Download Buku: Kisah Mengharukan Para Penghafal Al-Qur’an - Pustaka Syabab
Kisah Mengharukan Para Penghafal Al-Qur’an Download PDF > https://drive.google.com/file/d/11bSg7qRqtMlfbBAFdKJFPBQdaEmLV0N...
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-kisah-mengharukan-para-penghafal-alquran.html?m=0
Kisah Mengharukan Para Penghafal Al-Qur’an
Download
***
Judul:
Kisah
Mengharukan Para Penghafal Al-Qur’an
Penulis:
Nor Kandir
Penerbit:
Pustaka Syabab
Cetakan:
Ke-1, Jumadil
Akhir 1438 H/Maret 2017 M
***
KISAH MENGHARUKAN PARA PENGHAFAL AL-QUR’AN
1.Jangan Matikan Aku Sebelum Menghafal Al-Qur’an
Saat itu tepatnya tanggal 5 Oktober 2008, seorang gadis
kecil Indonesia mengalami musibah yang luar biasa di negeri antah berantah nan
jauh - Syria. Gadis kecil ini terjatuh dari ketinggian sekiar 15 meter dan
terbanting-banting di anak tangga ampiteater Roma di Busrah. Karena kecelakaan
ini gadis kecil tersebut mengalami pendarahan otak yang sangat hebat, gadis
kecil ini mesti menjalani berbagai pembedahan otak dan merasakan sakit yang
luar biasa di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Pada saat pendarahan
masih menguasai otaknya sehingga kesadarannya timbul tenggelam, gadis kecil ini
lirih berdoa, “Ya Allah, jangan matikan aku sebelum aku selesai menghafal
Al-Qu’ran.”
Dengan tekad yang luar biasa inilah gadis kecil ini
berjuang melawan sakit di kepala yang tidak kunjung henti, terkadang dia harus
menjeduk-jedukkan kepalanya di tempat tidur untuk mengimbangi rasa sakit yang
sangat di dalam kepalanya.
Besarnya komitmen guna menghafal Al-Qur’an yang dialami
oleh gadis kecil ini juga jauh diatas beban manusia pada umumnya, betapa
frustasinya dia ketika hafalan ayat-ayat Al-Qur’an seolah timbul tenggelam di
kepalanya silih berganti dengan rasa sakit yang bisa tiba-tiba muncul kapan
saja. Tetapi dia terus belajar dan terus menghafal nyaris tanpa henti, dia
hanya berhenti menghafal ketika sakit kepalanya sudah tidak tahan lagi.
Di bulan Mei 2010 oleh Ustadzah-nya dia dibimbing untuk menyelesaikan ujian tahfiz setengah Al-Qur’an (15 Juz) dengan seorang Syeikh Qura di Damaskus.
Di bulan Mei 2010 oleh Ustadzah-nya dia dibimbing untuk menyelesaikan ujian tahfiz setengah Al-Qur’an (15 Juz) dengan seorang Syeikh Qura di Damaskus.
Gadis kecil ini pun lulus serta memperoleh syahadah
(ijazah) sanad bacaan Al-Qur’an yang sampai kepada Ali bin Abi Talib Radhiallahu
'Anhu, dan tentu saja sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Tidak hanya sampai di sini, gadis kecil tersebut mencanangkan niatnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an penuh 30 juz pada Ramdhan 1432 H. Maka target ini hanya meleset kurang lebih 3 pekan ketika pada tanggal 19 Syawwal 1432 H /19 September 2011 kemarin gadis kecil ini menyelesaikan hafalannya yang 30 juz, diiringi sujud syukur orang tuanya. Allahu Akbar.
Tidak hanya sampai di sini, gadis kecil tersebut mencanangkan niatnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an penuh 30 juz pada Ramdhan 1432 H. Maka target ini hanya meleset kurang lebih 3 pekan ketika pada tanggal 19 Syawwal 1432 H /19 September 2011 kemarin gadis kecil ini menyelesaikan hafalannya yang 30 juz, diiringi sujud syukur orang tuanya. Allahu Akbar.
