abu Zur’ah Ath-Thaybi
Penerbit : Pustaka Syabab
Editor : Tim Pustaka Syabab
Layout : Tim Pustaka Syabab
Cetakan : Pertama
Tahun : Shafar 1435 H
Maret 2014 M
Pustaka Syabab
Perumahan Keputih Permai Blok A No. 1-3
Jl. Keputih Tegal Timur,
Sukolilo, Surabaya 60111, Jawa Timur
Email: pustakasyabab@yahoo.com
|
Pengantar Penerbit
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam semoga untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
keluarganya, dan para Shahabatnya. Amma ba’du:
Syi’ah dewasa ini telah gencar
merajalela di negeri-negeri kaum Muslimin, terutama di negeri kita Indonesia.
Keselamatan kaum Muslimin terancam. Pasalnya, kaum Syi’ah memiliki ideologi
bahwa selain Syi’ah alias Ahlus Sunnah halal darahnya untuk ditumpahkan,
sebagaimana yang mereka lakukan di negeri-negeri kaum Muslimin yang dikuasai
mereka. Apalagi mereka berkedok taqiyyah dan mengkampanyekan ingin membela Ahlul Bait Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, padahal mereka adalah sebesar-besar
musuh Ahlul Bait. Sehingga kesesatan mereka tersamar di kalangan awam kaum Muslimin.
Buku yang ada di tangan Pembaca ini
akan mengenalkan kepada Pembaca tentang aqidah Syi’ah sebenarnya yang sesat
dengan pembahasan yang ringan dan singkat, agar bisa dinikmati oleh semua
kalangan baik penuntut ilmu maupun orang-orang yang sibuk. Selamat membaca.
Semoga shalawat dan salam untuk Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para Shahabatnya.[PS]
Surabaya, Maret 2014
Muqaddimah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئآتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ:
Imam Asy-Syafi’i, Imam Malik bin
Anas, Imam Ahmad, Imam Al-Bukhari, Imam Abu Zur’ah Ar-Razi, Imam Al-Barbahari, Al-Qadhi
‘Iyyad, Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Hasyim
‘Asy’ari pendiri NU, dan Syaikh Nawawi Al-Bantani, sampai MUI Pusat Indonesia semuanya
memvonis kafir Syi’ah dalam kitab-kitab mereka atau nukilan dari riwayat
mereka, semuanya bisa dibuktikan di kitab-kitab kaum Salaf. Untuk itu,
pembahasan Syi’ah adalah pembahasan yang amat penting karena menentukan Surga dan Neraka, antara aqidah shahih dan aqidah
kufur.
Banyaknya
kaum awam yang ikut-ikutan ajakan dakwah Syi’ah dewasa ini, disebabkan samarnya kesesatan mereka karena mengatasnamakan cinta Ahlul
Bait dan penolongnya. Maka penyusun perlu ikut serta membendung syubhat Syi’ah sesuai
kemampuan dengan memberikan penjelasan yang ringan, singkat, dan mudah dipahami
dalam sebuah buku. Penyusun semaksimal mungkin meringkas dan merangkum dalam mencantumkan
keyakinan pokok mereka yang diambil
langsung dari lisan dan kitab ulama mereka, agar tidak terkesan mengada-ada,
kemudian ditangkis dengan keyakinan shahih Ahlus Sunnah yang pasti ditolong.
Penyusun sertakan teks arabnya agar bisa menguatkan hujjah dalam membantah
mereka. Harapan penyusun semoga buku ini mencukupi untuk memberikan penerangan dalam
menentukan putihnya Ahlus Sunnah dan hitamnya Syi’ah Rafidhah. Allahul
muwaffiq.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ
Al-Faqir ilallah
Abu Zur’ah Ath-Thaybi
Shafar 1435 H/Maret 2014 M
01 Sejarah Ringkas Munculnya Syi'ah Rafidhah
Di antara wasiat terakhir Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sebelum wafat adalah memerintahkan agar jazirah Arab
bebas dari orang-orang Yahudi dan Nashrani, sehingga mereka harus diusir dan
dikeluarkan dari Makkah dan Madinah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَئِنْ
عِشْتُ، إِنْ شَاءَ اللهُ لَأُخْرِجَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ العَرَبِ»
“Jika
aku masih hidup, insya Allah aku benar-benar akan mengusir orang-orang Yahudi
dan Nashrani dari jazirah Arab.”[1] Dalam riwayat
lain:
«أَخْرِجُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ»
Wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
ini belum terlaksana pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu
‘Anhu karena kesibukan beliau memerangi kaum murtad sepeninggal Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan kaum yang menolak membayar zakat, juga dikarenakan kepemimpinan beliau yang relatif sebentar, hanya
2 tahun.
Kemudian, pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu, beliau melaksanakan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tersebut sehingga tidak ada satu pun orang Yahudi kecuali diusir dan
dikeluarkan dari Makkah dan Madinah, setelah ditawarkan masuk Islam terlebih
dahulu. Orang-orang Yahudi pun
amat geram kepada ‘Umar dan memendam kebencian yang mendalam
kepadanya. Oleh karena itu, berita kematian ‘Umar yang ditikam oleh Abu
Lu`lu`ah Al-Majusi sangat menggembirakan mereka yang pada akhirnya nanti mereka
memuji-muji si Majusi itu dan menggelarinya Bâba Syujâ`ud Dîn (Tokoh Pahlawan
Agama) dalam ajaran Syi’ah.
Pada masa kekhalifahan ‘Utsman, sebagian orang Yahudi
pura-pura masuk Islam untuk merusaknya dari dalam sebagaimana kesuksesan mereka
merusak agama Nashrani lewat Paulus Si Yahudi yang pura-pura masuk Nashrani.
Maka, mulailah mereka menyusun makarnya, meracuni lidahnya, dan
menyebarkan racun-racunnya ke negeri-negeri kaum Muslimin.
Tampillah Abdullah bin Saba` Al-Yahudi menyebarkan ajaran
wasiat dengan mengatakan kepada penduduk-penduduk negeri bahwa dulu ketika
masih Yahudi dia membaca di Taurat bahwa setiap Nabi yang diutus memiliki washi
yang diberi wasiat penyerahan kepemimpinan sepeninggalnya, dan washi Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Ajakan
Ibnu Saba` ini ditolak di Makkah, Madinah, Syam, Bashrah, dan Kufah, tetapi
disambut baik
oleh penduduk Mesir. Hal ini disebabkan ilmu belum
menyebar di Mesir karena penaklukannya di akhir kepemimpinan ‘Umar Radhiyallahu
‘Anhu. Akhirnya, dihembuskanlah racun-racun kesesatan bahwa Abu Bakar,
‘Umar, dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘Anhum telah merampas keimamahan
(kepemimpinan) ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, sehingga
kepemimpinan mereka tidak sah dan mereka zhalim, serta wajib diberontak dan
direbut. Mereka pun melakukan banyak fitnah dan memperbesar fitnah yang ada
untuk melengserkan ‘Utsman, bahkan berencana membunuhnya. Di antaranya dengan
memfitnah ‘Utsman sebagai khalifah nepotis karena banyak mengangkat pegawai
dari kalangan keluarga sendiri dan kaum Bani Umayyah yang merupakan kabilahnya.
Sampai akhirnya ‘Utsman berhasil dibunuh secara zhalim dalam keadaan berpuasa dan membaca Al-Qur`an.
Pada masa kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib menantu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka membaur dengan tentara
‘Ali dan menjadi pendukungnya saat terjadi konflik dengan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan Paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari situlah
mereka dinamakan Syi’ah ‘Ali, artinya pendukung ‘Ali.
Paham dan keyakinan mereka tidak sama satu dengan
lainnya. Ada yang hanya mengunggulkan ‘Ali dari Abu Bakar dan ‘Umar dalam keutamaan
saja tanpa mencela kepemimpinan keduanya, ada pula yang melampaui batas dengan
mengatakan bahwa ‘Ali memiliki sifat-sifat ketuhanan, bahkan ada yang
mengatakan bahwa ‘Ali adalah Allah.
Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) menjelaskan, “Pada suatu hari
‘Ali bin Abi Thalib keluar lalu orang-orang Syi’ah bersujud kepadanya lalu ‘Ali
berkata kepada mereka, ‘Apa-apaan ini?’ Mereka berkata, ‘Anda adalah Dia.’ Ali
bertanya, ‘Siapa aku?’ Mereka menjawab, ‘Anda adalah yang tiada ilah selain
Dia.’ ‘Ali berkata, ‘Celaka kalian, ini kekufuran. Bertobatlah kalian atau aku
akan memenggal leher-leher kalian!’ Mereka mengulangi perbuatan itu lagi di
hari kedua dan ketiga, tetapi ‘Ali menunggu hingga tiga hari, karena orang
murtad ditunggu bertobat selama tiga hari. Tatkala mereka tidak mau bertobat, maka ‘Ali memerintahkan
untuk dibuatkan parit dari api di sekitar pintu Kindah lalu melempar mereka ke
dalam api tersebut. Diriwayatkan bahwa saat membakar mereka, ‘Ali
bersenandung:
لَمَّا رَأَيْتُ الْأَمْرَ
أَمْراً مُنْكَراً ... أَجَجْتُ نَارِي وَدَعَوْتُ قُنْبُراً
“Tatkala aku melihat urusan tersebut
adalah kemungkaran … aku kobarkan apiku dan aku pun memanggil burung-burung.”[3]
Sampailah kabar tersebut kepada Ibnu ‘Abbas dan dia tidak
setuju dengan keputusan ‘Ali membakar mereka karena dia pernah mendengar Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah,”
yakni dengan api.
Dari ‘Ikrimah, dia berkata:
«أُتِيَ
عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ، فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ
لِنَهْيِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تُعَذِّبُوا
بِعَذَابِ اللهِ» وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ»»
“Didatangkan
kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu orang-orang zindiq[4]
lalu ia membakar mereka. Kemudian kabar
tersebut sampai kepada Ibnu ‘Abbas lalu berkata, ‘Seandainya itu aku, aku tidak
akan membakar mereka karena larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
‘Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah,’ tetapi aku akan membunuh
mereka berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Siapa yang
mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah.’”[5]
Alasan ‘Ali membakar mereka karena kekufuran mereka telah
melampaui batas dan beliau khawatir hal ini akan membuka pintu-pintu kekufuran
dan kesesatan jika tidak diambil sikap tegas, dan diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu:
«يَا عَلِيُّ، أَنْتَ فِي الْجَنَّةِ» ثَلَاثًا قَالَهَا «وَسَيَأْتِي
مِنْ بَعْدِي قَوْمٌ لَهُمْ نُبْزٌ، يُقَالُ لَهُمُ
الرَّافِضَةُ، فَإِذَا لَقِيتَهُمْ فَاقْتُلْهُمْ فَإِنَّهُمْ مُشْرِكُونَ» قَالَ:
وَمَا عَلاَمَتُهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «لاَ يَرَوْنَ جُمُعَةً وَلاَ جَمَاعَةً،
يَشْتُمُونَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ»
“Wahai ‘Ali,
kamu di Surga --sebanyak tiga kali--. Akan muncul sepeninggalku orang-orang
yang suka mencaci, yang mereka dipanggil Rafidhah. Apabila kamu menjumpai
mereka maka bunuhlah mereka karena mereka orang-orang musyrik.” ‘Ali bertanya, “Apa
tanda-tanda mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka tidak menghadiri
shalat Jum’at dan shalat berjamaah serta mencaci Abu Bakar dan ‘Umar.”[6]
Mereka inilah cikal-bakal Syi’ah Rafidhah Imamiyah yang
dikafirkan oleh para ulama. Mereka disebut Rafidhah karena menolak dan berlepas
diri dari Syaikhan Abu Bakar dan ‘Umar.[7]
Disebut Imamiyah karena mereka meyakini wasiat imamah (kepemimpinan) hanya
berhak bagi ‘Ali beserta anak dan keturunannya dari Ahlul Bait yang berjumlah
12 imam.
Begitulah cara licik mereka untuk merusak Islam dari
dalam dengan menyuarakan bahwa mereka adalah pecinta dan pembela Ahlul Bait[8].
Padahal mereka adalah sebesar-besar musuh Ahlul Bait.
