Download Buku: Kuliah Sambil Nikah, Siapa Takut! - Pustaka Syabab
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-kuliah-sambil-nikah-siapa-takut.html?m=0
Kuliah Sambil Nikah, Siapa
Takut!
Nor Kandir
Penerbit : Pustaka Syabab
Editor : Tim Pustaka Syabab
Layout : Tim Pustaka Syabab
Cetakan : Pertama
Tahun : Muharrom 1438 H/Oktober 2016 M
|
Daftar Isi
Bab 1:
Bahaya Godaan Mahasiswi
Allâh telah menjadikan rasa cinta antara kaum lelaki
dengan kaum wanita. Ketertarikan kepada kaum wanita adalah hal alami, sebagai
fithrah yang Allâh ciptakan pada setiap lelaki. Allâh berfirman:
«زُيِّنَ لِلنَّاسِ
حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا»
“Dijadikan
untuk manusia kecintaan syahwat terhadap wanita, anak-anak, harta benda berupa
emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan ladang. Demikian itu adalah
kenikmatan di kehidupan dunia.”[1]
Dalam ayat ini Allâh menyebutkan
beberapa kenikmatan dunia: wanita, anak, harta, dan kendaraan. Allâh
menempatkan syahwat terhadap wanita pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan
bahwa kecenderungan manusia kepada wanita lebih besar daripada kecenderungan
mereka kepada selainnya. Kebanyakan manusia bisa bersabar kehilangan anak,
harta, dan kendaraan tetapi sangat sedikit sekali yang bisa bersabar saat
fitnah wanita datang.
Imam Al-Qurthubi berkata, “Allâh
memulai dengan wanita karena kebanyakan jiwa manusia cenderung kepadanya. Ia
adalah tali setan dan fitnah bagi kaum lelaki. Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَا تَرَكْتُ
بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»
‘Aku tidak
meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain
wanita.’[2]
Fitnah kaum
wanita lebih berat daripada fitnah segala sesuatu.”[3]
Ibnu Baththal berkata, “Seorang Mukmin
harus berpegang teguh kepada Allâh dan memohon dengan harap kepada-Nya dari
fitnah wanita dan keselamatan dari keburukannya. Telah diriwayatkan dalam
sebuah hadits bahwa ketika Allâh menciptakan wanita, setan sangat senang dan
berkata, ‘Ini adalah taliku yang hampir tidak akan pernah membangkang
kepadaku.’”[4]
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«إِنَّ الدُّنْيَا
حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ،
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ فِي النِّسَاءِ»
“Sesungguhnya
dunia itu manis hijau dan sesungguhnya Allâh akan menjadikan kalian berkuasa di
dalamnya lalu Dia akan melihat apa yang kalian lakukan. Waspadalah kalian
terhadap dunia dan waspadalah kalian terhadap wanita. Sesungguhnya fitnah
pertama Bani Isra`il adalah wanita.”[5]
Dinukil dari beberapa Ummahatul
Mukminin bahwa mereka berkata:
مِنْ شَقَائِنَا قَدِمْنَا عَلَى جَمِيْعِ الشَّهَوَاتِ
“Di antara
ketidakberuntungan (kaum) kami adalah kami mendatangkan banyak sekali
syahwat-syahwat.”[6]
Muadz bin Jabal Radhiyallahu
‘Anhu berkata:
إنَّكُمُ ابْتُلِيتُمْ
بِفِتْنَةِ الضَّرَّاءِ فَصَبَرْتُمْ، وَسَتُبْتَلَوْنَ بِفِتْنَةِ السَّرَّاءِ، وَإِنَّ
أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ فِتْنَةَ النِّسَاءِ
“Kalian telah
diberi ujian dengan kesempitan lalu kalian berhasil bersabar dan kelak kalian
akan diberi ujian dengan kelapangan. Perkara yang paling aku takutkan atas
kalian adalah fitnah wanita.”[7]
Demikian besarnya fitnah wanita
bagi kaum lelaki. Fitnah ini telah menghancurkan Bani Isra`il dan kaum-kaum
sebelum dan sesudah mereka. Pembunuhan pertama kali terjadi karena wanita,
yaitu saat Qabil tidak setuju dinikahkan dengan saudari Habil yang tidak begitu
cantik. Dia terpesona dengan kecantikan Wasimah saudarinya sendiri, sehingga ia
tidak rela jika dinikahkan dengan Habil.
Kisah lengkapnya diceritakan oleh
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H), “Adam dilarang menikahkan anak perempuannya
dengan saudara kembarnya, dan diperbolehkan menikahkan dengan saudara lainnya.
Istri Adam melahirkan dari rahimnya masing-masing sepasang laki-laki dan
perempuan. Dia melahirkan anak perempuan bernama Wasimah dan anak perempuan
lain bernama Damimah. Saudara Damimah (Habil) berkata kepada saudara Wasimah
(Qabil):
أَنْكِحْنِي أُخْتَكَ وَأُنْكِحُكَ أُخْتِى
“Nikahkan
saya dengan saudarimu, dan saya akan menikahkanmu dengan saudariku.”
Saudara Wasimah berkata:
أَناَ أَحَقُّ بِأُخْتِي
“Aku lebih berhak dengan
saudariku.”
Saudara Wasimah adalah pemilik
ladang, sementara saudara Damimah pemilik domba. Dia (Habil) berkata
هَلُمَّ فَلْنُقَرِّبْ
قُرْبَاناً، فَأَيُّنَا تُقُبِّلَ قُرْبَانُهُ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Mari kita
mempersembahkan qurban, siapa di antara kita yang diterima qurbannya, maka dia
berhak dengannya.”
Pemilik domba datang dengan
membawa kambing gibas yang putih, indah, dan bertanduk. Pemilik ladang datang
dengan membawa seonggok makanan, lalu kambing gibaslah yang diterima dan
disimpan Allâh di Surga selama 40 kharif, inilah kambing yang disembelih
Ibrahim. Kemudian, pemilik ladang membunuhnya. Semua anak Adam dari
keturunannya menjadi kafir. Ini diriwayatkan Sa’id bin Jubair dari Ibnu
‘Abbas.”[8]
Begitu pula pembunuhan Nabi Yahya
bin Zakaria ‘alaihis salam, karena fitnah wanita. Ibnu ‘Abbas bercerita,
“Nabi Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria diutus kepada 12.000 kaum Hawariyun.
Mereka bertugas menyampaikan ajaran, dan di antara yang dilarang adalah
seseorang menikahi putri saudara laki-laki. Raja mereka memiliki saudara
laki-laki yang memiliki anak perempuan yang membuatnya kagum. Dia pun ingin
menikahinya. Setiap hari putri itu selalu dipenuhi kebutuhanya oleh raja tersebut.
Ketika kabar itu sampai kepada ibunya, dia berkata kepada putrinya, ‘Jika raja
menemuimu dan menanyakan keperluanmu, katakan kepadanya, ‘Keperluanku adalah
Anda menyembelih Yahya bin Zakaria untukku.’ Raja menjawab, ‘Mintalah selain
ini.’ Putri itu menjawab, ‘Aku hanya ingin ini.’ Tatkala keinginan putri itu
tetap bulat, sang raja memanggil Yahya bin Zakaria lalu dipanggillah algojo
yang kuat untuk menyembelihnya. Lalu tetesan darahnya mengalir ke bumi.”[9]
Bab 2:
Ketidaksabaran Lelaki Terhadap Wanita
Inilah fitnah wanita. Ia lebih
berbahaya daripada pedang. Fitnah pedang hanya melukai jasad, sementara fitnah
wanita melukai hati dan jasad. Maka, hendaklah seseorang berpikir matang-matang
jika dia masih ingin terus dekat dengan teman kampusnya, si fulanah.
“Benar sekali dan saya akui akan
bahaya fitnah wanita. Hanya saja, saya adalah lelaki yang bisa menjaga diri dan
tidak ada dalam benakku untuk melakukan zina. Lagian saya dekat dengan fulanah
hanya karena tugas kuliah seperti praktikum dan tugas kelompok.”
Sanggahannya, “Tidak boleh
seseorang merasa aman dari makar setan. Lihatlah Yusuf alaihis salam.
Bersamaan dengan keimanan dan kema’suman beliau (keterjagaan dari Allâh) serta
seorang nabi yang mulia anak nabi yang mulia anak nabi yang mulia anak nabi
yang mulia tidak bisa lepas dari syahwat terhadap Zulaikha, sebagaimana yang
Allâh kabarkan:
«وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا»
“Dan sungguh
ia (Zulaikha) telah menginginkannya (Yusuf) dan ia (Yusuf) pun
menginginkannya.”[10]
Yusuf memang nabi tetapi tetap
saja beliau manusia biasa. Ibarat orang lapar yang melihat makanan, apakah dia
tidak berselera untuk memakannya? Hanya saja, ada di antara mereka yang
bersabar menjauhinya karena sedang berpuasa. Yusuf ma’shum dan mendapat
penjagaan dari Allâh sehingga Allâh palingkan hatinya kepada rasa takut
terhadap kedudukan Rabb-nya. Seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Rabb-nya
tentulah dia akan menjadi orang yang rugi dan menyesal. Sesungguhnya Yusuf
termasuk hamba Allâh yang ikhlas. Benar Yusuf selamat dari fitnah Zulaikha
karena beliau ma’shum dan mendapat penjagaan dari Allâh, sementara orang
tersebut apakah bisa menjamin bahwa dirinya ma’shum dan pasti dalam penjagaan
Allâh?
Seorang ustadz pernah berkisah
dalam ceramahnya tentang dua orang yang satu hafizh dan yang satunya lagi
hafizhah bercadar. Tanpa disangka-sangka mereka melakukan zina di hotel dan
mereka melakukan itu persis setelah usai menghadiri kajian Islam. Bagaimana
bisa? Yang terpenting di sini adalah ibrah dari kisah memilukan ini. Kami tidak
bermaksud mengesankan negatif para huffazh, kami hanya ingin menyampaikan ibrah
dari kisah ini, yaitu janganlah seseorang merasa aman dari fitnah wanita
meskipun banyak hafalannya dan syar’i penampilannya. Itu semua tidaklah
menjamin. Yang menjamin adalah apa yang ada di dalam hati yaitu ketaqwaan
kepada Allâh dan rasa takut kepada-Nya.