Atas permintaan kedua orang tuanya yang tawadhu’, saya
(periwayat kisah ini) tidak dapat ungkapkan nama gadis kecil ini. Tetapi bagi
para gadis kecil – gadis kecil lainnya yang belajar Al-Qur’an di Madrasah Al-Qur’an
Daarul Muttaqiin Lil-Inaats (Pesantren Putri) Jonggol, gadis kecil penghafal Al-Qur’an
ini kini menjadi salah satu guru atau Mudarrisah (Ustadzhah) mereka.
Bahkan bukan hanya untuk anak-anak putri yang belajar Al-Qur’an di madrasah tersebut dia menjadi guru, gadis kecil penghafal Al-Qur’an ini juga layak untuk menjadi guru bagi kita semua para orang tua.
Guru dalam hal menyikapi musibah, guru dalam hal menghadirkan Allah dalam mengatasi persoalan kita, guru dalam mengisi hidup dengan Al-Quran, guru dalam merealisasikan niat, guru dalam menjaga komitment, guru dalam syukur dan sabar. Jika gadis kecil dengan beban sakit kepala yang luar biasa ini bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an-nya 30 Juz dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, berapa banyak yang sudah kita hafal? Berapa banyak yang kita niatkan untuk menghafalnya di sisa usia kita? Seberapa kuat niat kita untuk mengamalkannya? Kita tahu persis jawabannya untuk diri kita masing-masing.
Bahkan bukan hanya untuk anak-anak putri yang belajar Al-Qur’an di madrasah tersebut dia menjadi guru, gadis kecil penghafal Al-Qur’an ini juga layak untuk menjadi guru bagi kita semua para orang tua.
Guru dalam hal menyikapi musibah, guru dalam hal menghadirkan Allah dalam mengatasi persoalan kita, guru dalam mengisi hidup dengan Al-Quran, guru dalam merealisasikan niat, guru dalam menjaga komitment, guru dalam syukur dan sabar. Jika gadis kecil dengan beban sakit kepala yang luar biasa ini bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an-nya 30 Juz dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, berapa banyak yang sudah kita hafal? Berapa banyak yang kita niatkan untuk menghafalnya di sisa usia kita? Seberapa kuat niat kita untuk mengamalkannya? Kita tahu persis jawabannya untuk diri kita masing-masing.
Maka memang tidak berlebihan kalau saya menyebut gadis kecil
itu kini sebagai Sang Guru! Semoga Allah dan para Malaikat-Nya terus
mendampinginya hingga dewasa dan menjadi guru dan sumber inspirasi untuk
memperbaiki anak-anak (dan para orang tua) dunia.[]
2.Kisah Polisi dengan Pecandu Musik dan Hafizh Quran
Inilah kisah dari akhir hayat penggemar musik dan pencinta
Al-Qur’an Saif Al-Battar. Dia mengisahkan dirinya:
Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua
orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat
pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam
shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi
jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri
sendiri: “Alangkah sabarnya mereka… setiap hari begitu… benar-benar
mengherankan!”
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang Mukmin,
dan itulah shalat orang-orang pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidurnya
untuk bermunajat kepada Allah. Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh
sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal
berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang
jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan
menanggung beban sebagai orang terasing. Di sana, aku tak mendengar lagi suara
bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku
shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang
dulu kami nikmati.
Ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di
samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan
bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan
tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu
diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian, banyak
waktu luang yang terbuang sia-sia.
Aku mulai jenuh, tak ada yang menuntunku di bidang agama.
Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan
orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku
bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di
sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara
benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil
bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera
berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah
satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari
mobil lalu kami bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua
orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan
kalimat syahadat.
Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…”
perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur
lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi
orang-orang yang sekarat. Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar.
Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi
dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang
bacaan syahadat. Tetapi, keduanya tetap terus saja Melantunkan lagu. Tak ada
gunanya.
Suara lagunya semakin melemah, lemah dan lemah sekali.
Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak, keduanya
telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan
hanya ada kebisuan, hening. Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara.
Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang
buruk). Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk.
Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di
dunia.” Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang
diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan
mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan
kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat
bahwa kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa
ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’
sekali. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku kembali pada kebiasaanku semula. Aku seperti tak pernah
menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu.
Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya
lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu
ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang sedang
sekarat dahulu.
Kejadian Yang Menakjubkan
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu…sebuah
kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai
mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan
menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia
berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil
dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung
tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemaniku pada
peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Kami bawa ia dengan
mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang
ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik,
sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami
membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari
mulutnya. Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara amat lemah.
“Maa syaa Allah!” dalam kondisi kritis seperti, ia masih
sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya;
tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al-Qur’an
seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku akan menuntun membaca
syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu, apalagi aku sudah
punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara
bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar
dan menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang.
Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya
terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya dan
nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes,
kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku
kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya.
Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras
mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit…
Kepada orang-orang di sana kami mengabarkan perihal
kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan.
Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang
meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera
menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak
sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin
memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah duka.
Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang
saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya korban hendak menjenguk
neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, korban
juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi
kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang
kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan
kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang
ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak
kecil.
Bila ada yang mengeluhkan padanya tentang kejenuhan dalam
perjalanan, ia menjawab dengan halus, “Justru saya memanfaatkan waktu
perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan
mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap
langkah kaki yang aku ayunkan,” kata korban.
Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke
kuburan. Dalam liang lahat yang sempit, ia pun dikebumikan. Wajahnya dihadapkan
ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah,”
pelan-pelan, kami menimbunnya dengan tanah. “Mintalah kepada Allah keteguhan
hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya,” kata seorang ustadz.
Lelaki ini menghadapi hari pertamanya dari hari-hari Akhirat.
Dan aku, sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku
benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni
dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku
kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku
dan kuburan kaum Muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin.[]
Sumber: Azzamul Qaadim, hal 36-42 .
3.Kisah Gadis Cilik Pencinta Al-Qur’an: Shafa As-Sudaisiyah
Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang anak kecil
yang sangat mencintai Al-Qur’an. Namanya Shafa’, gadis cilik Al-Jazair berusia
8 tahun sangat mencintai Al-Qur’an dan Syaikh Sudais, Imam Masjidil Haram,
sehingga ia juara 1 dalam musabaqoh Al-Qur’an tingkat Al-Jazair. Ia mampu
meniru persis bacaan Syaikh Sudais, termasuk doa khatamul Al-Qur’an. Saking
cintanya ia pada Syeikh Sudais, sampai ia tambahkan akhir namanya dengan As-Sudaisiyyah
sehingga menjadi, Shafa’ As-Sudaisiyyah.
Setiap saat ia meminta ibunya untuk
mempertemukannya dengen Syaikh Sudais. Karena dari keluarga miskin, rumah
saja tidak punya, ibunya selalu menghiburnya sambil mengatakan, insya Allah.
Sampai pada suatu saat, Shafa’ marah-marah dan menuduh ibunya berbohong terus
dan tidak mau lagi membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ibunyapun panik. Saat
melihat DR. Muhammad As-Suwaini, pakar pendidikan dalam salah satu program TV
lokal Al-Jazair, tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk menelepon sang pakar dan
menceritakan kasusnya. Ia mohon dihubungkan dengan Syaikh Sudais. Setelah Syaikh
Sudais mendengar kisah tersebut, hati beliau tergerak mengundang Shafa’ dan
kedua orang tuannya ke Madinah dan Makkah sebagai tamu kehormatannya.
Saat bertemu Syaikh Sudais, Shafa diminta membacakan doa
khatmul Al-Qur’an. Shafa’pun melantunkannya persis seperti Syaikh Sudais.