Kemudian, misi mereka pun berlanjut ingin membatalkan
ajaran Islam dan Islam itu sendiri, dengan menciderai dan mengkafirkan seluruh Shahabat
Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka tahu bahwa penyampai agama adalah para Shahabat,
sehingga jika penyampai agama ini dikafirkan dan ditolak persaksiannya, maka
batallah agama.[]
02 Syi'ah Mengkafirkan Para Shahabat Mulia
Para termudah yang ditempuh Syi’ah untuk membatalkan
agama Islam adalah dengan menuduh bahwa para Shahabat telah khianat dan kafir,
sehingga periwayatan mereka tertolak dengan sendirinya. Maka, jangan heran bila
nanti disebutkan bahwa kaum Syi’ah tidak mengakui Al-Qur`an kita, tata cara
ibadah kita, ulama-ulama kita, kitab-kitab ulama kita, beserta aqidah, tauhid,
ibadah, muamalah, fiqih, akhlaq, tazkiyatun nufus, dan cara beragama kita,
karena semua yang ada pada kita Ahlus Sunnah diambil dari para Shahabat Radhiyallahu
‘Anhum, sementara mereka telah dibatalkan oleh Syi’ah. Benarlah apa yang
dikatakan guru utama Imam Muslim, Abu Zur’ah Ar-Razi (w. 264 H):
«إِذَا
رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ، وَإِنَّمَا
أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ، وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَنْ يُجَرِّحُوا شُهُودَنَا
لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ
زَنَادِقَةٌ»
“Jika kamu melihat seseorang yang merendahkan seorang
dari para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka
ketahuilah bahwa dia zindiq (munafiq dan musuh Islam). Demikian itu karena
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menurut kita adalah haq dan Al-Qur`an
adalah haq, sementara yang menyampaikan kepada kita Al-Qur`an ini dan
hadits-hadits adalah para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Yang mereka inginkan adalah mencela para saksi kita untuk membatalkan Al-Kitab
dan As-Sunnah, padahal celaan untuk mereka lebih layak dan mereka adalah kaum
zindiq.”[9]
كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ ثَلاَثَةٌ، فَقُلْتُ: مَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ
بْنُ الْأَسْوَادِ، وَأَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِي، وَسَلْمَانُ الْفَارِسِي
“Manusia seluruhnya murtad sepeninggal Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kecuali tiga orang.” Aku bertanya, “Siapa saja mereka
bertiga itu?” Dia menjawab, “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan
Salman Al-Farisi.”[11]
Telah disebutkan alasan kebencian Yahudi kepada ‘Umar bin
Al-Khaththab
di muka. Oleh karena itu, di antara ajaran Syi’ah yang pokok
adalah mengkhususkan cacian dan pengkafiran kepada Syaikhan Abu Bakar dan
‘Umar, serta membuat banyak sekali riwayat-riwayat dusta untuk mencaci
keduanya.
Diriwayatkan secara dusta bahwa pembantu ‘Ali bin Abi
Thalib berkata kepadanya:
عَلَيْكَ حَقُّ الْخِدْمَةِ، فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ
وَعُمَرَ؟ فَقَالَ: إِنَّهُمَا كَانَا كَافِرَيْنِ، الَّذِي يُحِبُّهُمَا فَهُوَ كَافِرٌ
أَيْضاً
“Anda memiliki hak pelayanan dariku, maka beritakan
kepadaku tentang Abu Bakar dan ‘Umar?” Dia menjawab, “Keduanya kafir dan kafir
juga siapa yang mencintai keduanya.”[12]
Mereka memiliki doa Shanama Quraisy (Dua Berhala Quraisy)
yang selalu mereka panjatkan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ
صَنَمَي قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad, dan laknatlah dua berhala Quraisy, dua Jibt-nya, dua Thaghut-nya, dan
dua putrinya.”[13]
Kemudian keyakinan Syi’ah melebar dengan mengkafirkan
seluruh kaum Muslimin sehingga halal darah mereka untuk ditumpahkan dan
meyakini akan masuk Neraka dan kekal selama-lamanya.
Ash-Shaduq meriwayatkan yang disandarkan
kepada Dawud bin Farqad bahwa dia berkata:
قُلْتُ
لِأَبِي عَبْدِاللهِ: مَا تَقُوْلُ فِي النَّاصِبِ؟ قَالَ: حَلاَلُ الدَّمِ لِكَي
أَتَّقِي عَلَيْكَ، فَإِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُقَلِّبَ عَلَيْهِ حَائِطاً أَوْ تُغْرِقَهُ
فِي بَحْرٍ لِكَي لاَ يَشْهَدُ بِهِ عَلَيْكَ فَافْعَلْ. قُلْتُ: فَمَا تَرَى فِي
مَالِهِ؟ قَالَ: خُذْهُ مَا قَدَرْتَ
“Aku bertanya kepada Abu Abdillah,
‘Apa pendapatmu tentang Nawasib[14]?’
Dia menjawab, ‘Halal darahnya tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Jika
kamu mampu merobohkan dinding agar menimpanya atau menenggelamkannya di laut
sehingga tidak ada yang melihat perbuatanmu, maka lakukanlah.’ Aku bertanya,
‘Bagaimana dengan hartanya?’ Dia menjawab, ‘Ambil semampumu.’”[15]
Diriwayatkan secara dusta dari Abu Abdillah:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحِبَّكُمْ وَمَا يَدْرِي
مَا تَقُولُونَ فَيُدْخِلُهُ اللهُ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُبْغِضَكُمْ
وَمَا يَدْرِي مَا تَقُولُونَ فَيُدْخِلُهُ اللهُ النَّارَ
“Ada seseorang yang benar-benar
mencintai kalian (orang Syi’ah) dan ia tidak tahu apa yang kalian katakan, lalu
Allah memasukkannya ke Surga. Dan ada seseorang yang benar-benar membenci
kalian dan tidak tahu apa yang kalian katakan, lalu Allah memasukkannya ke Neraka.”
Setelah membawakan riwayat ini, Imam
mereka Al-Majlisi menjelaskan:
وَاْلحَاصِلُ أَنَّ الْمُخَالِفِينَ لَيْسُواْ
مِنْ أَهْلِ الْجِنَانِ، وَلاَ مِنْ أَهْلِ الْمَنْزِلَةِ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ
وَهِيَ الْأَعْرَافِ، بَلْ هُمْ مُخَلَّدُوْنَ فِي النَّارِ
“Kesimpulannya bahwa mukhalifin
(orang-orang yang menyelisihi Syi’ah yakni Ahlus Sunnah atau kaum Muslimin)
bukan termasuk penduduk Surga dan tidak pula penduduk antara Surga dan Neraka yang disebut Al-A’raf, bahkan mereka kekal di Neraka.”[16]
Keyakinan Ahlus Sunnah
Para Shahabat adalah umat terbaik sepeninggal Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan manusia terbaik dari mereka adalah Abu Bakar dan
‘Umar menurut kesepakatan ulama.
Sebab, mereka semua adalah orang-orang yang diridhai
Allah, meliputi keyakinan mereka, ucapan mereka, dan perbuatan mereka. Allah
berfirman:
«لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ
إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ»
“Sungguh Allah telah ridha
terhadap orang-orang mu`min, yaitu ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah
pohon.”[17]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 767 H) berkata, “Allah
mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang beriman (para Shahabat) yang berbaiat kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di bawah sebuah pohon. Telah
dijelaskan dalam pembahasan lalu jumlah mereka, yaitu 1400 Shahabat dan pohon
itu bernama Samurah di Hudaibiyyah.”[18]
«وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ»
“Dan orang-orang yang bersegera
dan pertama-tama (masuk Islam) dari Muhajirin dan Anshar serta siapa saja yang
mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
terhadap Allah, dan Dia menyediakan untuk mereka Surga-Surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang
besar.”[19]
Bahkan Allah menjadikan kesesatan dan Neraka bagi siapa
yang tidak mau mengikuti jalan para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum dalam
beragama. Allah berfirman:
«وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا»
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti bukan jalan orang-orang
beriman (para Shahabat), maka Kami palingkan ia ke mana ia berpaling (biarkan
tersesat) dan Kami masukkan ia ke Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk
tempat kembali.”[20]
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
«لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ
مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ»
“Janganlah kalian
mencela Shahabat-Shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian bersedekah
emas sepenuh gunung Uhud, tentu tidak bisa menyamai sedekah satu mud mereka dan
tidak pula setengahnya.” [21]
«آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ»
“Tanda keimanan
adalah mencintai orang-orang Anshar dan tanda kemunafiqan adalah membenci
orang-orang Anshar.”[22]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bahwa beliau bersabda:
«إِنَّ اللهَ
اخْتَارَنِي وَاخْتَارَ لِي أَصْحَابًا فَجَعَلَ لِي مِنْهُمْ وُزَرَاءَ وَأَنْصَارًا
وَأَصْهَارًا، فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً»
“Sesungguhnya Allah memilihku dan
memilihkan para Shahabat untukku, lalu dari mereka Dia jadikan para pembela,
penolong, dan besan-besan. Maka, barangsiapa yang mencaci mereka maka dia mendapatkan
laknat Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima
dari mereka pada hari Kiamat ‘keterpalingan’ dan ‘keadilannya’.”[23]
Imam Abu Hanifah (w. 150 H) berkata:
«وَلاَ نَذْكُرُ أَحَدًا مِنْ
صَحَابَةِ رَسُولِ اللهِ إِلاَّ بِخَيْرٍ»
“Kami tidak menyebut seorang pun dari Shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali dengan kebaikan.”[24]
Imam Malik bin Anas (w. 179 H) berkata:
«مَنْ
تَنَقَّصَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْ كَانَ فِي قَلْبِهِ عَلَيْهِمْ غِلٌّ، فَلَيْسَ لَهُ حَقٌّ فِي فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ،
-ثُمَّ تَلاَ قَوْلَهُ تَعَالىَ-: «وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آمَنُوا» فَمَنْ تنَقَّصَهُمْ أَوْ كَانَ فِي قَلْبِهِ عَلَيْهِمْ
غِلٌّ، فَلَيْسَ لَهُ فِي الْفَيْءِ حَقٌّ»
“Barangsiapa yang
merendahkan seorang dari Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
atau di dalam hatinya ada kebencian kepada mereka, maka dia tidak punya perlindungan
kaum Muslimin.” Kemudian beliau membaca, “Dan orang-orang yang setelah mereka
berdoa, ‘Ya Allah ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami
beriman, dan janganlah Engkau jadikan kebencian di dalam hati-hati kami.’’
“Maka, barangsiapa yang merendahkan mereka atau di dalam hatinya ada kebencian,
maka dirinya tidak berhak dilindungi.”[25]
Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:
«أَفْضَلُ
النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ
عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ»
“Manusia paling utama setelah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman,
kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhum.”[26]
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) berkata:
«وَمِنَ
السُّنَّةِ ذِكْرُ مَحَاسِنِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُلِّهِمْ أَجْمَعِينَ، وَالْكَفُّ عَنْ ذِكْرِ مَسَاوِئِهِمْ وَالْخِلاَفِ
الَّذِي شَجَرَ بَيْنَهُمْ،
فَمَنْ
سَبَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَحَدًا مِنْهُمْ
فَهُوَ مُبْتَدِعٌ رَافِضِيٌّ خَبِيْثٌ مُجَلِّفٌ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا
وَلاَ عَدْلاً، بَلْ حُبُّهُمْ سُنَّةٌ، وَالدُّعَاءُ لَهُمْ قُرْبَةٌ، وَالْإِقْتِدَاءُ
بِهِمْ وَسِيلَةٌ، وَالْأَخْذُ بِآثَارِهِمْ فَضِيلَةٌ»
“Dan termasuk sunnah adalah menyebut kebaikan-kebaikan Shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seluruhnya, dan menahan diri
dari menyebut keburukan-keburukan mereka dan perselisihan yang terjadi di
antara mereka.
Barangsiapa mencaci Shahabat-Shahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam atau seorang dari mereka, maka dia adalah ahli bid’ah Rafidhi
yang buruk dan jahat yang Allah tidak menerima darinya ibadah sunnah dan ibadah
wajibnya. Namun, mencintai mereka adalah sunnah, mendoakan mereka adalah qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah), meneladani mereka adalah wasilah, dan
mengambil jejak mereka adalah keutamaan.”[27]
Para ulama telah sepakat bahwa siapa yang mencaci para Shahabat
kafir, tetapi mereka berselisih tentang orang yang mencaci kepribadian individu
bukan agama, seperti mengatakan penakut atau tidak pandai berkelahi dengan niat mencela. Sebagian
mengkafirkannya dan sebagian menilainya dosa besar dan wajib dihukum.
Adapun keyakinan Ahlus Sunnah terhadap kaum Muslimin,
bahwa jiwa dan harta mereka terjaga tidak boleh ditumpahkan, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُواْ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُواْ الصَّلاةَ
وَيُؤْتُواْ الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُواْ ذَلِكَ عَصَمُواْ مِنِّي دِمَاءَهَمْ
وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى»
“Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat lâ ilâha illâllâh dan
muhammadur rasûlûllâh, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka
melaksanakan hal tersebut, maka mereka telah memelihara harta dan darah mereka
dariku kecuali dengan hak Islam, dan hisab
mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.” [28]
«أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ
لأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»
“Lelaki mana saja yang mengucapkan kepada saudaranya,
‘Wahai kafir!’ maka salah satu dari keduanya akan pulang dengan membawa vonis
tersebut.” [29]
Ahlus Sunnah (Sunni/kaum Muslimin) adalah 1/2 penduduk Surga,
bahkan dalam riwayat lain mencapai 2/3. Sehingga mustahil kebanyakan mereka penduduk Neraka
sebagaimana keyakinan Syi’ah.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘Anhu, dia bercerita:
«كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي قُبَّةٍ، فَقَالَ: «أَتَرْضَوْنَ أَنْ
تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الجَنَّةِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ،
قَالَ: «أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الجَنَّةِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ،
قَالَ: «أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا شَطْرَ أَهْلِ الجَنَّةِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ،
قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا
نِصْفَ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَذَلِكَ أَنَّ الجَنَّةَ لاَ يَدْخُلُهَا إِلاَّ نَفْسٌ
مُسْلِمَةٌ، وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلاَّ كَالشَّعْرَةِ
البَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَسْوَدِ، أَوْ كَالشَّعْرَةِ السَّوْدَاءِ
فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَحْمَرِ»»
“Kami (para Shahabat)
bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di Kubah lalu beliau
bersabda, ‘Apakah kalian ridha jika kalian menjadi 1/4 penduduk Surga?’ Kami menjawab, ‘Ya.’
