Download Buku: PENGARUH IBADAH DALAM KEHIDUPAN - Syaikh Abdul Muhsin Al-Abd Al-Badr
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-pengaruh-ibadah-dalam-kehidupan-syaikh-abdul-muhsin-al-abd-al-badr.html?m=0
PENGARUH IBADAH DALAM KEHIDUPAN
Download:
====
Judul Asli:
أَثٰرُ الْعِبَادَاتِ فِي
حَيَاةِ الْمُسْلِمِ
Judul Terjemah:
Pengaruh Ibadah dalam Kehidupan
Pengarang:
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad
al-Abbad
Penerbit: Darul Mughni
Cetakan Pertama, 1423 H/2002 M
===============
Penerbit : Pustaka Syabab
Penerjemah : Abu Zur’ah ath-Thaybi
Editor :
Tim Pustaka Syabab
Layout :
Tim Pustaka Syabab
Cetakan : Pertama
Tahun : Muharram 1434 H
Nopember 2013 M
Pustaka Syabab
Perumahan
Keputih Permai Blok A No. 1-3
Jl. Keputih
Tegal Timur,
Sukolilo,
Surabaya 60111, Jawa Timur
Email: pustakasyabab@yahoo.com
====
Daftar Isi
Pengantar Penerjemah
S
|
egala puji bagi Allah, dan semoga
shalawat dan salam selalu tercurah kepada sebaik-baik teladan dalam ibadah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kutaib yang ada
di tangan Pembaca ini merupakan buah karya salah satu ulama besar di Madinah
al-Munawwarah, ahli hadits kenamaan nan besar wibawanya di kalangan penuntut
ilmu dan masyarakat umum, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-Abbad al-Badr.
Sebenarnya
kutaib ini disusun oleh beliau untuk memenuhi permintaan warga Amerika yang
kuliah di Universitas Islam Amerika. Ceramah ini disampaikan beliau via telfon.
Banyak hal
terkait dengan pengaruh dan efek ibadah yang mewarnai kehidupan manusia, di
mana pengaruh dan efeknya berbeda sesuai dengan perbedaan penjagaan ibadah itu
sendiri. Dari sisi ini kutaib ini amat berharga karena menjelaskan mengenai
perkara besar yang manusia dan jin tidaklah diciptakan kecuali untuk tujuan
yang agung ini. Maka, kutaib ini baik sekali untuk dibaca.
Untuk
mempermudah dan menambah faidah, kami menambah judul subbab untuk
pembahasan-pembahasan tertentu dalam tanda kurung-tutup yang dianggap perlu,
agar mata bisa beristirahat dan menghidari kejenuhan dalam membaca, serta mudah
dalam menangkap pesan yang disampaikan. Juga saya sertakan takhrij yang
dianggap perlu ala kadarnya dalam tanda kurung-tutup.
Tiada manusia
yang sempurna dan terhindar dari kesalahan, maka tegur sapa dari Pembaca
budiman sangat kami harapkan. Koreksi dan teguran bisa dilayangkan ke eth.thulaib@gmail.com.
Semoga Allah membalas kebaikan orang yang berbuat baik.
Semoga shalawat
dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarganya, dan para shahabatnya.[]
Penerjemah
Pengaruh Ibadah dalam Kehidupan
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئآتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ، فَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّى الْأَمَانَةَ،
وَنَصَحَ الْأُمَّةَ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ، وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
S
|
egala puji milik Allah, kami memuji-Nya,
meminta pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya, serta berlindung
kepada-Nya dari keburukan-keburukan diri kami dan kejelekan-kejelekan amalan
kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, maka tidak ada yang bisa
menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang bisa
memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan
haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya
yang diutus dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (ilmu dan amal) untuk
mengungguli seluruh agama. Beliau telah menyampaikan risalah dan menunaikan
amanah serta menasehati umat. Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam serta
berkah atasnya, keluarganya, dan para shahabatnya, serta orang-orang yang
menempuh jalannya dan mengambil petunjuknya hingga hari Pembalasan. Amma ba’du:
Semoga salam,
rahmat, dan berkah Allah tercurah untuk Anda sekalian, wahai orang-orang muslim
yang sedang mendengar di Amerika. Saya memohon kepada Allah subhanahu wa
ta’ala pertolongan dan kelurusan untuk saya dan Anda sekalian dan memberi
taufik kepada kita semua untuk melaksanakan amalan yang Dia ridhai.
Pembicaraan saya
bersama Anda sekalian ini tentang sebuah tema yang sangat diharapkan oleh para hadirin,
yaitu pengaruh ibadah dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, saya
menyampaikan:
[Definisi dan Macam Ibadah]
اَلْعِبَادَةُ اِسْمٌ
جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللّٰهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ
الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
“Ibadah adalah satu
nama yang mencakup segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya berupa
ucapan-ucapan dan amal perbuatan yang zhahir maupun yang bathin.” [1]
Ini merupakan
pengertian ibadah yang paling bagus dari berbagai pendapat tentang definisi
ibadah.
