Download Buku: Panduan Lengkap Shalat Fardhu - Pustaka Syabab
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-panduan-lengkap-shalat-fardhu-lengkap.html?m=0
Panduan Lengkap Shalat Fardhu
Download
====
Judul:
Panduan Lengkap Shalat Fardhu
Penulis:
Nor Kandir, ST
Penerbit:
Pustaka Syabab Surabaya
Cetakan: Pertama,
Jumadil Ula 1438 H/Maret 2017
MUQADDIMAH
Bismillah. Alhamdulillah, segala puji milik Allah yang karena
nikmat-nikmatNya segala amal shalih menjadi sempurna, dan semoga shalawat dan
salam senantinasa tercurah untuk suri tauladan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam yang telah mengajarkan shalat yang dikehendaki Allah, juga untuk
keluarga dan para Sahabatnya yang meriwayatkan ilmi ini hingga sampai kepada
kita.
Buku ini adalah kumpulan dari sebuah rubrik di majalah Masajid dari edisi
tahun pertama dan kedua, yaitu edisi Oktober 2015 sampai Pebruari 2017 pada
Rubrik Sifat Shalat Nabi yang diasuh oleh saya pribadi.
Mengingat penting dan bermanfaatnya pembahasan ini maka saya kumpulkan dan
disebarkan kepada kaum Muslimin. Juga atas permintaan seseorang. Bagi pembaca
yang ingin seri kelanjutan Sifat Shalat Nabi maka bisa membacanya langsung di
Majalah Masajid atau mengunjungi situs resminya www.majalahmasajid.com. Kelebihan buku ini adalah setiap
pembahasan dibahas secara ringan, ringkas, dan memakai bahasa yang mudah
dipahami.
Demikian dan semoga bermanfaat.[]
Surabaya,
Jumadil Awwal 1438 H/Pebruari 2017 M
Nor Kandir,
ST
BAB I WUDHU
A. Tata Cara Wudhu
1.
Pengertian:
Secara bahasa wudhu diambil dari kata (الْوَضَائَةُ) yang maknanya adalah (النَّظَافَةُ) ‘kebersihan’ dan (الْحُسْنُ) ‘baik’. (Syarhul Mumti'
I/148). Sedangkan secara syar'i, wudhu adalah menggunakan air yang thahur (suci dan mensucikan) pada
anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki)
dengan cara yang khusus menurut syari'at. (Al-Fiqh Al-Islami I/208)
2.
Keutamaan:
1. Allah mencintai orang yang gemar berwudhu. Allah berfirman:
إِنَّ اللهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang
bersih.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
2. Bekas wudhu (ghurrah wa tahjil) akan menjadi tanda pengenal umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
sebagaimana sabda beliau:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ القِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ
مِنْ آثَارِ الوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari
Kiamat dalam keadaan ghurran muhajjalin (bercahaya wajah-wajah,
tangan-tangan,
dan kaki- kaki mereka) karena bekas wudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 136 dan Muslim
no. 246)
3. Wudhu akan menghapus dosa-dosa,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ
مِنْ جَسَدِهِ، حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
“Barang siapa yang
berwudhu lalu membaguskannya maka akan keluar dosa-dosanya dari badannya
bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim no. 245)
4. Wudhu akan mengangkat derajat,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
أَلَا أَدُلُّكُمْ
عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا
بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِه
“Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang dengannya
Allah menghapuskan dosa-dosa dan mengangkat
derajat-derajat?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, Ya Rasulullah.” Beliau berkata,
“Sempurnakanlah wudhu pada saat keadaan-keadaan yang dibenci (misalnya musim sangat dingin).” (HR. Muslim no. 251)
5. Dengan wudhu
seseorang bisa masuk Surga dari pintu-pintu Surga yang dia suka, sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ - أَوْ
فَيُسْبِغُ - الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ
لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidak ada seorang
pun dari kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian berdoa: asyhadu allaa ilaaha illAllah
wahdahuu laa syariika lah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
(aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
tidak ada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusanNya) kecuali
akan dibukakan baginya pintu-pintu Surga yang delapan dan dia masuk dari pintu
mana saja yang dia suka.”
(HR. Muslim no.
234)
3.
Hukum Wudhu:
Wudhu hukumnya wajib. Siapa yang belum berwudhu atau tidak sah wudhunya
maka shalatnya juga tidak sah, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak
menerima shalat kalian jika berhadats hingga berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 6954)
4.
Sifat Wudhu Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
Dalil yang paling shahih dan jelas dalam menjelaskan wudhu adalah surat
Al-Maidah ayat 6 dan hadits shahih ‘Utsman bin Affan dan ‘Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhuma.
يأيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا إذَا قُمْتْمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْديَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الِكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang
yang beriman jika kalian berdiri untuk (mendirikan) shalat maka
cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan
basuhlah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata
kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)
Diriwayatkan dari ‘Ustman bin ‘Affan Radhiyallahu
‘Anhu bahwa dia minta bejana air untuk wudhu, lalu menuangkan air membasuh
kedua tapak tangannya tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat
air, lalu berkumur dan menghirup dan mengeluarkan air dari hidung, lalu
membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai siku tiga kali, kemudian
mengusap kepalanya, kemudian membasuh kedua kaki hingga mata kaki tiga kali.
(HR. Al-Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226)
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Zaid Radhiyallahu
‘Anhu ketika ditanya tentang wudhunya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka ia minta mangkok (tempayan)
berisi air, lalu ia wudhu menyontohkan wudhu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia pun memiringkan tempayan
tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu mencuci kedua
tangannya itu tiga kali. Kemudian dia memasukkan (satu) tangannya ke dalam
tempayan lalu berkumur-kumur dan beristinsyaq
(memasukkan air ke dalam lubang hidung dengan menghirupnya) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada
dalam lubang hidung) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian dia
memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali,
kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua
kali hingga kedua sikunya. Kemudian dia memasukkan kedua tangannya dan mengusap
kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke
depan dan ke belakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya.
Dalam riwayat yang lain, “Dia memulai dengan (mengusap) bagian depan
kepalanya hingga ke bagian tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut
hingga kembali ke tempat di mana dia mulai (mengusap).” (HR. Al-Bukhari no. 185
dan Muslim no. 235)
Dari nash ini, kita bisa mengetahui sifat wudhu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut urutannya adalah:
1. Niat
2. Membaca
bismillah
3. Mencuci
tangan 3x
4.
Istinsyaq dan istintsar
5. Membasuh
wajah 3x
6. Membasuh
tangan sampai ke siku 3x
7. Membasuh
kepala berikut telinga 1x
8. Membasuh
kaki sampai ke mata kaki 3x
9. Berdoa setelah berwudhu
Tentunya disertai dengan niat karena ibadah apapun tidak Allah terima
kecuali dengan niat dan ikhlas hanya untukNya. Berikut ulasannya.
1. Niat
Niat artinya adalah menyengaja dan tempatnya di hati. Artinya jika
seseorang hatinya dengan kesadaran tergerak untuk berwudhu maka ia sudah
dikatakan berniat. Demikianlah definisi niat menurut ahli fiqih dan ahli Bahasa Arab.
Niat sendiri hukumnya wajib. Yakni orang yang hendak berwudhu benar-benar
menghadirkan hati bahwa ia sedang berwudhu melaksanakan perintah Allah bukan
karena ingin mendinginkan badan atau membersihkan kotoran.
2. Membaca
Bismillah
Orang yang hendak berwudhu atau saat mencuci tangan hendaklah membaca
bismillah sebagai kesempurnaan berwudhu. Hal ini pula yang diperintahkan para
imam dengan berdalil hadits hasan:
لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada
shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak
membaca basmalah.” (Irwaul Ghalil no. 81)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyuruh para Sahabat untuk membaca basmalah saat berwudhu.
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: sebagian Sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mencari air maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
هَلْ مَعَ
أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ ؟ فَوَضَعَ يَدَهُ فِيْ الْمَاءِ وَ يَقُوْلُ : تَوَضَّؤُوْا
بِاسْمِ اللهِ
“Apakah ada air
pada salah seorang dari kalian?” Maka beliau meletakkan tangannya ke dalam air (tersebut) dan berkata, “Berwudhulah (dengan membaca) bismillah.”
Maka aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau (sebagai
mu’jizat) hingga para Sahabat seluruhnya berwudhu hingga yang paling akhir dari
mereka. Berkata Tsabit, “Aku bertanya kepada Anas Radhiyallahu ‘Anhu, ‘Berapa jumlah mereka yang engkau lihat?’
Jawabnya, ‘Sekitar tujuh puluh orang.’” (HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no.
2279)
3. Mencuci
Tangan
Mencuci tangan ini dilakukan sebelum memasukkan air ke bejana atau kulah.
Jika memakai kran air bisa langsung dinyalakan sambil membaca basmalah. Mencuci
tangan dilakukan sebanyak tiga kali.
Syaikh Ali Bassam berkata, “Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga
ke pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air
tempat wudhu, dan ini merupakan sunnah menurut ijma’.” (Taudihul Ahkam I/161)
4. Istinsyaq dan
Istintsar
Instinsyaq adalah memasukkan air ke hidung untuk
membersihkannya dan istintsar adalah
mengeluarkan air tersebut. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan
keduanya meskipun hanya sekali. Imam Ahmad, Ibnu Abi Laila, dan Ishaq bin
Rahawaih menyebutkan hukumnya wajib. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لِيَنْتَثِرْ
“Jika salah
seorang dari kalian berwudhu hendaklah melakukan istinsyaq untuk membersihkan
hidung dengan air kemudian mengeluarkannya (istintsar).” (HR. Muslim no. 237)
Termasuk satu paket dari ini adalah madzmadzhah
yaitu berkumur-kumur. Hal ini berdasarkan hadits shahih:
إِذَا تَوَضَّأْتَ
فَمَضْمِضْ
“Apakah kamu
berwudhu maka hendaklah berkumur-kumur.” (HR. Abu Dawud no. 144 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
5. Membasuh
Wajah
Hukumnya adalah wajib. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqabalah (saling berhadapan
dan melihat). Batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala
hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga
(secara horizontal). (Taudihul Ahkam
1/170)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam adalah lelaki berjenggot dan beliau menyela-nyela jenggotnya saat
berwudhu dengan air, karena jenggot termasuk bagian wajah yang wajib dibasuh.
Hal ini diberitakan oleh Sahabat Utsman Radhiyallahu
‘Anhu, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyela-nyela jenggotnya ketika berwudhu.” (HR.
At-Tirmidzi no. 31 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Sahabat ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu
‘Anhu pernah berwudhu sambil menyela-nyela jenggotnya dengan air lalu ada
yang bertanya lalu dijawab olehnya, “Sungguh aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyela-nyela jenggotnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 29 dan dishahihkan Syaikh
Al-Albani)
Jika jenggot seseorang sangat lebat dan menutupi kulit dagu maka tidak
mengapa kulit dagu tidak tersentuh air, jika memang kesulitan. Demikian menurut
penjelasan kitab Taudihul Ahkam.