Beliau bersabda, ‘Apakah kalian ridha jika kalian menjadi 1/3 penduduk Surga?’ Kami menjawab,
‘Ya.’Beliau bersabda, ‘Apakah kalian ridha jika kalian menjadi 1/2 penduduk Surga?’
Kami menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Demi jiwa Muhammad yang berada di
tangan-Nya, sungguh aku benar-benar berharap bahwa kalian menjadi 1/2 penduduk Surga
karena Surga tidak dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim. Tidaklah kalian
dibanding ahli kesyirikan melainkan seperti rambut putih di kulit banteng hitam, atau seperti rambut hitam di kulit banteng merah.”[30]
Dalam riwayat lain:
«فَإِنَّ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُلُثَا أَهْلِ الْجَنَّةِ،
إِنَّ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِشْرُونَ وَمِائَةُ صَفٍّ، وَإِنَّ أُمَّتِي
مِنْ ذَلِكَ ثَمَانُونَ صَفًّا»
“Sesungguhnya
umatku pada hari Kiamat adalah 2/3 penduduk Surga. Sesungguhnya manusia pada
hari Kiamat berjumlah 120 shaf, dan sesungguhnya umatku 80 shaf dari jumlah
tersebut.”[31][]
03 Syi’ah Menuduh Al-Qur`an Palsu dan Menolak Hadits
Setelah mereka berhasil menyuarakan cacat para Shahabat Radhiyallahu
‘Anhum, maka amat mudah bagi mereka untuk memberi kesan kepada pengikutnya dan
kaum Muslimin bahwa Al-Qur`an yang ada sekarang bukan yang asli karena sudah
didistorsi (dikurangi, ditambahi, dan dirubah) oleh para Shahabat sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun Al-Qur`an yang asli dibawa ‘Ali dan
diberikan kepada keturunannya turun-temurun hingga nanti akan ditampakkan oleh imam
ke-12 mereka Al-Muntazhar Al-Mahdi yang tebalnya 3 kali lipat Al-Qur`an Ahlus
Sunnah.
Diriwayatkan secara dusta bahwa Ja’far berkata:
مَا ادَّعَى أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ أَنَّهُ جَمَّعَ الْقُرْآنَ
كُلَّهُ كَمَا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ كَذَّابٌ، وَمَا جَمَّعَهُ وَحَفِظَهُ كَمَا
أُنْزِلَ إِلاَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالْأَئِمَّةُ مِنْ بَعْدِهِ
“Tidaklah ada seorang pun yang mengaku mengumpulkan Al-Qur`an
seluruhnya seperti yang diturunkan Allah melainkan dia pendusta. Tidak ada yang
mengumpulkannya dan menghafalnya seperti diturunkan kecuali ‘Ali bin Abi Thalib
dan para imam setelahnya.”[32]
Diriwayatkan
secara dusta bahwa Abu ‘Abdillah (yakni Ja’far Imam ke-6 Syi’ah) berkata:
إِنَّ الْقُرْآنَ الَّذِي جَاءَ بِهِ جِبْرَائِيْلُ إِلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةَ عَشَرَ أَلْفِ آيَةٍ
“Sesungguhnya Al-Qur`an yang dibawa Jibril kepada
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sejumlah 17.000 ayat.”[33]
Ini berarti Al-Qur`an
kita (mushaf ‘Utsmani) jumlahnya
1/3 dari Al-Qur`an mereka yang dinamakan dengan mushaf Fathimah. Orang yang
celaka Ath-Thabarsi mengarang kitab berjudul Fashlul Khitâb fi Itsbâti Tahrîfi
Kitâbi Rabbil Arbâb “Penjelasan Rinci Tentang Penetapan Perubahan Kitab Allah.”
Adapun
hadits-hadits kita ditolak semuanya, karena penyampainya para Shahabat.
Akhirnya mereka mengarang hadits-hadits sendiri secara dusta dalam periwayatan
dan hanya membatasi
dari jalur ‘Ali dan keturunan Al-Husain bin ‘Ali saja.
Kitab-kitab
induk Ahlus Sunnah ditolak semuanya
semisal Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Al-Jâmi’ At-Tirmidzi,
Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah. Akhirnya mereka
mengarang kitab tersendiri dan menghasilkan empat kitab hadits induk Syi’ah,
yaitu Al-Kâfi karya Al-Kulaini[34],
Man Lâ Yahdhuruhul Faqîh karya Al-Qummi, dan Al-Istibshâr dan Tahdzîbul Ahkâm
keduanya karya Ath-Thusi.
Keyakinan Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah
menyakini bahwa Al-Qur`an tidak mengalami perubahan selama-lamanya karena Allah
sendiri yang berjanji akan terus menjaganya. Allah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang menjaganya.”[35]
Adz-Dzikr adalah
Al-Qur`an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena
hadits juga diturunkan dari Allah berdasarkan ayat:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
Imam Qatadah dan
Tsabit Al-Bunani berkata:
«حَفِظَهُ اللهُ مِنْ أَنْ تَزِيدَ فِيهِ الشَّيَاطِينُ بَاطِلاً
أَوْ تَنْقُصَ مِنْهُ حَقًّا، فَتَوَلَّى سُبْحَانَهُ حِفْظَهُ فَلَمْ يَزَلْ
مَحْفُوظًا»
“Allah menjaganya dari penambahan kebatilan oleh setan di
dalamnya atau pengurangan kebenaran darinya,
sehingga Dia subhanahu menjaganya dan senantiasa Al-Qur`an terjaga.”[37]
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (w.
620 H) berkata:
«وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي أَنَّ مَنْ جَحَدَ مِنَ
الْقُرْآنِ سُورَةً أَوْ آيَةً أَوْ كَلِمَةً أَوْ حَرْفًا مُتَّفَقًا عَلَيْهِ أَنَّهُ
كَافِرٌ»
“Dan
tidak ada khilaf di antara kaum Muslimin tentang seseorang yang mengingkari satu
surat, satu ayat, satu kata, atau satu huruf Al-Qur`an bahwa dia kafir
berdasarkan ijma’.”[38][]
04 Dengan Kedok Taqiyyah Syi’ah Halalkan Dusta
Jika
kita jeli akan ajaran Syi’ah maka kita akan temukan dominasi kedustaan dan
mengada-ngada, sebagaimana yang mereka lakukan untuk menciderai Al-Qur`an dan
hadits. Maka, untuk menutupi ini mereka membuat ajaran taqiyyah yang melegalkan
kemunafiqan dan kedustaan.
Ulama
kontemporer Syi’ah Muhammad Jawad Mughniyah mendefinisikan:
التَّقِيَّةُ أَنْ تَقُوْلَ أَوْ تَفْعَلَ غَيْرَ مَا تَعْتَقِدُ، لِتَدْفَعَ
الضَّرَرَ عَنْ نَفْسِكَ أَوْ مَالِكَ أَوْ لِتَحْتَفِظَ بِكَرَامَتِكَ
“Taqiyyah adalah engkau mengatakan atau melakukan apa
yang tidak engkau yakini, untuk menolak bahaya menimpa jiwamu dan hartamu, atau
untuk menjaga kehormatanmu.”[39]
Diriwayatkan
secara dusta dari Abu ‘Abdillah, dia
berkata:
يَا أَبَا عُمَرَ إِنَّ تِسْعَةَ أَعْشَارِ الدِّيْنِ فِي التَّقِيَّةِ، وَلاَ
دِيْنَ لِمَنْ لاَ تَقِيَّةَ لَهُ، وَالتَّقِيَّةُ فِي كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ النَّبِيْذِ
وَالْمَسْحِ عَلَى الخُفَّيْنِ
“Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9 dari 10 agama adalah
taqiyyah, dan tidak ada agama bagi yang tidak bertaqiyyah. Taqiyyah boleh dalam
segala hal kecuali anggur
perasan (miras) dan basuh dua sepatu.”[40]
Apapun bentuk
kebatilan tidak akan bisa tegak --karena memang tidak memiliki pondasi-- kecuali menempuh
jalan kedustaan. Maka, Anda pun akan melihat semua ajaran Syi’ah dibangun
di atas kedustaan dan kemunafiqan ini. Mulai riwayat-riwayat aqidah, mu’amalah,
ibadah, sampai masalah fiqih.
Saat
terjadi perselisihan dan perbedaan di antara ulama mereka, maka mereka
mengatakan bahwa ulama tersebut sedang bertaqiyyah, seperti perkataan mereka
bahwa semua imam Syi’ah menyatakan bahwa Al-Qur`an telah dirubah kecuali Al-Murtadha
dan Ash-Shaduq, lalu dikatakan bahwa mereka berdua sedang bertaqiyyah. Jika
satu ulama Syi’ah berpendapat boleh nikah mut’ah dengan ibunya, sedang ulama
yang lain tidak membolehkan, maka akan dikatakan bahwa salah satu dari mereka
sedang bertaqiyyah. Sehingga terkesanlah bahwa ajaran Syi’ah tidak pernah kontradiksi
dan salah.
Ahli sejarah menyatakan bahwa
‘Ali memberi nama putranya dengan Abu Bakar dan ‘Utsman bahkan menikahkan
putrinya bernama Ummu Kultsum dengan ‘Umar bin Al-Khaththab. Al-Hasan menikahi
Hafshah binti ‘Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq pada tahun 49 H, dan
memberi nama anaknya dengan Abu Bakar dan ‘Umar. ‘Ali bin Al-Husain bin ‘Ali
bin Abi Thalib memberi
nama anak-anaknya dengan ‘Umar, ‘Utsman, dan Khadijah. Bahkan, imam mereka Abu
Ja’far Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib menikah
dengan Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq pada
tahun 80 H. Abu ‘Abdillah Ja’far Ash-Shadiq menamakan putrinya dengan ‘Aisyah,
dan Musa Al-Kazhim memberi nama putra-putrinya dengan Abu Bakar, ‘Umar, Hamzah,
Khadijah, Al-‘Abbas, dan ‘Aisyah. Setan pun cerdas dengan membisikkan mereka
untuk menjawab, “Mereka sedang bertaqiyyah karena keadaan belum aman untuk
menampakkan permusuhan.” Seolah-olah ayat ini hanya ditunjukkan untuk Syi’ah
Rafidhah:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ
وَانْشَقَّ الْقَمَرُ * وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
* وَكَذَّبُوا وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Hari Kiamat telah dekat dan bulan telah
terbelah. Dan jika mereka melihat tanda (mu’jizat), mereka justru berpaling dan
berkata, ‘Ini sihir yang terus-menerus.’ Mereka mendustakannya dan mengikuti
hawa nafsu mereka.”[41]
Dari ajaran
taqiyyah ini akan melahirkan banyak sekali jalan kebohongan dan kemunafiqan
mereka. Pantaslah jika dikatakan bahwa ulama Syi’ah adalah kadzdzab (para
pendusta).
Imam Asy-Syafi’i
(w. 204 H) berkata:
«لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ أَكْذَبَ فِي
الدَّعْوَى وَلاَ أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ»
“Aku tidak melihat seorang pun dari pengikut hawa nafsu
yang lebih dusta dalam dakwaan dan lebih berdusta dalam persaksian melebihi
Rafidhah.”[42]
Ulama-ulama
Syi’ah banyak berbohong dalam meriwayatkan hadits dan menisbatkannya kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sungguh celaka dan tidak akan
beruntung orang yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda:
«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ»
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah
ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[43][]
05 Syi’ah Merendahkan Allah, Rasul-Nya, dan Malaikat-Nya
Keterlaluan mereka ini, mau tidak mau harus mereka
lakukan demi mengunggulkan para imam mereka. Maka, jika Anda perhatikan akan
tampak pelecehan dan perendahan mereka kepada Allah, Rasul-Nya, dan para
malaikat-Nya untuk tujuan pengkultusan para imam mereka.
a. Sifat Bada` bagi Allah
Ajaran Syi’ah sampai pada batas merendahkan Allah,
yaitu dengan menyematkan sifat Bada` bagi Allah. Bada` artinya Allah tidak
mengetahui hakekat sesuatu kecuali setelah terjadi.