Beliau terharu sampai menangis. Akhirnya, Syaikh Sudais memutuskan untuk mengambil
Shafa’ menjadi anak angkatnya dan menyekolahkanya sampai ketingkat yang ia
inginkan. Inilah secuil kemuliaan yang dilahirkan Al-Qur’an. Siapa yang ingin
meraih kemuliaan Al-Qur’an, cintailah ia.[]
4.Tak Paham Al-Quran yang Dibaca, Tapi Keranjangnya Menjadi Bersih
Seorang Muslim tua Amerika bertahan hidup di suatu
perkebunan di suatu pegunungan sebelah timur Negara bagian Kentucky dengan cucu
lelakinya yang masih muda.
Setiap pagi kakek tersebut bangun lebih awal dan membaca
Quran di meja makan di dapurnya. Cucu lelaki nya ingin sekali menjadi seperti
kakeknya dan mencoba untuk menirunya dalam cara apapun semampunya.
Suatu hari sang cucunya bertanya, “Kakek! Aku mencoba
untuk membaca Al-Qur’an seperti yang kamu lakukan tetapi aku tidak memahaminya,
dan apa yang aku pahami aku lupakan secepat aku menutup buku. Apa sih kebaikan
dari membaca Al-Qur’an?” Dengan tenang sang Kakek dengan meletakkan batubara di
dasar keranjang, memutar sambil melobangi keranjang nya ia menjawab, “Bawa
keranjang batubara ini ke sungai dan bawa kemari lagi penuhi dengan air.” Maka
sang cucu melakukan seperti yang diperintahkan kakek, tetapi semua air habis
menetes sebelum tiba di depan rumahnya.
Kakek tertawa dan berkata, “Lain kali kamu harus melakukukannya
lebih cepat lagi.” Maka ia menyuruh cucunya kembali ke sungai dengan keranjang
tersebut untuk dicoba lagi. Sang cucu berlari lebih cepat, tetapi tetap,
lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum ia tiba di depan rumah. Dengan terengah-engah,
ia berkata kepada kakeknya bahwa mustahil membawa air dari sungai dengan
keranjang yang sudah dibolongi, maka sang cucu mengambil ember sebagai
gantinya. Sang kakek berkata, “Aku tidak mau ember itu; aku hanya mau keranjang
batubara itu. Ayolah, usaha kamu kurang cukup,” maka sang kakek pergi ke luar
pintu untuk mengamati usaha cucu laki-lakinya itu.
Cucunya yakin sekali bahwa hal itu mustahil, tetapi ia
tetap ingin menunjukkan kepada kakeknya, biar sekalipun ia berlari
secepat-cepatnya, air tetap akan bocor keluar sebelum ia sampai ke rumah.
Sekali lagi sang cucu mengambil air ke dalam sungai dan
berlari sekuat tenaga menghampiri kakek, tetapi ketika ia sampai didepan kakek
keranjang sudah kosong lagi. Sambil terengah-engah ia berkata, “Lihat
Kek, percuma!”
“Jadi kamu pikir percuma?” Jawab kakek.
Kakek berkata, “Lihatlah keranjangnya.”
Sang cucu menurut, melihat ke dalam keranjangnya dan untuk
pertama kalinya menyadari bahwa keranjang itu sekarang berbeda. Keranjang itu
telah berubah dari keranjang batubara yang tua kotor dan kini bersih, luar
dalam.
“Cucuku,” ujar si kakek kemudian, “hal itulah yang terjadi
ketika kamu membaca Al-Qur’an. Kamu tidak bisa memahami atau ingat segalanya,
tetapi ketika kamu membaca nya lagi, kamu akan berubah, luar dalam. Itu
adalah karunia dari Allah di dalam hidup kita.[]
5.Adakah Yang Hafal Injil Meski Satu Orang?
Tersebut dalam kisah orang-orang terdahulu bahwa terjadi
dialog antara seorang perempuan dengan seorang pendeta.
AKHWAT: “Pak Pendeta, di dunia ini ada banyak orang yang
hapal Al-Qur’an diluar kepala. Apakah ada orang yang hapal Alkitab diluar
kepala?”