6. Membasuh
Tangan Sampai ke Siku
Tangan dibasuh (dicuci) dari ujung jari hingga siku-siku. Siku-siku harus
kena air. Dimulai dari tangan kanan sebanyak tiga kali kemudian dilanjut tangan
kiri sebanyak tiga kali pula. Hal ini adalah gabungan dari banyak dalil tentang
masalah ini. Diriwayatkan dari Nu’aim bin Abdillah Al-Mujmiri Rahimahullah bahwa dia pernah melihat
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu
membasuh wajahnya dengan sempurna, lalu membasuh tangan kananya hingga naik ke
lengan atas (siku-siku terbasuh) kemudian tangan kirinya hingga naik ke lengan
atas. Kemudian ia berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu.”
(HR. Muslim no. 246)
7. Membasuh Kepala
Serta Dua Telinga
Caranya adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid
terdahulu. Yaitu, kedua tangan dibasahi dengan air lalu tangan tersebut
diusapkan ke rambut kepala dari depan sampai tungkuk lalu kembali hingga di
atas dahi. Setelah itu, tangan tersebut langsung digunakan untuk membersihkan
dua telinga tanpa mengambil air lagi. Hal ini cukup dilakukan satu kali. Namun,
boleh pula sebanyak tiga kali sebagaimana riwayat Utsman terdahulu.
Pada tahapan ini, kepala tidak dicuci tetapi cukup dibasuh (dibasahi). Apa
bedanya dicuci dan dibasuh? Mengguyur air hingga air itu mengalir pada sesuatu
maka ini dikatakan ‘mencuci sesuatu’. Hal ini berbeda dengan membasuh di mana
air tidak mengalir pada sesuatu tetapi cukup dibasuh dengan tangan yang
dibasahi.
Apakah kepala (rambut) diusap semuanya? Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i membolehkan sebagian kepala saja,
sementara Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat wajib seluruh kepala. Pendapat
terakhir ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim dalam Taudhihul Ahkam (I/169), “Syaikhul Islam
berkata: tidak dinukil dari seorang Sahabat pun bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala.
Berkata Ibnul Qayyim: tidak ada sama sekali satu hadits pun yang shahih bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
mencukupkan membasuh sebagian kepala.” Maka, jika tidak ada uzur, lebih baik
membasuh semuanya sebagai bentuk keluar dari perselisihan.
Dalam mengusap telinga maka yang diusap adalah bagian luar dan dalamnya.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abdillah bin 'Amr bahwa ia berkata, “Kemudian
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari
telunjuknya ke dalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya
dengan kedua ibu jarinya.” (HR. Abu Dawud no. 135 dan shahih)
Juga riwayat Miqdad bin Madikarib Radhiyallahu
‘Anhu berkata, “Kemudian beliau membasuh kepalanya dan kedua telinganya
bagian luar dan dalamnya.” (HR. Abu Dawud no. 121)
8. Mencuci Kaki
Kanan Hingga Mata Kaki
Mencuci kaki hukumnya wajib dan termasuk rukun wudhu, sebagaimana yang
Allah sebutkan pada ayat dalam Al-Maidah di atas. Cara mencucinya adalah kaki
diguyur air lalu dicuci dari ujung jari kaki hingga pergelangan mata kaki.
Jari-jari kaki disela-sela dengan jari-jari tangan. Kaki kanan didahulukan
sebanyak tiga kali lalu dilanjutkan kaki kiri sebanyak tiga kali pula.
Yang perlu diperhatikan bahwa kaki dicuci bukan dibasuh, maksudnya kaki
diguyur air hingga mengalir membasahi kulit, bukan sedekar mengusapnya dengan
tangan, apalagi hanya sekedar menutul. Hal ini tidak dibenarkan, berdasarkan
riwayat dari Abdullah bin Amr yang berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertinggal dari kami dalam suatu
safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami) beliau
mendapati kami sedang berwudhu, saat itu masuk waktu ‘Ashar. Kami mengusap (tidak mencuci) kaki-kaki
kami. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam berteriak dengan suaranya yang keras, ‘Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudlu) dengan api
Neraka.’” (HR. Al-Bukhari no. 60 dan Muslim no. 241)
Bagaimana dengan riwayat menyela jari kaki dengan jari kelingking, apakah
ada sunnahnya? Hadits yang membicarakan hal tersebut diperselisihkan oleh pakar
hadits. Maka, yang terbaik adalah tidak membatasi hanya jari kelingking, tetapi
dengan jari manapun boleh.
Menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking maka ini hanyalah
istihsan (anggapan baik) dari para
ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad, “Dalam kitab Sunan
dari Mustaurid bin Syadad berkata: ‘Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dan beliau menggosok
jari-jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya.’ Kalau riwayat ini benar
maka sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam hanya melakukannya sekali-kali. Oleh karena itu sifat
seperti tidak diriwayatkan oleh para Sahabat yang memperhatikan wudhu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti
Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut
ada Abdullah bin Lahiah (yang dinilai lemah).” (Syarhul Mumti' 1/143)
9. Membaca Doa
Usai Wudhu
Doa itu berbunyi:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ
المُتَطَهِّرِينَ
Asyahadu allaa ilaaha illallah wahdahuu laa syariika lah, wa asyhadu anna
muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh. Allahummaj’alnii minattawwabiina waj’alnii
minal mutathohhiriin.
“Aku bersaksi
bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagiNya, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Ya Allah, jadikanlah
aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang
yang membersihkan diri (dari kesyirikan, maksiat, dan najis).”
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengabarkan siapa yang usai berwudhu membaca doa itu maka dia kelak
akan masuk Surga dari pintu Surga mana saja yang dia kehendaki yang berjumlah 8
pintu. (HR. At-Tirmidzi no. 55 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Dalam riwayat Muslim no. 234 memakai lafazh lebih ringkas:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
Asyahadu allaa ilaaha illallah wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rosuuluh.
Seseorang boleh memakai lafazh ini atau yang lebih panjang seperti riwayat
At-Tirmidzi di atas. Boleh pula membaca doa yang lafazhnya sedikit berbeda
dengan kedua ini, asal ada haditsnya. Jika belum ketemu atau belum tahu maka
alangkah baiknya jika kita mengamalkan yang sudah jelas-jelas saja.
Demikian pembahasan akhir dari Sifat
Wudhu Nabi. Semoga kita bisa mengamalkannya. Aamiin. Allahu a’lam.[]
B. Tayammum
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh
(berhubungan badan dengan) perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah [5]: 6)
1.
Pengertian:
Tayammum secara bahasa diartikan sebagai Al-Qosdu (القَصْدُ)
yang berarti maksud. Sedangkan secara istilah dalam syari’at adalah sebuah
peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan
menggunakan sho’id yang bersih,
sebagai pengganti wudhu. Sho’id
adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum baik yang
terdapat tanah di atasnya ataupun tidak. (Syarhul
Mumthi I/231 oleh Al-Utsaimin)
Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi
yang bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun
kering. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam:
جُعِلَتِ
الأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً
“Dijadikan
(permukaan) bumi seluruhnya bagiku dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan
sesuatu yang digunakan untuk bersuci.” (HR. Ahmad no. 22190 dan dinilai hasan shahih oleh Syaikh
Al-Arnauth)
2.
Kapan Boleh Tayammum?
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah
menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan
tayammum dalam Al-Mulakhkhash (hal.
38 dan seterusnya):
ü Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam
perjalanan ataupun tidak.
ü Terdapat air (dalam jumlah terbatas) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang
memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.
ü Adanya
kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh
dari sakit.
ü Ketidakmapuan
menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu bergerak untuk
mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu
bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu shalat.
ü Khawatir kedinginan jika bersuci
dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut.
3.
Cara Tayammum:
Tata cara tayammum Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam dijelaskan oleh ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu
‘Anhu: Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi was Sallam mengutusku untuk
suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang
berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam. Lantas beliau mengatakan:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا.
فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا
ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا
وَجْهَهُ
“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini.” Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali
pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan
(kanan)nya dengan tangan
kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan
kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no.
368)
Dalam riwayat lain:
وَمَسَحَ
وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً
“Dan beliau
mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan.”
Berdasarkan hadits di atas kita dapat
simpulkan bahwa tata cara tayammum Nabi Shallallahu ‘Alaihi was Sallam adalah
sebagai berikut:
ü
Memukulkan
kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan kemudian meniupnya.
ü
Kemudian
menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
ü
Kemudian
menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
ü
Semua
usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan
saja.
ü
Bagian
tangan yang diusap adalah bagian telapak
tangan sampai pergelangan tangan
saja atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu.
4.
Pembatal Tayammum:
Pembatal tayammum adalah sebagaimana
pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak dibolehkan lagi apabila telah
ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air dan telah
adanya kemampuan menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi orang yang
bertayammum karena ketidakmampuan menggunakan air.
Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya yang telah ia kerjakan sebelumnya sah
dan tidak perlu mengulanginya.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu
‘Anhu, “Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan
tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan
bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air
sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat yang telah mereka
kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat
sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka
beliau Shallallahu
‘Alaihi was Sallam mengatakan kepada orang yang tidak
mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu
telah mendapatkan pahala shalatmu.” Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala.” (HR. Abu Dawud no. 338 dan An-Nasa’i
no. 433. Dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Juga hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu:
الصَّعِيدُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ ، وَإِنْ لَمْ
يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ. فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيُمِسَّهُ
بَشَرَتَهُ
“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh Muslim jika ia tidak menemukan air selama
sepuluh tahun. Apabila ia
telah menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya
sebagai alat untuk besuci.” (HR. Ahmad no. 21408). Allahu a’lam.[]
BAB II SHALAT FARDHU
A. Kenapa Harus Mirip Shalat Nabi?
Siapa yang
tidak ingin shalat persis seperti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam? Tentu setiap kita menginginkannya. Hanya sebagian
kalangan telah ridha dan rela shalat
ala kadarnya menurut apa yang mereka lihat turun-menurun dari pendahulu-pendahulunya
tanpa peduli apa gerakan dan bacaan shalat itu benar dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
tidak. Kata mereka, “Yang penting shalat. Titik!”
Nah, pada
kesempatan ini di majalah kecintaan kita ini ada rubrik khusus yang membahas
sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dari takbir hingga salam seolah-olah Anda melihat sendiri shalat
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Agar kita
lebih cinta dan rindu rubrik ini, kami akan sebutkan beberapa hal urgen
(penting) kenapa meniru shalat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam itu sangat penting.
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
umatnya untuk meniru shalat beliau. Diriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersanda:
«صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي»
“Shalatlah kalian seperti shalatku.”
(HR. Ibnu Hibban no. 2131 dan dishahihkan al-Albani dan al-Arnauth)
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja shalat di atas mimbar untuk mengajari para
shahabatnya tata cara shalat yang benar. Ini menunjukkan bahwa bagi para guru
dan ustadz untuk turut mengajari orang tata cara shalat yang benar untuk
mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Diriwayatkan oleh Abu Hazim bin Dinar berkata: saya melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat di atas mimbar, takbir di atasnya, juga ruku’ di atasnya, kemudian turun
mundur dengan pelan lalu sujud di dasar mimbar, kemudian kembali ke atas
mimbar. Setelah selesai beliau menghadap
kepada orang-orang dan bersabda:
«أَيُّهَا النَّاسُ،
إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا وَلِتَعَلَّمُوا صَلاَتِي»
‘Wahai manusia sengaja aku berbuat demikian supaya kalian
mengikutiku dan mempelajari cara shalatku.’” (HR.