Ibadah memiliki urgensi
yang agung, karena Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan seluruh
makhluk, mengutus para rasul, dan menurunkan kitab-kitab dengan tujuan
memerintahkan mereka agar beribadah kepada-Nya dan melarang beribadah kepada
selain-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Maksudnya, Allah menciptakan mereka
dengan tujuan memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan melarang
mereka bermaksiat kepada-Nya.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan sungguh telah Kami utus seorang rasul
pada setiap umat untuk mendakwahkan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.’”[3]
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun
sebelummu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada yang berhak
disembah dengan haq kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.”[4]
Ibadah memiliki
banyak jenis, di antaranya: khauf (rasa takut), raja` (rasa
harap), tawakkal, raghbah (berharap, misalnya berharap amalnya diterima),
rahbah (cemas, misalnya cemas amalnya ditolak), inabah (tobat), isti’anah
(minta pertolongan), istighatsah (minta perlindungan), menyembelih,
bernadzar, dan jenis-jenis ibadah lainnya.
Di antara bentuk
ibadah yang lain adalah rukun-rukun Islam yang terkandung dalam hadits Jibril
yang terkenal. Jibril alaihissalam bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang Islam lalu beliau menjawab:
«أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لآ إِلَهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ
اللّٰهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ
الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً»
“Engkau bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan,
dan engkau melaksanakan haji ke Makkah jika mampu.”[5]
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ
وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللّٰهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَآءِ الزَّكَاةِ،
وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ»
“Islam dibangun
di atas lima dasar, yaitu: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, berhaji ke Baitul Haram, dan berpuasa Ramadhan.”[6]
[Syarat Diterimanya Ibadah]
Kemudian, ibadah
harus terpenuhi dua syarat agar diterima. Yang pertama, ikhlas karena
Allah, dan yang ke dua, mutaba’ah
(mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ibadah harus
murni ikhlas karena Allah semata, maka tidak boleh ada sekutu bersama Allah,
dan jenis ibadah apapun tidak boleh ditujukan kepada selain Allah subhanahu
wa ta’ala. Ibadah harus mutaba’ah, maka tidak boleh beribadah kepada
Allah kecuali dengan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah konsekuensi dari syahadat (لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ)
dan (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
اللّٰهِ). Sebab, konsekuensi syahadat
(لآ إِلَهَ إِلاَّ
اللّٰهُ) adalah ikhlas karena Allah semata, sehingga jenis ibadah
apapun tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya, tetapi seluruh ibadah murni
untuk mengharap Wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّٰهِ)
adalah ibadah didasari atas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga Allah tidak disembah dengan cara-cara bid’ah dan perkara-perkara baru
serta mungkar yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah (keterangan)
tentangnya. Namun, ibadah haruslah sesuai Sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kesimpulannnya,
konsekuensi syahadat (لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ) adalah ikhlas karena Allah semata dan konsekuensi syahadat (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّٰهِ)
adalah mutaba’ah. Oleh karena itu, amal apapun harus ikhlas dan mutaba’ah.
Jika tidak terpenuhi dua syarat ini, baik tidak adanya ikhlas atau mutaba’ah,
atau kedua-duanya, maka amal tersebut tertolak dan tidak akan diterima di sisi
Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:
“Dan Kami hadapkan segala amal yang dahulu
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan
(tidak ada artinya dan tidak dianggap).”[7]
Ayat ini
menjelaskan bahwa tertolaknya amal disebabkan tidak adanya keikhlasan.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang penjelasan tertolaknya amal yang
dibangun di atas kebid’ahan:
«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»
“Barangsiapa
yang membuat-buat hal yang baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang bukan
bagian darinya, maka amal tersebut tertolak.”[8] Dalam riwayat
lain:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ»
“Barangsiapa
yang melaksanakan suatu amalan yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalan
tersebut tertolak.”
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ
الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“Sungguh,
barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, maka dia akan melihat
banyak perselisihan. Maka, wajib bagi kalian untuk berpegang pada Sunnahku dan
Sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing. Peganglah ia dan gigitlah dengan
gigi geraham. Waspadalah dari perkara-perkara baru (dalam masalah agama) karena
setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.”[9]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits iftiraaqul ummah (perpecahan
umat) bahwa ada 72 golongan yang akan masuk neraka dan hanya satu golongan saja
yang selamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa
golongan yang selamat ini adalah orang-orang yang berada di atas apa yang
dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
Imam Malik rahimahullah
berkata:
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا
صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Urusan umat
sekarang ini tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang telah
menjadikan baik urusan generasi pertama umat ini.”