PENDETA (bertitle Doctor Teology): “Di dunia ini tidak
mungkin ada yang hapal Alkitab di luar kepala. Sejenius apa pun orang itu,
tidak mungkin dia bisa hapal Alkitab di luar kepala, sebab Alkitab itu adalah
buku yang sangat tebal, jadi sulit untuk dihapal. Berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah buku yang sangat tipis, makanya mudah dihapal.”
Dengan jawaban Pendeta hanya seperti itu, karena
penasaran, kami maju ke depan, merebut mikropone yang ada ditangan akhwat
tersebut, dan melanjutkan pertanyaan akhwat tadi. (Maaf di sini kami pakai nama
samaran HILS)
HILS: “Maaf Pak Pendeta, tadi bapak katakan bahwa Al-Qur’an
adalah buku yang sangat tipis, makanya gampang dihapal diluar kepala. Tapi Pak Pendeta,
bahwa setipis-tipisnya Al-Qur’an, ada sekitar 500 s/d 600 halaman, jadi cukup
banyak! Tapi kenyataannya di dunia ini ada jutaan orang yang hapal Al-Qur’an
diluar kepala. Bahkan anak kecil sekalipun banyak yang hapal diluar kepala,
walaupun artinya belum dipahami. Sekarang saya bertanya kepada Pak Pendeta,
Alkitab itu terdiri dari 66 kitab bukan? Jika pak Pendeta hapal satu surat saja
diluar kepala (1/66 saja), semua yang hadir disini jadi saksi, saya akan
kembali masuk agama Kristen lagi! Ayo silahkan Pak Pendeta!”
Mendengar tantangan saya seperti itu, situasi jadi tegang, mungkin audiens yang Muslim khawatir, jangan-jangan ada salah satu Pendeta yang benar-benar hapal salah satu surat saja di dalam Alkitab tersebut. Seandainya ada yang hapal, berarti saya harus tepati janjiku yaitu harus masuk Kristen kembali. Karena para Pendetanya diam, saya lemparkan kepada jemaat atau audiens Kristen yang dibelakang.
Mendengar tantangan saya seperti itu, situasi jadi tegang, mungkin audiens yang Muslim khawatir, jangan-jangan ada salah satu Pendeta yang benar-benar hapal salah satu surat saja di dalam Alkitab tersebut. Seandainya ada yang hapal, berarti saya harus tepati janjiku yaitu harus masuk Kristen kembali. Karena para Pendetanya diam, saya lemparkan kepada jemaat atau audiens Kristen yang dibelakang.
HILS: “Ayo kalian yang di belakang, jika ada
diantara kalian yang hapal satu surat saja dari Alkitab ini diluar kepala, saat
ini semua jadi saksi, saya akan kembali masuk ke agama Kristen lagi, silahkan!!”
Masih dalam situasi tegang, dan memang saya tahu persis
tidak akan mungkin ada yang hapal walaupun satu surat saja di luar kepala,
tantangan tersebut saya rubah dan turunkan lagi. Saat itu ada beberapa Pendeta
yang hadir sebagai pembicara maupun sebagai moderator. Mereka itu usianya
bervariasi, ada yang sekitar 40, 50 dan 60an tahun. Pada saat yang sangat
menegangkan, saya turunkan tantangan saya ke titik yang terendah, dimana semua
audiens yang hadir, baik pihak Kristen maupun Islam semakin tegang dan mungkin
sport jantung.
HILS: “Maaf Pak Pendeta, umur andakan sekitar 40, 50
tahun dan 60an tahun bukan? Jika ada diantara Pak Pendeta yang hapal SATU
LEMBAR saja BOLAK BALIK ayat Alkitab ini, asalkan PAS TITIK KOMANYA, saat ini
semua jadi saksinya, aku kembali masuk agama Kristen lagi!! Silahkan Pak!”