Al-Bukhari no. 917 dan Muslim no. 544)
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
orang yang shalatnya amburadul untuk mengulangi shalatnya. Abu Hurairah
bercerita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam masuk masjid lalu masuk pula seorang lelaki. Lelaki itu shalat
dan usai itu mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas salamnya lalu
bersabda:
«ارْجِعْ فَصَلِّ،
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ»
“Ulangi shalatmu karena kamu tadi dianggap belum shalat.”
Lelaki itu mengulangi shalatnya, tetapi setiap kali selesai dikomentari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ulangi shalatmu karena kamu tadi dianggap belum
shalat.” Ini terjadi 3 kali dan setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajari dirinya sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar.”
(HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 397)
Keempat: Allah tidak
menerima ibadah ikut-ikutan tanpa ilmu tetapi Dia hanya menerima ibadah yang
sesuai dengan contoh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»
“Barangsiapa yang mengada-mengada dalam urusan kami ini yang bukan bagian
darinya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Kelima: Di hari Kiamat ada dua orang yang
sama-sama shalat tetapi pahalanya beda jauh sejauh langit dengan bumi. Ini
menunjukkan ada yang tidak beres dengan shalat salah seorang di antara mereka.
Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ
الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا
سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا»
“Sesungguhnya seseorang selesai (dari
shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh shalatnya,
sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya,
seperempatnya, sepertiganya, setengahya.” (HR. Abu Dawud no. 796 dan
dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Beliau mengawali dengan pahala sepersepuluh menunjukkan bahwa kebanyakan
orang shalat pahalanya sepersepuluh karena ketidakberesan shalatnya dan sedikit
sekali yang mendapat pahala setengah, apalagi sempurna.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Hasan bin ‘Athiah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya
ada dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan
(pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi.”
Keenam: Di hari Kiamat ada orang yang
capek-capek ibadah sewaktu di dunia tetapi ibadahnya itu tidak Allah pedulikan,
padahal dia merasa telah beribadah yang terbaik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
«قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا»
“Katakanlah: maukah kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 104)
«وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ
هَبَاءً مَنْثُورًا»
“Dan Kami hadapi
segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23) []
B. Mengenal Apa itu Sutrah?
Sutrah (سترة) artinya pembatas, maksudnya pembatas yang dipasang di depan
orang shalat sebagai tanda tidak boleh ada yang melewatinya. Bentuk sutrah bebas asal memiliki panjang dan
tinggi, seperti tembok, tiang masjid, punggung orang, tas, tongkat, pelana unta
dan kuda, dan lain sebagainya.
1.
Hukumnya:
Sutrah hukumnya wajib tetapi shalat tetap
sah tanpa sutrah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
«لَا
تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ»
“Kamu jangan
shalat kecuali menghadap sutrah.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 800 dan Ibnu Hibban no. 2362. Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dan Syaikh al-Arnauth)
Sebagian ulama memahami perintah di sini adalah sunnah muakkad, seperti Syaikh Bin Baz rahimahullah.
2.
Ukurannya:
Ukuran sutrah yang baik adalah
yang besar dan tinggi. Tinggi minimal sebesar pelana unta/kuda. Hal ini berdasarkan
riwayat Musa bin Thalhah dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا
وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلَا
يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ»
“Apabila seorang
dari kalian meletakkan pelana kendaraan di depannya hendaklah ia shalat dan
tidak perlu pedulikan orang yang lewat di depannya (pelana).” (HR. Muslim no. 499)
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah menjelaskan bahwa
sebenarnya ukuran tadi adalah ukuran pendekatan dan bukan ukuran pastinya.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan dengan tinggi pelana. Padahal tinggi pelana itu
macam-macam. Wallahu a’lam. (Al-Mughni III/82-83)
3.
Jarak Sutrah
dengan Orang Shalat:
Jarak keduanya sekitar tinggi badannya sehingga memungkinkannya sujud
dengan nyaman dan masih sisa sedikit seukuran kambing lewat. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu
‘anhu yang berkata, “Jarak tempat
shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok adalah selebar
kambing bisa lewat (yakni saat sujud).” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim
no. 508)
4.
Bila Ada yang Maksa Lewat:
Bila ada yang bersikeras lewat baik manusia maupun hewan maka ia harus
mencegahnya dengan tangannya meskipun mengakibatkannya banyak bergerak. Bila
orang yang dilarang itu tetap besikeras maka kekuatan mencegahnya ditambah
meskipun berakibat tidak enak hati, karena orang itu sedang terjangkiti setan.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا
كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ
مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ»
“Apabila seorang
dari kalian shalat maka jangan biarkan seorang pun lewat di hadapannya dan
hendaklah mencegah semampunya. Jika ia enggan maka perangilah karena sebenarnya
dia adalah setan.” (HR. Muslim no. 505)
Imam as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan,
“Makna setan di sini ada yang menjelaskan bahwa maknanya perbuatannya
menyerupai setan karena setan jauh dari kebaikan dan menerima sunnah. Ada pula
yang memaknainya bahwa yang dimaksud setan di sini adalah jin qarin yang menyertainya, berdasarkan riwayat hadist lain.” (Dalam
Syarhus Suyuthi II/190)
Andai dia bersabar menunggu hingga shalatnya selesai kemudian baru lewat,
tentu lebih baik baginya. Abu Juhaim radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«لَوْ
يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ
أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ»
“Seandainya
orang yang lewat di depan orang shalat mengetahui apa (dosa/ancaman) padanya,
tentu dia berhenti selama 40 (hari/bulan/tahun) lebih baik baginya daripada
lewat di hadapan orang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 507)
Hukum ini ada keringanan bagi anak kecil yang ikut ke masjid yang kebiasaan
mereka suka berlari-lari di depan shaf
shalat. Riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu dalam Shahih al-Bukhari no. 493, ketika masih kecil dulu berjalan
melewati shaf orang shalat yang
diimami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tetapi tidak dicegah dan dingkari oleh beliau dan para Sahabat.
5.
Bila Kondisnya Menjadi Makmum:
Sutrah wajib bagi orang yang shalat
sendirian dan imam shalat. Sutrah
makmum telah diwakili imam sehingga tidak perlu memasang lagi. Diriwayatkan Shahih al-Bukhari no. 501, kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat
mengimami shalat di tempat terbuka beliau menancapkan tongkat sebagai sutrah dan tidak menyuruh Sahabat
melakukannya.
6.
Bila Masjid Sangat Besar:
Terkadang seorang shalat di masjid besar lalu sutrahnya hilang (misal sutrahnya
punggung orang di depannya), lantas apa yang harus dilakukannya? Dia
maju/mundur/menyamping menuju sutrah
terdekat. Namun, jika tidak memungkinkan atau dikhawatirkan gerakannya banyak
sekali, maka yang bagus adalah diam di tempat. Ini mungkin saja terjadi di
Masjidil Haram Makkah dan Masjid Istiqlal Jakarta.
7.
Bolehkah Sutrah
dengan Garis Saja?
Ini berdasarkan riwayat Imam Ibnu Majah no. 943 dalam Sunannya, “Jika salah seorang dari kalian shalat
hendaklah meletakkan sesuatu di depannya, jika tidak mendapatkan sesuatu
hendaklah menancapkan tongkat, dan jika tidak mendapatkan hendaklah membuat
garis. Setelah itu
tidak akan membahayakannya apa-apa yang melintas di depannya.”
Hanya saja hadits ini diperselisihkan keshahihannya. An-Nawawi dan Syaikh
al-Albani menilainya lemah, sementara yang menilainya hasan adalah al-Hafizh
Ibnu Hajar, Ibnu Hibban, Imam Ahmad, dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Allahu a’lam.[]
C. Niat
1.
Apa Itu Niat?
Niat bahasa arabnya adalah (النية) yang artinya (القصد) “menyengaja” dan menyengaja di sini tempatnya di hati bukan di
lisan. Jadi jika orang menyengaja datang ke masjid untuk shalat maka dikatakan
bahwa dia sudah berniat shalat. Jika orang berdiri hendak takbir shalat dan
sadar bahwa ia menyengaja shalat maka dikatakan bahwa ia sudah berniat shalat,
meskipun lisannya tidak melafazhkan apapun.
Di antara landasan dalil bahwa niat cukup di hati adalah firman Allah subhanhu wa ta’ala:
«وَلَكِنْ
يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ»
“Tetapi Dia
menghukum kalian karena perbuatan hati
kalian.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 225)
Seandainya niat tidak sah kecuali dilafazhkan tentu Allah tidak akan
menghukum mereka.
2.
Di Mana Letak Niat?
Telah disinggung dimuka bahwa tempat niat adalah di hati bukan di lisan.
Imam asy-Syarbini asy-Syafi’i berkata:
وَمَحَلُّهَا
الْقَلْبُ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا
قَطْعًا
“Niat
letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilisankan, juga tidak
disyaratkan untuk dilafazhkan.” (Mughnil
Muhtaj I/620)
Lantas bagaimana dengan niat shalat yang beredar di tengah masyarakat
seperti niat shalat ‘Ashar:
اُصَلِّى
فَرضَ الْعَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
“Sengaja aku shalat fardhu ‘Ashar empat
raka’at menghadap ke kiblat karena Alllah Ta’ala.”
Perlu kita yakini bahwa orang yang shalat tanpa melafazhkan niat ini telah
benar dan sah shalatnya. Sekarang yang kita bahas adalah apakah sah shalat
tanpa melafazhkan lafazh di atas? Ada beberapa poin penting mengenai lafazh
niat ini yang dengan itu memudahkan kita untuk menyimpulkannya.
Pertama, lafazh niat tersebut tidak pernah
dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sementara perintah beliau adalah mengikuti tatacara shalat beliau
bukan tatacara shalat orang lain. “Shalatlah
kalian seperti kalian melihat tatacara shalatku.” (HR. Ibnu Hibban no. 2131
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dan Syaikh al-Arnauth)
Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat orang shalat lalu beliau menyuruhnya shalat
kembali. Karena masih salah beliau pun mengajarinya dan bersabda:
«إِذَا
قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ»
“Apabila kamu
berdiri hendak shalat maka bertakbirlah.” (HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 397)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruhnya langsung bertakbir tanpa didahului lafazh
apapun menunjukkan bahwa melafazhkan niat bukan termasuk perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, Lafazh tersebut tidak terdapat dalam
kitab-kitab hadits terpercaya seperti Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Jami at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasai,
Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab hadits lainnya, bahkan
tidak terdapat di kitab-kitab induk fiqih 4 madzhab (Madzhab Syafi’iyah,
Madzhab Hanafiyah, Madzhab Malikiyah, dan Madzhab Hanabilah) seperti kitab Syarhul Muhadzdzab karya an-Nawawi
asy-Syafi’i, al-Mabsuth 30 jilid
karya as-Sarkhasi al-Hanafi, Bidayatul
Mujtahid karya Ibnu Rusydi al-Maliki, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali. Lantas dari
mana lafazh itu berasal? Memang ada di antara kalangan ulama Syafi’iyah yang
justru menganjurkannya tetapi lafazhnya
bebas, berikutnya pendapat itu dikaji para ulama ternyata mereka salah paham
terhadap ucapan asy-Syafi’i dimana lafazh an-Nuthqi
(melafazhkan) dipahami niat padahal maksud beliau adalah takbiratul ihram, akan datang penjelasannya dalam ucapan Imam Ibnu
Abil ‘Izz al-Hanafi. Ini artinya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, para shahabat, para imam 4 madzhab, dan ulama salaf
terdahulu tidak melafazhkan ini dalam niat shalat mereka. Seandainya lafazh
tersebut adalah kebaikan tentu mereka telah mendahului kita mengamalkannya.