Imam Malik rahimahullah
juga berkata:
مَنِ
ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّداً
خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللّٰهَ يَقُوْلُ:
ﮋ ﭺ ﭻ
ﭼ ﭽ ﭾﮊ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْناً
“Barangsiapa
yang membuat-buat bid’ah di dalam Islam yang dia anggap baik, maka dia telah
menuduh Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah telah berfirman, ‘Pada
hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu.’[10]
Maka, apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini bukan
pula agama.”[11]
Tidaklah cukup
seseorang mengucapkan, “Saya akan melaksanakan amalan ini meskipun tidak ada
petunjuknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang penting niat
saya baik.” Dalil tentang tidak bolehnya hal ini adalah ketika sampai berita
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seseorang dari shahabat
beliau menyembelih seekor hewan kurban sebelum shalat ‘Id, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
«شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ»
“Kambingmu
adalah kambing daging biasa.”[12]
Maksudnya,
kambingmu bukan kambing kurban karena tata caranya tidak sesuai dengan Sunnah,
karena Sunnahnya adalah sembelihan kurban dilaksanakan setelah shalat ‘Id.
Adapun menyembelih sebelum shalat ‘Id yang bukan pada waktunya, maka tidak dianggap
(sebagai kurban).
Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah berkata, “Syaikh Abu Muhammad bin Abu Jamrah berkata:
وَفِيْهِ أَنَّ الْعَمَلَ
وَإِنْ وَافَقَ نِيَّةً حَسَنَةً لَمْ يَصِحَّ إِلاَّ إِذاَ وَقَعَ عَلَى وَفْقِ
الشَّرْعِ
‘Dalam hadits
ini terpahami bahwa amal tidak sah meskipun dengan niat yang baik kecuali jika
dikerjakan sesuai syari’at.’”[13]
Hal ini semakin
jelas dengan adanya sebuah riwayat bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu mendatangi orang-orang yang membuat halaqah di masjid. Setiap orang
dari mereka melakukan perhitungan dengan batu kerikil yang dipandu oleh seorang
dari mereka sambil berkata, “Bertasbihlah seratus kali, bertahlillah seratus
kali, dan bertakbirlah seratus kali.” Kemudian mereka menghitung dengan batu kerikil
itu hingga selesai. Saat mereka menghitung dengan batu kerikil, datanglah
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di hadapan mereka lalu berkata:
مَا هَذَا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ؟
“Apa yang sedang
kalian kerjakan yang sedang aku lihat ini?” Mereka menjawab:
يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمٰنِ! حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيْرَ وَالتَّهْلِيْلَ وَالتَّسْبِيْحَ
“Wahai Abu
Abdirrahman! Dengan batu kerikil ini kami menghitung takbir, tahlil, dan
tasbih.” Abdullah bin
Mas’ud menjawab:
فَعُدُّوْا
سَيِّئاَتِكُمْ فَأِنَّا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ، وَيْحَكُمْ
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ! مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلآءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تَكْسُرْ،
وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُوْ بَابِ ضَلَالَةٍ؟!
“Hitung saja kejelekan-kejelekan
kalian. Saya menjamin bahwa kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang sedikitpun.
Celakalah kalian wahai umat Muhammad! Betapa cepatnya kalian tersesat! Para
shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup, baju beliau belum usang, dan
bejananya belum pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah
kalian berada di atas agama yang lebih lurus daripada agamanya Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, ataukah kalian para pembuka pintu kesesatan?!” Mereka
menjawab:
وَاللّٰهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمٰنِ! مَا أَرَدْنَا
إِلاَّ اْلخَيْرَ
“Demi Allah,
wahai Abu Abdirrahman! Kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.” Abdullah bin
Mas’ud menjawab:
وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
“Betapa banyak
orang yang menghendaki kebaikan tetapi ia tidak mendapat-kannya.”[14]
[Bentuk Pengaruh Ibadah]
Adapun pengaruh yang
timbul dari ibadah, diantaranya adalah lapangnya dada, tentramnya keadaan,
luasnya rezeki, sejahtera, nyaman, dan tenangnya jiwa.
Banyak ayat-ayat
al-Qur`an dan hadits-hadits nabawi yang menunjukkan pengaruh-pengaruh tersebut,
dan menunjukkan pula bahwa ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan amal shalih mengakibatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman
dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi.”[15]
Ayat yang mulia
ini mengandung penyebutan ibadah dan penyebutan pengaruh akibat ibadah dalam
kehidupan seorang muslim, yaitu barangsiapa yang bertakwa kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, maka Dia akan memberinya pahala dan rezeki di kehidupan dunia
serta membukakan baginya berkah dari langit dan bumi dengan diturunkannya
hujan, tumbuhnya tanaman-tanaman, dan keluarnya simpanan-simpanan bumi.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman tentang Ahli Kitab:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Qur`an) yang diturunkan kepada mereka
dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari
bawah kaki mereka.”[16]
Yaitu, rezeki
yang Allah turunkan kepada mereka dari langit dengan sebab hujan, begitu pula rezeki
dari bawah kaki mereka berupa tumbuhan dan ladang yang Allah suburkan di muka
bumi, begitu pula simpanan-simpanan bumi yang Allah keluarkan.
Apa yang Allah
sebutkan pada dua ayat tentang penduduk negeri dan Ahli Kitab ini adalah pahala
duniawi karena keimanan dan ketakwaan. Adapun pahala ukhrawi bagi orang-orang
mukmin yang bertakwa, maka Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
“Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan
bertakwa, tentulah Kami hapus kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami
masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan.”[17]
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”[18]
Ini semua adalah
bentuk ibadah. Kemudian, Allah menyebutkan dampak pengaruhnya melalui firman-Nya:
“Niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan
mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar.”[19]
Karena dibaguskannya
amalan-amalan dan diampuninya dosa-dosa di akhirat termasuk pengaruh akibat
ibadah.