Allâh berfirman:
«يُرِيدُ اللَّهُ
أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا»
“Allâh
menginginkan untuk meringankan kalian dan manusia diciptakan dalam keadaan
lemah.”[11]
Thawus dan Al-Kalbi berkata:
يَعْنِي فِي أَمْرِ الْجِمَاعِ لاَ يَصْبِرْ عَلَى النِّسَاءِ
“Maksudnya,
dalam urusan jima’ mereka tidak bisa sabar atas wanita.”[12]
Sa’id bin Al-Musayyib berkata:
مَا أَيَسَ الشَّيْطَانُ
مِنْ بَنِي آدَمَ قَطُّ إِلاَّ أَتَاهُمْ مِنَ النِّسَاءِ، فَقَدْ أَتَى عَلَيَّ ثَمَانُوْنَ
سَنَةً وَذَهَبَتْ إِحْدَى عَيْنَيَّ وَأَنَا أَعْشَقُ بِالْأُخْرَى، وَأَنْ أَخْوَفَ
مَا أَخَافُ عَلَيَّ فِتْنَةَ النِّسَاءِ
“Tidaklah
setan berputus asa menggoda anak Adam sama sekali melainkan ia menggoda mereka melalui wanita. Aku telah berumur 80 tahun dan sebelah mataku telah kabur sehingga
melihat dengan mata satunya, bersamaan dengan itu yang paling aku khawatirkan
menimpaku adalah fitnah wanita.”[13]
Thawus berkata:
لَيْسَ يَكُوْنُ
الْإِنْسَانُ أَضْعَفُ مِنْهُ فِي أَمْرِ النِّسَاءِ
“Tidak ada
yang paling berat bagi seseorang melebihi urusan wanita.”[14]
“Tapi, saya
hanya ingin mendakwahinya. Saya melihat
dia memiliki agama yang rusak dan menyimpang. Semoga dengan kedekatanku
kepadanya bisa membimbingnya kepada jalan yang benar.”
Hendaklah orang yang mengatakan
ini memikirkan kembali alasannya itu karena terlalu beresiko. Seandainya benar
apa yang dia katakan kemudian wanita itu menjadi benar jalannya, lantas apakah
lelaki itu bisa selamat dari penyakit hatinya yang selalu memikirkan fulanah
tersebut. Bahkan yang terjadi pada kebanyakan orang adalah mereka berdua
sama-sama jatuh asmara tanpa ada ikatan yang sah sehingga menderita dan
sengsara menanggung hasrat yang amat berat. Barangkali bentuk pertolongannya
diganti dengan cara meminta teman wanita lain yang memungkinkan membimbing dan
mengajaknya kepada jalan yang benar. Dengan begitu akan tercapai apa yang
diinginkan tanpa menimbulkan kerusakan.
“Baiklah saya
pahami itu. Sejujurnya saya suka pacaran tetapi dengan tujuan untuk mengenal
fulanah lebih jauh agar tidak salah pilih saat ingin melanjutkan ke pelaminan.
Saya ingin mengetahui karakternya terlebih dahulu.”
Hendaklah orang yang mengatakan
ini merenungkan apa yang dia dapatkan dari pacaran. Jika niatnya untuk mencari
wanita shalihah, justru wanita yang mau dipacari menunjukkan kepribadian yang
jelek. Hendaklah dia selalu ingat bahwa jodoh sudah Allâh takdirkan. Jika
memang fulanah adalah jodohnya dia akan datang meski tanpa dipanggil, begitu
sebaliknya jika memang fulanah bukan jodohnya tidak akan menoleh meski ditarik
dengan kuat.
Orang yang berpacaran ibarat
lelaki yang mengambil perak tetapi dengan itu ia harus mengorbankan permata
emas. Dia berpacaran untuk mendapatkan kenikmatan tetapi ia harus kehilangan
kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya dan ditinggalkan Rabb-nya. Seandainya
saja dia mau bersabar meninggalkannya, niscaya dia akan mendapatkan dua
kebahagiaan sekaligus, kebaikan kedekatan dengan Allâh dan kebaikan yang Allâh
janjikan kepadanya, karena barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allâh
maka Allâh akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari itu. Inilah
janji Allâh.
«إِنَّكَ لَنْ
تَدَعَ شَيْئًا لِلّٰهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللّٰهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ»
“Tidaklah
engkau meninggalkan sesuatu karena Allâh melainkan
Allâh akan menggantimu dengan yang lebih baik daripada
itu.”[15]
Allâh
berfirman:
«يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ»
“Wahai orang-orang
yang beriman jika kalian menolong Allâh, niscaya Dia akan menolong kalian dan
meneguhkan langkah kalian.”[16]
Seandainya memang jadi pacaran,
mungkin saja akan terputus nantinya. Bisa jadi karena si lelaki tertarik kepada
wanita lain yang lebih cantik atau sebaliknya, sehingga menjadikan satu pihak
merasa dikhianati dan tercabik-cabik hatinya. Atau boleh jadi kedua-duanya
sudah cocok tetapi kedua orang tua masing-masing tidak merestui sehingga yang
ada hanya penderitaan di atas penderitaan. Siapa yang menyakini bahwa setiap
orang telah Allâh tentukan takdirnya, maka hatinya akan lapang dan tidak akan
terlalu resah terhadap apa yang terluput darinya.
Kita kaum lelaki memiliki
kecenderungan kepada wanita dan hal ini tidak bisa dipungkiri. Hanya saja,
orang cerdas di antara mereka lebih memilih bersabar sesaat daripada mengumbar
syahwatnya sebagai bentuk ketaatan kepada Rabb-nya. Mudah-mudahan Allâh
secepatnya mengganti apa yang ditinggalkannya itu dengan sesuatu yang lebih
baik. Ini adalah perkara sulit dan sedikit sekali orang yang menempuhnya. Oleh
karena itu, Allâh memuji mereka dengan pujian yang baik.
Allâh memuji Nabi Yahya ‘Alaihis
Salam dengan mensifatinya hashûr “menahan diri”. Mengenai hashûr,
Al-Hasan Al-Bahsri berkata, “Karena beliau tidak memiliki syahwat terhadap
wanita,” sedangkan Al-Mawardi berkata, “Karena beliau menahan dirinya dari
syahwat wanita.”[17]
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«كُلُّ بَنِي
آدَمَ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَهُ ذَنْبٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ يَحْيَى بْنِ
زَكَرِيَّا»
“Setiap anak
Adam akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan memiliki dosa kecuali Yahya bin
Zakaria.” Kemudian
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengulurkan tangannya ke tanah
untuk mengambil ranting yang pendek kemudian bersabda:
«وَذَلِكَ أَنَّهُ
لَمْ يَكُنْ لَهُ مَا لِلرِّجَالِ إِلاَّ مِثْلُ هَذَا الْعُودِ، لِذَلِكَ سَمَّاهُ
اللّٰهُ سَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ»
“Hal itu
dikarenakan dia tidak memiliki apa yang dimiliki kaum lelaki kecuali hanya
seperti ranting ini. Oleh karena itu, Allâh menamainya dengan sayyid, hashûr,
dan nabi dari kalangan orang-orang shalih.”[18]
Allâh juga memuji mereka dengan
memberikan imbalan naungan di hari tidak ada naungan selain naungan-Nya. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ
اللّٰهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ
نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ
تَحَابَّا فِى اللّٰهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ
امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّى أَخَافُ اللّٰهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ
أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللّٰهَ
خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ»
“Tujuh
golongan yang akan Allâh beri naungan pada hari tidak ada naungan kecuali hanya
naungan-Nya: [1] imam yang adil, [2] pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada
Rabb-nya, [3] lelaki yang hatinya tergantung di masjid, [4] dua lelaki yang
saling mencintai karena Allâh yang mereka berkumpul karena Allâh dan berpisah
karena Allâh, [5] lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang
bernasab dan cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allâh,’ [6] lelaki
yang bersedekah secara sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
disedekahkan tangan kanannya, dan [7] lelaki yang berdzikir kepada Allâh dalam
keadaan sepi lalu berlinang air matanya.”[19]
Bab 3:
Mahasiswa Takut Menikah?
Jika
memang tujuan mahasiswa tersebut mendekati si fulanah untuk
pacaran dan mendapatkan kenikmatan darinya, maka ketahuilah hal tersebut adalah
dosa. Namun, hendaklah ia menempuh solusi orang cerdas dengan menikah. Lagian
dengan menikah pun masih bisa pacaran bahkan lebih nikmat dan leluasa serta
mendapat banyak pahala. Simaklah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ»
Jangan
takut menikah hanya karena alasan kuliah. Bagaimana dia takut menikah sementara
di sisi lain dia tidak takut dosa pacaran? Membingungkan, yang mana pengertian
takut sesungguhnya??? Jika niatnya benar: menikah untuk menjaga diri dari dosa
dan zina, pasti Allâh akan bantu dan tidak akan menghalanginya untuk
menyelesaikan kuliah.
“Saya telah bertekad bulat untuk menikah, hanya saja
masih saja ada rasa takut dan maju-mundur. Apa yang mesti saya lakukan?”
Baiklah, kami akan membantu Anda menghilangkan
kegelisahan ini dengan menyebutkan masalah plus solusinya.
Kebanyakan para mahasiswa
menunda-nunda menikah karena dua hal: [1] merasa belum mampu menanggung nafkah
alias takut menikah karena miskin dan [2] belum mendapat restu orang tua. Dua
hal ini ibarat kabut yang menghalangi pandangan seseorang untuk maju
mengemudikan kendaraannya. Pada pembahasan ini kami akan membantu Anda untuk
menghilangkan kabut tersebut dengan panduan hembusan sinar Al-Qur`an dan As-Sunnah
dengan bimbingan salafush shalih, insya Allâh.
a. Takut Menikah karena Miskin
Tidak boleh seseorang menunda
menikah hanya karena takut tidak bisa memberi nafkah. Justru siapa yang ingin
kaya segera menikah. Allâh berfirman:
«وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ»
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan budak-budak
laki-laki dan perempuan kalian yang shalih. Jika mereka miskin, maka
Allâh akan menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya. Allâh Mahaluas dan
Maha Mengetahui.”[21]
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir
ath-Thabari (w. 310 H) berkata, “Dan nikahkanlah --wahai orang-orang Mukmin--
siapa yang tidak memiliki pasangan baik laki-laki dan perempuan merdeka maupun
orang-orang shalih dari hamba laki-laki dan perempuan.”[22]
Ibnu
Jarir juga berkata:
إِنْ يَكُنْ هَؤُلاَءِ
الَّذِيْنَ تُنْكِحُوْنَهُمْ مِنْ أَيَامَى رِجَالِكُمْ وَنِسَائِكُمْ وَعَبِيْدِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ أَهْلُ فَاقَةٍ وَفَقْرٍ فَإِنَّ اللّٰهَ يُغْنِيْهِمْ مِنْ فَضْلِهِ،
فَلاَ يَمْنَعَنَّكُمْ فَقْرُهُمْ مِنْ إِنْكَاحِهِمْ
“Jika
orang-orang yang kalian nikahkan dari laki-laki dan perempuan yang sendirian
dan hamba sahaya laki-laki dan perempuan adalah orang tidak punya dan miskin,
maka Allâh akan menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya. Oleh karena itu,
janganlah kemiskinan mereka menghalangi kalian menikahkan mereka.”[23]
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«ثَلاَثَةٌ حَقٌّ
عَلَى اللّٰهِ عَوْنُهُمْ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَالمُكَاتَبُ الَّذِي
يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ»
“Tiga orang
yang pasti Allâh tolong: [1] mujahid di jalan Allâh, [2] budak mukatab yang
ingin menebus dirinya, dan [3] orang menikah yang ingin menjaga kehormatan.”[24]
Para shahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam benar-benar mengetahui dan menyakini janji Allâh. Untuk
itu mereka mendorong para pemuda untuk segera menikah karena dalam pernikahan
terdapat keutamaan yang agung dan melimpah seperti lebih menjaga kehormatan,
menjadikan kaya, mengurangi tanggungan wanita, memperbanyak keturunan yang
mentauhidkan Allâh sehingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam nanti
berbangga-bangga dengan jumlah mereka di hari Kiamat, memenuhi perintah Allâh,
dan banyak sekali yang lainnya.
Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 13 H) Radhiyallahu
‘Anhu berkata:
اَطِيْعُوا اللّٰهَ
فِيْمَا اَمَرَكُمْ بِهِ مِنَ النِّكَاحِ، يُنْجِزُ لَكُمْ مَا وَعَدَكُمْ مِنَ الْغِنَى
قَالَ تَعَالَى: «إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِه»
“Taatilah
Allâh atas apa yang Dia perintahkan kepada kalian berupa menikah, niscaya Dia
akan menepati apa yang Dia janjikan kepada kalian berupa kekayaan, karena Allâh
berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allâh akan menjadikan mereka kaya
dari karunia-Nya.’”[25]
‘Umar bin Al-Khaththab (w. 23 H) Radhiyallahu
‘Anhu berkata:
عَجِبْتُ لِمَنِ
ابْتَغَى الْغِنَى بِغَيْرِ النِّكَاحِ، وَاللَّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ: «إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِه»
“Aku heran
terhadap seseorang yang mencari kekayaan tetapi tidak mau menikah, padahal
Allâh ta’ala berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allâh akan menjadikan
mereka kaya dari karunia-Nya.’”[26]
Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) Radhiyallahu
‘Anhuma berkata:
أَمَرَ اللّٰهُ
سُبْحَانَهُ بِالنِّكَاحِ وَرَغَّبَهُمْ فِيْهِ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُزَوِّجُواْ أَحْرَارَهُمْ
وَعَبِيْدَهُمْ، وَوَعَدَهُمْ فِي ذَلِكَ الْغِنَى فَقَالَ: «إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ
يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهِ»
“Allâh memerintahkan menikah dan mendorong untuk itu, dan
memerintah mereka untuk menikahkan orang-orang yang merdeka dan budak mereka,
serta menjanjikan mereka kekayaan pada pernikahan tersebut karena Allâh
berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allâh akan menjadikan mereka kaya
dengan karunia-Nya.’”[27]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu
(w. 32 H) berkata:
الْتَمِسُواْ الْغِنَى
فِي النِّكَاحِ، يَقُوْلُ اللّٰهُ: «إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ
مِنْ فَضْلِهِ»
“Carilah
kekayaan di dalam pernikahan, karena Allâh berfirman, ‘Jika mereka miskin,
niscaya Allâh akan menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya.’”[28]
Imam Al-Qurthubi berkata, “Ini
merupakan dalil untuk orang miskin yang menikah. Tidak boleh seseorang
mengatakan, ‘Bagaimana bisa aku menikah sementara aku tidak memiliki harta,’
karena rezekinya ada di sisi Allâh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah menikahkan seorang wanita yang mendatangi beliau untuk menghibahkan
dirinya, kepada seorang lelaki yang tidak memiliki apa-apa kecuali satu sarung
saja.”[29]
Cerita lengkapnya diriwayatkan
dalam Shahihain dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ
إِلَى رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ
جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِى! قَالَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ
اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ، فَلَمَّا رَأَتِ الْمَرْأَةُ
أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللّٰهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا! فَقَالَ:
«وَهَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَىْءٍ؟» قَالَ: لاَ وَاللّٰهِ يَا رَسُولَ اللّٰهِ. فَقَالَ:
«اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا» فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ:
لاَ وَاللّٰهِ مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ» فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ:
لاَ وَاللّٰهِ يَا رَسُولَ اللّٰهِ وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِى
--قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ فَلَهَا نِصْفُهُ-- فَقَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ
عَلَيْهَا مِنْهُ شَىْءٌ وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَىْءٌ؟» فَجَلَسَ
الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُوَلِّيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِىَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: «مَاذَا
مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟» قَالَ مَعِى سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا عَدَّدَهَا. فَقَالَ:
«تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟» قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: «اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ»
“Seorang
wanita datang menemui Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata,
‘Wahai Rasûlullâh, aku datang untuk menghibahkan diriku untuk Anda.’ Lalu
Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam memandangi wanita itu, beliau arahkan
pandangannya ke atas dan ke bawah lalu beliau menundukkkan kepalanya. Maka
wanita itu melihat bahwa Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam tidak memberi
putusan apa-apa terkait dengan dirinya, maka ia pun duduk. Tiba-tiba seorang
sahabat berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, jika Anda tidak berhasrat
kepada wanita itu maka nikahkanlah aku dengannya.’ Maka beliau pun bertanya,
‘Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk dijadikan mahar)?’ Sahabat itu menjawab,
‘Tidak, demi Allâh wahai Rasûlullâh.’ Beliau bersabda, ‘Pergilah kepada
keluargamu, dan lihatlah apakah ada sesuatu.’ Laki-laki itu pun pergi dan
kembali seraya berkata, ‘Tidak, demi Allâh wahai Rasûlullâh, aku tidak
mendapatkan sesuatu.’ Beliau bersabda lagi, ‘Lihatlah, meskipun yang ada hanyalah
cincin dari besi.’ Laki-laki itu pergi lagi kemudian kembali dan berkata,
‘Tidak, demi Allâh wahai Rasûlullâh meskipun hanya cincin besi. Akan tetapi aku
mempunya kain ini.’” Sahl melanjutkan, “Ia tidak memiliki kain kecuali
setengah. Maka Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda, ‘Apa yang
dapat kamu lakukan dengan kainmu itu. Jika kamu memakainya ia tidak akan
kebagian, dan jika ia memakainya kamu tidak akan kebagian.’ Akhirnya laki-laki
itu duduk hingga lama, lalu ia beranjak. Kemudian Rasûlullâh shallallahu
'alaihi wasallam pun melihatnya hendak pulang. Maka beliau memerintahkan
seseorang agar memanggilnya. Ketika laki-laki itu datang, beliau bertanya,
‘Surat apa yang kamu hafal dari Al-Qur`an?’ Ia berkata, ‘Yaitu surat ini dan
itu.’ Ia menghitungnya. Beliau bersabda, ‘Apakah kamu menghafalnya dengan
baik?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ya.’ Akhirnya beliau bersabda, ‘Pergilah!
Sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan mahar hafalan Al-Qur`anmu.’”[30]
Siapa yang merenungkan kisah ini
maka dia akan mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
seolah-olah membantah orang-orang yang melarang anaknya menikah karena takut
bertambah beban hidupnya atau khawatir tidak mampu mencukupi kebutuhan
keluarganya. Seandainya kemiskinan tidak dibenarkan untuk menikah, tentulah
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang lelaki itu. Namun,
Allâh justru memperlihatkan kisah manusia yang paling melarat dan miskin yang
tidak memiliki apapun meskipun cincin besi!!!
Seseorang yang takut menikah
karena miskin seolah-olah tidak percaya dengan takdir dan janji Allâh, yaitu
takdir bahwa setiap manusia telah ditetapkan rezekinya dan tidak akan meninggal
hingga disempurnakan jatahnya, dan janji berupa pertolongan Allâh bagi siapa
yang menikah karena memenuhi perintah-Nya atau karena ingin menjaga
kehormatannya agar tidak terjatuh dalam hal-hal yang diharamkan-Nya.
Hitungan matematikanya,
seandainya setiap orang Allâh jatah rezekinya 10 bagian, maka setelah menikah
menjadi 20 bagian. Jika lahir anak, maka jatahnya bertambah, sehingga akan
terkumpul di keluarga tersebut 30 bagian. Allâh berfirman:
«وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى
اللّٰهِ رِزْقُهَا»
“Dan tidak
ada makhluk di bumi kecuali menjadi tanggungan Allâh-lah rezekinya.”[31]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
berkata, “Allâh ta’ala mengabarkan bahwa Dia-lah yang menanggung
rezeki-rezeki para makhluk, yaitu semua makhluk di bumi yang kecil maupun yang
besar, baik yang di laut maupun yang di darat.”[32]
Al-Hasan Al-Bahsri adalah tabi’in
yang sangat zuhud dan wara. Beliau ditanya bagaimana bisa demikian? Beliau
menjawab bahwa rezekinya telah Allâh tetapkan sehingga dia tidak resah akan
direbut orang lain dan menyakini bahwa seseorang tidak akan meninggal sehingga
disempurnakan rezekinya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«لَوْ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللّٰهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ
الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا»
“Seandainya
kalian tawakal kepada Allâh dengan sebenarnya, niscaya Dia benar-benar akan
memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki burung yang pergi pagi
hari dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”[33]
Mengena sekali perumpamaan yang
dibuat Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Seekor burung yang
tidak pernah sekolah, tidak memiliki keahlian, dan tidak memiliki akal
sebagaimana manusia, Allâh berikan ia rezekinya dan mengeyangkan perutnya hanya
dengan satu syarat dia mau ikhtiar terbang. Maka, manusia lebih berhak untuk itu
karena ia dilebihkan dengan akal dan keahlihan. Tugas manusia hanya berusaha
dan Allâh-lah yang akan mencukupi kebutuhannya. Allâh tidak akan menurunkan
emas begitu saja dari langit. Maryam yang begitu kepayahan setelah melahirkan
tetap Allâh suruh bergerak untuk menggoyangkan pohon kurma agar ruthabnya
(kurma basah) berjatuhan. Mudah saja bagi Allâh langsung menghidangkan ruthab
itu bagi Maryam ditambah keadaannya yang sangat lemah usai melahirkan ‘Isa.