Allah berfirman:
«لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ»
“Kalau sekiranya itu adalah suatu
yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami kepadanya.” (QS. Al-Ahqaf
[46]: 11)
Ketiga, Allah Maha
Melihat dan mengetahui maksud dan tujuan hati kita meskipun tidak kita lafazhkan.
Allah telah menerima niat kita meskipun terpendam di dalam hati. Allah tidak
membutuhkan pendektean karena Dia Maha Melihat dan Tahu isi hati.
«قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم»
“Katakanlah (kepada mereka): Apakah
kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal
Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 16)
Keempat, agama itu mudah
sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
agama itu mudah.” (HR. Al-Bukhari no. 39)
Bagi sebagian
kalangan awam menghafal lafazh tersebut amatlah sulit. Karena agama mudah,
sifat shalat Nabi yang beliau ajarkan tidak mengandung kesulitan.
Kelima, justru para
ulama tidak menganjurkan lafazh niat dikeraskan. Imam Ibnu Abi Izz al-Hanafi
berkata, “Tidak ada seorang ulama pun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam
Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafazh niat. Menurut kesepakatan mereka, niat itu
tempatnya dihati. Hanya
saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazhkan niatnya dalam shalat. Dan
pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam an-Nawawi rahimahullahu berkata bahwa itu tidak benar.” (Al-Itbaa’ 62)
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar as-Syafi’I (seorang pembesar
ulama mazhab Syafi’i), ia berkata, “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum
tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu
menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah shalat, maka hukumnya
haram. Barangsiapa
yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru.”
(Al-A’lam III/194)
3.
Kesimpulan:
Niat artinya
menyengaja (krentek hati) dan
tempatnya di hati bukan di lisan, sehingga orang yang menyengaja shalat telah
disebut berniat meski tidak melafazhkannya. Orang yang meninggalkan
lafazh-lafazh niat yang beredar tidak tercela karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
shahabat, dan 4 imam madzhab fiqih, serta ulama salaf lainnya juga tidak
menggunakannya. Allahu a’lam[]
D. Iftitah
1.
Apa Itu Istiftah?
Istiftah (استفتاح) artinya pembukaan dan
nama lainnya Iftitah (افتتاح) tetapi yang pertama lebih
masyhur secara bahasa. Dinamakan demikian karena doa ini dibaca setelah takbiratul ihram (takbir pertama)
seolah-olah ia merupakan pembuka shalat setelah takbiratul ihram. Ia dibaca dengan suara lirih atau pelan.
2.
Apa Hukum Istiftah?
Hukumnya sunnah, artinya seseorang tetap sah shalatnya meskipun tidak
membaca doa ini. Membacanya menjadikan shalatnya lebih sempurna dan berkualitas
karena mencontoh sifat shalat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jika makmum masbuq
(ketinggalan takbiratul ihram) dan
imam hendak rukuk, maka yang dibaca adalah al-Fatihah karena ia wajib sementara
Istiftah sunnah. I
3.
Ragam Bacaan Istiftah:
Doa Istiftah memiliki banyak macam atau ragam. Terkadang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca yang ini dan terkadang membaca yang itu. Di antara ragam doa ini adalah
sebagai berikut:
Pertama, Istiftah
yang diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma:
«اللهُ
أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا»
“Allahu Mahabesar, segala puji yang banyak milik Allah, dan Mahasuci Allah
di waktu pagi dan petang.”
Keutamaan doa itu dituturkan Ibnu ‘Umar sendiri, “Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ada
seorang lelaki yang berdoa Istiftah (seperti lafazh di atas) lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu
langit.’ Aku tidak pernah meninggalkan doa ini
sejak beliau berkata demikian.” (HR. Muslim no. 601)
Demikian lafazhnya yang shahih hanya sampai pada lafazh (وَأَصِيلًا).
Kedua, Istiftah
yang biasa dibaca
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam shalat fardhu, yaitu:
«اللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ،
اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ،
اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ»
“Ya Allah
jauhkan antaraku dengan dosa-dosaku seperti Engkau jauhkan antara timur dengan
barat. Ya Allah bersihkanlah dosa-dosa seperti baju putih dibersihkan dari
kotoran. Ya Allah cucilah dosa-dosaku dengan air, salju, dan es.” (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 598)
Doa ini
adalah doa yang paling shahih diantara doa Istiftah
lainnya, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (II/183).
Ketiga, lafazhnya adalah:
«الْحَمْدُ
لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ»
“Segala puji milik Allah dengan pujian yang banyak, baik, dan penuh
berkah.” (HR. Muslim no. 600)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar tentang sahabat yang membacanya, “Aku melihat dua belas malaikat bersegera
menuju kepadanya. Mereka saling berlomba untuk mengangkat doa itu (ke langit).”
Keempat, bacaan di mana ‘Umar mengeraskannya
saat membacanya, yaitu:
«سُبْحَانَكَ
اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ»
“Mahasuci Engkau
ya Allah dengan pujian kepadaMu. Mahasuci namaMu, Mahatinggi kemulianMu, dan
tiada tuhan yang berhak disembah selainMu.” (HR. Muslim no. 399)
Keenam, lafazhnya:
«اللَّهُ
أَكْبَرُ 3x» «ذُو الْمَلَكُوتِ
وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ»
“Allah Mahabesar
3x, Pemilik semua kerajaan, kekuatan, kesombongan, dan keagungan.” (HR. Abu Dawud no. 874 yang
dishahihkan Syaikh al-Albani)
Kesebelas, lafazhnya:
«وَجَّهْتُ
وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ،
إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ،
لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ
الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي،
وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا
أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ،
لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ،
أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ»
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha
Pencipta langit dan bumi sebagai Muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk
orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku,
hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Oleh
karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang berserah
diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada tuhan
yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji. Engkaulah
Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku sendiri dan kuakui
dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada
yang bisa mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Tunjukilah aku akhlak yang
terbaik. Tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Jauhkanlah
akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup
menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Aka patuhi segala perintahMu, dan akan
aku tolong agamaMu. Segala kebaikan berada di tanganMu. Sedangkan keburukan
tidak datang dari Mu. Orang yang tidak tersesat hanyalah orang yang Engkau beri
petunjuk. Aku berpegang teguh denganMu dan kepadaMu. Tidak ada keberhasilan dan
jalan keluar kecuali dari Mu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampunan
dariMu dan aku bertobat kepadaMu.” (HR. Muslim no. 771)
Demikian ragam bacaan doa Istiftah.
Jika memungkinkan bagi kita untuk membaca variasi doa istiftah ini di shalat-shalat kita. Terkadang memakai lafazh yang
ini dan di shalat berikutnya memakai lafazh yang itu. Namun, jika tidak mampu
maka tidak mengapa hanya satu lafazh saja karena agama Islam adalah agama yang
mudah. Allahu a’lam.[]
E. Al-Fatihah dan Surat Pendek
Pada edisi terdahulu kita telah membahas ragam bacaan istiftah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang
al-Fatihah dan surat pendek.
1.
Apa Hukum Membaca al-Fatihah?
Para ulama sepakat bahwa membaca al-Fatihah hukumnya wajib karena ia
merupakan wajib shalat. Siapa yang sengaja tidak membaca al-Fatihah maka
shalatnya batal dan wajib mengulanginya. Dasar hukum ini adalah sabda Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
“Tidak sah
shalat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah.” (HR. Al-Bukhari no. 756 dan Muslim no. 397)
Menurut sebuah pendapat —dan ini yang terkuat Allahu a’lam—, surat
al-Fatihah dibaca pada semua rakaat shalat. Adapun jika imam membaca jahr (suara keras) maka al-Fatihah
dibaca makmum secara lirih setelah imam selesai al-Fatihah. Pendapat ini
dikuatkan dengan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat dengan para shahabatnya. Ketika selesai shalat
beliau menghadap para shahabatnya lalu bersabda, “Apakah kalian membaca dalam shalat kalian di belakang imam saat imam
membaca?” Mereka diam lalu beliau mengulanginya hingga tiga kali lalu ada
yang menjawab, “Kami memang melakukannya.” Lalu beliau menjawab:
فلاتَفْعَلُوا، وَلْيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ، بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
فِي نَفْسِهِ
“Kalian jangan
lakukan. Tetapi hendaklah kalian membaca al-Fatihah di dalam hatinya (suara
lirih).” (HR. Ibnu
Hibban no. 1844 dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani, Syaikh al-Arnauth,
dan Syaikh al-Wadi’i)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruh makmum membaca al-Fatihah meskipun imam telah
membacanya tetapi di dalam hati atau suara lirih agar tidak mengganggu yang
lain.
2.
Bagaimana Bila Masbuq?
Jika dia masbuq (ketinggalan
takbiratul ihram) dan mendapati imam mulai ruku lalu ia mengikutinya, maka ia
sudah mendapatkan satu rakaat meskipun belum sempat membaca al-Fatihah. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Abu Bakrah radhiyallahu
‘anhu bahwa dia sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam keadaan beliau sedang rukuk, kemudian ia rukuk
sebelum masuk shaf (dan berjalan menuju shaf sambil ruku), kemudian ia
menyampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, ‘Semoga
Allah menambahkan semangat beribadah bagimu, tetapi jangan kamu ulangi itu
lagi.’” (HR. Al-Bukhari no. 783)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu untuk mengulangi shalatnya, padahal dia belum
sempat membaca al-Fatihah karena masbuq.
Ini menunjukkan shalatnya tetap sah dan terhitung satu rakaat.
3.
Bagaimana Jika Belum Hafal Al-Fatihah?
Bagi yang belum hafal karena uzur atau alasan yang dibenarkan seperti mualaf (baru masuk Islam), sudah tua,
belum bisa, tidak ada yang mengajari, atau uzur lainnya, maka boleh baginya
membaca surat lain yang dihafalnya. Jika tidak juga hafal, maka boleh diganti
dengan dzikir-dzikir seperti subhanallah,
alhamdulillah, Allahu akbar. Ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ، وَإِلَّا فَاحْمَدِ
اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ
“Jika kamu
memiliki hafalan al-Qur`an, bacalah ia. Jika tidak, hendaklah kamu bertahmid,
bertakbir, dan bertahlil.” (HR. At-Tirmidzi no. 302 dan Abu Dawud no. 861. Dinilai shahih oleh Syaikh
al-Albani)
4.