Dua ayat yang
mulia ini mengandung penyebutan pengaruh ibadah di dunia dan akhirat. Adapun di
dunia berupa dibaguskannya amalan (perbuatan), taufik, dan kelurusan, serta seseorang
berjalan menuju Allah di atas landasan bashîrah (ilmu dan hikmah),
sementara di akhirat berupa ampunan atas dosa-dosa dan penghapusan kesalahan-kesalahan.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya.”[20]
Di dalam ayat
yang mulia ini terdapat penjelasan bahwa bertakwa kepada Allah berupa beribadah
kepada-Nya dan mentaati-Nya dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya, akan berakibat mendapatkan jalan keluar dari berbagai
persoalan dan kesusahan. Begitu pula, Allah subhanahu wa ta’ala akan
memberi rezeki yang tidak disangka-sangka kepada siapa yang mentaati-Nya.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”[21]
Di antara
pengaruh dari akibat bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah
dimudahkan baginya permasalahan-permasalahannya, menyiapkan baginya jalan-jalan
kebaikan, dan membukakan baginya jalan-jalan yang mengantarkan kepada
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan
pahala baginya.”[22]
Ini adalah sebagian
pahala ukhrawi sebagai akibat dari ketakwaan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.”[23]
Ayat yang mulia
ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka Dia akan memberikan furqân baginya yang bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang bathil, dan menjadikannya berjalan
menuju Allah subhanahu wa ta’ala di atas landasan bashîrah
(ilmu/petunjuk) dan hidayah, dan ini terjadi di dunia. Adapun di akhirat, maka
Dia akan memberikan pahala kepadanya dengan menghapus kesalahan-kesalahannya,
serta mengampuni dosa-dosanya.
Yang semisal
dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân” adalah firman
Allah subhanahu wa ta’ala di akhir ayat tentang hutang-piutang:
“Dan bertakwalah kepada Allah dan Allah
mengajarimu.”[24]
Dan juga firman Allah tentang kisah
Nabi Nuh alaihissalam dan kaumnya:
“Maka, aku katakan kepada mereka: “Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan
untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”[25]
Keutamaan-keutamaan
ini adalah pengaruh akibat ibadah dan ibadah di sini berupa istighfar. Pengaruh
istighfar berdasarkan ayat ini adalah Allah menurunkan hujan yang lebat,
memperbanyak harta-harta dan anak-anak mereka, serta menjadikan kebun-kebun dan
sungai-sungai bagi mereka.
Yang semisal
lain dari ayat ini adalah kisah Nabi Hud alaihissalam dan kaumnya yang
Allah sebutkan dalam firman-Nya:
“Dan (Hud berkata): ‘Hai kaumku, mohonlah
ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan
yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu.’"[26]
Yang semisal
juga adalah apa yang Allah sebutkan dalam firman-Nya tentang Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada
Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik
(terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan
memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan)
keutamaannya.”[27]
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.”[28]
Dalam ayat yang
mulia ini, disebutkan bahwa iman dan amal shalih mengakibatkan manusia hidup
dalam kehidupan yang baik dan bahagia, memakmurkan dirinya dengan ketakwaan
kepada Allah, mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya --semoga shalawat dan salam
serta berkah Allah tercurah atas beliau--, serta mendapatkan pahala yang banyak
di akhirat.
Di antara Sunnah
yang suci yang menjelaskan pengaruh dari dampak ibadah-ibadah dalam kehidupan
seorang muslim adalah hadits mengenai wasiat Nabi yang mulia shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma saat beliau
menasehatinya dengan nasehat yang agung:
«اِحْفَظِ اللّٰهَ يَحْفَظْكَ،اِحْفَظِ اللّٰهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ»
“Jagalah Allah
maka Dia akan menjagamu. Jagalah Allah maka engkau akan mendapati-Nya di
hadapanmu.”[29]
Dalam lafazh
lain milik Imam Ahmad:
«اِحْفَظِ اللّٰهَ يَحْفَظْكَ،
اِحْفَظِ اللّٰهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَيْهِ فِي الرَّخَآءِ يَعْرِفْكَ
فِي الشِّدَّةِ»
“Jagalah Allah,
maka Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di
depanmu. Ingatlah Dia di saat lapang, maka Dia akan mengingatmu di saat sempit.”
Hadits ini
adalah hadits ke sembilan belas dari kitab Arba’in an-Nawawi dan telah
disyarah oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jâmi’ul
Ulûm wal Hikam yang mengandung makna-makna yang sangat berharga. Di dalam
syarah hadits ini, Anda akan mendapatkan banyak faidah mengenai penjelasan
makna-makna per kalimat dalam hadits tersebut.