Namun, Allâh menghendaki sunnatullah bahwa takdir Allâh dicari dengan sebab,
sebagaimana ‘Umar menghindari wabah tha’un untuk berpindah dari satu takdir ke
takdir lainnya.
Dalam kisah Maryam tersebut juga
terdapat pelajaran bahwa yang Allâh tuntut adalah ikhtiar (usaha) semampunya
meskipun secara perhitungan tidak akan mencukupi pendapatannya, sebagaimana
Maryam diminta Allâh menggoyangkan batang pohon kurma agar bergururan
ruthabnya, meskipun secara akal tidak mungkin bisa bergoyang karena Maryam
lemah usai melahirkan dan yang digoyang pun batang pohonnya bukan ranting
kurmanya. Subhânallâh![34]
Az-Zujaj berkata:
حَثَّ اللّٰهُ
عَلَى النِّكَاحِ، وَاعْلَمْ أَنَّهُ سَبَبٌ لِنَفْيِ الْفَقْرِ، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ
يَكُوْنَ هَذَا حَاصِلاً لِكُلِّ فَقِيْرٍ إِذَا تَزَوَّجَ، فَإِنَّ ذَلِكَ مُقَيَّدٌ
بِالْمَشِيْئَةِ
“Allâh
mendorong untuk menikah dan ketahuilah bahwa menikah adalah sebab untuk
menghilangkan kemiskinan. Namun, tidak mesti hal ini berlaku pada setiap orang
miskin yang menikah, tetapi tergantung dengan ikhtiar kerja.”[35]
Terkadang
ada seseorang yang telah sekian lama menikah tetapi tidak kunjung kaya.
Barangkali penyebabnya adalah dia kurang serius dalam ikhtiarnya atau
disebabkan karena dosa-dosanya atau Allâh menghendaki memberi ujian kesempitan
kepadanya karena Dia lebih mengetahui keadaan hamba-Nya Mukmin. Barangkali jika
Allâh lapangkan rezeki si Mukmin itu, dia akan melupakan Allâh dan Akhirat.
Allâh berfirman:
«وَلَوْ بَسَطَ
اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ
مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ»
“Dan
seandainya Allâh lapangkan rezeki semua hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan
durhaka di bumi. Namun, Allâh menurunkan sesuai dengan kadarnya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatahu dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”[36]
Imam Al-Qurthubi (w. 671 H)
berkata, “Jika ada yang berkata, ‘Kami mendapati orang yang sudah menikah
tetapi tidak kaya juga.’ Kami jawab, ‘Ketentuan ini tidak selalu berlaku
demikian. Seandainya dia kaya sebentar itu sudah mencukupi Allâh memenuhi
janji. Ada yang berpendapat, ‘menjadikannya kaya’ maksudnya kaya hati.
Disebutkan dalam riwayat shahih:
«لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ
الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ»
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
berkata, “Kaya di sini adalah qana’ah. Ada yang berpendapat, gabungan dari dua
rezeki: rezeki suami dan rezeki istri.”[39]
Yang tampak bagi kita bahwa
kenyataan membuktikan bahwa orang yang telah menikah jauh lebih kaya daripada
sebelumnya. Dia mampu membeli apa yang dulu tidak mampu dibeli: punya rumah,
kendaraan, bisnis, dan memiliki sesuatu yang belum dimiliki sebelumnya. Jika
setelah menikah dia mendapati dirinya bangkrut dan miskin, tentu ada sebabnya
seperti dosa dan maksiat, memutus silaturrahim, dan curang dalam berdagang
sehingga dicabut keberkahannya, karena mustahil Allâh mengingkari janji-Nya.
Seorang kawan bercerita kepada
kami. Dia memutuskan menikah saat semester tujuh padahal belum memiliki
pekerjaan tetap kecuali hanya les privat ala kadarnya di tengah kesibukan
kuliah. Namun, keadaan menuntutnya untuk segera menikah karena sudah terlanjur
jatuh hati kepada seseorang dan ingin menjaga kehormatannya. Akhirnya ia pun
menikah. Awal-awal menikah dia mengalami masalah ekonomi dan begitu berat
menjalaninya, tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Sekitar dua bulan
kemudian, Allâh mencukupkan rezekinya bahkan setelah itu pendapatannya lebih
dari 3 juta. Maa syaa Allah.
Seorang kawan lain juga
bercerita, usai wisuda dia ingin menikah tetapi lamaran kerjanya belum kunjung
ada jawaban sehingga biaya untuk persiapan menikah pas-pasan. Bismillah, dia
memutuskan menikah. Sehari setelah menikah, dia dapat panggilan kerja dan
diterima di sebuah perusahaan terkenal di Surabaya.
Seorang kepala sekolah Rumah
Tahfizh di Surabaya bercerita. Awal-awal beliau menikah gajinya tidak cukup
untuk keluarga, hanya 600.000 rupiah. Sebulan kemudian, gajinya naik dua kali
lipat 1.200.000 rupiah.
Mau? Hehe.
Kebanyakan teman-teman yang
kuliah sambil menikah lebih tentram hatinya, ceria wajahnya, dan kuat
ibadahnya, meskipun hatinya lebih sibuk dan waktunya lebih padat. Namun, mereka
menikmati semua itu. Bagaimana tidak? Mana yang lebih nikmat: menganggur
tapi menahan syahwat dan dosa ATAU sibuk tapi hati tentram dan dinilai
ibadah???
Maka jangan lagi ada yang
beralasan enggan menikah karena takut miskin. Bahkan, Allâh Subhanahu wa
Ta’ala menutup celah hembusan setan yang menakut-nakuti ketidakjelasan
hidup dan keterombang-ambingan wanita yang tercerai sebagai akibat dari adanya
pernikahan. Allâh berfirman:
«وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّٰهُ كُلًّا مِنْ
سَعَتِهِ وَكَانَ اللّٰهُ وَاسِعًا حَكِيمًا»
“Dan jika
mereka berdua berpisah, Allâh akan menjadikan kaya masing-masing mereka dari
karunia-Nya. Allâh Mahaluas dan Maha Bijaksana.”[40]
Perceraian mungkin saja terjadi,
mungkin karena tidak adanya kecocokan, tidak ingin dimadu, atau karena sebab
lainnya. Namun, hal ini bukan alasan untuk takut menikah, sehingga Allâh
menjanjikan pada perceraian apa yang Dia janjikan pada pernikahan.
Imam Al-Quthubi (w. 671 H)
meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad bahwa ada seorang lelaki yang mengadukan
kepadanya perihal kemiskinannya, lalu Ja’far memerintahkannya untuk menikah.
Lelaki itu pun menikah. Kemudian, dia kembali mengadukan kepadanya perihal kemiskinannya.
Lalu ia menyuruhnya untuk melakukan cerai. Ja’far ditanya mengenai sikapnya ini
dan menjawab, “Aku menyuruhnya menikah semoga dia termasuk ayat, ‘Jika
mereka miskin, niscaya Allâh akan menjadikan mereka kaya.’ Namun, ketika
dia tidak termasuk ayat ini aku menyuruhnya melakukan cerai semoga dia termasuk
ayat, ‘Jika mereka berdua berpisah, niscaya Allâh akan menjadikan
masing-masing dari mereka kekayaan dari karunia-Nya.’”[41] [42]
b. Belum dapat Restu Orang Tua
Masalah ini lebih rumit daripada
yang pertama yang hanya perlu menata ulang keyakinan, tetapi untuk masalah
kedua ini berhubungan dengan kehendak orang tua yang tidak bisa serta merta
diubah. Biasanya alasan pelarangan orang tua ada dua: [1] agar anak bisa fokus
kuliah dan tidak tersibukkan dengan mencari nafkah, dan [2] orang tua ingin
anaknya menyelesaikan kuliah lalu mencari kerja agar bisa membalas jasa orang
tua. Mereka khawatir jika sudah berkeluarga nanti, anak mengabaikan orang tua
sementara keluarga anak mengurangi jatah mereka.
Yang perlu dilakukan bagi pemuda
adalah menjaga hubungan dengan orang tua dan berbakti kepada mereka berdua.
Memenuhi keinginan mereka jika memungkinkan, seperti mencari penghasilan dan
memperbaiki nilai akademik.
Jika keadaan seseorang tidak
mendesak dan dia bisa bersabar menunda menikah, maka ini baik untuk
menyenangkan hati orang tua. Namun, jika keadaan seseorang sangat
memprihatinkan dan khawatir terjatuh dalam lembah perzinaan atau kenistaan,
hendaklah sebisa mungkin bersabar dan melakukan terapi nabawi puasa. Jika
memang sudah berusaha tetapi tidak mampu, maka menyelamatkan agama lebih
diutamakan daripada mencari kebaikan. Kaidah fiqih menyatakan, “Menolak kerusakan
lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan,” dan juga, “Darurat
menjadikan dibolehkannya melakukan mudharat.”
Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin
(w. 1421 H) berkata, “Jika seorang anak telah mempunyai pilihan wanita yang
shalihah kemudian ayahnya melarang untuk menikah dengan wanita tersebut, maka
anak tersebut tidak wajib mentaati. Seandainya seseorang mempunyai pilihan
wanita yang shalihah lalu ayahnya mengatakan, ‘Jangan kamu menikah dengannya!’
ia berhak tetap melangsungkan pernikahannya meskipun ayahnya tidak merestuinya,
karena anak tidak wajib mentaati ayahnya dalam perkara yang tidak membahayakan
ayahnya sementara bermanfaat bagi anaknya.”[43]
Datangilah orang tua dan
berkatalah dengan baik-baik dan tunjukkan keshalihan karena Islam mengajarkan
untuk berkata yang baik dan menyikapi mereka dengan baik. Kesyirikan adalah
sebesar-besar keburukan dalam Islam tetapi bersamaan dengan itu Islam tetap
memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua yang musyrik yang memaksakan
kehendaknya. Allâh berfirman:
«وَإِنْ جَاهَدَاكَ
عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا»
“Dan jika
mereka berdua memaksamu untuk berbuat syirik kepada-Ku apa yang kamu tidak
memiliki ilmu tentangnya, maka jangan turuti mereka, dan pergaulilah mereka di
dunia dengan baik.”[44]
Setelah menikah, perlihatkanlah
adab-adab yang baik dan yakinkan mereka bahwa pernikahan kalian tidak
menghalangi studi dan tidak terbukti apa yang mereka khawatirkan. Berikanlah
apa yang mereka inginkan semampu kesanggupan. Dengan begitu, Anda telah mengumpulkan
dua kebaikan.