Surat-Surat Yang Pernah Dibaca Rasulullah
Bacaan surat setelah al-Fatihah bebas dan boleh yang pendek maupun yang
panjang sesuai kemaslahatan.
Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau pernah membaca dalam shalat Shubuh surat Qaf, as-Sajdah, al-Insan, dan al-Zalzalah. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu dia berkata:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam membaca pada shalat Shubuh, ‘Qaf
wal Qur’an al-Majid’ (surat Qaf).”
(HR. Muslim no. 458)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu
dia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam shalat Shubuh membaca: ALIF
LAAM MIIM TANZIIL AS-Sajadah (Surah as-Sajadah), dan HAL ATAA ‘ALAL INSAANI
HIINUM MINAD DAHRI (Surah al-Insaan).” (HR. Al-Bukhari no. 891 dan
Muslim no. 879)
Dari seorang laki-laki dari Juhainah dia berkata: “Bahwa dia telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca
dalam shalat Shubuh: IDZA ZULZILATIL-ARDHU ZILZALAHA, pada kedua rakaatnya.”
(HR. Abu Daud no. 816 dan dinyatakan shahih oleh Syaikh
al-Albani)
Bacaan dalam shalat Zhuhur dan ‘Ashar adalah al-Lail. Dari Jabir bin
Samurah radhiyallahu anhu dia
berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam membaca dalam shalat Zhuhur ‘Wal-laili idza yaghsya’, dan dalam shalat
‘Ashar membaca surat semisal itu panjangnya. Sementara dalam shalat Shubuh beliau membaca surat yang lebih
panjang dari itu.” (HR. Muslim no. 459)
Rasulullah pernah membaca at-Thur dalam shalat Maghrib. Dari
Jubair bin Muth’im radhiyallahu anhu
berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
membaca surat Ath-Thur dalam shalat Maghrib.” (HR.
Al-Bukhari no. 765 dan Muslim no. 463)
Rasulullah pernah membaca at-Tin dalam shalat Isya. Al-Bara’
bin Azib radhiyallahu anhu
berkata: “Saya pernah
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat shalat Isya membaca ‘WATTIINI
WAZZAITUUN (surat At-Tin). Dan belum pernah kudengar seorang pun yang lebih
indah suaranya, atau bacaannya, daripada beliau.” (HR.
Al-Bukhari no. 766 dan Muslim no. 464)
Allahu a’lam.[]
F. Ruku
1.
Pengertian:
Rukuk artinya membungkukkan punggung sehingga sejajar dengan kepala dengan
sempurna. Rukuk merupakan rukun shalat. Siapa yang mendapati satu rukuk sebagai makmum, maka dia telah mendapat satu rakaat.
2.
Tata Cara Rukuk:
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya dengan kuat sambil merenggangkan jari-jarinya,
seolah-olah mencengkramnya. Hal ini
berdasarkan hadits shahih, “Jika
rukuk,
beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.”
(HR. Abu Dawud
no. 731)
Dalam riwayat shahih lainnya disebutkan, “Kemudian beliau rukuk dan
meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan beliau menggenggam kedua
lututnya tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 734 dan
at-Tirmidzi
no. 260)
Saat rukuk, kepala
dijadikan sejajar dengan punggung. Hal ini berdasarkan hadits shahih, “Ketika
rukuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membuat kepalanya terlalu
menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung),
yang beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu
Majah no. 1061 dan Abu Dawud no. 730)
Karena saking sejajarnya antara punggung dan kepala, seolah-oleh air tidak
tumpah jika ditaruh di atasnya. Ini berdasarkan hadits shahih, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ketika rukuk,
punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu
akan tetap diam.” (HR. Ibnu Majah no. 872)
3.
Harus Thumakninah:
Thumakninah artinya tenang. Maksudnya, tenang saat turun ke rukuk, tenang
saat sempurna rukuk, dan tenang dalam membaca bacaan rukuk, tidak tergesa-gesa.
Orang yang terbiasa tidak thumakninah dikhawatirkan batal pahala shalatnya. Ini
berdasarkan hadits shahih, “Wahai kaum
Muslimin, tidak sah shalat bagi mereka yang tidak meluruskan punggungnya ketika
rukuk dan sujud.” (HR. Ahmad no. 16297 dan Ibnu Majah no. 871)
Orang yang
terlalu cepat shalatnya, sehingga tidak tumakninah disebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai orang yang
mencuri ketika shalat, berdasarkan hadits:
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْرِقُ صَلَاتَهُ؟ قَالَ: لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا
وَلَا سُجُودَهَا
“Pencuri yang paling jelek adalah orang yang mencuri
shalatnya.” Setelah ditanya maksudnya, beliau
menjawab, “Merekalah
orang yang tidak sempurna rukuk dan sujudnya.”
(HR. Al-Hakim no. 835
dan dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi)
Ancaman yang lebih keras disebutkan dalam hadits shahih, “Sesungguhnya (ada)
seseorang shalat
selama 60
tahun, namun tidak ada satu shalat pun yang diterima. Barangkali orang itu menyempurnakan
rukuk
tapi tidak menyempurnakan sujud. Atau menyempurnakan sujud, namun tidak
menyempurnakan rukuknya.” (HR. Al-Ashbahani dalam at-Targhib dan ash-Shahihah
no. 2535)
4.
Ragam Bacaan Rukuk:
Membaca “subhana robbiyal ‘azhim” atau ditambah “wa
bihamdih”:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ
“Maha
Suci Rabb-ku
Yang Maha Agung.” (HR. Muslim no. 772)
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
“Maha Suci Rabb-ku Yang Maha
Agung dan pujian untukNya.” (HR. Abu Dawud no. 870)
Boleh dibaca sekali, 3 kali, atau lebih dari 3 kali. Imam Ahmad berpendapat
minimal satu kali. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits
dengan penyebutan membaca tiga kali diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat.
Namun boleh-boleh saja membaca dzikir tersebut lebih dari tiga kali. (Shifat Shalat Nabi hal. 115)
Selain 2 bacaan di atas, masih ada ragam bacaan rukuk lainnya. Di
antaranya:
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
“Maha Suci lagi Maha
Bersih, Tuhan para malaikat dan Jibril.” (HR. Muslim no. 487)
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي
“Maha Suci
Engkau ya Allah Tuhan kami, segala puji hanya bagiMu, maka ampunilah aku.” (HR. Al-Bukhari no. 817 dan Muslim
no. 484)
Rasulullah sering mengucapkan zikir di atas dalam rukuk dan sujudnya, dalam
rangka mengamalkan perintah Allah kepada beliau dalam Al-Qur’an, yaitu
firmanNya, “Maka bertasbihlah memuji
Rabbmu dan mintalah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha
Menerima taubat.” (QS. An-Nashr [110]: 3)
اللهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ،
خَشَعَ لَكَ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعِظَامِي وَعَصَبِي
“Ya Allah, hanya untukMu aku rukuk, hanya
kepadaMu aku beriman, dan hanya untukMu aku berserah diri. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, dan urat
sarafku
tunduk kepadaMu.” (HR. Ahmad
no. 728 dan dishahihkan Syaikh Al-Arnauth)
سُبْحَانَ
ذِيْ الْجَبَرُوْتِ وَالْمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Maha Suci Dzat Yang memiliki kekuasaan untuk memaksa, Yang memiliki segala sesuatu,
Yang memiliki kesombongan dan keagungan.” (HR. Abu Dawud no. 873)
5.
Lama Rukuk:
Ketika shalat, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjadikan rukuk, bangkit setelah rukuk, sujud, dan duduk
di antara dua sujudnya hampir sama lamanya. Hal ini sebagaimana
disebutkan oleh hadits al-Bara’ Ibnu ‘Azib radhiyallahu ‘anhu
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 792 dan Muslim no. 1057. Adapun imam, dianjurkan menyesuaikan
kondisi jamaah. Tidak boleh dia memaksakan lama dalam rukuk sehingga makmum
merasa keberatan, karena barangkali ada yang sakit, sudah tua, atau sibuk
banyak urusan. Allahu a’lam.[]
G. Sujud
1.
Pengertian:
Seseorang turun dari i’tidal dan tasmi’ (ucapan
sami’a Allahu liman hamidah) lalu turun dengan menjatuhkan tangan (atau kedua lutut) ke lantai dengan
menempelkan 7 anggota sujud. Tujuh anggota sujud yaitu (1) muka (kening, dahi, dan
hidung), (2,3) dua telapak tangan, (4,5) dua lutut, (6,7) dua ujung jari kaki.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
أُمِرْتُ
أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى
أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh
bagian anggota badan: (1) dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan
tangannya), (2,3) dua (telapak) tangan (kanan dan kiri), (4,5) dua lutut
(kanan
dan kiri),
dan (6,7) ujung dua kaki
(kanan
dan kiri). ”
(HR. Al-Bukhari
no. 812 dan Muslim no. 490)
Imam Nawawi Rahimahullah
berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, shalatnya
berarti tidak sah.” (Syarh Shahih Muslim IV/185)
2.
Tata Cara Sujud:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam meletakkan kedua tangannya ke lantai sebelum kedua lututnya, badan
turun condong ke depan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua tangan
terlebih dahulu baru kemudian meletakkan kedua lututnya dan kemudian meletakkan
kepala dengan menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke lantai di
antara dua tangan (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga). Hal ini
berdasarkan hadits, “Apabila salah
seorang di antara
kalian sujud, janganlah ia turun seperti unta menderum, hendaklah ia meletakkan
kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
(HR.
Abu Dawud dan
An-Nasa'i)
Terkadang
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
meletakkan tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya dan
menghadapkannya ke arah kiblat.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)
“Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya.” (HR. At-Tirmidzi)
“Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun
telinganya.” (HR. An-Nasa'i)
Kedua
lengan/siku tidak boleh ditempelkan pada lantai, tetapi diangkat
dan dijauhkan dari sisi rusuk/lambung. Ini berdasarkan riwayat dari Abu Humaid As-Sa'di bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila sujud
maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya
dari dua sisi perutnya, tangannya ditaruh sebanding/sejajar dua bahu
beliau. (HR. At-Tirmidzi)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Luruskanlah kalian
dalam sujud dan jangan menghamparkan kedua lengannya seperti anjing
menghamparkan kakinya.” (HR. Al-Bukhari)
Menjauhkan
perut/lambung dari kedua paha. Dari Abi Humaid tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata,
“Apabila
beliau
sujud maka
beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya.” (HR. Abu Dawud)
Menegakkan
telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara dua tumit. ‘Aisyah berkata, “Aku kehilangan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
padahal beliau sebelumnya tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah
sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya
ke kiblat.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu
Huzaimah)
Thumakninah yakni tidak tergesa-gesa dan
lama sujud
disesuaikan dengan lama rukuk, i’tidal, dan duduk antara dua sujud. “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan
rukuk, berdiri setelah rukuk (i’tidal), sujudnya, dan duduk antara dua sujud
hampir sama lamanya.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Sujud boleh langsung di atas tanah/lantai atau di atas alas. “Para
shahabat shalat
berjama'ah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada cuaca
yang panas. Bila ada yang tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka
membentangkan kainnya kemudian sujud di atasnya.” (HR. Muslim)
Saat sujud dilarang membaca Al-Qur’an. Beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa aku
dilarang membaca Al-Qur’an sewaktu rukuk dan sujud.” (HR. Muslim)
3.