“Penjagaan Allah
subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya” mengandung dua macam makna, yaitu: yang
pertama, penjagaan Allah pada badannya, hartanya, anak-anaknya, dan
istrinya. Yang ke dua, penjagaan Allah pada agamanya berupa selamat dari
syubhat-syubhat yang menyesatkan dan syahwat-syahwat yang haram, sehingga ia
berada di atas kebenaran dan keistiqamahan dalam masalah agamanya dan dunianya.
Inilah bentuk penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala bagi yang menjaga-Nya.
Adapun bentuk “penjagaan hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala” adalah dengan
menjaga batasan-batasan-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya serta
menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan membalas
penjagaan itu dengan penjagaan pula sesuai jenis amalnya karena (اْلجَزَآءُ مِنْ جِنْسِ
الْعَمَلِ) “balasan itu sesuai dengan jenis amal”.
Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (يَحْفَظْكَ) “niscaya Dia akan menjagamu”, ini adalah bentuk balasan
sebagai akibat dari pengaruh amal shalih yang sesuai dengan jenis amal. Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (اِحْفَظِ اللّٰهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ) “jagalah Allah,
maka engkau akan mendapatiNya di hadapanmu”, maksudnya: engkau akan
mendapati Allah di hadapanmu untuk memandu dan membimbingmu dan menjagamu dari
segala keburukan. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (تَعَرَّفْ إِلَيْهِ فِي
الرَّخَآءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ) “Ingatlah Dia di saat senang, maka Dia akan mengingatmu di
saat susah”, maksudnya: jika engkau telah terbiasa mentaati Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat-saat senang dan bahagia, maka
Allah subhanahu wa ta’ala akan membalasmu dengan menjagamu di saat-saat
susah dan sempit. Yang termasuk memperjelas bahwa barangsiapa yang mengenal
(mengingat) Allah subhanahu wa ta’ala di saat lapang, maka Dia akan
mengenal (mengingat)nya di saat sempit, adalah kisah mengenai tiga orang yang berlindung
di sebuah gua, lalu sebuah batu besar menggelinding dan menutupi pintu gua,
sehingga mereka tidak bisa keluar. Mereka berada dalam lorong gua dalam keadaan
hidup, lalu mereka saling bercakap tentang masalah yang sedang mereka hadapi.
Mereka berpendapat bahwa yang bisa membebaskan mereka dari kesulitan tersebut
adalah mengingat-ingat amal-amal shalih yang dahulu mereka kerjakan semata
karena Allah di saat lapang, lalu bertawassul kepada Allah dengannya untuk
menghilangkan kesulitan yang sedang menimpa mereka. Maka, salah seorang dari
mereka bertawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amal berupa
baktinya kepada kedua orang tuanya. Orang ke dua bertawassul dengan amal berupa
meninggalkan zina pada saat mampu melakukannya. Orang ke tiga bertawassul
dengan amal berupa menjaga upah pekerjanya dan mengembangbiakkannya ketika
pekerja tersebut pergi sebelum mengambilnya, lalu menyerahkannya (kepada
pemiliknya) tanpa menguranginya. Setiap dari mereka bertawassul kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dengan amal shalih mereka yang dahulu mereka kerjakan semata
karena Allah subhanahu wa ta’ala di saat lapang. Kemudian, Allah subhanahu
wa ta’ala menggeser batu besar tersebut sehingga mereka bisa keluar dan
pergi. Kisah tiga orang ini terdapat di Shahih al-Bukhari (no. 2215) dan
Shahih Muslim (no. 2473) dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma.
[Pengaruh Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji]
Kemudian, diantara
bentuk ibadah adalah shalat, [zakat], puasa, dan haji. Tiap-tiap ibadah
tersebut memiliki pengaruh positif dalam kehidupan seorang muslim.
Shalat adalah
tiang agama Islam yang bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan
tali penyambung yang kuat antara hamba dan Rabb-nya.
Apabila
seseorang menjaga shalat-shalatnya di masjid secara berjamaah bersama kaum
muslimin, maka dia telah memperkuat hubungannya dengan Allah subhanahu wa
ta’ala karena selalu menjaga hubungan dengan Allah dalam sehari-semalam.
Dia shalat fardhu lima kali dan ditambah shalat-shalat sunnah, sehingga Allah
akan membalas semua itu dengan menjauhkannya dari perbuatan keji dan mungkar,
karena apabila dia ingin bermaksiat dan ingin mengerjakan perbuatan mungkar, ia
teringat untuk apa dia shalat? Untuk apa dia merutinkan shalat? Padahal ia
melakukan ibadah tersebut untuk mengharapkan pahala dari sisi Allah dan
mengkhawatirkan hukuman dari sisi-Nya. Sehingga, shalatnya mencegahnya dari
perbuatan keji dan mungkar, menjauhkannya dari perbuatan keji dan menjauhkannya
dari perbuatan mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu dapat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar[30].”[31]
Zakat memiliki
pengaruh yang agung, yaitu mensucikan jiwa dari sifat kikir dan bakhil,
mensucikan harta, menjadi sebab harta berkembang dan menjadi banyak, dan
menjadi --sebagaimana yang disebut pada zaman sekarang ini-- at-takâful
al-ijtimâ’i (semacam Lembaga Swadaya Masyarakat), yaitu orang-orang
kaya mengeluarkan harta-harta mereka dan memberikannya kepada orang-orang fakir.