Seandainya setiap lelaki menunda
menikah karena halangan orang tuanya, niscaya kerusakan akan menyebar luas
karena jumlah kaum wanita jauh lebih banyak daripada kaum lelaki. Belum lagi di
antara mereka ada wanita-wanita yang enggan dimadu. Akhirnya, kaum wanita
terkatung-katung dalam tiga hal: telat menikah karena kaum lelaki menundanya,
telat menikah karena tidak mau dimadu, dan telat menikah karena bersaing dengan
puluhan wanita lain (satu banding sepuluh).
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ
السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ، وَيَكْثُرَ الْجَهْلُ، وَيَكْثُرَ الزِّنَا،
وَيَكْثُرَ شُرْبُ الْخَمْرِ، وَيَقِلَّ الرِّجَالُ، وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى
يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ»
“Sesungguhnya
di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah diangkatnya ilmu, banyaknya kebodohan,
maraknya zina, banyaknya minuman khamr, sedikitnya kaum laki-laki, dan
banyaknya kaum perempuan hingga lima puluh perempuan dibawahi satu orang.”[45]
Fadhilatusy Syaikh Al-’Utsaimin
(W. 1421 H) berkata, “Enggan menikah berarti menyia-nyiakan maslahat
pernikahan. Saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin terutama
yang menjadi wali bagi putri-putrinya dan saudari-saudariku kaum Muslimah,
hendaklah tidak menolak lamaran dengan alasan ingin menyelesaikan studi atau
mengajar. Perempuan bisa saja minta syarat kepada calon suami seperti mau dinikahi
tetapi dengan syarat tetap diperbolehkan meneruskan studi atau mau dinikahi
tetapi dengan syarat tetap diperbolehkan menjadi guru sampai satu atau dua
tahun, selagi belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu boleh-boleh
saja. Hanya saja, adanya perempuan yang mempelajari ilmu pengetahuan di
Perguran Tinggi yang tidak kita butuhkan merupakan masalah yang perlu dikaji
ulang. Menurut pendapat saya bahwa apabila perempuan telah tamat sekolah dasar
dan mampu membaca dan menulis yang dengan itu ia mampu membaca Al-Qur`an dan
tafsirnya, dapat membaca hadits dan syarahnya, maka hal itu sudah cukup,
kecuali kalau untuk mendalami suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh
umat seperti kedokteran dan lainnya, jika memang dalam studinya tidak terdapat
sesuatu yang terlarang seperti ikhtilat dan lainnya.”[46]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (w.
1420 H) ditanya, “Seorang lelaki ingin menikah dengan seorang gadis, tetapi
walinya menolak. Bagaimana hukumnya?” Syaikh menjawab, “Termasuk kewajiban
seorang wali adalah bersegera dalam menikahkan putri-putri yang dibawah
kewaliannya, terutama tatkala telah mendapatkan lelaki yang sekufu (setaraf)
dan baik, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«إِذَا خَطَبَ
إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ
فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ»
“Jika datang
meminang kepada kalian seseorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah. Jika kalian enggan melaksanakannya, niscaya akan terjadi fitnah di
bumi dan kerusakan yang besar.”[47]
Seorang bapak atau wali lainnya
tidak boleh menghalangi putrinya untuk menikah, dengan tujuan untuk dinikahkan
dengan anak pamannya atau orang lain yang tidak disenangi oleh putrinya atau
bertujuan mendapatkan harta yang lebih banyak atau tujuan-tujuan lain yang
bertentangan dengan syari’at Islam. Wajib bagi hakim atau pihak berwenang untuk
menindak siapa saja yang terbukti dengan paksa telah menghalangi wanita untuk
menikah. Bagi hakim boleh mempersilahkan wali lain untuk mengadakan aqad nikah.
Ini bertujuan untuk mengurangi kezhaliman, menegakkan keadilan, dan melindungi
kaum pemuda dan pemudi dari jeratan maksiat akibat ulah para wali mereka.”[48]
Kami benar-benar mengetahui
seorang lelaki yang tidak diizinkan menikah oleh orang tuanya karena masih
kuliah apalagi belum mempunyai kerjaan tetap. Menurut lelaki itu, menikah tidak
mengganggu kuliah dan tak masalah belum punya kerja tetap, yang penting tetap
kerja. Akhirnya, bismillah, dia mulai menggembara mencari seorang akhwat
pondokan lewat makcomblang (seorang yang terpercaya) untuk mencarikannya.
Selesai ta’arufan, keduanya cocok lalu si lelaki pun menyampaikan ke orang
tuanya perihal dia akan menikah dan sudah ada ancang-ancang tanggal aqad
nikahnya. Betapa anehnya, tiba-tiba orang tuanya berubah sikap alias menyetujuinya,
bahkan bersedia melamarkan untuk anaknya ke calon mertua. Cerita singkatnya,
satu bulan kemudian mereka berdua telah resmi menjadi suami-istri. Sungguh
misteri takdir Allah dan Dia berbuat sesuai kehendak-Nya. Allah Mahamampu atas
segala sesuatu.
Wahai para mahasiswa Islam,
menikahlah karena Rasûlullâh mendorong para pemuda untuk menikah. Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sangat mendorong kaum pemuda untuk menikah, terutama
mereka yang menggebu keinginan jima’nya sementara ia takut terjerumus ke lembah
kenistaan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ،
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
“Wahai para
pemuda[49]! Siapa di antara kalian
yang mampu bâ`ah[50], maka menikahlah. Sebab, itu
lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu,
hendaklah berpuasa karena ia akan menjadi tameng baginya.”[51]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lebih mendahulukan solusi menikah daripada berpuasa,
karena kebaikan menikah menyebar ke banyak pihak sementara kebaikan puasa
kembali ke dirinya saja.
Menikahlah
karena banyak para mahasiswa Islam yang dangkal agamanya masuk ke agama Syi’ah
yang sesat. Di saat mereka bergejolak
syahwatnya sementara mereka tidak memiliki istri, akhirnya agama Syi’ah adalah
pilihan terakhir mereka untuk mendapatkan kenikmatan nikah mut’ah dengan mudah
dan menyenangkan, meskipun harus mengorbankan Akhiratnya. Allâhul musta’ân.
Bab 4:
Mendulang Pahala Melimpah dalam Pacaran
Haaah!
Pacaran? Yups, pacaran. Tapi yang dimaksud di sini adalah pacaran setelah
nikah, sebab pacaran yang umum dilakukan oleh kawan-kawan kita para mahasiswa
dan mahasiswi terlarang dalam Islam dan hanya mengundang dosa dan murka Allâh Subhanahu
wa Ta’ala.
Mahasiswi
dan mahasiswa yang pacaran telah melanggar minimal dua hal: melihat wanita ajnabi
(nonmahram) dengan syahwat dan bersentuhan. Padahal Allâh Subhanahu wa
Ta’ala melarang keduanya.
Tentang
melihat ajnabi ini, misal firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
«قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ »
“Katakanlah
kepada orang-orang Mukmin agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga
kemaluannya.”[52]
Tentang
bersentuhan ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لَأَنْ يُطْعَنَ
فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً
لَا تَحِلُّ لَهُ»
“Sungguh
salah seorang dari kalian kepalanya ditusuk dengan jarum besi lebih baik
baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”[53]
Ada
gak ya, orang pacaran tanpa melihat dan tanpa megang tangan? Kayaknya gak ada
deh.
Meskipun
Allâh melarang pacaran illegal, Allâh membolehkan pacaran legal (nikah) bahkan
memberi janji pahala yang banyak dan melimpah di dalamnya.
Allâh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berfirman:
«وَمِنْ آيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ»
“Di antara
tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri
dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa tenang karena mereka, dan Dia
jadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sungguh pada demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.”[54]
Dalam ayat ini Allâh menjadikan
pernikahan sebagai satu dari tanda-tanda-Nya menunjukkan agung dan besarnya
masalah pernikahan, bahkan Allâh menyebut pernikahan dalam Al-Qur`an sebagai mîtsâqan
ghalîzhâ (ikatan yang sangat kuat). Hal ini disebabkan di dalam pernikahan
terdapat pahala yang melimpah yang akan diuraikan berikut ini:
a. Nafkah
Allâh menjadikan nafkah suami
kepada keluarganya sebagai sedekah:
«إِنَّكَ لَنْ
تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللّٰهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى
مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ»
“Tidaklah engkau memberi nafkah karena mengharap wajah Allâh
melainkan engkau akan diberi pahala, hingga apa yang engkau suapkan ke mulut
istrimu.”[55]
Bahkan Allâh menjadikan nafkah kepada keluarga sebagai infak yang
paling utama dan paling besar pahalanya:
«دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ
فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ
بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا
الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ»
“Satu dinar
yang engkau nafkahkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
pembebasan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan
satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar
pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”[56]
Untuk itu Allâh mencukupkan
syarat ketaqwaan dengan infak kepada keluarga: anak dan istri meskipun belum
sanggup berinfak kepada faqir miskin maupun infaq fi sabilillah. Mengenai
firman Allâh:
«ذَلِكَ الْكِتَابُ
لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (٢) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ»
“Inilah kitab
yang tiada keraguan sedikitpun di dalamnya dan sebagai petunjuk bagi orang
orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menunaikah shalat dan menginfaqkan
sebagian harta yang telah kami berikan kepada mereka.”[57]
Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan
sejumlah shahabat menafsirkan infaq ini:
هِيَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِهِ
“Yaitu nafkah
seseorang kepada keluarganya.”[58]
Menurut akal sehat, jualan es keliling lebih jantan dan lebih menantang
daripada pacaran pranikah. Bekas keringat karena keliling kampus dan kampung
tidak akan sia-sia, bahkan dinilai ibadah karena untuk menafkahi si pacar baru
(istri) di rumah. Keren kan!
b. Berbuat Baik
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam besabda:
«لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا،
وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ»
“Janganlah
kalian meremehkan kebaikan sedikitpun meskipun kalian bertemu saudaramu Muslim
dengan wajah berseri.”[59]
«تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ»
“Senyummu
kepada wajah saudaramu bernilai sedekah bagimu.”[60]
Dalam dua hadits ini, objek yang
dibicarakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dua orang sesama Muslim:
antara Muslim dengan Muslim lainnya, antara seseorang dengan tetangganya, atau
antara seorang dengan sahabat Muslim lainnya, lalu Nabi menjadikan senyum
mereka sebagai sedekah bagi mereka. Maka, pahalanya ini akan semakin besar jika
dilakukan antara suami istri atau ayah dengan anaknya karena hubungan mereka
lebih dekat dari sekedar Muslim dengan Muslim lainnya, antara seseorang dengan
tetangganya, atau antara seorang dengan sahabat Muslim lainnya.
Dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika ada suami istri yang saling berpandangan,
maka Allâh akan memandang mereka dengan pandagan rahmat. Dan jika mereka saling
berpelukan maka gugurlah dosa-dosa mereka.” Atau secara makna tetapi hadits ini
dhaif. Hanya saja makna hadits ini tidak bisa disalahkan secara mutlaq, sebab
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
«لَأَنْ يُطْعَنَ
فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً
لَا تَحِلُّ لَهُ»
“Sungguh
salah seorang dari kalian kepalanya ditusuk dengan jarum besi lebih baik
baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”[61]
Yakni dosa menyentuh wanita yang
tidak halal baginya melebihi ditusuk kepalanya dengan jarum besi. Maka,
sebagaimana Allâh mengancam siksa yang pedih pada hal tersebut, Allâh
menjadikan pahala yang agung pada wanita yang halal baginya. Demikian mafhum
mukhalafahnya, yakni pemahaman sebaliknya.
Imam Al-Bukhari membuat sebuah
bab di kitab Shahihnya:
بَابُ السَّمَرِ فِي العِلْمِ
“Bab begadang karena ilmu.” Tetapi hadits yang beliau cantumkan justru tentang
perbincangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan istrinya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا
Dari Ibnu ‘Abbas
dia berkata, “Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah binti Al-Harits istri Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam saat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di
sisinya pada jatah malam gilirannya.”[62]
Seolah-olah Imam Al-Bukhari
menghendaki bahwa orang yang bercanda dan ngrumpi (baik urusan dunia terlebih Akhirat)
dengan keluarga yang diniatkan karena Allâh mendapat pahala sebagaimana orang
yang belajar. Allahu a’lam. Begitu pula dalam hadits lain diceritakan bahwa
kebiasaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di malam hari setelah
shalat tahajud adalah bercakap-cakap dengan ‘Aisyah jika bangun. Jika ‘Aisyah
masih tidur, Nabi langsung tidur.
c. Bersenggama
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjadikan bersenggama antara suami istri bernilai sedekah. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«وَفِي بُضْعِ
أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ
وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ
عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ»
“Dan dalam senggama kalian ada sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai
Rasûlullâh, apakah salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya lalu dia
mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika dia
meletakkannya di tempat yang haram, bukankah dia mendapat dosa? Begitu pula
jika dia meletakkannya di tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”[63]
Bahkan pahalanya bisa bertambah
besar jika dilakukan pada hari Jumat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
«مَنْ غَسَّلَ
وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ، وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ،
فَدَنَا مِنَ الْإِمَامِ وَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ أَجْرُ
سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا»
“Barangsiapa
yang membuat junub (bersenggama hingga membuat istri wajib mandi junub) dan
mandi junub pada hari Jum’at, dan bersegera (mendatangi shalat di awal waktu)
dan pergi (sebelum khutbah dimulai), dan berjalan tidak berkendara, lalu
mendekat kepada imam dan mendengarkan dengan baik dan tidak berbuat sia-sia
(berbicara saat khatib berkhutbah), maka dia mendapatkan setiap langkah pahala
satu tahun puasa dan shalat malam.”[64]
Disamping berpahala, dengan
senggama seseorang bisa mempunyai anak shalih yang akan menambah investasi
pahala kedua orang tuanya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam:
«إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»
“Jika manusia
meninggal dunia maka amalnya terputus darinya kecuali tiga, yaitu shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”[65]
Karena besarnya keuntungan
memiliki anak shalih ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan
para pemuda untuk mencari istri yang penyayang dan subur. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي
مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ [يَوْمَ الْقِيَامَةِ]»
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan
membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada para umat [pada hari Kiamat].”[66]
Bahkan ‘Umar Radhiyallahu
‘Anhu berkata:
وَاللّٰهِ إِنِّي
لَأُكْرِهُ نَفْسِي عَلَى الْجِمَاعِ، رَجَاءَ أَنْ يُخْرِجَ اللّٰهُ مِنِّي نَسَمَةً
تُسَبِّحُ اللّٰهَ
“Demi Allâh
sungguh aku memaksa jiwaku untuk bersenggama karena berharap Allâh akan
mengeluarkan dariku keturunan yang akan bertasbih kepada Allâh.”[67]
Di antara berkah pernikahan
terkait keturunan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ
يَمُوتُ لَهُمَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلَّا جِيءَ
بِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُوقَفُوا عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُمُ:
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ! فَيَقُولُونَ: حَتَّى يَدْخُلَ آبَاؤُنَا، فَيُقَالُ لَهُمِ:
ادْخُلُوا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْجَنَّةَ!»
“Tidak ada
dua orang Muslim (orang tua) yang meninggal tiga anaknya yang belum baligh
melainkan akan didatangkan pada hari Kiamat hingga berhenti di pintu Surga.
Dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah kalian ke dalam Surga!’ Mereka menjawab,
‘Hingga masuk juga orang tua kami.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah
kalian bersama orang tua kalian ke dalam Surga!’”[68]
d. Menyempurnakan Keimanan dan Pahala
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«مَنْ أَعْطَى
لِلّٰهِ، وَمَنَعَ لِلّٰهِ، وَأَحَبَّ لِلّٰهِ، وَأَبْغَضَ لِلّٰهِ، وَأَنْكَحَ لِلّٰهِ،
فَقَدِ اسْتَكْمَلَ إِيمَانُهُ»
“Barangsiapa
yang memberi karena Allâh, menahan karena Allâh, mencintai karena Allâh,
membenci karena Allâh, dan menikah karena Allâh, maka sungguh telah sempurna
keimanannya.”[69]
Betapa agung pahala dalam
pernikahan, sehingga tidak berlebihan jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengabarkan separuh agama didapatkan oleh siapa yang menikah dalam
sabdanya:
«إِذَا تَزَوَّجَ
الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللّٰهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي»
“Jika seorang
hamba menikah maka dia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah dia
bertakwa kepada Allâh di setengah sisanya.”[70]
Imam Al-Bukhari menyebutkan dalam
kitab Shahihnya bahwa Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata
kepada muridnya Sa’id bin Jubair:
هَلْ تَزَوَّجْتَ؟
قُلْتُ: لاَ، قَالَ: «فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً»
“Apakah kamu
telah menikah?” Aku (Said) menjawab, “Belum.” Dia berkata, “Menikahlah karena
orang yang terbaik dalam umat ini adalah yang paling banyak istrinya.”[71]
Gambaran mudahnya, jika ada dua
mahasiswa yang sama dalam ibadah, ketaatan, dan ilmu, serta sama-sama juara
kelas tetapi yang satu telah menikah dan satunya lagi belum menikah, maka yang
lebih utama di sisi Allâh adalah yang telah menikah.
Untuk itulah Allâh Subhanahu
wa Ta’ala dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan dan
menganjurkan para pemuda untuk segera menikah dan tidak menundanya tanpa alasan
yang jelas. Bahkan Allâh lewat Rasul-Nya menyatakan akan membantu mereka yang
tidak mampu menikah karena biaya atau lainnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«ثَلَاثَةٌ حَقٌّ
عَلَى اللّٰهِ عَوْنُهُمْ: المُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَالمُكَاتَبُ الَّذِي
يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ»
“Tiga orang
yang pasti Allâh tolong, yaitu orang yang berjihad di jalan Allâh, budak
mukatab yang ingin menebus dirinya, dan orang yang menikah demi menjaga
kehormatan.”[72]
Kesimpulannya, Allâh menjadikan
pahala yang melimpah dalam pernikahan, misalnya pahala melimpah dalam nafkah
suami kepada keluarganya, perbuatan ihsan, bersenggama, dan menjadikan
kesempurnaan iman dan pahala bagi lelaki dan perempuan yang menikah karena
Allâh demi menjaga kehormatan dan mengikuti sunnah para nabi dan rasul
terdahulu.
Masih ragu meninggalkan pacaran
jadul dengan versi pacaran islami? Pacaran islami lebih nikmat, bebas, dan
menantang. Bahkan, keadaan mahasiswa paling besar rasa cintanya kepada pacarnya adalah saat
pacaran setelah menikah. Mau bukti? Ini buktinya sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
«لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ»
Bab 5:
Keadaan Mahasiswa Galau dan Solusinya
Sahabatku, Bab ini tidak perlu
dibaca jika Anda sudah bertekad kuat menikah, apapun rintangannya, dan berapa
pun tingkat semesternya, juga berapapun nilai tabungannya. Ayo, maju. Semangat.
Namun, jika memang keberanian menikah terlalu dalam
terpendamnya, maka baiknya Anda membaca bab ini. Berikut pembahasan yang cukup
penting bagi Anda, para jomblo sejati. ^^
Di antara hukum Islam seputar Muslim
dan Muslimah adalah mereka saling menundukkan pandangan. Tidak ada perbedaan
dalam hal ini, baik ia lelaki atau perempuan. Allâh berfirman:
«قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ
اللّٰهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ»
“Katakanlah
kepada orang-orang Mukmin agar mereka menundukkan [sebagian] pandangannya dan
menjaga kemaluannya. Itu lebih suci bagi mereka. Allâh mengetahui apa yang
mereka perbuat. Dan katakan pula kepada wanita-wanita mukminah agar mereka
menundukkan [sebagian] pandangannya dan menjaga kemaluannya.”[74]
Dalam kaidah bahasa Arab, lafazh min
«مِنْ» bisa bermakna lit-tab’idh “sebagian”, dengan kaidah ini
maka makna ayat di atas adalah kaum muslimin diperintahkan untuk menundukkan
sebagian pandangan mereka. Mengapa sebagian pandangan saja? Karena ada
pandangan-pandangan yang dimaafkan, seperti pandangan fuja’ah
(tiba-tiba/spontan), nazhar (memandang wanita yang hendak dinikahi), dan
lain-lain. Ini makna pertama.
Dari Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ
اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي
أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku bertanya
kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang pandangan fuja’ah,
lalu beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.”[75]
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata,
“Makna fuja’ah adalah seseorang memandang wanita ajnabi (wanita asing
atau bukan mahram–penj) tanpa sengaja, maka ia tidak berdosa di
awalnya dan wajib baginya untuk segera memalingkan pandangannya. Jika dia mau
memalingkan pandangannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun, jika ia terus-menerus
memandangnya, maka ia berdosa. Al-Qadhi berkata, ‘Para ulama` mengatakan bahwa
dalam hadits ini terdapat hujjah bahwa wanita tidak wajib menutup wajahnya saat
di jalan, tetapi itu hanya sunnah mustahab, dan wajib bagi setiap lelaki
menundukkan pandangannya dalam setiap keadaan.’”[76]
Al-Imam
berkata, “Jika pandangan bertemu, maka jangan diulangi dengan sengaja,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu
bahwa dia bertanya kepada Rasûlullâh tentang padangan fujâ`ah, lalu
beliau bersabda, ‘Palingkan wajahmu.’”[77]
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu:
«يَا عَلِيُّ
لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ»
“Wahai ‘Ali,
janganlah kamu mengikuti pandangan satu dengan pandangan lainnya. Untukmu
pandangan pertama tetapi tidak pandangan berikutnya.”[78]
Ada seorang kawan mahasiswa yang
ingin mengisi BBM di SPBU. Saat dia sibuk mematikan mesin dan mengambil uang,
tiba-tiba ada suara, “Berapa liter, Mas?” Spontan dengan refleks dia menatap
petugas wanita itu. Cantik.