Ketegangan yang pertama belum pulih, dengan mendengar
tantangan saya seperti itu, situasi semakin tegang, terutama dipihak
teman-teman yang beragama Islam. Mungkin mereka menganggap saya ini gila, over
acting, terlalu berani, masak menantang para Pendeta yang hampir rata-rata
bertitel Doctor hanya hapalan satu lembar ayat Alkitab saja. Suasana saat itu
sangat hening, tidak ada yang angkat suara, mungkin cemas, jangan-jangan ada
yang benar-benar hapal ayat Alkitab satu lembar saja. Karena para pendeta diam
seribu bahasa, akhirnya saya lemparkan lagi kepada jemaat atau audiens yang
beragama Kristen.
HILS: “Ayo siapa diantara kalian yang hapal satu
lembar saja ayat Alkitab ini, bolak balik asal pas titik komanya, saat ini saya
kembali masuk Kristen. Ayo silahkan maju kedepan!”
Ternyata tidak ada satu pun yang maju ke depan dari sekian
banyak Pendeta maupun audiens yang beragama Kristen. Akhirnya salah seorang
Pendeta angkat bicara sebagai berikut:
PENDETA: “Pak Insan, terus terang saja, kami dari umat
Kristiani memang tidak terbiasa menghapal. Yang penting bagi kami
mengamalkannya.”
HILS: “Alkitab ini kan bahasa Indonesia, dibaca langsung
dimengerti! Masak puluhan tahun beragama Kristen dan sudah jadi Pendeta, selembar
pun tidak terhapal? Kenapa? Jawabnya karena Alkitab ini tidak murni wahyu
Allah, makanya sulit dihapal karena tidak mengandung mukjizat! Beda dengan Al-Qur’an.
Di dunia ini ada jutaan orang hapal diluar kepala, bahkan anak kecilpun banyak
yang hapal diluar kepala seluruh isi Al-Qur’an yang ratusan halaman. Padahal
bahasa bukan bahasa kita Indonesia. Tapi kenapa mudah dihapal? Karena Al-Qur’an
ini benar-benar wahyu Allah, jadi mengandung mukjizat Allah, sehingga
dimudahkan untuk dihapal. Soal mengamalkannya, kami umat Islam juga berusaha
mengamalkan ajaran Al-Qur’an. Saya yakin jika bapak-bapak benar-benar
mengamalkan isi kandungan Alkitab, maka jalan satu-satunya harus masuk Islam.
Bukti lain bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, seandainya dari Arab Saudi
diadakan pekan Tilawatil Al-Qur’an, kemudian seluruh dunia mengakses siaran
tersebut, kami umat islam bisa mengikutinya, bahkan bisa menilai apakah
bacaannya benar atau salah. Dan ketika mengikuti siaran acara tersebut, tidak
perlu harus mencari kitab Al-Qur’an cetakan tahun 2000 atau 2005. Sembarang Al-Qur’an
tahun berapa saja diambil, pasti sama. Beda dengan Alkitab. Seandainya ada
acara pekan tilawatil Injil disiarkan langsung dari Amerika, kemudian seluruh
dunia mengaksesnya, kitab yang mana yang jadi rujukan untuk diikuti dan dinilai
benar tidaknya? Sama-sama bahasa Inggris saja beda versi, jadi sangat mustahil
jika ada umat Kristiani bisa melakukan pekan tilawatil Injil, karena satu sama
lainnya berbeda.”
Alhamdulillah dari sanggahan kami seperti itu mendapat
sambutan hangat dan aplaus dari audiens yang beragama Islam. Oleh sebab itu
kami serius menyediakan hadiah uang tunai sebesar Rp. 10.000.000.(sepuluh juta
rupiah) bagi siapa saja umat Kristiani yang bisa hapal ayat-ayat Alkitab walau
100 lembar saja bolak balik atas pas titik komanya. Bagi yang ingin mencobanya,
kami persilahkan hubungi kami bila ada yang bisa menghapalnya di luar kepala,
tanpa harus membuat satupun kesal.[]
Sumber: Mustahil Kristen Bisa Menjawab
karya H. Insan LS Mokoginta
6.Keajaiban Menghafal Al-Qur`an Padahal Divonis Tumor Otak
Pemilik kisah ini bernama Aminah Al-Mi’thawi. Kisah ini
akan dicerikan olehnya sendiri. Mari kita mendengarkan dia berkisah:
Aku adalah wanita yang dulu kuduga bahwa diriku sudah
meninggal sebelum lahir, karena aku menghadapi beberapa musibah yang beragam
dalam hidupku. Sesuatu yang tidak terbayangkan dalam benakku.