Dengan demikian, orang-orang miskin terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan
mendapatkan makanan pokoknya, lewat sebab hak yang Allah wajibkan atas harta
orang-orang kaya ini.
Dalam hadits
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang disepakati keshahihannya bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْا لِذَلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللّٰهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ،
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَآئِهِمْ»
“Jika mereka
memenuhi itu (memenuhi seruan shalat), maka khabarkan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan sedekah (zakat) dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang
kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang miskin di antara
mereka.”[32]
Dalam
pengeluaran zakat terdapat manfaat yang besar bagi orang-orang kaya dari sisi
mensucikan jiwa-jiwa mereka, mengembangkan harta-harta mereka, diberikannya
pahala atas perbuatan baik kepada saudara mereka sesama muslim yang fakir, papa,
dan susah. Sehingga, dengan sedekah orang-orang kaya ini menjadikan
terpenuhinya kebutuhan mereka dan melapangkan kesempitan mereka.
Allah subhanahu
wa ta’ala mewajibkan zakat dalam harta orang-orang kaya dengan tujuan untuk
memberi manfaat kepada orang fakir, bukan untuk memberi mudharat kepada orang
kaya, yaitu dengan memberikan bagian yang kecil dari hartanya yang banyak yang
telah Allah karuniakan kepadanya. Allah mewajibkan pemberian yang sedikit itu
yang tidak berpengaruh pengeluarannya bagi orang kaya adalah agar ia bisa
memberi manfaat kepada orang fakir yang tak punya dan tidak memiliki harta
apapun.
Termasuk dampak positif
dari pengaruh sedekah dan berbuat baik kepada orang-orang miskin adalah apa
yang tersebut dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«بَيْنَا
رَجُلٌ بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيقَةَ
فُلَانٍ! فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا
شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدْ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ
فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ
بِمِسْحَاتِهِ فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللّٰهِ مَا اسْمُكَ؟ قَالَ فُلَانٌ
لِلِاسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللّٰهِ
لِمَ تَسْأَلُنِي عَنْ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ
الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلَانٍ! لِاسْمِكَ فَمَا
تَصْنَعُ فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا
يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا
وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ» و في رواية: «وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِي الْمَسَاكِيْنِ
وَالسَّائِلِيْنَ وَابْنِ السَّبِيلِ»
“Ketika seorang
laki-laki berada di tanah lapang, tiba-tiba ia mendengar suara di awan, ‘Siramilah
ladang si fulan.’ Setelah itu awan menghilang sehingga hari panas dan air pun
habis, maka ada bagian-bagian tanah yang airnya habis semuanya. Lalu laki-laki
itu mencari air, dan tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di ladangnya sedang
mengalirkan air dengan skopnya. Kemudian laki-laki yang mendengar suara itu
bertanya pada orang yang sedang mengalirkan air di ladangnya, ‘Hai hamba Allah
siapa namamu?’ Dia menjawab dengan nama yang sama terdengar di awan. Lalu orang
itu balik bertanya, ‘Hai hamba Allah, kenapa kamu menanyakan namaku?’ Dia
menjawab, 'Sesungguhnya aku telah mendengar suara di awan yang airnya jatuh di
ladangmu ini, suara itu berbunyi, ‘Siramilah ladang si fulan!’ Yaitu namamu,
apa yang kamu perbuat dengan ladangmu?' Pemilik ladang itu menjawab, ‘Kalau
kamu tanyakan tentang hal itu, maka aku jawab, ‘Sesungguhnya aku selalu
memperhatikan hasil ladangku, lalu aku sedekahkan sepertiganya. Aku makan
sepertiganya dengan keluargaku, dan aku kembalikan sepertiganya untuk modal
ladangku.’” Dalam riwayat lain, “Dan kuberikan sepertiganya
kepada fakir miskin, orang yang meminta-minta, dan ibnu sabil (orang yang dalam
perjalanan dan membutuhkan pertolongan).”[33]
Adapun puasa, ia
juga memiliki pengaruh yang agung dan banyak karena di dalam puasa terdapat
perisai sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«الصِّيَامُ جُنَّةٌ»
“Puasa adalah
perisai.”[34]
Yakni, perisai
dari api neraka dan pelindung darinya di negeri akhirat. Dia juga perisai dari
perbuatan maksiat karena puasa melemahkan gejolak syahwat jiwa sehingga
terkekanglah hawa nafsunya dan terhalangi dari terjatuh dalam ketergelinciran
dan terjatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan yang disebabkan oleh kenikmatan
dan kesenangan yang dinikmati secara berlebihan. Sebab, terkadang dengan sebab
itu jiwa menjadi condong kepada perkara yang dampaknya tidak terpuji di dunia
maupun di akhirat. Untuk itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
«حُفَّتِ الجَّنَّةُ بِالْمَكَاِرِهِ، وَحُفَّتِ
النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ»
“Surga diliputi
dengan hal-hal yang dibenci dan neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai.”[35]
Jalan menuju
surga membutuhkan kesabaran untuk menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dan membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat. Sementara,
jalan menuju neraka diliputi berbagai syahwat.