Lantas, siapa yang bisa selamat
dari gerakan refleks seperti ini?
Makna yang kedua, bahwa Allâh
telah menetapkan zina bagi setiap orang sehingga nyaris tidak ada yang selamat
darinya. Penggunaan lafazh min di sini untuk menunjukkan hal ini, bahwa
hampir tidak ada manusia yang terbebas dari memandang wanita ajnabi. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِنَّ اللّٰهَ
كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا
الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِى،
وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ»
“Sesungguhnya
Allâh telah menetapkan bagian zina atas anak Adam yang pasti akan dilakukannya tidak
mungkin tidak. Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan berbicara, dan
jiwa mengkhayalkannya dan menginginkannya. Adapun kemaluannya akan membenarkan
itu atau justru mendustakannya.”[79]
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata,
“Makna hadits adalah telah ditakdirkan bagi anak Adam bagiannya dalam zina. Di
antara mereka berbuat zina hakiki berupa memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan
yang haram; dan di antara mereka berbuat zina majazi berupa melihat yang haram,
melakukan istimta` menuju zina atau wasilah kepadanya, memegang dengan
tangannya wanita ajnabi atau menciumnya, atau melangkahkan kakinya kepada
perzinaan, atau memandang, memegang, dan berbicara haram kepada wanita ajnabi
atau semacamnya, atau memikirkannya dalam hati. Semua jenis itu adalah zina
majazi, sementara kemaluannya nanti yang membenarkan semua itu atau
mendustakannya. Maknanya, terkadang ia mewujudkannya melalui kamaluannya atau
terkadang pula ia tidak mewujudkannya dengan tidak memasukkan kemaluannya ke
dalam kemaluan wanita.”[80]
Terkadang terlintas dalam diri
seorang lelaki apa yang hanya boleh dilakukan oleh suami istri, karena lemahnya
iman. Selagi dia berusaha menghilangkannya, maka tidak ada dosa baginya. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«إِنَّ اللّٰهَ
تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتكَلَّمْ»
“Sesungguhnya
Allâh mengampuni dari umatku apa yang terlintas dalam jiwanya selama belum
dikerjakan atau dibicarakan.”[81]
Jika kita renungkan akhir ayat
dalam surat an-Nur yang memerintakan orang-orang Mukmin untuk menundukkan
pandangan ini, Allâh menutup dengan firman-Nya:
«وَتُوبُوا إِلَى اللّٰهِ جَمِيعًا أَيُّهَ
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ»
Lafazh jami’an (semua)
seakan mengisyaratkan kepada kita bahwa hampir tidak ada seorang pun yang selamat
dari dosa memandang ini, tidak terkecuali orang Mukmin.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pun pernah melihat wanita ajnabi --padahal beliau adalah lelaki yang
paling bertakwa dan takut kepada Allâh-- yang mengakibatkan muncul hasrat
beliau, hanya saja beliau adalah Nabi yang mendapatkan penjagaan dari Allâh.
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma mengisahkan:
أَنَّ رَسُولَ
اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً، فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ
وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ،
فَقَالَ: «إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ
شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ
يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ»
“Rasûlullâh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah melihat seorang perempuan,[83] lalu beliau mendatangi
istrinya Zainab yang sedang menyamak kulit miliknya hingga menuntaskan
hajatnya. Setelah itu, beliau keluar kepada para shahabatnya, lalu bersabda, “Sesungguhnya
perempuan itu datang dalam rupa setan dan pergi dalam rupa setan pula. Apabila
seorang dari kalian melihat perempuan, maka segeralah ia mendatangi istrinya,
karena hal tersebut bisa meredam apa yang bergejolak dalam jiwanya.”[84]
Para ulama` berkata, “Maksudnya,
hawa nafsu dan ajakan kepada fitnah, karena Allâh telah menjadikan kecondongan
jiwa kaum lelaki kepada kaum wanita dan kelezatan dalam memandangnya dan apa
yang berhubungan dengannya. Dari sisi inilah mereka menyerupai setan dalam
mengajak kepada keburukan dengan jalan wAs-was dan keindahan.”[85]
Maka, --wahai para mahasiswa--
setelah Anda mengetahui ini, yang bisa Anda lakukan --dan inilah solusi yang
diberikan Allâh dalam surat An-Nur di atas-- adalah memperbanyak istighfar
kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya. Sungguh Allâh Maha Pengampun.
Allâh mengetahui akan keinginan
kaum lelaki untuk melihat aurat wanita yang dilihatnya atau menjima’nya. Selagi
itu hanya lintasan pikiran dan berusaha berhenti, maka Allâh memaafkannya
karena Allâh Mahatahu bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah.
Berkenaan dengan firman Allâh:
«يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي
الصُّدُورُ»
“Dia
mengetahui pandangan khianat dan apa yang disembunyikan dalam dada.[86] Ibnu ‘Abbas menafsirkannya:
الرَّجُلُ يَكُوْنُ
فِي الْقَوْمِ فَتَمُرُّ بِهِمُ الْمَرْاَةُ فَيُرِيْهِمْ اَنَّهُ يَغُضُّ بَصَرَهُ
عَنْهَا، وَاِذَا غَفَلُواْ لَحَظَ اِلَيْهاَ وَاِذَا نَظَرُواْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْهَا،
وَقَدِ اطَّلَعَ اللّٰهُ مِنْ قَلْبِهِ اَنَّهُ وَدَّ اَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَى عَوْرَتِهَا
“Yaitu
seorang lelaki yang berada di tengah banyak orang lalu lewatlah seorang wanita,
dia memperlihatkan kepada mereka bahwa dia menundukkan pandangannya dari wanita
tersebut. Namun, tatkala mereka lengah, dia mencuri pandang kepada wanita
tersebut. Jika mereka melihatnya, dia kembali menundukkan pandangannya dari
wanita tersebut. Sungguh Allâh telah membongkar apa yang ada di hatinya bahwa
dia sangat ingin melihat aurat[87] wanita
tersebut.”[88]
Demikian solusi yang Allâh
tawarkan dalam surat an-Nur di atas. Dan hendaknya dia menambah dengan amAl-amal
shalih dan ibadah sunnah karena kebaikan itu bisa menghapus keburukan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«اتَّقِ اللّٰهَ
حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ»
“Bertaqwalah
kepada Allâh di mana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebaikan
maka ia akan menghapusnya, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.”[89]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu
(w. 32 H) berkata:
اَنَّ رَجُلاً
نَالَ مِنِ امْرَاَةٍ قَبَّلَهاَ، فَاَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَاَلَهُ عَنْ كَفَّارَتِهَا؟ فَنَزَلَتْ: «وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ
السَّيِّئَاتِ» قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، هَذِهِ لِي؟ قَالَ: «لِمَنْ عَمِلَ
مِنْ اُمَّتِي»
“Ada seorang
lelaki yang menciumi wanita lalu mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam lalu bertanya tentang kafaratnya. Lalu turun ayat, ‘Dan
dirikanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada permulaan
malam. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapus keburukan-keburukan.’[90] Dia
bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh apakah ini khusus untukku?’ Beliau menjawab,
‘Bahkan untuk siapa saja yang melakukannya dari umatku.’”[91]
Seandainya dia belum bisa
maksimal dalam meninggalkan maksiat, maka hendaklah ia mendekat kepada Allâh
dengan memperbanyak sedekah, puasa sunnah, shalat sunnah, dan kebaikan-kebaikan
lain dalam Islam dengan berusaha semampunya untuk meninggalkannya, serta
memperbanyak istighfar. Semua itu akan menghapus dosa-dosanya selagi dosa besar
dijauhi. Semoga dengan itu Allâh tidak meninggalkannya dan mengampuninya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
«وَاللَّٰهِ!
إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ
مَرَّةً»
“Demi Allâh!
Sungguh aku meminta ampun kepada Allâh dan bertaubat kepadanya dalam sehari
lebih dari 70 kali.”[92]
«مَنْ قَالَ:
اَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ
إِلَيْهِ، غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ»
“Barangsiapa
berdo’a, ‘Aku memohon ampun kepada Allâh yang tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Dia Yang Mahahidup Yang Mahaberdiri sendiri, dan aku
bertaubat kepadanya,’ maka Dia akan mengampuninya meskipun pernah kabur
saat perang berkecamuk.”[93]
Allâh
berfirman:
«إِنْ تَجْتَنِبُوا
كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ
مُدْخَلًا كَرِيمًا»
“Jika kalian
meninggalkan dosa-dosa besar yang kalian dilarang darinya, niscaya Kami akan
hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke tempat yang
mulia.”[94]
Sungguh
Allâh Maha Penyayang dan Belaskasih kepada hamba-hamba-Nya.
Penutup: Mau Tidak Mau Akuilah!
Di antara ulama` salaf ada yang
berkata, “Akal akan hilang dari orang yang sedang menahan kencingnya, menahan
buang air besar, dan orang yang kakinya terhimpit sepatu yang kekecilan.”[95]
Jika orang-orang seperti itu saja
“kehilangan” akalnya, apalagi orang yang tengah menahan syahwatnya. Sebab pada
saat itu jiwanya, hatinya, dan pikirannya sangat kacau.
Abu Muslim Al-Khaulani asy-Syami
berkata, “Wahai semua penduduk Khaulan! Nikahilah[96] wanita dan budak wanita
kalian! Karena sesungguhnya hasrat seksual itu urusan yang sangat berat. Maka,
persiapkan untuk menghadapinya. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang bangkit
nafsu syahwatnya, tidak lagi memiliki akal yang sehat.”[97]
Perkataan ini benar-benar
mengena, karena akal pikiran akan melemah dan terpecah karena sedikit saja dari
syahwat.