Diriwayatkan
secara dusta dari Ar-Ridha (imam ke-8 Syi’ah) berkata:
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً
إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ الْخَمْرِ وَأَنْ يَقِرَّ لِلّهِ الْبَدَاءَ
“Allah tidak mengutus seorang Nabi pun melainkan dengan
pelarangan khamer dan menetapkan untuk Allah sifat Bada`.”[44]
Mereka mengambil bukti bahwa Allah
terkadang menghapus hukum dalam Al-Qur`an. Juga diperkuat bahwa salah satu imam
mereka berwasiat bahwa sepeninggalnya akan digantikan oleh anaknya, ternyata
anaknya meninggal duluan. Untuk itu mereka menyematkan sifat Bada` bagi Allah.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
b. Mengkultuskan Imam 12 Syi’ah
Mereka mengangkat imam mereka sejajar dengan Allah dalam
kekuasaan seperti mematikan, menghidupkan, mengetahui yang ghaib, dan masuk Surga
atau Neraka atas izin mereka.
Diriwayatkan secara dusta bahwa Abu Abdillah berkata:
إِنِّي
لَأَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، وَأَعْلَمُ مَا فِي الْجَنَّةِ،
وَأَعْلَمُ مَا فِي النَّارِ، وَأَعْلَمُ مَا كَانَ وَمَا يَكُوْنَ
“Sungguh aku benar-benar mengetahui apa yang di
langit-langit dan apa yang di bumi, dan aku mengetahui apa yang di dalam Surga
dan apa yang di dalam Neraka, dan aku mengetahui apa yang telah terjadi dan apa
yang akan terjadi.”[45]
Darinya, dia berkata:
إِنَّ
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ لِلْإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ وَيَدْفَعُهَا إِلَى
مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya dunia dan akhirat milik imam. Dia meletakkannya menurut
kehendaknya dan memberikannya kepada siapa yang dikehendakinya.”[46]
c. Melebihkan Imam Mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Para Malaikat
Diriwayatkan secara dusta bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْجَنَّةَ خُلِقَتْ لِمَنْ أَحَبَّ عَلِيًّا وَإِنْ
عَصَى الرَّسُولَ، وَخُلِقَتِ النَّارُ لِمَنْ أَبْغَضَ عَلِيًّا وَإِنْ أطَاعَ
الرَّسُولَ
“Sungguh
Neraka itu diciptakan untuk orang yang mencintai ‘Ali, sekalipun ia durhaka
kepada Rasulullah, dan Neraka diciptakan untuk orang yang membenci ’Ali, sekalipun
ia taat kepada Rasulullah.”[47]
Imam mereka Al-Khumaini Al-Halik
berkata:
وَوَضَحَ بأَنَّ النَّبِيَّ لَوْ كَانَ قَدْ بَلَّغَ بِأَمْرِ
الإِمَامَةِ طَبَقاً لِمَا أَمَرَ بِهِ اللهُ وَبَذَّلَ الْمَسَاعِيَ فِي هَذَا
المْجَالِ، لَمَا نَشَبَتْ فِي الْبُلْدَانِ الإِسْلاَمِيَّةِ كُلُّ هَذِهِ الإِخْتِلاَفَاتِ
وَالمَشَاحِنَاتِ وَالمَعَارِكِ وَلَمَا ظَهَرَتْ ثَمَّةُ خِلاَفَاتٍ فِي أُصُولِ
الدِّيْنِ وَفُرُوعِهِ
“Dan
telah jelas bahwa sekiranya Nabi benar-benar menyampaikan wasiat imamah sesuai
dengan apa yang Allah perintahkan dan bersungguh-sungguh menyampaikannya, tentu
tidak akan timbul di negeri-negeri Islam banyak perselisihan, permusuhan, dan
peperangan, serta tidak akan terjadi perbedaan dalam masalah pokok maupun
cabangnya.”[48]
Al-‘Amili menjelaskan ucapan Al-Halik
ini, “Ucapan Al-Khumaini ini menunjukkan satu kesimpulan bahwa semua perselisihan
yang terjadi di antara kaum Muslimin sepanjang sejarah mereka disebabkan oleh
sikap ketidakseriusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
menyampaikan dan tidak adanya kesungguhan dalam menjelaskan hukum-hukum Allah
kepada kaum Muslimin.”[49]
Al-Khumaini Al-Halik juga berprilaku
kurang ajar kepada
para malaikat dalam ucapannya:
إِنَّ
مِنْ ضَرُوْرَيَاتِ مَذْهَبِنَا أَنَّ لِأَئِمَّتِنَا مَقَاماً لاَ يَبْلُغُهُ مَلَكٌ
مُقَرَّبٌ وَلاَ نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
“Sesungguhnya di antara prinsip keyakinan kami adalah para
imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang
didekatkan maupun Nabi yang diutus.”[50]
Mereka pun menyadari bahwa Tuhan haruslah berkuasa
mutlak, sementara mereka telah mencaci dan merendahkan Allah, maka tidak ada
pilihan bagi mereka kecuali mencari tuhan lain tuhan khayalan versi mereka,
yang mana tuhan itu tidak seperti Tuhan kita Ahlus Sunnah.
Ulama rujukan Syi’ah Ni’matullah Al-Jaza`iri
berkata:
إِنَّا لاَ نَجْتَمِعُ مَعَهُمْ عَلَى إِلَهٍ
وَلاَ عَلَى نَبِيٍّ وَلاَ عَلَى إِمَامٍ، وَذَلِكَ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ أَنَّ رَبَّهُمْ
هُوَ الَّذِي كَانَ مُحَمَّدٌ نَبِيُّهُ وَخَلِيفَتُهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبُو بَكْرٍ.
وَنَحْنُ لاَ نَقُولُ بِهَذَا الرَّبِّ وَلاَ بِذَلِكَ النَّبِيِّ، بَلْ نَقُولُ:
إِنَّ الرَّبَّ الَّذِي خَلِيفَةُ نَبِيِّهِ أَبُو بَكْرٍ لَيْسَ رَبُّنُا وَلاَ ذَلِكَ
النَّبِيُّ نَبِيُّنَا
“Kami tidak sepakat dengan mereka
dalam tuhan, Nabi, dan imam. Karena mereka (Ahlus Sunnah) berkeyakinan bahwa
Tuhan mereka adalah yang Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Nabi-Nya
dan khalifah sepeninggalnya adalah Abu Bakar, maka kami tidak katakan tuhan itu
dan Nabi itu (sebagai tuhan dan Nabi kami). Tetapi kami katakan bahwa: Tuhan
yang khalifah Nabi-Nya
adalah Abu Bakar bukan tuhan kami dan Nabi itu bukan Nabi kami.”[51]
d. Keyakinan Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib, menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rezeki, dan
mengatur alam semesta kecuali Allah semata, sebagai kesempurnaan ketuhanan-Nya.
Siapa saja yang
mengaku mengetahui salah satu dari sifat tersebut, maka dia kafir dengan
kesepakatan ulama.
Allah berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
“Katakanlah, ‘Tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib di langit-langit dan bumi kecuali Allah.”[52]
Manusia terbaik pun Muhammad
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak tahu perkara ghaib,
sebagaimana firman Allah:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي
نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ
مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah, ‘Aku tidak bisa memberikan
manfaat bagi diriku sendiri dan tidak pula mudharat kecuali apa yang Allah
kehendaki. Seandainya aku tahu yang ghaib tentulah aku banyak mendapat kebaikan
dan tidak akan tertimpa keburukan. Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi
peringatan dan pemberi kabar gembira kepada orang-orang yang yakin.”[53]
Kalaupun Rasulullah mengetahui
perkara ghaib, itu hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah sekehendak-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ
مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا * عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ
عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا * إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“Katakanlah (wahai Rasulullah), ‘Aku tidak
tahu apakah telah dekat apa yang telah dijanjikan kepada kalian ataukah Rabb-ku
mengulur waktunya. Yaitu Yang mengetahui yang ghaib yang tidak diperlihatkan
keghaiban-Nya kepada seorang pun, kecuali Rasul yang Dia ridhai.”[54]
Allah-lah semata yang menciptakan,
menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta, dan satu-satunya pemberi
rezeki, berdasarkan firman-Nya:
الَّذِي لَهُ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي
الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit-langit dan
bumi, Dia tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam
kerajaan-Nya, dan Dia menciptakan segala sesuatu lalu menentukan takdir-takdir
ciptaan-Nya.”[55]
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada dabbah (makhluk) di bumi
kecuali Allah yang menanggung rezekinya, dan Dia mengetahui tempat menetap dan
tempat menyimpannya. Semuanya ada di Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).”[56]
Untuk itu, siapa saja yang mengaku
memiliki salah satu sifat tersebut bahkan sekedar menyerupainya, Allah menyediakan baginya siksa
yang pedih karena seolah-olah dia hendak menyaingi Allah Rabbul ‘alamin.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
«إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ
عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ»
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksanya di sisi
Allah pada hari Kiamat adalah para pelukis/pemahat.” [57]
Adapun Rasullullah Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan Jibril ‘alaihissalam, adalah manusia dan malaikat
terbaik, menurut kesepakatan ulama berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali.[]
06 Nikah Mut’ah Cara Mudah Cari Pengikut
Nikah
mut’ah adalah nikah kontrak atau nikah zina di mana aqad nikah tanpa wali dan
tanpa saksi serta pisah dengan sendirinya dalam beberapa tempo yang disepakati
syi’i laki-laki dan syi’i perempuan.
Diriwayatkan secara dusta dari Abu
Abdillah, dia berkata:
إِنَّ
اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى شِيْعَتِنَا الْمُسْكِرَ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ
وَعَوَّضَهُمْ مِنْ ذَلِكَ بِالْمُتْعَةِ
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa
ta’ala telah mengharamkan atas orang-orang Syi’ah kami setiap minuman
memabukkan dan mengganti hal tersebut dengan mut’ah.”[58]
Diriwayatkan secara dusta bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ
تَمَتَّعَ مَرَّةً وَاحِدَةً عُتِقَ ثُلُثُهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ تَمَتَّعَ مَرَّتَينِ
عُتِقَ ثُلُثَاهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ تَمَتَّعَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ عُتِقَ كُلُّهُ
مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang melakukan mut’ah
sekali, maka Allah akan membebaskan 1/3 dirinya dari Neraka. Barangsiapa yang
melakukan mut’ah dua kali, maka Allah akan membebaskan 2/3 dirinya dari Neraka.
Barangsiapa yang melakukan mut’ah tiga kali, maka Allah akan membebaskan
seluruh dirinya dari Neraka.”
Juga diriwayatkan secara dusta --dalam kitab yang sama--bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ
تَمَتَّعَ مَرَّةً كَانَ كَدَرَجَةِ الْحُسَيْنِ، وَمَنْ تَمَتَّعَ مَرَّتَيْنِ فَدَرَجَتُهُ
كَدَرَجَةِ الْحَسَنِ، وَمَنْ تَمَتَّعَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ كَانَ كَدَرَجَةِ عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَمَنْ تَمَتَّعَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَدَرَجَتُهُ كَدَرَجَتِي
“Barangsiapa yang melakukan mut’ah
sekali, maka derajatnya seperti derajatnya Al-Husain, barangsiapa yang
melakukan mut’ah dua kali, maka derajatnya seperti derajatnya Al-Hasan, barangsiapa
yang melakukan mut’ah tiga kali, maka derajatnya seperti derajatnya ‘Ali bin
Abi Thalib, dan barangsiapa yang melakukan mut’ah empat kali, maka derajatnya
seperti derajatku.”[59]
Mereka tidak membatasi mut’ah hanya empat wanita, bahkan menganjurkan lebih dari itu
sebanyak-banyaknya, bahkan meski ribuan wanita.
Diriwayatkan secara dusta dari
Zurarah bahwa dia bertanya kepada Abu Abdillah:
ذَكَرْتُ
لَهُ الْمُتْعَةَ، أَهِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ؟ فَقَالَ: تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً
فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتِ
“Aku bertanya kepadanya tentang
mut’ah apakah terbatas empat saja?” Dia menjawab, “Nikahilah 1000 dari mereka
karena mereka wanita-wanita sewaan.”[60]
Yang lebih memalukan, mereka membolehkan
melakukannya terhadap anak kecil yang masih menyusu[61],
pezina[62],
dan menggabungkan antara wanita dengan anaknya, bibinya, atau ibunya. Sehingga
banyak sekali kisah-kisah mengharukan seseorang melakukan mut’ah dengan
menggabungkan antara wanita dengan putrinya, wanita dengan bibinya, dan wanita
dengan ibunya tanpa mereka sadari, bahkan salah satu ulama besar mereka
melakukan mut’ah lalu lahir anak perempuan dan beberapa tahun kemudian
melakukan mut’ah dengan putrinya tersebut yang masih gadis,[63]
bahkan lewat dubur (jalan belakang) pun diperbolehkan.[64]
Keyakinan Ahlus Sunnah
Nikah mut’ah pernah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bolehkan pada salah satu peperangan, tetapi kemudian
beliau melarangnya hingga hari Kiamat.