Apabila
seseorang menjauhkan dirinya dari syahwat-syahwat tersebut, maka dia akan memperoleh
keselamatan, dan apabila mendahulukan syahwat-syahwat tersebut, maka terkadang
dia akan terjatuh dalam hal-hal yang diharamkan dan menjadi kenikmatan yang
disegerakan diawalnya. Namun, akhir kesudahannya adalah kerugiaan, penyesalan, kehinaan,
serta aib di dunia dan akhirat.
Dalam sebuah
hadits yang telah disepakati keshahihannya, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
“Wahai para pemuda[36]! Siapa diantara kalian
yang mampu bâ`ah[37],
maka menikahlah. Sebab, itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
Barangsiapa yang belum mampu, hendaklah berpuasa karena ia akan menjadi tameng
baginya.”[38]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seseorang yang telah mampu menikah
hendaklah bersegera menunaikannya untuk menjaga kehormatan dirinya dan menjaga
kehormatan orang lain. Namun, apabila dia belum mampu hendaklah ia mengambil
terapi nabawi yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yaitu puasa. Sebab, puasa itu bisa menjaga dan membentengi diri dari
terjatuh ke dalam maksiat. Hal ini dikarenakan, puasa menjadikan jiwa lemah dan
ketidakmampuan dari mengerjakan urusan-urusan yang hanya memungkinkan bisa
dikerjakan saat keadaan kenyang dari makan dan minum.
Inilah pengarahan
nabawi yang bagus dari Rasulullah --semoga shalawat yang paling utama dan salam
yang paling sempurna tercurah kepada beliau-- kepada para pemuda untuk menikah
jika telah siap dan mampu, dan apabila belum mampu hendaklah ia mengekang hawa
nafsunya dengan puasa.
Orang-orang kaya
yang berpuasa akan merasakan sakit karena rasa lapar, sehingga mereka mengingat
nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka lalu bersyukur kepada
Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tersadar bahwa mereka memiliki saudara-saudara
yang juga merasakan sakit karena rasa lapar padahal tidak sedang berpuasa,
karena mereka tidak mendapati sesuatu yang bisa menutupi kebutuhan mereka.
Sehingga, luluhlah hati mereka untuk berbuat baik kepada orang-orang miskin,
kekurangan, dan berhajat (sangat membutuhkan).
Adapun haji, ia
juga merupakan ibadah yang agung yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan
bagi para hamba-Nya sekali seumur hidup. Haji merupakan ibadah yang berhubungan
dengan harta dan badan yang memiliki pengaruh yang baik dan tujuan yang terpuji
dalam kehidupan manusia.
Telah datang
hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ
كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ
إلاَّ الْجَنَّةَ»
“Satu umrah ke umrah
lain menghapus dosa yang ada di antara keduanya dan haji mabrur balasannya
tidak lain adalah surga.”[39]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amal yang paling utama, lalu
beliau menjawab:
«الْإِيْمَانُ بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ» قِيْلَ:
ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ» قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ:
«حَجٌّ مَبْرُوْرٌ»
“Iman kepada
Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya kembali, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,
“Jihad di jalan Allah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab, “Haji mabrur.”[40]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
«مَنْ حَجَّ لِلّٰهِ فَلَمْ يَرْفُثْ
وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
“Barangsiapa
melakukan haji karena Allah semata dalam keadaan tidak melakukan ucapan kotor
dan perbuatan kefasikan, maka dia pulang seperti seorang anak yang baru
dilahirkan ibunya (tanpa membawa dosa).”[41]
Haji mabrur
adalah haji yang dikerjakan seseorang sesuai dengan Sunnah Nabi yang mulia shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tandanya adalah keadaannya setelah haji lebih baik
daripada sebelum haji. Apabila keadaan seseorang setelah haji berubah dari
keadaan buruk menjadi baik atau dari keadaan baik menjadi lebih baik, maka itu
merupakan tanda yang jelas bahwa hajinya mabrur.
Kemudian juga,
melaksanakan haji dan umrah mengakibatkan seseorang bisa mendekatkan diri
kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena melaksanakan ibadah-ibadah yang
tidak boleh dikerjakan kecuali di tempat tersebut, seperti thawaf.
Thawaf adalah suatu
ibadah yang Allah jadikan hanya khusus di rumah-Nya al-‘Atiq (Ka’bah). Apabila
seseorang tiba di Makkah, ia berthawaf di al-Bait al-‘Atiq dan
bertaqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ibadah tersebut. Sekiranya
dia belum sampai di Makkah, maka ia tidak boleh bertaqarrub dengan melaksanakan
ibadah tersebut. Sebab, ibadah tersebut tidak diperbolehkan kecuali di sekitar
Ka’bah yang mulia. Dari sini, diketahui bahwa thawaf apapun pada tempat manapun
di muka bumi bukan termasuk yang disyari’atkan Allah subhanahu wa ta’ala,
maka tidak boleh bagi seorang pun berthawaf di kuburan-kuburan dan
tempat-tempat lain selain Ka’bah Musyarrafah.