Bacaan Sujud:
Bacaan sujud adalah subhaana rabbiyal a’laa atau
ditambahi wa bi hamdih. Hal ini berdasarkan hadits dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia pernah
shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, lantas beliau mengucapkan ketika rukuk ‘subhanaa robbiyal ‘azhim’ dan ketika sujud beliau mengucapkan:
سُبْحَانَ
رَبِّىَ الأَعْلَى
“Maha Suci Rabbku
Yang Maha Tinggi.” (HR. Muslim no. 772
dan Abu Dawud
no. 871)
Begitu pula
boleh mengucapkan:
سُبْحَانَ
رَبِّىَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi dan pujian
untukNya.” Ini dibaca tiga kali.
(HR. Abu Dawud
no. 870 dan dinilai
shahih oleh Syaikh
Al-Albani)
Boleh juga banyak membaca dalam sujud:
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika,
allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian
untuk-Mu, ampunilah aku).” (HR. Al-Bukhari no. 817 dan
Muslim no. 484)
Ragam bacaan sujud lainnya:
سُبُّوحٌ
قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ
“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati
war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh
-Jibril-).” (HR. Muslim no. 487)
4.
Bangun Dari
Sujud Pertama:
Setelah sujud
pertama ‑—dimana
dalam setiap raka'at
ada dua sujud-—
kemudian bangun untuk melakukan duduk antara dua sujud. Dalam bangun dari sujud
ini disertai dengan takbir dan (boleh) kadang mengangkat tangan. (HR. Ahmad dan
Al-Hakim). “Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
5.
Duduk Antara
Dua Sujud:
Duduk ini
dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada raka'at pertama
sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, yaitu (1) duduk
iftirasy (duduk dengan meletakkan
pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan) dan (2) duduk iq'ak (duduk dengan menegakkan kedua
telapak kaki dan duduk di atas tumit). Hal ini berdasar hadits dari ‘Aisyah
berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan dan beliau melarang
dari duduknya setan.” (HR. Muslim)
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terkadang
duduk iq'ak.” (HR. Muslim)
Saat duduk antara dua sujud ini diharuskan telapak
kaki kanan ditegakkan dan jarinya di arahkan ke kiblat. Hal ini berdasarkan hadits, “Beliau menegakkan (telapak) kaki
kanannya.”
(HR. Al-Bukhari) dan hadits, “Beliau menghadapkan
jari-jemari (kaki)nya
ke kiblat.”
(HR. An-Nasai).
Pembahan ini banyak mengacu ke kitab Shifat
Shalah Nabi karya Syaikh Al-Albani Rahimahullah.
Allahu a’lam.[]
H. Tasyahud Awal
1.
Pengertian:
Tasyahud seakar dengan kata syahadat. Dinamai demikian —Allahu a’lam— karena dalam duduk
tasyahud ada bacaan dua kalimat syahadat. Tasyahud termasuk rukun shalat. Dalam
‘duduk tasyahud’ seseorang membaca dua kalimat, yaitu kalimat tahiyyat dan shalawat. Lafazh kedua kalimat ini akan disebutkan nanti. Tasyahud
ada dua, yaitu tasyahud awwal dan tasyahud akhir. Pada kesempatan ini akan
dibahas yang pertama.
2.
Tata Cara:
Cara duduk tasyahud awwal adalah iftirasy
(duduk di atas telapak kaki kiri) dengan posisi kaki kanan ditegakkan dan
jari-jarinya menghadap qiblat. Hal ini berdasarkan
hadits shahih dari
Abi Humaid As-Sa’idi riwayat Abu Dawud yang telah disebutkan pada edisi sebelumnya.
3.
Lafazh Tahiyyat:
Terdapat beberapa lafazh tahiyyat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Minimal
ada tiga variasi. Artinya seseorang boleh membaca yang ini maupun yang itu. Di
antaranya adalah tahiyyat riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ
، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat.
Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu
‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah
wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat,
shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh
hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya
dan utusan-Nya).” (HR. Al-Bukhari no. 6265)
Versi tahiyyat riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma:
التَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ
“At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat
lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh.
Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha
illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala
ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat
Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami
dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).”
(HR. Muslim no. 403)
Demikian lafazh yang shahih dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Boleh pula lafazh (السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ) diganti (السَّلاَمُ
عَلَيْ النَّبِىُّ).
Hal ini menurut penelitian Ibnu Hajar Rahimahullah
dalam Al-Fath dari berbagai riwayat.
Adapun menurut fatwa Lajnah Da’imah no. 8571 dan Syaikh Bin Baz Rahimahullah tidak mengapa tanpa diganti
karena lebih sesuai meniru jumhur Sahabat.
4.
Kapan Mengangkat Telunjuk?
Mengangkat jari telunjuk tangan kanan boleh dilakukan di awal tahiyyat
atau dimulai sejak syahadatain (pada
kalimat illallah) lalu diturunkan
ketika akan bangkit ke raka’at ketiga atau sampai salam untuk tasyahud akhir.
Imam An-Nawawi dari Madzhab Syafi’i dalam Syarh Shahih Muslim (V/73-74) menyatakan, “Berisyarat dengan
jari telunjuk dimulai dari ucapan ‘illallah’
dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan dengan jari tangan kanan, bukan yang
lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari
lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan yang lain, tidak pula dengan
jari tangan kiri. Disunnahkan agar pandangan tidak
lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang disebutkan dalam
Sunan Abi Dawud
yang menerangkan hal tersebut. Isyarat tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat
tersebut untuk menunjukkan tauhid dan ikhlas.”
Sebagian kalangan ulama berpandangan jari telunjuk yang diangkat ini boleh
digerakkan-gerakkan pelan naik-turun mirip seperti getaran benda. Hal ini
berdasarkan hadits shahih riwayat Wa’il bin Hajr Radhiyallahu ‘Anhu dari Zaidah bin Qudamah yang dinilai tsiqah (terpercaya). Hanya saja, di
dalam riwayatnya yang terdapat tambahan “beliau menggerak-gerakkannya” ini
menyelisihi perawi tsiqah lainnya
yang meriwayatkan tanpa lafazh tersebut. Alhasil, hal ini termasuk khilafiyah
sehingga tidak boleh saling menyalahkan, yakni boleh digetarkan dan boleh pula
tidak.
5.
Lafazh Shalawat:
Lafazh shalawat yang shahih dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ada beberapa variasi. Di antara variasi yang shahih
adalah riwayat Ka’ab bin Ujrah Radhiyallahu
‘Anhu:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah
limpahkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah
melimpahkannya atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sungguh Engkau Maha Terpuji
dan Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau
memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Mulia.”
(HR. Al-Bukhari no. 3370 dan Muslim no. 406)
Ada pula variasai lainnya dari riwayat Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘Anhu:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Rasulullah,
bagaimana cara
kami membaca
shalawat
atasmu?”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ya Allah limpahkan shalawat
atas Muhammad, istri-istrinya, dan keturunannya sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat
atas
keluarga Ibrahim.
Dan berkahilah
Muhammad, istri-istrinya, dan keturunannya sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim. Sungguh Engkau
Maha Terpuji dan Mulia.’” (HR.
Al-Bukhari no. 3369 dan Muslim no. 407)
Jika tidak sempat membaca shalawat di atas, minimal membaca:
اللّهُمَّ
صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ
“Allahumma
sholli ‘ala Muhammad (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah pada
Muhammad).” (Raudhatuth Thalibin I/187)
Allahu a’lam.[]
I. Tasyahud Akhir
Pada tasyahud awal membaca dua
bacaan yaitu tahiyyat dan shalawat. Adapun pada tasyahud akhir ini membaca dua tadi
ditambah doa-doa. Untuk memudahkan Pembaca, bacaan tahiyyat dan shalawat
akan dicantumkan di sini secara ringkas.
1.
Lafazh Tahiyyat:
Terdapat beberapa lafazh tahiyyat
yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Artinya seseorang boleh membaca yang ini maupun yang itu. Di
antaranya adalah tahiyyat riwayat
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:
التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At tahiyyaatu
lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu
warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish
shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu
wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi
Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta
rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula
kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi
bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Al-Bukhari no. 6265)
2.
Lafazh Shalawat:
Lafazh shalawat yang shahih dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ada beberapa variasi. Di antara variasi yang shahih
adalah riwayat Ka’ab bin Ujrah Radhiyallahu
‘Anhu:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah
limpahkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah
melimpahkannya atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sungguh Engkau Maha Terpuji
dan Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau
memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sungguh Engkau Maha Terpuji dan
Mulia.” (HR. Al-Bukhari
no. 3370 dan Muslim no. 406)
3.
Ragam Doa-Doa Tasyahud
Akhir:
Setelah membaca tahiyyat dan
shalawat maka dianjurkan membaca doa-doa yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di
antaranya adalah doa meminta perlindungan dari 4 hal seperti yang disebutkan
dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian (duduk) tasyahud (akhir), maka
hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara. Yaitu dia berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ
وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ
الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah, saya
berlindung kepadaMu dari siksa Jahannam dan siksa kubur, dan fitnah kehidupan
dan kematian, serta keburukan fitnah Masih Dajjal.” (HR.
Muslim no. 588)
Berikut doa-doa shahih lainnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dinukil dari kitab Hishnul Muslim:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا،
وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ
وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku banyak menganiaya diriku, dan
tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Oleh karena itu, ampunilah
dosa-dosaku dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan
Maha Penyayang.” (HR. Al-Bukhari VIII/168 dan
Muslim IV/2078)
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ،
وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ.
أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Ya Allah! Ampunilah
aku akan (dosaku) yang aku lewatkan dan yang aku akhirkan, apa yang aku
rahasiakan dan yang kutampakkan, yang aku lakukan secara berlebihan, serta apa
yang Engkau lebih mengetahui dari pada aku, Engkau yang mendahulukan dan
mengakhirkan, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Muslim I/534)
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ.
“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut
namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.”
(HR.
Abu Dawud II/86
dan An-Nasai III/53 dan shahih)
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ
بِكَ مِنَ النَّارِ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu, agar
dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepadaMu dari Neraka.”
(HR.
Abu Dawud dan Shahih Ibnu Majah II/328)
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ يَا اَللهُ بِأَنَّكَ الْوَاحِدُ
اْلأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu, ya Allah!