Namun, alhamdulillah, keyakinanku pada Allah
semakin kuat. Saat aku bingung memaknai kehidupan sekelilingku, aku berserah
kepada-Nya. Aku mengidap penyakit tumor otak. Tidak terlalu buruk, tapi
penyakit itu mengerikan. Penanganan terus dilakukan, namun tidak ada
tanda-tanda membaik selama empat tahun.
Terakhir kali aku mengunjungi dokter, mataku merasakan
dunia tampak gelap disebabkan akhir pemvonisan. Kabar yang selamanya tidak
menyenangkan. Lalu, aku putuskan untuk menghafal Al-Qur`an. Berniat
menghafalnya sebelum aku mati, karena aku merasa ajalku telah dekat.
Aku memulai hafalan sendiri. Kadang semangatku melemah,
karena aku yakin memaksakan otak dengan hafalan bisa menambah ganasnya
penyakit. Namun aku tetap memuji Allah siang malam karenanya. Aku terus
menyelesaikan setiap juz. Ada kebahagiaan terbesar saat menyelesaikannya.
Perasaan senang melupakan penyakitku, sekalipun aku juga sibuk dengan membantu
ayah-ibu.
Keinginan untuk tidur selalu menyerangku namun aku
khawatir waktuku akan habis percuma. Maka aku berserah diri pada Allah. Segenap
diriku yakin bahwa aku harus menjauh dari setan. Dan aku mengalahkannya dengan
memperbanyak wudhu, banyak bergerak, pantang mundur. Aku tetap menghafal dan
tetap meminta bantuan Allah dengan shalat dan istighfar.
Tangisku tiba-tiba mengucur deras, merasa dalam waktu
dekat aku akan mati. Karena itu, aku harus menghafal Al-Qur`an sampai bertemu
Allah dengan Kitab-Nya, mudah-mudahan Dia mengampuniku. Aku sempurnakan
perjalanan hafalan. Aku berpindah dari halaman ke halaman, dan dari baris ke
baris. Pada saat bersamaan aku melawan sakit, melawan bisikan setan, dan
nafsuku sendiri.
Tapi, dengan apa aku menghadap Allah Rabbul Alamin?
Aku mengharap penolong, aku ingin penghibur dalam kuburku. Kubur itu sunyi.
Jika semangatku melemah, dengan cara apa aku berbakti kepada kedua orangtuaku,
aku berharap memuliakan mereka di hari Kiamat dengan mahkota. Bukankah mereka
begitu memperhatikan sakit yang aku derita? Begitulah, aku juga selalu teringat
perkataan malaikat nanti, “Bacalah dan naiklah,” maka tinggi dan luhurlah
niatku.
Aku sempurnakan perjalanan hafalan. Hari-hari berlalu,
sedang aku bersungguh-sungguh, sampai akhirnya datang malam khataman. Aku
putuskan untuk tidak tidur sebelum menghafal. Aku berwudhu, lalu shalat dua
rakaat, dan mulai menghafal. Dan pada malam itu dengan karunia-Nya, Allah
membuka pintu hatiku lebar-lebar. Aku menghafal dengan puncak konsentrasi dan
kebahagiaan, sampai aku mencapai kemuliaan hafalan, dan akhirnya, tampak olehku
surat An-Nas, Ya Allah... Akhirnya aku sampai. Di sini aku mengucurkan air mata
yang belum pernah terasa manis sebelumnya. Lalu aku menangis dari relung hati
terdalam. Aku telah hafal sebagaimana orang yang diajukan untuk mendengar di
depan Malaikat dan pemimpin orang-orang syahid. Kematian terbayang olehku
terasa dekat. Tapi perasaanku tidak seperti dulu lagi, sekarang aku merasa
senang, karena akan bertemu dengan-Nya sedang aku telah menghafal Kitab-Nya.