Di antara yang lain
(ibadah di sekitar Ka’bah) adalah mencium dan mengusap Hajar Aswad dan mengusap
Rukun Yamani. Allah subhanahu wa ta’ala tidak mensyari’atkan bagi
orang-orang muslim untuk bertaqarrub kepada-Nya dengan mencium dan mengusap
batu-batu kecuali yang ada di dua tempat ini. Oleh karena itu, ketika Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya, ia
berkata:
إِِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكِ
حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ
“Sesungguhnya
aku tahu bahwa kamu hanyalah sebuah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan manfaat.
Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan
menciummu.”[42]
Di antara pengaruh
akibat haji dan umrah adalah ketika orang yang berihram menanggalkan pakaiannya
lalu hanya memakai izar (pakaian bawah yang tidak berjahit) dan rida`
(pakaian atas yang tidak berjahit), maka tidak ada bedanya antara si kaya
dengan si miskin. Dengan pakaian ini, ia jadi ingat kain kafannya ketika
meninggal nanti, sehingga ia menyiapkan dirinya untuk beramal shalih yang
merupakan sebaik-sebaik bekal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa.”[43]
Di antara yang
lainnya pula (dari pengaruh ibadah haji dan umrah) adalah bahwa dalam perkumpulan
para haji di Arafah terdapat peringatan tentang perkumpulan manusia di Padang
Mahsyar pada hari Kiamat kelak, sehingga hal ini memotifasi mereka untuk
menyiapkan diri menghadapi hari tersebut dengan amal shalih.
Dalam ibadah
haji, orang-orang muslim dari penjuru timur dan barat saling bertemu sehingga
menjadi saling kenal. Mereka saling memberi nasehat dan saling mengenal keadaan
masing-masing, sehingga mereka saling berbagi kesenangan dan kebahagiaan
sebagaimana mereka saling berbagi kesedihan. Mereka memberi pengarahan kepada
apa yang seharusnya dikerjakan dan saling menolong dalam kebaikan dan takwa
sebagaimana yang telah Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan.
Akhirnya,
ibadah-ibadah yang agung tersebut yang disyari’atkan Allah subhanahu wa
ta’ala dan yang agama hanif dibangun di atasnya, mengakibatkan
pengaruh-pengaruh yang positif dalam kehidupan seorang muslim baik duniawi
maupun ukhrawi.
Saya memohon
kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberi kita semua taufiq untuk
melaksanakan apa yang diridhai-Nya dan menjadikan kita termasuk orang-orang
yang mau mendengar perkataan-perkataan lalu mengikuti perkataan yang paling
baik, dan menjadikan kita orang-orang yang mendapat petunjuk. Sesungguhnya Dia
Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Semoga shalawat
dan berkah serta nikmat Allah subhanahu wa ta’ala tercurah untuk
sebaik-sebaik nabi dan rasul, yaitu Nabi kita, imam kita, penghulu kita,
Muhammad bin Abdillah, dan untuk keluarganya, shahabatnya, dan orang yang
menempuh jalannya dan mengambil petunjuknya sebagai petunjuk baginya. Segala
puji milik Allah Rabb semesta alam.[]
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ
وَبَرَكَاتُهُ
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 8), at-Tirmidzi (no. 2610), Abu Dawud
(no. 4695), an-Nasa`i (no. 4990), Ibnu Majah (no. 63), dan Ahmad (no. 184,
I/314) dari Umar radhiyallahu ‘anhu.
[8] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718) dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[9] Hasan Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676) dari Irbad bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu.
[14] Shahih: Diriwayatkan ad-Darimi
(I/68-69) dalam Sunannya dan tercantum dalam Silsilah as-Shahîhah (no. 2005) oleh al-Albani.
[25] QS. Nûh [71]: 10-12.
[26] QS. Hûd [11]: 52.
[27] QS. Hûd [11]: 3.
[30] [Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fahisyah (keji) adalah
setiap dosa yang dilakukan oleh kemaluan, sedang mungkar adalah setiap dosa
yang dilakukan oleh tangan]
[32] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
1395) dan Muslim (no. 19) dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
[36] [Ahli bahasa mengatakan bahwa dikatakan syâbb (pemuda) jika umurnya
kurang dari 30 tahun]
[37] [Makna asli bâ`ah adalah jima’ dan ada pula yang mengartikannya akad nikah (harta). Para ulama berselisih untuk makna hadits ini menjadi dua pendapat dan
yang paling shahih adalah makna pertama yaitu, “Barangsiapa yang mampu berjima’...”
(Ta’lîq Shahih Muslim (II/1018) oleh Fuad Abdul Baqi secara ringkas)]
[38] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5066)
dan Muslim (no. 1400) dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
[39] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
1773) dan Muslim (no. 1349) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[40] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
26) dan Muslim (no. 83) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[41] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
1521) dan Muslim (no. 1350) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[43] QS. Al-Baqarah [2]: 197.