Dengan bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tunggal tidak
membutuhkan sesuatu, tapi segala sesuatu butuh kepadaMu, tidak beranak dan
tidak diperanakkan (tidak punya ibu dan bapak), tidak ada seorang pun yang
menyamaiMu, aku mohon kepadaMu agar mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (HR. An-Nasai III/52 dan Ahmad
IV/338 dan shahih)
Boleh juga berdoa dengan lafazh lain sesuai kebutuhan. Namun, jika
memungkinkan menggunakan doa dengan lafazh yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas
dan doa-doa lainnya yang tidak disebutkan di sini. Hal ini disebabkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
diberi Allah jawami’ul kalim (ucapan
yang ringkas tapi kandungannya padat) sehingga mencakup semua kebaikan dan apa
yang diperlukan oleh setiap hamba. Meskipun demikian, berdoa dengan lafazh sendiri
tetap diperbolehkan. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa usai mengajarkan doa tahiyyat dan shalawat, beliau
melanjutkan, “Kemudian setelah itu ia
boleh memilih do’a sesukanya.” (HR. Al-Bukhari no.
6230 dan Muslim no. 402). Setelah itu ia tutup shalatnya dengan salam. Allahu a’lam.[]
BAB III WIRID
Bacaan Wirid (Dzikir Bakda Shalat)
Alhamdulillah seri ringkas Sifat
Shalat Nabi dari takbir hingga salam telah usai. Pada kali ini dan
berikutnya kita akan membahas tentang ritual sesudah shalat yakni wirid bakda
shalat dan wudhu sebelum shalat. Tetapi jangan khawatir, Pembaca Budiman
nantinya tetap akan mendapatkan materi Sifat
Shalat Nabi yang lebih rinci dan detail, pada edisi-edisi berikutnya, in syaa Allah.
Pada kesempatan ini kita akan melanjutkan dengan dzikir-dzikir shahih Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bakda salam. Maksud shahih di sini adalah dzikir-dzikir
yang akan disebutkan nanti benar-benar telah dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
diajarkan kepada para Sahabatnya, berdasarkan ilmu periwayatan. Di antara
dzikir shahih beliau adalah:
1. Membaca istighfar:
أَسْتَغْفِرُ
اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ
السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Astaghfirullaåh. Astaghfirullaåh. Astaghfirullaåh. Allahumma antassalaam,
wa mingkassalaam, tabarakta ya dzaljalaali wal ikraam.
“Saya memohon
ampun kepada Allah (3x). Ya Allah Engkau Maha Sejahtera, dan dariMu lah
kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Rabb Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.”
Keterangan: HR. Muslim no. 591 (135), Ahmad
(V/275, 279), Abu Dawud no. 1513, An-Nasa-i III/68, Ibnu Khuzaimah no. 737,
Ad-Darimi I/311 dan Ibnu Majah no. 928 dari Sahabat Tsauban Radhiyallaahu ‘Anhu.
2. Membaca:
لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ
لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Laa ilaaha illallaåh wahdahu laa syarikalah, lahul mulku, walahul hamdu,
wahuwa ‘ala kulli syay-in qådiir. Allahumma laa maani’a limaa a’thayta, wa laa
mu’thiya limaa mana’ta, wa laa yamfa’u dzaljaddi min kaljaddu.
"Tidak ada
Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah Yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah tidak ada yang dapat mencegah apa yang
Engkau beri, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah. Tidak
berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya dari (siksa)Mu.”
Keterangan: HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim
no. 593, Abu Dawud no. 1505, Ahmad IV/245, 247, 250, 254, 255, Ibnu Khuzaimah
no. 742, Ad-Darimi I/311, dan An-Nasa-i III/70,71, dari Al-Mughirah bin Syu’bah
Radhiyallahu ‘Anhu.
3. Membaca:
لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ
الثَّنَاءُ الْحَسَنُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ، وَلَوْ
كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ
Laa ilaaha illallaåh wahdahu laa syarikalah, lahul mulku, walahul hamdu,
wahuwa ‘ala kulli syay-in qådiir. Laa hawla wa laa kuwwata illa billaah, laa ilaaha
illallaah, walaa na’budu illaa iyyaahu, lahunni’matu walahul fadhlu walahuts
tsanaaul hasanu, laa ilaaha illallaåh mukhlishiyna lahuddiyn walaw karihal
kaafiruun.
"Tidak ada
Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah Yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan
pertolongan) Allah. Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan
hanya Allah. Kami tidak beribadah kecuali kepadaNya. Baginya nikmat, anugerah,
dan pujian yang baik. Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan hanya Allah, dengan memurnikan ibadah hanya kepadaNya, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukainya.”
Keterangan: HR. Muslim no. 594, Ahmad IV/ 4, 5,
Abu Dawud no. 1506-1507, An-Nasa-i III/70, Ibnu Khuzaimah no. 740, 741, dari
‘Abdullah bin Az-Zubair Radhiyallahu
‘Anhuma.
4. Membaca:
لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ
وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Laa ilaaha illallaåh wahdahu laa syarikalah, lahul mulku, walahul hamdu,
yuhyiy wa yumiytu wahuwa ‘ala kulli syay-in qådiir.
"Tidak ada
Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah Yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Dialah
yang menghidupkan (orang yang sudah mati atau memberi ruh janin yang akan
dilahirkan) dan yang mematikan. Dan Dialah Yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (Dibaca 10x
setiap selesai shalat Maghrib dan Shubuh)
Keterangan: Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa setelah shalat Maghrib dan Shubuh membaca ‘Laa ilaaha illallaåh wahdahu laa
syarikalah, lahul mulku, walahul hamdu, yuhyiy wa yumiytu wahuwa ‘ala kulli
syay-in qådiir,’ sebanyak 10x maka Allah akan tulis setiap satu kali 10
kebaikan, dihapus 10 kejelekan, diangkat 10 derajat, serta Allah lindungi dari
setiap kejelekan, dan Allah lindungi dari godaan syetan yang terkutuk.”
(HR. Ahmad IV/227, At-Tirmidzi no.3474). At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan
gharih shahih.”)
5. Membaca:
اللَّهُمَّ
أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Allahumma a-’inniy ’ala dzikrika wa syukrika wa husni ’ibaadatika.
“Ya Allah,
tolonglah aku untuk berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu, serta beribadah
dengan baik kepadaMu.”
Keterangan: HR. Abu Dawud no. 1522, An-Nasa-i
III/53, Ahmad V/245 dan Al-Hakim (I/273 dan III/273) dan dishahihkannya, juga
disepakati oleh Adz-Dzahabi. Di sana disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memberikan wasiat kepada
Mu’adz agar dia mengucapkannya di setiap akhir shalat.
6. Membaca:
سُبْحَانَ
اللهُ
Subhaanallaah
“Maha suci
Allah” (33x)
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ
Alhamdulillah
“Segala puji
bagi Allah” (33x)
اَللهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar
“Allah Maha
Besar” (33x)
Kemudian untuk melengkapinya menjadi seratus, ditambah dengan membaca:
لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Laa ilaaha illallaåh wahdahu laa syarikalah, lahul mulku, walahul hamdu,
wahuwa ‘ala kulli syay-in qådiir.
"Tidak ada
Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah Yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dialah
Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Keterangan: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membaca
kalimat tersebut setiap selesai shalat, akan diampuni kesalahannya, sekalipun
seperti buih di lautan.” HR. Muslim no. 597, Ahmad II/371,483, Ibnu Khuzaimah
no. 750, dan Al-Baihaqi II/187.
7. Membaca Ayat Kursi:
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ * بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ * اللَّهُ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ،
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ
بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ،
وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Aku berlindung
kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi
dengan benar) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa-apa yang ada di
langit dan apa-apa yang ada di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di
sisi Allah tanpa izinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan
di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendakiNya. Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi,
dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
Keterangan: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang membacanya setiap selesai shalat, tidak ada yang
menghalanginya masuk Surga selain kematian.” (HR. An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah’ no.100 dan
Ibnus Sunni no.124 dari Abu Umamah Radhiyallahu
‘Anhu)
8. Membaca Surat Al-Ikhlash:
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ * قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اَللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ
يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang
Maha Esa. Allah tempat bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak
dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada satupun yang setara denganNya.”
9. Kemudian Membaca Surat Al-Falaq:
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ * قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ * مِن شَرِّ
مَا خَلَقَ * وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ * وَمِن
شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
* وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada
Robb Yang Menguasai waktu Shubuh, dari kejahatan apa-apa (mahluk) yang
diciptakanNya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari
kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari
kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia dengki.”
10. Kemudian Membaca Surat An-Naas:
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ * قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ * مَلِكِ
النَّاسِ * إِلَهِ النَّاسِ * مِن شَرِّ
الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ * الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ * مِنَ
الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
“Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada
Rabb (Yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.
Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.”
Keterangan: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tiga
surat tersebut cukup bagimu (sebagai permohonan perlindungan) dari segala
kejelekan.” Dzikir Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 1523, An-Nasa-i III/68, Ibnu Khuzaimah no. 755, dan Hakim I/253 dengan sanad yang shahih. Ketiga surat tersebut
—ada pula yang berpendapat Al-Falaq dan An-Naas— dinamakan Al-Mu’awwidzaat.
Tiga surat
tersebut dibaca 3 kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh dan dibaca 1 kali
setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`.
11. Khusus Shubuh:
اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah,
sesungguhnya aku meminta kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan
amalan yang diterima.”
Keterangan: HR. Ibnu Majah no. 925, Ahmad no. 26521, An-Nasai no. 9850
dalam Al-Kubra, Ath-Thabrani no. 735 dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir, Al-Baihaqi
no. 1645 dalam Syu’abul Iman, dan Ibnu Abdil Barr no. 1077 dalam Al-Jami’ dari
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha.
Catatan: Pada edisi sebelumnya penulis
mencantumkan dzikir tasbih 33x, tahmid 33x, dan takbir 33x. Namun, apabila
kondisi tidak memungkinkan untuk membaca tasbih, tahmid, dan takbir
masing-masing sebanyak 33 kali, kita bisa juga membaca tasbih,
takbir, dan tahmid sebanyak 10 kali.
Hal ini berdasarkan hadits shahih ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
خَلَّتَانِ لَا يُحْصِيهِمَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ
الجَنَّةَ، أَلَا وَهُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ: يُسَبِّحُ اللَّهَ
فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُهُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُهُ عَشْرًا
“Ada dua perkara, setiap Muslim yang
konsisten melakukannya akan masuk ke Surga. Keduanya sangatlah mudah, namun
sangat jarang yang mampu konsisten mengamalkannya. (Perkara yang pertama)
adalah bertasbih, bertahmid, dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali
sesudah menunaikan shalat fardhu.” (HR. At-Tirmidzi no. 3410, Abu Dawud no. 5065, An-Nasai no. 1348 dan dinilai
shahih Syaikh Al-Albani)
Demikian 11 bacaan dzikir Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang shahih. Kita boleh menambah atau mengganti dzikir
ba’da shalat dengan dzikir selain ini, asal yang shahih.[]
BAB IV TAMBAHAN
A. Shalat Dhuha
قَالَ اللَّهُ تَعَالىَ:
ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, rukuklah
untukKu empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang.”