Imam Muslim membuat sebuah bab dalam
kitab Shahihnya, “Bab: Nikah Mut’ah dan Penjelasan Diperbolehkannya Mut’ah Lalu
Dihapus Lalu Dibolehkan Lalu Dihapus Lalu Diharamkan Terus-Menerus Hingga Hari
Kiamat,” lalu membawakan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
«يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الْإِسْتِمْتَاعِ مِنَ
النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ
كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا»
“Wahai manusia, sesungguhnya aku dulu
memberi izin kalian untuk melakukan mut’ah terhadap wanita, dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Maka, barangsiapa yang memiliki
mereka hendaklah dia melepasnya, dan janganlah kalian ambil apa yang dahulu
kalian berikan kepada mereka (mahar).”[65]
Imam An-Nawawi (w. 676 H)
menjelaskan, “Pendapat yang benar dan terpilih adalah bahwa pengharaman dan
pembolehan mut’ah terjadi dua kali. Yaitu dibolehkan sebelum perang Khaibar
lalu diharamkan saat perang Khaibar lalu dibolehkan lagi saat penaklukan Makkah
di musim
sangat panas sekali lalu diharamkan setelah tiga hari dan ini berlaku selamanya … Al-Qadhi berkata, ‘Para ulama telah
sepakat bahwa nikah mut’ah ini adalah nikah sampai batas waktu tertentu tanpa
hak waris dan terputus sesuai batas waktunya tanpa thalaq. Kemudian terjadi
ijma’ semua ulama atas keharamannya kecuali orang-orang Rafidhah.’”[66]
Pembaca budiman, penyusun merenung
tentang ajaran Syi’ah
yang terang benderang penyimpangannya ini, karena sebagian ajarannya tidak
masuk akal dan jelas kedustaannya. Hanya saja, mengapa banyak sekali pengikutnya
dan bersemangat para ulamanya? Ternyata penulis mendapatkan jawaban ada di
ajaran mut’ah ini.[67]
Seolah-olah dengan masuk ke dalam agama ini mereka bisa melegalkan seks bebas
dan mengumbar syahwatnya. Demi Allah, syahwat telah membuat mata-mata menjadi buta dan hati-hati menjadi
terkunci.
Bukankah
pembunuhan pertama kali putra Adam karena wanita? Bukankah Yusuf ‘alaihissalam
dipenjara karena fitnah wanita? Bukankah Nabi Yahya dipenggal kepalanya karena
wanita? Bukankah Nabi Zakaria dibunuh karena wanita? Bukankah
kehancuran Bani Israil karena wanita? Bukankah Caesar Alexander terbunuh karena
wanita?
Cukuplah kebobrokan riwayat Syi’ah tentang mut’ah saat
menjadikan pembacanya seketika naik syahwatnya. Bahkan mata penulis terbelalak
saat membaca salah satu postingan ulama Syi’ah kontemporer di akun twitternya bahwa ada seorang
wanita Syi’ah bercadar bertanya
kepadanya. Ya, wanita bercadar, kira-kira apa pertanyaannya??? Dengarkan
pertanyaanya, “Wahai imam kami, bagaimana hukumnya seorang istri melakukan
mut’ah dengan lelaki lain tanpa sepengetahuan suaminya. Sungguh saya telah
melakukan mu’tah dengan lelaki lain lebih dari 100 kali.” Syaikh itu menjawab,
“Boleh melakukan mut’ah dengan seizin suamimu. Tapi jika kamu melakukannya
tanpa seizin suami, semakin banyak pahalanya dengan syarat kamu melakukannya ikhlas
karena Allah.” [!!!]
Ada seorang sunni yang sepertinya sangat geram kepadanya sambil merespon, “Anta ulama`ul
farji Al-kadzdzaaaaaaaaaab!!!”
Syahwat merupakan salah satu dari dua pintu setan. Ini
bukan masalah sederhana. Maka penyusun menganjurkan
kepada Pembaca budiman yang belum
menikah untuk segera menikah. Benteng syahwat adalah menikah dan benteng
syubhat adalah belajar dan menghadiri majlis ilmu para ulama sunnah. Dengan
begitu Pembaca akan terhindar dari Syi’ah, dengan seizin Allah.
Kita jujur memperhatikan kondisi lingkungan sosial kita
yang sudah tidak lagi
mendukung kepada
kebaikan. Amoral, asusila, dan telanjang pakaian seolah
bukan lagi masalah tabu: di kampus-kampus, di jalan-jalan, di pasar-pasar,
bahkan di tempat ibadah sekalipun. Gambar-gambar penyulut syahwat bertebaran di
mana-mana sampai tidak ada lagi tempat berlindung kecuali di sana ada gambar
tersebut. Bahkan, dengan tanpa rasa malu menteri kesehatan mengkampanyekan
kondom yang mereka sebut dengan hari kondomisasi di mana mereka membagikan
kondom secara gratis dan besAr-besaran tanpa malu-malu dengan tujuan: agar jika
berhubungan seks tidak tertular AIDS, katanya. Tim mereka mendatangi setiap
universitas dan perguruan tinggi. Akhirnya, banyak kaum lelaki yang terbiasa
dengan syahwat sehingga tidak bisa mengontrol syahwatnya dan saat datang
tawaran Syi’ah, gayung pun bersambut dengan jurus utamanya: mut’ah.
Berkenaan dengan firman Allah:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui
pandangan khianat dan apa yang disembunyikan dalam dada.”[68] Ibnu Abbas menafsirkannya:
«الرَّجُلُ يَكُوْنُ فِي الْقَوْمِ فَتَمُرُّ بِهِمُ الْمَرْاَةُ
فَيُرِيْهِمْ اَنَّهُ يَغُضُّ بَصَرَهُ عَنْهَا، وَاِذَا غَفَلُواْ لَحَظَ
اِلَيْهاَ وَاِذَا نَظَرُواْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْهَا، وَقَدِ اطَّلَعَ اللهُ مِنْ
قَلْبِهِ اَنَّهُ وَدَّ اَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَى عَوْرَتِهَا»
“Yaitu seorang lelaki yang berada di
tengah banyak orang lalu lewatlah seorang wanita, dia memperlihatkan kepada
mereka bahwa dia menundukkan pandangannya dari wanita tersebut. Namun, tatkala
mereka lengah, dia mencuri pandang kepada wanita tersebut. Jika mereka
melihatnya, dia kembali menundukkan pandangannya dari wanita tersebut. Sungguh
Allah telah membongkar apa yang ada di hatinya bahwa dia sangat ingin melihat
aurat[69]
wanita tersebut.”[70]
Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
«إنَّكُمُ ابْتُلِيتُمْ بِفِتْنَةِ الضَّرَّاءِ فَصَبَرْتُمْ،
وَسَتُبْتَلَوْنَ بِفِتْنَةِ السَّرَّاءِ، وَإِنَّ أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُ
عَلَيْكُمْ فِتْنَةُ النِّسَاءِ»
“Kalian telah diberi ujian dengan kesempitan lalu kalian
berhasil bersabar dan kelak kalian akan diberi ujian dengan kelapangan. Perkara
yang paling aku takutkan atas kalian adalah fitnah wanita.”[71]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَا
تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»
‘Aku tidak
meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain
wanita.’[72]
Sungguh beruntung seseorang yang telah melengkapi dirinya
dengan dua benteng penangkal syubhat dan
syahwat.[]
07 Imam 12 Syi’ah dan Ucapan Mereka Berlepas Diri dari Syi’ah
a. ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H):
Diriwayatkan dari Muhammad Al-Hanafiyah
bahwa dia berkata:
«قُلْتُ لِأَبِي: أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ، قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ
عُمَرُ، وَخَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ، قُلْتُ: ثُمَّ أَنْتَ؟ قَالَ: مَا أَنَا
إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ المُسْلِمِينَ»
“Aku bertanya
kepada ayahku, ‘Siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam?’ Dia menjawab, ‘Abu Bakar.’ Aku bertanya, ‘Kemudian
siapa?’ Dia menjawab, ‘Kemudian ‘Umar.’ Aku takut dia akan menjawab ‘Utsman[74]
maka aku berkata, ‘Kemudian Anda?’ Dia menjawab, ‘Aku hanyalah seorang dari
kaum Muslimin.’”[75]
b. Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib (w. 49 H):
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Al-Asham,
dia berkata:
«قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ
عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: إِنَّ الشِّيعَةَ تَزْعُمُ أَنَّ عَلِيًّا مَبْعُوثٌ
قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: كَذَبُوا وَاللهِ مَا هَؤُلاَءِ بِشِيعَةٍ، وَلَوْ
كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَبْعُوثًا مَا زَوَّجْنَا نِسَاءَهُ وَلاَ اقْتَسَمْنَا
مَالَهُ»
“Aku bertanya
kepada Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa orang-orang Syi’ah
berkeyakinan bahwa ‘Ali akan dibangkitkan sebelum hari Kiamat.’ Dia menjawab,
‘Mereka semua berdusta. Demi Allah, mereka bukanlah Syi’ah (pengikut kami).
Seandainya ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu akan dibangkitkan tentulah kami tidak
akan menikahkan anak-anaknya dan tidak akan membagi-bagi harta warisannya.’”[76]
c. Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib (w. 61 H):
Orang-orang Syi’ah Iraq menyurati Al-Husain
agar menuju Iraq dan memberi janji akan mendukung dan menjadi penolongnya,
tetapi mereka berkhianat dan menyerahkannya kepada musuh di Karbala. Akhirnya, Al-Husain
mendoakan keburukan kepada mereka:
«اللَّهُمَّ إِنَّ أَهْلَ العِرَاقِ غَرُّوْنِي وَخَدَعُوْنِي، وَصَنَعُوا
بِأَخِي مَا صَنَعُوا، اللَّهُمَّ شَتِّتْ
عَلَيْهِم أَمْرَهُم، وَأَحْصِهِمْ عَدَداً»
“Ya Allah, sesungguhnya penduduk Iraq
menipuku dan menghinakanku. Mereka telah berbuat terhadapku seperti yang mereka
lakukan kepada saudaraku. Ya Allah, cerai-beraikan urusan mereka dan berilah
mereka perhitungan.”[77]
d. ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin ‘Ali (w. 95 H):
Diriwayatkan bahwa sekelompok Syi’ah
mendatanginya dan mencaci Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Maka, Ali bin Al-Husain
berkata:
«أَلاَ تُخْبِرُونَنِي
أَنْتُمُ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ » قَالُوا: لاَ، قَالَ: «فَأَنْتُمُ
الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ
هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ
شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ » قَالُوا: لاَ، قَالَ: «أَمَّا
أَنْتُمْ فَقَدْ تَبَرَّأْتُمْ أَنْ تَكُونُوا مِنْ أَحَدِ هَذَيْنِ
الْفَرِيقَيْنِ» ثُمَّ قَالَ: «أَشْهَدُ أَنَّكُمْ لَسْتُمْ مِنَ الَّذِينَ قَالَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ، اخْرُجُوا فَعَلَ اللهُ بِكُمْ!»
“Sampaikanlah kepadaku, apakah kalian
orang-orang Muhajirin pertama yang diusir dari kampung-kampung mereka dan
harta-harta mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, menolong
Allah dan Rasul-Nya,
dan merekalah orang-orang yang jujur?’[78]
Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Dia berkata, ‘Atau apakah kalian orang-orang yang
tinggal di negeri Madinah dan beriman sebelumnya, mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka dan mereka tidak merasa butuh terhadap apa yang telah
mereka berikan dan lebih mendahulukan orang lain meskipun mereka sangat membutuhkannya?
Barangsiapa yang dilindungi dari sifat kikir maka merekalah orang-orang yang
beruntung.’[79]
Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Dia berkata, ‘Adapun kalian, sungguh kalian telah
mengakui bukan termasuk salah satu dari dua golongan ini.” Lanjutnya, “Demi
Allah, aku bersaksi bahwa kalian pun bukan termasuk firman Allah, ‘Dan
orang-orang yang datang setelah mereka berdoa, ‘Ya Allah ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman. Dan janganlah
Engkau jadikan di dalam hati kami kebencian terhadap mereka. Sungguh Engkau
mahapenyantun lagi maha pengasih.’[80]
Keluarlah kalian! Semoga Allah membuat perhitungan kepada kalian!’”[81]
e. Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin (w. 114 H):
«أَجْمَعَ
بَنُوْ فَاطِمَةَ عَلَى أَنْ يَقُوْلُوا فِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ أَحْسَنَ مَا يَكُوْنُ
مِنَ القَوْلِ»
“Bani Fathimah sepakat untuk berkata
kebaikan dalam Abu Bakar dan ‘Umar melebihi apa yang dikatakan.”[82]
f. Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir (w. 148 H):
«مَنْ
زَعَمَ أَنِّي إِمَامٌ مَعصُومٌ مُفتَرَضُ الطَّاعَةِ، فَأَنَا مِنْهُ بَرِيْءٌ، وَمَنْ
زَعَمَ أَنِّي أَبْرَأُ مِنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَأَنَا مِنْهُ بَرِيْءٌ»
“Barangsiapa yang meyakini bahwa aku imam yang ma’shum
yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya, dan barangsiapa yang
meyakini bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan ‘Umar maka aku berlepas
diri darinya.”[83]
08 Vonis Kafir Para Ulama Ahlus Sunnah Terhadap Syi’ah
Kalau boleh dikata, setiap muslim pasti meyakini
kekafiran Syi’ah karena saking jelasnya kekufuran mereka, bahkan orang awam
sekalipun dari kita Ahlus Sunnah.