Kisah kaum luth adalah bukti
nyata atas hal ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa menahan dan
mengontrol syahwatnya, meskipun syahwat mereka tertuju kepada lelaki. Waktu
itu, datanglah tamu yang rupawan ke kediaman Nabi Luth. Mendengar itu,
bangkitlah nafsu birahi kaum Luth dan seketika mereka mendatanginya.
«وَجَاءَهُ
قَوْمُهُ يُهْرَعُوْنَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ السَّيِّئَاتِ
قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوْا اللّٰهَ وَلاَ
تُخْزُوْنِي فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيْدٌ»
“Dan
datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegAs-gegas. Dan sejak dahulu mereka
selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku,
inilah putri-putri (negeri)ku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada
Allâh dan janganlah kamu memalukan aku di hadapan tamuku ini. Tidak adakah di
antaramu seorang yang berakal?’”[98]
Imam Abu
Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) berkata:
وَقَوْلُهُ: «أَلَيْسَ
مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيْدٌ»، يَقُوْلُ: أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ ذُوْ رُشْدٍ، يَنْهَى
مَنْ أَرَادَ رُكُوْبَ الْفَاحِشَةِ مِنْ ضَيْفِي، فَيَحُوْلُ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ
ذَلِكَ؟
Ucapan Luth, “Tidak
adakah di antaramu seorang yang berakal?”
Maksudnya, “Tidakkah ada di antara kalian lelaki yang punya akal yang
bisa menahan kalian melakukan perbuatan keji terhadap tamuku, sehingga itu
membentengi kalian dari perbuatan itu?”[99]
Kaum Nabi Luth ‘Alaihis Salam seakan
tidak memiliki akal karena memang akalnya sudah tidak berjalan sesuai dengan
mestinya akibat menahan syahwat yang menggebu.
Dari sini, kita bisa memahami
bahwa nafsu syahwat merupakan masalah besar yang jika tidak tersalurkan akan
menjadikan seseorang lemah akalnya, kacau pikirannya, dan terpecah
konsentrasinya.
Sahabat Pembaca, ngeri bukan?
Sahabatku, barangkali jantung
Anda sekarang berdetak kencang karena membaca bahasan-bahasan ini yang
menyentuh hati. Kita kaum lelaki jujur, perkara wanita adalah perkara yang
besar dan berat. Andai kita disuruh memikul gunung maka itu lebih ringan
daripada disuruh memikul hasrat terhadap wanita.
Sebetulnya, penulis buku ini juga
pernah mengalami masa-masa seperti Anda. Galau saat kuliah. Bukan karena tidak
mampu mengikuti kuliah, tetapi fitnah wanita yang teramat berat di kampus.
Apalagi sebagian wanita tidak tahu sopan santun.
Alhamdulillah, yang diperlukan
adalah keberanian dengan memperbanyak doa dan pendekatan kepada Allah.
Bismillah, penulis memutuskan menikah di pertengahan kuliah. Sebenarnya
perasaan takut menghadapi masalah itu lebih besar dari pada ketakutan itu
sendiri. Pernikahan itu mudah dan menyenangkan. Coba saja.
Tiada gading yang tak retak. Saya
tidak meyakini semua di sini benar. Bagi yang ingin menyampaikan koreksi,
masukan, atau testimoni dimohon melayangkannya ke 085730219208.
Semoga yang sedikit ini
bermanfaat dan saya mohon maaf bila ada ucapan yang kurang berkenan. Demikan
dan barokallahu fikum.[]
Surabaya, Muharrom 1438 H/Oktober 2016
Nor Kandir
[2] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
5096) dan Muslim (no. 2740) dari Usamah bin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu
‘Anhuma.
[3] Tafsîr Al-Qurthubî (IV/29).
Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (II/19).
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 2742),
Ibnu Majah (no. 4000), dan Al-Baihaqi (no.
13906) dalam As-Sunan Al-Kubra dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu
‘Anhu.
[6] Syarah Ibnu Baththâl (VII/188).
[7] Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (no. 38436) dalam Mushannafnya dan Al-Baihaqi
(no. 5031) dalam Syu’abul Imân.
[8] Zâdul Masîr (II/196) oleh Ibnul
Jauzi.
[9] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 4151) dalam Al-Mustadrâk dan berkata, “Hadits shahih atas syarat Al-Bukhari dan
Muslim tetapi mereka tidak mengeluarkannya,” dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
Lihat Zâdul Masîr (IV/144) oleh Ibnul Jauzi.
[10] QS. Yusûf [12]: 24.
[11] QS. An-Nisâ` [4]:
[13] Tafsîr Al-Bahr Al-Muhîth (III/605) oleh Abu
Hayan Al-Andalusi dan Al-Kasyâf (I/501) oleh az-Zamakhsyari.
[15] Shahih: HR. Ahmad (no. 23074,
38/170) dalam Musnadnya, Al-Baihaqi (no. 10821) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
Ibnul Mubarak (no. 1168) dalam az-Zuhd war Raqâ`iq, dan Abu Nu’aim (no.
7315) dalam Ma’rifatush Shahabat dari seorang Arab Badui dari Abu
Qatadah dan Abu Dahdah. Dinilai shahih oleh Al-Arna`uth.
[17] Zâdul Masîr (I/333) oleh Ibnul
Jauzi.
[18] Shahih: HR. Al-Hakim (no. 3411) dalam Al-Mustadrâk dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih atas syarat
Muslim tetapi dia tidak mengeluarkannya,” dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[19] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
660) dan Muslim (no. 1031) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[20] Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 1847, I/593) dan Al-Hakim (no. 2677)
dalam Al-Mustadrâk dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma. Dinilai shahih oleh Al-Albani dan Al-Hakim sesuai syarat Muslim.
[24] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no. 2518). Dinilai shahih oleh Al-Hakim atas syarat Muslim dan disetujui adz-Dzahabi.
[26] Tafsîr Ibnu Katsîr (VI/40) dan Tafsîr
Al-Qurthubî (V/408).
[29] Tafsîr Al-Qurthubî (XII/242).
[30] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
5087)
dan Muslim (no. 1425). Lafazh ini milik Muslim dari Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.
[31] QS. Hûd [11]: 6.
[32] Tafsîr Ibnu
Katsîr (IV/305).
[33] Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), an-Nasa`i (no. 11805) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Ahmad (no. 205, I/332) dalam Musnadnya, dan Ibnu Hibban
(no. 730) dalam Shahîhnya dari ‘Umar
bin Al-Khaththab
Radhiyallahu ‘Anhu.
[34] Lihat QS. Maryam
[19]: 25.
[37] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
6446), Muslim (no. 1051), at-Tirmidzi (no. 2373), Ibnu Majah (no. 4137), dan Ahmad (no. 7316) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[38] Tafsîr Al-Qurthubî (XII/241).
[39] Tafsîr Ibnu Katsîr (VI/40).
[42] Tetapi perlu ada
catatan penting di sini,
saat kita nikah maka hendaknya kita benar-benar meniatkan untuk selama-lamanya.
Jangan ada niat bermudah-mudahkan bercerai, karena
bagaimanapun perceraikan akan menimbulkan banyak hal yang tidak baik. (Abu Zakaria)
[43] Lihat Durûs wa
Fatawâ Al-Harâm Al-Makki Syaikh Al-’Utsaimin (III/224).
[44] QS. Luqmân [31]:
15.
[45] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5231)
dan Muslim (no. 2671) dari Anas bin
Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[47] Hasan: HR.
At-Tirmidzi (no. 1085), Ibnu Majah (no. 1967), Al-Baihaqi (no. 13863) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, dan ath-Thabarani (no. 280) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[48] Lihat Fatawâ
Dakwah Syaikh Bin Bâz (I/165).
[49] Ahli bahasa mengatakan bahwa dikatakan syâbb (pemuda) jika umurnya
tidak lebih dari 30 tahun.
[50] Makna asli bâ`ah adalah jima’ dan ada pula yang mengartikannya akad
nikah. Para ulama` berselisih untuk makna hadits ini menjadi dua pendapat dan
yang paling shahih adalah makna pertama yaitu, “Barangsiapa yang mampu
berjima...” [Ta’lîq Shahih Muslim (II/1018) oleh Fuad Abdul Baqi secara
ringkas]
[51] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5066) dan Muslim (no. 1400)
dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.
[61] Telah berlalu
takhrijnya.
[66] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2050) dan di dalam kurung tutup tambahan
dari Ibnu Hibban. Dinilai shahih Al-Albani.
[72] Telah berlalu
takhrijnya.
[77] Syarhus Sunnah
(IX/23) oleh Al-Baghawi.
[78] Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 2777), Abu Dawud (no. 2149), Ahmad (no. 22974) dalam Al-Musnad,
Al-Bazzar (no. 701) dalam Al-Musnad, Al-Baihaqi (no. 13898) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Al-Hakim (no. 2788) dalam Al-Mustadrâk dan berkata, “Hadits
shahih atas syarat Muslim hanya saja tidak dikeluarkan,” dan disetujui
adz-Dzahabi dan dinilai hasan oleh Al-Albani.
[79] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6243, 6612) dan Muslim (no. 2657) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[81] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2528) dan Muslim (no. 127) dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu.
[83] Dalam riwayat lain
ada tambahan, “Yang membuat beliau kagum (karena kecantikannya).”
[84] Shahih: HR.
Muslim (no. 1403).
[86] QS. Ghâfir [40]:
19.
[87] Dalam riwayat Ibnu
Katsir dalam tafsirnya, “kemaluan.”
[88] Tafsîr Ibnu Abi
Hâtim (no. 18428, X/3265).
[89] Hasan:
HR.
At-Tirmidzi (no. 1987). Lihat Ahmad (V/153, 158, 177) dalam Musnadnya dan ad-Darimi (II/323) dalam Sunannya dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal Radhiyallahu
‘Anhuma.
[91] Tafsîr Ibnu Abi
Hâtim (no. 11269, VI/2091).
[92] Shahih: HR.
Al-Bukhari (no. 6307) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[93] Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 3577) dan Abu Dawud (no. 1517). Dinilai shahih oleh Al-Hakim,
at-Tirmidzi, dan Al-Albani, serta disetujui adz-Dzahabi.
[94] QS. An-Nisâ` [4]:
31.
[95] Lihat Gharîbul Hadîts (III/739) oleh Ibnu Qutaibah, Al-Faiqu bi Gharîbil Hadîts (I/300) oleh az-Zamakhsyari, dan an-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts wal Atsâr (I/378, 411, 416) oleh Ibnu Atsir.
[96] Kata nikah bisa
berarti jima’. Semua lafazh nikah di Al-Qur`an artinya akad nikah
kecuali di satu tempat pada QS. Al-Baqarah [2]: 230 yang berarti jima’.
Lihat Taisîrul Alâm oleh Syaikh Alu Bassam.