(HR. At-Tirmirzi no. 475)
1.
Pengertian:
Dhuha (الضُّحَى) secara bahasa artinya nampak dan jelas. Kata ini berulang
minimal tujuh kali di dalam Al-Qur’an yang diartikan “pagi hari” seperti pada
QS Thaha [20]:59; AI-'Araf [7]:98; An-Nazi'at [79]:46 dan “panas sinar
matahari” seperti pada QS Thaha [20]:119. Shalat Dhuha adalah shalat sunnah
yang dikerjakan minimal dua rakaat di waktu matahari sudah naik kira-kira
sepenggal tombak dan berakhir di waktu matahari zawal (lengser). (Lihat Fiqhus
Sunnah)
Waktu: Dimulai dari
awal terbitnya matahari kira-kira setinggi tombak dan berakhir saat mahatari
zawal (condong), yakni sebelum masuk waktu Zhuhur. Hal ini berdasarkan beberapa
hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa
yang shalat Shubuh secara berjamaah kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit kemudian ia
shalat dua rakaat maka dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah
secara sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. At-Tirmidzi no. 586 dan dinilai
hasan Syaikh Al-Albani)
Setelah matahari terbit ditunggu
kisaran 10 menit agar tidak menyamai kaum Majusi yang menyembah Matahari saat
terbit.
Waktu yang paling utama adalah saat
siang yang panas yaitu kira-kira satu jam atau dua jam sebelum Zhuhur. Dari
Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan
shalat Dhuha. Lalu dia berkata “Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain
pada saat ini adalah lebih baik? Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah)
adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan.” (HR. Muslim no. 748)
2.
Hukum:
Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan).
Artinya, jika seseorang mengerjakannya maka dia mendapat pahala dan yang tidak
mengerjakan tidak berdosa tetapi telah kehilangan sekian banyak keutamaan.
3.
Keutamaan:
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى
كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ
صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ
صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang
di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah
sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa
Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah,
dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan
ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha.” (Muslim no. 720)
Juga hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari
Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman:
ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ
لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Wahai anak Adam, rukuklah untukKu empat rakaat di awal
siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang.” (HR. At-Tirmirzi no. 475 dan dinilai shahih Syaikh Al-Albani dan Ahmad
Syakir)
Juga hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dia bercerita, dia
berkata, “Tidak ada yang memelihara
shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)” (HR.
Ibnu Khuzaimah II/228 dan Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak I/314 dengan
sanad hasan)
4.
Jumlah Rakaat:
Minimal dua rakaat dan maksimal tidak
ada pembatasan. Seseorang boleh shalat dua rakaat, empat rakaat, enam rakaat,
delapan rakaat, dua belas rakaat. Jumlah ini pernah dilakukan semua oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Boleh pula dengan jumlah lebih banyak dari itu, terserah dirinya dengan
kelipatan dua. Diriwayatkan Abud Darda Radhiyallahu
‘Anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat maka dia tidak
ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat
maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa
mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu.
Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat maka Allah menetapkannya termasuk
orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas
rakaat maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah
satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang
danugerahkan kepada hamba-hambaNya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah
memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya
untuk selalu ingat kepadaNya.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad shahih dalam Shahih At-Targhiib wat Tarhiib I/279)
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha saat ditanya oleh Mu’adzah, “Berapa rakaat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengerjakan shalat Dhuha?” Dia menjawab, “Empat rakaat dan bisa juga lebih,
sesuai kehendak Allah.” (HR. Muslim no. 719)
Setiap dua rakaat salam. Hal ini
ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, “Shalat malam dan
siang itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Abu Dawud no. 1234)
Namun boleh pula salam di setiap
rakaat ke empat. Hal ini berdasarkan hadits, “Rukuklah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat,” dan juga
sabda beliau, “Barangsiapa mengerjakan
shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah.”
(takhrij sudah disebutkan)
5.
Tata Cara:
Sifat shalat Dhuha sama dengan
shalat-shalat lainnya, tanpa ada yang berbeda. Yang berbeda hanya pada niatnya,
yaitu seseorang meniatkan dalam hatinya bahwa dia hendak melaksanakan shalat
Dhuha karena Allah. Adapun lafazh niatnya maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mengajarkan lafazhnya
sehingga cukup menghadirkan di dalam hati bahwa dirinya akan melaksanakan
shalat Dhuha karena Allah. Setiap dua rakaat salam atau salam di setiap rakaat
keempat. Jumlah rakaatnya boleh dua, empat, enam, delapan, sepuluh, dua belas,
atau terserah dengan kelipatan dua. Allahu
a’lam[]
B. Shalat Jenazah
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ
عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ
اللهُ فِيهِ
“Tidaklah
ada seorang Muslim meninggal dunia lalu ada 40
orang yang tidak berbuat syirik kepada
Allah menshalatkan
jenazahnya melainkan Allah akan memberikan syafaat kepadanya melalui mereka.” (Muslim no. 948)
***
Shalat jenazah dilaksanakan dalam
rangka menunaikan kewajiban sekaligus mendoakan saudara sesama Muslim yang
meninggal yang berisi empat takbir dengan syarat dan rukun tertentu.
1.
Hukum:
Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah. Artinya, jika telah ada
sekelompok umat Islam yang menshalati jenazah maka kewajiban telah gugur bagi
yang lainnya. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhanni yang berkata,
“Seorang lelaki dari Sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam wafat pada perang Khaibar. Orang-orang pun mengabarkan
hal demikian kepada beliau, lantas beliau bersabda, ‘Silahkan kalian menshalati saudara kalian tersebut.’ Wajah manusia
berubah terkejut (karena beliau tidak ikut menshalati). Lalu beliau bersabda, ‘Karena saudara kalian telah melakukan
kecurangan ghanimah fi sabilillah.’ Kami langsung memeriksa
barang-barangnya dan kami mendapati harta Yahudi padanya yang tidak mencapai
dua dirham.” (HR. Abu Dawud I/425)
Ada dua orang yang boleh tidak
dishalati, yaitu anak kecil yang belum baligh dan orang yang mati syahid. Hal
ini berdasarkan kabar shahih bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha berkata, “Ibrahim putra Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meninggal saat berumur 18 bulan dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak
menshalatinya.” (HR. Abu Dawud II/166 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dan Ibnu
Hazm berkata, “Ini kabar shahih.”)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalati pasukan perang Badar
dan lainnya yang gugur. (Ahkamul Janaaiz
hal 80)
Namun, diperbolehkan bagi yang ingin
menshalati mereka. Hal ini juga berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menshalati
seorang bayi Anshar yang meninggal. (HR. Muslim VIII/55)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menshalati jenazah paman beliau,
Hamzah, yang gugur di perang Uhud. (HR. Ath-Thahawi I/290 dalam Ma’anil Atsar dengan sanad hasan)
Orang Islam yang bagaimanapun
keadaannya adalah dishalati, meskipun ia seorang yang gemar maksiat, bolong
shalatnya dan enggan berzakat selagi masih mengakui kewajibannya, berzina,
membunuh, mencuri, peminum khomr, orang fasik, dan semisalnya. Hanya saja, bagi
para tokoh agama dan penguasa untuk tidak ikut menshalati sebagai bentuk
hukuman dan didikan bagi orang-orang lain yang melakukan keburukan-keburukan
yang semisal di atas. Hal ini didasari oleh riwayat shahih dari Abi Qatadah,
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam didatangkan jenazah maka beliau bertanya terlebih dahulu. Jika
jawaban orang-orang adalah memujinya maka beliau menshalati, tetapi jika
jawaban orang-orang adalah tidak memujinya maka beliau berkata kepada keluarga
mayit, ‘Uruslah jenazah kalian,’ dan
beliau tidak ikut menshalatinya.” (HR. Ahmad V/399 dan Al-Hakim I/364 dan
shahih)
2.
Tata Cara:
Shalat janazah berbeda dengan shalat
pada umumnya. Shalat ini tidak memiliki ruku, sujud, dan tasyahhud. Ia hanya
empat takbir. Setelah melakukan empat takbir ini maka salam sebagai tanda
selesainya shalat. Adapun penjelasan tiap takbir adalah sebagai berikut:
1) Takbir pertama adalah takbiratul
ihram (takbir pembuka shalat). Tanpa perlu membaca istiftah langsung berta’aawudz (أَعُوّْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) lalu membaca
basmalah dan Al-Fatihah.
2) Takbir kedua. Setelah takbir ini, membaca shalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam,
contohnya memakai shalawat yang dibaca pada tasyahud akhir dalam shalat fardhu.
3) Takbir ketiga. Usai takbir ini, mendoakan si mayit dengan doa-doa
yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.
4) Takbir keempat. Usai takbir ini, diam sejenak, lalu salam ke arah
kanan dengan satu kali salam. Boleh juga ke kanan dan ke kiri.
3.
Contoh Doa Shahih pada Takbir Ketiga:
اللهُمَّ، اغْفِرْ لَهُ
وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ،
وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا
نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ
دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ
الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ - أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ -
Alloohummaghfir
lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘ahu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkholahu,
waghsilhu bil maa’i watstsalji wal barodi, wa naqqihi minal khothooyaa kamaa
naqqaitats tsaubal abyadho minad danasi, wa abdilhu daaron khoiron min daarihi,
wa ahlan khoiron min ahlihi, wa zaujan khoiron min zaijihi, wa adkhilhul
jannata, wa a’idhu min ‘adzaabil qabri wa ‘adzaabin naar.
“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan
maafkanlah dia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya.
Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah dia dari kesalahan
sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya
rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya,
isteri yang lebih baik dari isterinya. Masukkanlah dia ke dalam Surga,
lindungilah dari azab kubur dan azab Neraka.” (HR. Muslim no. 963)
Jika yang dishalatkan itu mayit
perempuan maka lafaznya diganti berdhamir (kata ganti) perempuan:
اللهمّ، اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا وَعَافِهَا وَاعْفُ عَنْهَا، وَأَكْرِمْ نُزُلَهَا، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهَا، وَاغْسِلْهَا بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ،
وَنَقِّهَا مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ
الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهَا دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهَا، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهَا وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا، وَأَدْخِلْهَا الْجَنَّةَ وَأَعِذْهَا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ - أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ -
Adapun bila yang dishalatkan itu anak
kecil, doa yang dibaca yaitu:
اللّهُمَّ اجْعَلْهُ
لِوَالِدَيْهِ فَرَطًا وَأَجْرًا وشَفِيعًا مُجَابًا
“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai simpanan, pahala, dan
sebagai syafaat yang mustajab untuk kedua orang tuanya.”
اللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ
مَوَازِينَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُورَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِينَ،
وَاجْعَلْهُ فِي كَفَالَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيمِ
“Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebaikan kedua
orang tuanya, perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, dan kumpulkanlah dia bersama
orang-orang shalih terdahulu dari kalangan orang yang beriman, masukkanlah dia
dalam pengasuhan Ibrahim, dan dengan rahmat-Mu, peliharalah dia dari siksa
neraka Jahim.” (http://ar.islamway.net/fatwa/7086) Allahu a’lam.
[]