Hanya saja untuk melengkapi amanah ilmiyah, penulis akan
bawakan beberapa perkataan Ulama Sunni yang telah memvonis Syi’ah Rafidhah
kafir secara langsung dengan lafazh takfir maupun qarinah (indikasi).
a. Thalhah bin Musharrif (w. 112):
«الرَّافِضَةُ
لاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ، وَلاَ تُؤْكُلُ ذَبَائِحُهُمْ، لِأَنَّهُمْ أَهْلُ رِدَّةٍ»
“Orang-orang Rafidhah tidak boleh dinikahi wanita-wanita
mereka dan tidak boleh dimakan sesembelihan mereka, karena mereka orang-orang
murtad.”[84]
b. Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H):
Dari Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi, dia berkata:
«سَمِعْتُ سُفْيَانَ وَرَجُلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَنْ يَشْتُمُ أَبَا
بَكْرٍ وَعُمَرَ؟ فَقَالَ: كَافِرٌ بِاللهِ الْعَظِيمِ قَالَ: نُصَلِّي عَلَيْهِ؟
قَالَ: لاَ، وَلاَ كَرَامَةٍ»
“Aku mendengar Sufyan saat ditanya seseorang tentang orang yang mencaci Abu Bakar
dan ‘Umar,
dia menjawab, ‘Kafir kepada
Allah yang mahaagung.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kami menyolatinya?’ Dia
menjawab, ‘Tidak dan tidak perlu memuliakannya.’”[85]
c. Imam Malik bin Anas (w. 179 H):
Allah berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا
سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ
مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad adalah
Rasulullah. Dan orang-orang yang bersamanya (para Shahabat) sangat keras kepada
orang-orang kafir tetapi belas kasih kepada sesama mereka. Kamu melihat mereka
banyak ruku’ dan sujud mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya. Tanda
mereka terlihat dari bekas sujud mereka di wajah-wajah mereka. Itulah
pemisalan mereka di Taurat, dan
pemisalan mereka di Injil seperti benih mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas
itu semakian kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya.
Tanaman itu membuat takjub para petani, supaya dengan mereka Allah membuat
marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan orang-orang beriman dan beramal
shalih di antara mereka (para
Shahabat) ampunan dan pahala yang agung.”[86]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 767 H) berkata, “Dari ayat ini
Imam Malik berhujjah dalam sebuah riwayat darinya akan kekafiran Rafidhah yang
membenci para Shahabat. Imam Malik berkata:
«لِأَنَّهُمْ
يَغِيظُونَهُمْ، وَمَنْ غَاظَ الصَّحَابَةَ فَهُوَ كَافِرٌ لِهَذِهِ الْآيَةِ»
“Karena mereka membenci para Shahabat. Barangsiapa yang
membenci para Shahabat maka dia kafir berdasarkan ayat ini.”[87]
d. Ahmad bin Yunus (w. 227 H):
«إِنَّا لاَ نَأْكُلُ ذَبِيْحَةَ
رَجُلٍ رَافِضِي، فَإِنَّهُ عِنْدِي مُرْتَدٌّ»
“Sungguh aku tidak makan sesembelihan lelaki Rafidhi,
karena dia menurutku murtad.”[88]
e. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H):
‘Abdullah bin
Imam Ahmad berkata:
«سَأَلْتُ
أَبِي عَنْ رَجُلٍ شَتَمَ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: مَا أَرَاهُ عَلَى الْإِسْلاَمِ»
“Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang
mencela seorang dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu
dia menjawab, ‘Aku tidak melihatnya beragama Islam.’”[89]
f. Imam Al-Bukhari (w. 256 H):
«مَا
أُبَالِي صَلَّيْتُ خَلْفَ الْجَهْمِيِّ وَالرَّافِضِيِّ أَمْ
صَلَّيْتُ خَلْفَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَلاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ، وَلاَ يُعَادُونَ،
وَلاَ يُنَاكَحُونَ، وَلاَ يُشْهَدُونَ، وَلاَ تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ»
“Sama saja bagiku apakah aku shalat di belakang orang
Jahmiyah dan Rafidhi atau aku shalat di belakang Yahudi dan Nashrani. Tidak
boleh mengucapkan salam kepada mereka, mereka tidak boleh dijenguk, tidak boleh
dinikahkan, tidak boleh dihadiri jenazahnya, dan tidak diboleh dimakan
sesembelihannya.”[90]
g. Abu Zur’ah Ar-Razi (w. 264 H) dan Abu Hatim Ar-Razi (w. 277 H):
Abdurrahman bin Abi Hatim (w. 327 H) bertanya kepada ayahnya dan Abu Zur’ah Ar-Razi tentang Ahlus
Sunnah dan aqidah keduanya yang mereka dapatkan dari guru-gurunya di penjuru
negeri. Di antara ucapan keduanya adalah:
«إِنَّ الْجَهْمِيَّةَ كُفَّارٌ،
وَإِنَّ الرَّافِضَةَ رَفَضُواْ الْإِسْلاَمُ»
“Sesungguhnya Jahmiyyah kafir dan sesungguhnya Rafidhah menolak
(terlepas dari) Islam.”[91]
h. Imam Ath-Thahawi (w. 321 H):
«وَنُحِبُّ
أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ نُفْرِطُ فِي حُبِّ
أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلاَ نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَنَبْغَضُ مَنْ يَبْغَضُهُمْ
وَبِغَيْرِ الْخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ، وَلاَ نَذْكُرُهُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ، وَحُبُّهُمْ:
دِيْنٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ: كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ»
“Dan kami mencintai para Shahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan tidak melampaui batas dalam mencintai seorang pun
dari mereka, dan tidak pula berlepas diri dari seorang pun dari mereka. Kami
membenci siapa yang membenci mereka dan yang menyebut mereka dengan selain
kebaikan, dan kami tidak
menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman,
ihsan dan membenci mereka adalah kekufuran, nifaq, kesesatan.”[92]
i. Imam Al-Barbahari (w. 329 H):
«وَاْعلَمْ
أَنَّ الْأَهْوَاءَ كُلَّهَا رَدِيَّةٌ تَدْعُواْ إِلَى السَّيْفِ، وَأَرْدَؤُهَا
وَأَكْفَرُهَا الرَّافِضَةِ وَالْمُعْتَزِلَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ، فَإِنَّهُمْ يُرِيْدُونَ
النَّاسَ عَلَى التَّعْطِيلِ وَالزَّنْدَقَةِ»
“Dan ketahuilah bahwa pengikut hawa
nafsu semuanya tertolak yang perlu diperangi. Yang paling tertolak dan kufur
adalah Rafidhah, Mu’tazilah, dan Jahmiyyah, karena mereka menginginkan manusia
di atas penyimpangan dan kezindiqan.”[93]
j. Al-Qadhi ‘Iyyad (w. 544 H):
«وَكَذَلِكَ
نَقْطَعُ بِتَكْفِيْرِ غُلاَةِ الرَّافِضَةِ فِي قَوْلِهِمْ: إِنَّ الْأَئِمَّةَ أَفْضَلُ
مِنَ الْأَنْبِيَاءِ»
“Kami memutuskan untuk mengkafirkan
Rafidhah ekstrim karena ucapan mereka, ‘Sesungguhnya imam-imam kami lebih utama
daripada para Nabi.”[94]
k. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H):
«وَاللهُ يَعْلَمُ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْماً، لَيْسَ فِي جَمِيعِ
الطَّوَائِفِ الْمُنْتَسِبَةِ إِلَى الْإِسْلاَمِ مَعَ بِدْعَةٍ وَضَلاَلَةٍ شَرٌّ
مِنْهُمْ: لاَ أَجْهَلُ، وَلاَ أَكْذَبُ، وَلاَ أَظْلَمُ، وَلاَ أَقْرَبُ إِلَى الْكُفْرِ
وَالْفُسُوْقِ وَالْعِصْيَانِ، وَأَبْعَدُ عَنْ حَقَائِقِ الْإِيمَانِ مِنْهُمْ»
“Dan Allah mahatahu dan cukuplah
Allah mahatahu bahwa tidak ada kelompok manapun yang menisbatkan kepada Islam
yang lebih buruk kebid’ahan dan kesesatannya daripada mereka. Tidak ada yang
lebih jahil, lebih berdusta, lebih zhalim, lebih dekat kepada kekufuran dan kefasikan
serta kedurhakaan, dan lebih jauh dari iman melebihi mereka.”[95]
l. Syaikh Hasyim Al-Asy’ari:
Beliau berkata “Tidak ada madzhab di zaman terakhir
dengan sifat ini kecuali empat saja
(madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Demi Allah, tidak termasuk
madzhab Imamiyyah dan Zaidiyyah (sekte Syi’ah), mereka ahli bid’ah yang tidak
boleh dipegang pendapat-pendapat mereka.”[96]
m. Fatwa MUI JATIM:
“Mengukuhkan dan menetapkan sejumlah keputusan MUI daerah
yang menyertakan bahwa ajaran Syi’ah (khususnya Imamiyah, Itsna Asyariah,
Mazhab Alul Bait, dan semisalnya) serta ajaran-ajaran yang mempunyai kesamaan
dengan faham Syi’ah Imamiyah dan Itsna Asyariah adalah SESAT DAN MENYESATKAN.”[97][]
09 Kesimpulannya Syi’ah Tidak Perlu Digubris Tapi Divonis
Sebenarnya banyak sekali aqidah, ibadah, akhlaq,
mu’amalah, dan fiqih kaum Syi’ah Rafidhah yang tajam sekali perbedaannya dengan
Ahlus Sunnah. Penulis
mencukupkan diri sampai di sini agar buku tidak terlalu tebal sehingga
memberatkan dan membosankan. Apa guna membahas sampah buku-buku Syi’ah. Apa
guna menghabiskan waktu membaca kedustaan-kedustaan Syi’ah. Sungguh telah bersinar matahari sehingga
segalanya menjadi jelas diketahui oleh seluruh manusia. Demi Rabb yang
memuliakan para Shahabat, waktu dan harta yang digunakan untuk hal yang sia-sia
akan berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H)
berkata tentang
kedustaan Syi’ah:
«وَغُلُوُّ الرَّافِضَةِ
فِي حُبِّ عَلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ وَضَعُواْ أَحَادِيْثَ
كَثِيْرَةً فِي فَضَائِلِهِ ... وَلَهُمْ مَذَاهِبُ فِي الْفِقْهِ ابْتَدَعُوْهَا وَخَرَافَاتٌ
تُخَالِفُ الْإِجْمَاعَ ... وَسَوََّلَ لَهُمْ إِبْلِيْسُ وَضَعَهَا عَلَى وَجْهٍ لاَ
يَسْتَنِدُوْنَ فِيْهِ إِلَى أَثَرٍ وَلاَ قِيَاسٍ، بَلْ إِلَى الْوَاقِعَاتِ، وَمَقَابِحُ
الرَّافِضَةِ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصَى»
“Tindakan Rafidhah yang melampaui batas dalam mencintai ‘Ali Radhiyallahu
‘Anhu membawa
mereka untuk membuat-buat banyak sekali hadits-hadits palsu tentang
keutamaannya … Mereka memiliki madzhab fiqih yang dikarang-karang sendiri dan
khurafat-khurafat yang menyelisihi ijma’ … iblis telah memperdaya mereka untuk
mengarang-ngarang kepalsuan yang tidak berpedoman kepada atsar dan tidak pula
qiyas, tetapi kepada kejadian-kejadian tertentu. Keburukan-keburukan Rafidhah sangat
banyak untuk dihitung.”[98]
Begitu pula Syaikhul Islam (w. 728 H)
berkata tentang
kebohongan mereka:
«وَقَدِ
اتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِالنَّقْلِ وَالرِّوَايَةِ وَالْإِسْنَادِ عَلَى أَنَّ
الرَّافِضَةِ أَكْذَبُ الطَّوَائِفِ، وَالْكَذِبُ فِيْهِمْ قَدِيْمٌ، وَلِهَذَا كَانَ
أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ يَعْلَمُونَ امْتِيَازَهُمْ بِكَثْرَةِ الْكَذِبَ»
“Ahli ilmu telah bersepakat berdasarkan
dalil akal, riwayat, dan sanad, bahwa Rafidhah adalah kelompok yang paling
pendusta, dan kedustaan di tengah-tengah mereka sudah ada semenjak dulu. Oleh
karena itu, para imam Islam mengetahui kejanggalan-kejanggalan mereka karena
banyaknya kedustaan.”[99]
Untuk mengakhiri ini, penyusun akan
mencantumkan kepada Pembaca sebuah perkataan ulama sunnah ahlul hadits yang
menunjukkan bahwa pembahasan Syi’ah hanya perlu apakah agama selain Islam kafir
atau tidak???
‘Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) berkata:
«هُمَا
مِلَّتَانِ: الْجَهْمِيَّةُ وَالرَّافِضيَّةُ»
“Keduanya adalah agama, yakni
Jahmiyyah dan Rafidhah.”[100]
Terakhir sekali, penyusun mengingatkan bahwa Syi’ah
Rafidhah adalah bahaya yang mengancam keselamatan kaum Muslimin baik jasad
maupun pemikiran. Seandainya mereka berhasil menduduki jabatan pemerintahan
Indonesia, tidak mustahil mereka akan terang-terangan tanpa perlu bertaqiyyah
memusuhi dan membunuh Ahlus Sunnah, sebagaimana yang mereka lakukan kepada
rakyat (Ahlus Sunnah) Suriah. Maka, sebarkanlah tentang kesesatan ajaran mereka
agar kaum Muslimin awam juga turut waspada dan membentengi diri dengan ilmu dan
ketaqwaan.
Demikian yang bisa penyusun
persembahkan kepada Pembaca budiman. Semoga Pembaca mendapat manfaat dari buku
sederhana ini dan penyusun mendapat pahala di sisi Allah yang maha pemurah.
Penyusun menyadari bahwa tulisan ini
tidak bebas dari kesalahan dan kekeliruan. Maka tegur sapa dari Pembaca sangat
berarti bagi penyusun. Koreksi-koreksi dan saran bisa dilayangkan ke email: eth.thulaib@gmail.com atau facebook/abuzurah.cu.cc. Semoga Allah membalas kebaikan
orang yang berbuat baik.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Ahlul Baitnya, Abu Bakar dan ‘Umar serta seluruh Shahabatnya,
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.[]
Surabaya, 1 Januari 2014 09:21
WIB
Abu Zur’ah Ath-Thaybi
Daftar Pustaka
1.
Mushhaf Al-Qur`ân rash
Utsmani cetakan Beirut.
2.
Tafsîrul Qur`ânil Adzîm
(Tafsîr Ibnî Katsîr) karya Abu Al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy
ad-Dimasyqi (w. 774 H), Tahqiq: Sami Muhammad Salamah, Penerbit: Dar Tayyibah,
cet. ke-2 th. 1420 H/1999 M.
3.
Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Ahmad Al-Qurthubi (w. 671 H), Muhaqqiq: Ahmad Al-Barduni dan Ibrahim Athfisy,
Penerbit: Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. ke-2 th. 1384 H/1964 M.
4.
Al-Jâmi’ As-Musnad Ash-Shahîh Al-Mukhtashar min Umûri
Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanih wa Ayyamih (Shahîh Al-Bukhârî)
karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-Ju’fi (w. 256 H), Tahqiq:
Muhammad Zuhair bin Nashir An-Nashir, Penerbit: Dar Thauqun Najah, cet. ke-1
th. 1422 H.
5.
Al-Musnad Ash-Shahîh Al-Mukhtashar Binaqlil Adli ‘anil
Adli ilâ Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Shahîh Muslim) karya Abu Al-Husain
Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (w. 261 H), Tahqiq: Dr.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Ihyaut Turats Al-Arabi Beirut, tanpa tahun.
6.
Sunan At-Tirmidzî karya Abu
Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At-Tirmidzi (w. 249 H), Tahqiq: Ahmad
Muhammad Syakir dkk, Penerbit: Musthafa Al-Babi Al-Halabi Mesir, cet. ke-2 th.
1395 H/1975 H.
7.
Sunan Abû Dâwûd karya Abu
Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani As-Azdi (w. 275 H), Tahqiq: Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Penerbit: Maktabah Al-Ishriyyah Beirut, tanpa tahun.
8.
Al-Mujtabâ (Sunan An-Nasâ`i)
karya Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali An-Nasa`i (w. 303 H), Tahqiq: Abu Ghuddah
Abdul Fattah, Penerbit: Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyah Halab cet. ke-2 th.
1406 H/1986 M.
9.
Sunan Ibnu Mâjah karya Abu
‘Abdillah Muhammad bin Majah (nama aslinya Yazid) Al-Qazwini (w. 273 H), Tahqiq: Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Dar Ihya`ul Kutub Al-Arabiyyah.
10. Musnad Ahmad karya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani
(w. 241 ), Tahqiq: Syuaib Al-Arnauth
dkk, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
11.
As-Sunan Al-Kubrâ karya Abu
Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali An-Nasa`i (w. 303 H), Tahqiq: Hasan Abdul
Mun’im Syalabi, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah Beirut, cet. ke-1 th. 1421
H/2001 M.
12. Shahîh Ibnu Khuzaimah karya Abu Bakar Muhammad bin Ishaq
bin Khuzaimah bin Al-Mughirah bin Shalih bin Bakar As-Sulami An-Naisaburi (w.
311 H), Tahqiq: Dr. Musthafa Al-A’dzami, Penerbit: Al-Maktabah Al-Islami
Beirut, cet. tanpa tahun.
13. Shahîh Ibnu Hibbân karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin
Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma’bad At-Tamimi ad-Darimi (w. 354 H), Tahqiq:
Syu’aib Al-Arna`ut, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah Beirut, cet. ke-2 th. 1414
H/1993 H.
14. Al-Mustadrâk alâsh Shahîhain karya Abu ‘Abdillah Al-Hakim
bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Hamadiyyah bin Tsu’aim bin Al-Hakam
adh-Dhabi Ath-Thahmani An-Naisaburi (nama ma’ruf Ibnul Bayyi’) (w. 405 H),
Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut,
cet. ke-1 th. 1411 H/1990 H.
15. Ar-Raudhu ad-Dânî (Al-Mu’jam Ash-Shaghîr) karya Abul Qasim
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi Asy-Syami Ath-Thabarani (w.
360 H), Tahqiq: Muhammad Syakur Mahmud Al-Hajj Al-Amiri, Penerbit: Al-Maktab Al-Islami
Beirut, cet. ke-1 th. 1405 H/1985 H.
16. Al-Mu’jam Al-Ausath karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad
bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi Asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq:
Thariq bin Iwadhullah bin Muhammad dan Abdul Muhsin bin Ibrahim Al-Husni,
Penerbit: Darul Haramain Mesir, cet. tanpa tahun.
17. Al-Mu’jam Al-Kabîr karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin
Ayyub bin Muthir Al-Lahmi Asy-Syami Ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: Hamdi bin
Abdul Majid As-Salafi, Penerbit: Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir, cet. ke-2 tanpa
tahun.
18. Al-Mu’jam Al-Kabîr (juz 13, 14, dan 21) karya Abul Qasim
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir Al-Lahmi Asy-Syami Ath-Thabarani (w.
360 H), Tahqiq: penelitian di bawah pengawasan Dr. Sa’ad bin ‘Abdullah Al-Hamid
dan Dr. Khalid bin Abdurrahman Al-Jarisi, cet. ke-1 th. 1427 H/2006 H.
19. As-Sunan Al-Kubrâ karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin
Ali Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Muhamamd Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul
Kutub Al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-3 th. 1424 H/2003 H.
20. As-Sunan Ash-Shughrâ karya Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain
bin Ali Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Abdul Mu’thi Amin, Penerbit: Jami’atud
Dirâsât Al-Islâmiyyah Pakistan, cet. ke-1 th. 1410 H/1989 H.
21. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah karya Abu Bakar ‘Abdullah bin
Abu Syaibah Al-Abasi Al-Kufi (w. 235 H), Tahqiq: Kamal Yusuf Al-Hut, Penerbit:
Maktabah Ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1409 H.
22. Musnad ad-Dârimî (Sunan ad-Dârimî) karya Abu Muhammad
‘Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadhal bin Bahram bin Abdush Shamad ad-Darimi At-Tamimi
As-Samarqandi (w. 255 H), Tahqiq: Husain Salim Asad ad-Darani, Penerbit: Darul
Mughni KSA, cet. ke-1 th. 1412 H/2000 M.
23. Sunan ad-Dâruquthnî karya Abul Hasan Ali bin Umar bin
Ahmad bin Mahdi bin Mas’ud bin Nu’man bin Dinar Al-Baghdadi ad-Daruquthni (w.
385 H), Tahqiq: Syu’aib Al-Arna`uth dkk, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah Beirut,
cet. ke-1 th. 1424 H/2004 H.
24. Al-Bahr az-Zakhkhâr (Musnad Al-Bazzâr) karya Abu Bakar
Ahmad bin Amr bin Abdul Khaliq bin Khalad bin Ubaidillah Al-Ataki Al-Bazzar (w.
292 H), Tahqiq: Mahfuzhur Rahman Zainullah (juz 1-9), Adil bin Sa’ad (juz
10-17), dan Shabari Abdul Khaliq Asy-Syafi’i (juz 18), Penerbit: Maktabah Al-Ulum
wal Hikam Madinah, cet. ke-1 th. 1988-2009 H.
25. Al-Ibânah Al-Kubrâ karya Abu ‘Abdillah Ubaidillah bin
Muhammad bin Muhammad bin Hamdan Al-Ukbari Ibnu Baththah (w. 387 H), Tahqiq:
Ridha Mu’thi dkk, Penerbit: Darur Râyah Riyadh, dicetak berkala dari 1415
H/1994 H sampai 1426 H/2005 M sebanyak 9 jilid.
26. Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj karya Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H), Penerbit: Dar
Ihyâ`ut Turâts Al-Arabi Beirut, cet. ke-2 th. 1392 H.
27.
Al-‘Arsy karya adz-Dzahabi, Tahqiq: Muhammad bin Khalifah
bin ‘Ali At-Taimi, Penerbit: Jami’ah Islamiyyah Madinah, cet. Ke-2 th. Ke-1424 H/2003 M.
28.
Asy-Syarî’ah
karya Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan bin ‘‘Abdullah Al-Ajurri Al-Baghdadi (w.
360 H), Tahqiq: Dr. ‘‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman, Penerbit: Darul Wathan
KSA, cet. ke-2 th. 1420 H/1999 M.
29.
Mu'jam Ibnul
'Arabi karya Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Bisyr bin Dirham Al-Bashri
Ibnul ‘Arabi, Tahqiq: Abdul Muhsin bin Ibrahim bin Ahmad Al-Husaini, Penerbit:
Dar Ibnul Jauzi KSA, cet. Ke-1 th. 1418 H/1997 H.
30.
Al-Kifâyah fi
‘Ilmir Riwâyah karya Al-Khathib Al-Baghdadi, Tahqiq: Abu ‘Abdillah As-Suraqi
dan Ibrahim Hamdi Al-Madini, Penerbit: Al-Maktabah Al-Ilmiyyah Madinah, tanpa
tahun.
31.
Talbîsul Iblîs karya Ibnul Jauzi, Penerbit: Darul Fikr Beirut, cet. Ke-1 th. 1421 H/2001 M.
32.
Al-Fiqhul Akbar
karya Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (w. 150 H), Tahqiq dan Syarh: Dr. Muhammad
bin Abdurrahman Al-Khumaiyis, Penerbit: Maktabah Al-Furqan KSA, cet. ke-1 th.
1419 H/1999 M.
33.
Hilyâtul Auliyâ` wa Thabaqâtul Ashfiyâ` karya Abu Nu'aim
Ahmad bin ‘Abdillah Al-Ashfahani (w. 430 H), Penerbit: Darus Sa’âdah, cet. th.
1394 H/1974 M.
34.
Minhâjus Sunnah An-Nabawiyah
karya Abu Al-Abbas bin Taimiyyah (w. 728 H), Tahqiq: Dr. Muhammad Rasyid Salim,
Penerbit: Muassasah Qurthubah, cet. ke-1.
35.
As-Sunnah karya
Abu Ahmad bin Muhammad bin Harun bin Yazid Al-Khallal Al-Baghdadi Al-Hanbali
(w. 311 H), Tahqiq: Dr. ‘Athiyyah az-Zahrani, Penerbit: Darur Rayah KSA, cet.
ke-1 th. 1410 H/1989 M.
36.
Khalqu Af’âlil
Ibâd karya Imam Al-Bukhari, Tahqiq: Dr. Abdurrahman Amirah, Penerbit: Darul
Ma’arif Saudiyyah Riyadh, tanpa tahun.
37.
Al-Aqîdah Ath-Thahâwiyyah
karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abdul Malik bin Salamah Al-Azdi
Al-Hijri Al-Mishri Ath-Thahawi (w. 321 H), Syarh dan Tahqiq: Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Penerbit: Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. ke-2 th. 1414
H.
38.
Târîkh Dimasyq
karya Abul Qasim ‘Ali bin Al-Husain bin Habatullah Ibnu ‘Asakir (w. 571 H),
Tahqiq: ‘Amr bin Gharamah, Penerbit: Darul Fikr, cet. th. 1415 H/1995 M.
39.
Ma’rifatus Sunan wal Atsâr karya Abu Bakar
Ahmad bin Al-Husain bin ‘Ali Al-Khurasani Al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: ‘Abdul
Mu’thi Amin Qal’aji, Penerbit: Jami’ah Dirasat Islamiyyah Pakistan, cet. Ke-1
th. 1412 H/1991 M.
40.
Syarh Ushûlil
I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah karya Abul Qasim Habatullah bin Al-Hasan bin
Manshur bin Ath-Thabari Ar-Razi Al-Lalika`i (w. 418 H), Tahqiq: Ahmad bin Sa’ad
bin Hamdan Al-Ghamidi, Penerbit: Daruth Thaybah KSA, cet. ke-8 th. 1423 H/2003
M.
41.
Lum’atul I’tiqâd
karya Ibnu Qudamah, Penerbit: Wizaratuys Syu`un KSA, cet. Ke-2 th. 1420 H/2000 M.
42.
Siyar A'lâmin Nubalâ` karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Ahmad bin Ustman adz-Dzahabi (w. 748 H), Tahqiq: Syu'aib Al-Arna`uth dkk,
Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-3 th. 1405 H/1985 M.
43.
Hilyâtul Auliyâ` wa Thabaqâtul Ashfiyâ` karya Abu Nu'aim
Ahmad bin ‘Abdillah Al-Ashfahani (w. 430 H), Penerbit: Darus Sa’âdah, cet. th.
1394 H/1974 M.
44.
Kitab Induk Syi’ah (Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Al-Istibshar,
At-Tahdzib)
[1] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1606), Muslim (no. 1767), Abu Dawud
(no. 3030), Ahmad (no. 201), Ibnu Hibban (no. 3753) dalam Shahihnya, dan
Al-Hakim (no. 7721) dalam Al-Mustadrâk dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu. Dalam riwayat Muslim
ada tambahan, “hingga aku tidak membiarkan di dalamnya kecuali
muslim.”
[2] Shahih: HR. Al-Bazzar (no. 230, I/349) dalam Musnadnya
dan Ath-Thahawi (no. 18583) dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsâr dari ‘Umar
bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu.
[3] Al-‘Arsy (I/123) oleh adz-Dzahabi dan Minhâjus Sunnah
(I/307) oleh Syaikhul Islam. Yang senada diriwayatkan Al-Ajurri (V/2520) dalam Asy-Syarî’ah dan Ibnul ‘Arabi (no. 67) dalam Mu’jamnya
[5] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6922), At-Tirmidzi (no. 1458), Abu
Dawud (no. 4351), An-Nasa`i (no. 4060), Ahmad (no. 1871), Ibnu Hibban (no.
5606) dalam Shahihnya, dan Al-Hakim (no. 6295) dalam Al-Mustadrâk. Dalam riwayat At-Tirmidzi
ada tambahan, “Lalu hal itu sampai kepada ‘Ali lalu dia berkata, ‘Ibnu ‘Abbas benar.’”
[6] HR. Al-Ajurri (V/2513) dalam Asy-Syarî’ah dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
‘Anhuma. Al-Ajurri berkata, “Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al-Bukhari
mengabarkan kepada kami: Al-Qasim bin Abi Bazzah mengabarkan kepada kami:
Muhammad bin Mu’awiyah mengabarkan kepada kami: Yahya bin Sabiq Al-Madini
mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar...(Al-hadits).”
[8] Ahlul bait artinya keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak
keturunannya terutama ‘Ali dan Fathimah beserta keturunannya, Ja’far dan ‘Uqail
beserta keturunannya, Hamzah dan Al-Harits serta Al-‘Abbas beserta
keturunannya, dan semua orang beriman dari bani Hasyim dan bani Al-Muththalib.
Mereka diharamkan zakat dan sedekah. Adapun versi Syi’ah, mereka hanya
membatasi ‘Ali dan Fathimah beserta keturunannya, bahkan dipersempit hanya keturunan Al-Husain bin ‘Ali. Adapun keturunan Al-Hasan bin ‘Ali mereka tolak.
[9] Al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah
(hal. 49) oleh Al-Khathib Al-Baghdadi.
[10] Yaitu Abu Abdillah
Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Husain
bin ‘Ali bin Abi Thalib. Seorang Ahlul Bait yang shalih dan berilmu serta ahli
ibadah. Beliau dan Ahlul Bait lainnya berlepas diri dari Syi’ah sebagaimana
pembahasan khusus nanti, insya Allah.
[13] Miftâhul Jinân (hal. 114) oleh Al-Qummi. Yang dimaksud adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Aisyah
binti Abu Bakar, dan Hafshah binti ‘Umar. Doa ini potongan dari doa yang
panjang sekali di kitab tersebut.
[14] Menurut mereka,
Ahlus Sunnah dan selain Syi’ah disebut Nawasib karena menentang ‘Ali bin Abi
Thalib, dan ini adalah sebesAr-besar kedustaan. Bahkan, Ahlus Sunnah adalah
yang terdepan dalam memuliakan dan setia kepada ‘Ali bin Abi Thalib dan seluruh
Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum.
[16] Bihârul Anwâr
(VIII/360-361) oleh Al-Majlisi.
[21] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
3673), Muslim (no. 2541), At-Tirmidzi (no. 3861), Abu Dawud (no. 4658), Ahmad
(no. 11079) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 6994) dalam Shahihnya,
Ath-Thabarani (no. 982) dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan (no. 6567) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu.
[22] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari
(no. 17),
Muslim (no. 74), An-Nasa`i (no. 5019), dan Ahmad (no. 12316) dalam Musnadnya
dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[23] Talbîsul Iblîs
(hal. 90) oleh Ibnul Jauzi dan menjelaskan bahwa maksud ‘keterpalingannya’
adalah ibadah-ibadah sunnah dan ‘keadilannya’ adalah ibadah-ibadah wajib.
[24] Al-Fiqhul Akbar (hal. 43) oleh
Abu Hanifah.
[25] Hilyatul Auliyâ` (VI/327) oleh
Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
[26] Hilyatul Auliyâ` (IX/114) oleh
Abu Nu’aim, Ma’rifatus Sunan wal Atsâr (no. 351, I/ 192) dan Manâqib
Asy-Syâfi’î (I/433) oleh Al-Baihaqi, Târîkh Dimasyq (51/316) oleh Ibnu
‘Asakir.
[28] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 25), Muslim (no. 22),
Ibnu Hibban (no. 175) dalam Shahihnya, Ath-Thabarani (no. 8510) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath, dan ad-Daruquthni (no. 898) dalam Sunannya dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
[29] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6104) dan Muslim (no. 60),
At-Tirmidzi (no. 2637), Abu Dawud (no. 4687), Ahmad (no. 4687), dan Ibnu Hibban
(no. 249) dalam Shahihnya dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
[30] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6528), Muslim (no. 221), At-Tirmidzi (no.
2547), Ibnu Majah (no. 4283), Ahmad (no. 3661), dan Ibnu Hibban (no. 7245)
dalam Shahihnya.
[31] HR. Ibnu Abi
Syaibah (no. 31712, VI/315) dalam Mushannafnya. Dari Asy-Sya’bi dengan
sighah, “Aku mendengarnya berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.’”
[35] QS. Al-Hijr [15]:
9.
[36] QS. An-Najm [53]:
3-4.
[38] Lum’atul I’tiqâd (hal. 21) oleh
Ibnu Qudamah.
[39] Asy-Syî’ah fil Mîzân (hal. 47)
olehnya.
[41] QS. Al-Qomar [54]: 1-3.
[42] Diriwayatkan Ibnu Baththah (II/545) dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ, Al-Baihaqi
(no. 20905, X/352) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Al-Lalika`i (no. 2811,
VIII/1544) dalam Syarhul Ushûl, Abu Nu’aim (IX/114) dalam Hilyatul
Auliyâ`, dan Al-Khathib Al-Baghdadi (hal. 126) dalam Al-Kifâyah.
[43] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
110) dan Muslim (no. 3), Ahmad (no. 9350) dalam Musnadnya, dan Ath-Thabarani
(no. 3331) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu.
[49] Lihat Al-Intishâr
(hal. 169) oleh Al-‘Amili.
[51] Al-Anwâr An-Nu’maniyyah
(II/278) oleh Ni’matullah Al-Jaza`iri. Semoga Allah mengabulkan.
[53] QS. Al-A’râf [7]:
188.
[54] A-Jîn [72]: 25-27.
[56] QS. Hûd [11]: 6.
[57] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5950) dan Muslim (no. 2109),
An-Nasa`i (no. 5364), dan Ahmad (no. 3558),
dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.
[58] Man Lâ
Yahdhuruhul Faqîh (hal. 330) oleh Al-Qummi.
[59] Tafsîr Minhajush
Shâdiqîn (II/492-493) oleh Al-Kasyani.
[60] Furû’ul Kâfi
(V/451) oleh Al-Kulaini dan At-Tahdzîb (II/188) oleh Ath-Thusi.
[61] Tahrîrul Wasîlah
(II/221) Kitabun Nikah: Masalah Ke-12.
[62] At-Tahdzîb
(V/1705-1706) oleh At-Thusi dan Tahrîrul Wasîlah (II/265) Al-Qaul Fin
Nikâh Al-Munqathi’: Masalah Ke-18.
[63] Sebagaimana yang
dikisahkan syaikh mereka Al-Musi dalam Kasyful Asrâr (hal. 46).
[64] Al-Istibshâr
(III/243) oleh Ath-Thusi.
[65] Shahih: HR.
Muslim (no. 1406), Ibnu Majah (no. 1962), Ahmad (no. 15351), Ibnu Hibban (no.
4147) dalam Shahihnya, dan Ath-Thabarani (no. 6513) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr
dari Sabrah Al-Juhanni Radhiyallahu ‘Anhu.
[67] Agama Syi’ah awal
dirintis karena kebencian Yahudi kepada ‘Umar dan kaum Muslimin yang berhasil
mengusir mereka dari Jazirah Arab, dan didukung kaum Majusi Persia penyembah api yang pada masa ‘Umar
berhasil ditaklukkan kaum Muslimin. Hari ini agama
Syi’ah berpusat di negeri Iran, persis dengan tanah air nenek moyang mereka Abu
Lu`lu`ah
Al-Majusi yang menikam dan membunuh khalifah rasyid ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu. Adapun penganut Syi’ah hari ini semakin banyak dan diminati ahli
bid’ah dan sebagian kaum pemuda sunni, serta ulama mereka lebih bersemangat
menyebarkan kesesatannya tidak lain karena kecintaan syahwat mereka terhadap
ajaran amoral ini, disamping yang telah disebutkan. Allahu a’lam.
[68] QS. Ghâfir [40]:
19.
[70] Tafsîr Ibnu Abi
Hâtim (no. 18428, X/3265).
[71] HR. Ibnu Abi Syaibah (no. 38436) dalam Mushannafnya dan Al-Baihaqi
(no. 5031) dalam Syu’abul Iman.
[72] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
5096) dan Muslim (no. 2740) dari Usamah bin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu
‘Anhuma.
[73] Tafsîr Al-Qurthubî (IV/29).
Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (II/19).
[74] Muhammad Al-Hanafiyah
bin ‘Ali bin Abi Thalib termasuk ulama Madinah dan Kufah yang mengambil banyak
hadits dari para Shahabat dan ayahnya sendiri. Adapun ucapannya, “Aku takut dia
menjawab ‘Utsman,” maksudnya dia khawatir ‘Ali lebih mendahulukan ‘Utsman
daripada dirinya sendiri karena menurutnya ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman.
Sepeninggal ‘Utsman tidak ada manusia yang lebih utama, wara’, dan zuhud
melebih ‘Ali bin Abi Thalib, sebagaimana persaksian Ibnu ‘Umar dan ‘Umar bin
Abdul Aziz. Allahu a’lam.
[75] Shahih: HR. Al-Bukhari
(no. 3671), Abu Dawud (no. 4629), Ath-Thabarani (no. 3554) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath,
dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1206) dalam As-Sunnah. Ucapan ‘Ali mengutamakan
Abu Bakar dan ‘Umar ini mencapai derajat mutawatir dan didengar oleh semua
orang yang hadir di masjid Kufah dalam salah satu khutbah ‘Ali Radhiyallahu
‘Anhu, sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam.
[77] As-Siyar
(IV/361) oleh adz-Dzahabi. Yang aneh,
Syi’ah hari ini mengadakan ritual tiap 10 Muharram (hari ‘Asyura`) dengan
melukai diri dengan pedang atau pisau atau benda tajam lainnya untuk meratapi
pembantaian Al-Husain di Karbala, seolah-olah mereka mengakui kebejatan mereka
terhadap Al-Husain tempo dulu!!!
[90] Khalqu Af’âlil Ibâd (hal. 33)
oleh Imam Al-Bukhari.
[95] Minhâjus Sunnah
(I/160) oleh Syaikhul Islam.
[96] Lihat Risâlah fî Taakkudil Akhdzi bi Madzâhibil Aimmah Al-Arba’ah
(hal. 92) oleh Syaikh Hasyim Al-Asy’ari.
[99] Minhajus Sunnah
(I/59) oleh Syaikhul Islam.
Terima kasih. Bolehkah kami menyebarkannya ? untuk memperluas dan memperbesar manfaat semata, syukron.
BalasHapusFilenya hilang tidak bisa didwonload
BalasHapus