Selang beberapa hari, aku pergi mengobservasi analisa
tumor. Aku sudah dalam keadaan bersiap-siap menerima musibah, penyakit aku
semakin parah. Namun, kemudian aku ditimpa shock yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Dokter keluar mengabari hasil analisis. Dokter tampak
tercengang. Mereka berkumpul untuk menguatkan apa yang dilihat pada sinar-X.
Aku duduk sambil berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah musibahku. Dan gantilah yang
lebih baik.”
Menit berlalu bagaikan tahun. Aku merasa down saat dokter
mulai mengabari hasilnya. Dan, aku terperanjat shock saat dokter bilang,
“Subhanallah! Engkau sudah sembuh sempurna dengan proporsi tujuh puluh persen!”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar... Ya Allah, alangkah agungnya
berita ini. Aku hanya mengharap kemajuan satu persen saja, namun Engkau ganti
lebih.”
Seketika itu aku menangis dengan tangisan yang belum
pernah kulakukan sebelumnya dalam hidupku. Mahabenar firman-Nya, “Dalam
Al-Qur`an ada penyembuh bagi manusia.” (QS. An-Nahl [16]: 69).[]
***
Subhanallah…! Allah mahakuasa atas segalanya.
Manusia tidak bisa memutuskan akan hidup seseorang jika Allah berkehendak ia
belum saatnya bertemu dengan-Nya. Ini kisah nyata yang dialami oleh Aminah
Al-Mi’thawi. Semoga Allah menabah kesabarannya dan meneguhkan lisannya di dunia
dan di akhirat.[]
Sumber: Kisahku dalam Menghafal Al-Qur`an oleh Muna Sa’id Ulaiwah
7.Khatam 30 Juz Lebih daripada Disertasi S3
Kini usiaku menjelang kepala empat.
Jika merujuk kepada umur umat junjungan kita Nabi Muhammad Shallallallahu
‘Alaihi wa Sallam, maka kemungkinan “tinggal” 20 tahunan lagi aku hidup di
dunia ini. Namun dengan usia sematang itu, untuk menghitung berapa kali aku
khatam Al-Qur`an seumur hidupku ini, rasanya lima jariku tidak habis.
Duh…malunya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku dan memberiku
kesempatan memperbaiki diri.
Semuanya berawal dengan “idealisme” atau tepatnya
kesombonganku bahwa aku ingin katham Al-Qur`an sekaligus dengan terjemahannya.
Keinginan yang menurutku wajar karena aku tidak bisa berbahasa Arab. Berbagai
saran langsung maupun via e-mail yang aku terima tentang bagaimana caranya
khatam Al-Qur`an dalam satu tahun kuabaikan, karena umumnya hanya mengutamakan
selesai membaca Al-Qur`an tapi memahami artinya menjadi tujuan kedua.
Aku kemudian menciptakan strategi sendiri. Aku mulai
dengan membiasakan membawa Al-Qur`an mini ke manapun aku pergi. Aku letakkan
Al-Qur`an tersebut di handbagku, dengan asumsi jika ia dekat denganku
maka kapanpun aku mau --atau tepatnya in the mood-- aku bisa membacanya
segera. Namun nyatanya strategi ini tidak dapat memuaskan keinginanku untuk
membaca dan memahami artinya sekaligus, karena Al-Qur`an berukuran mini ini
tentunya tidak memungkinkan memuat juga terjemahannya. Belum lagi karena
ukurannya mini, maka otomatis aksara Arab yang tertulis juga berukuran mini.
Akibatnya mata cepat lelah, ditambah alasan tidak masuk akal lainnya seperti
sibuk, malas, dan seterusnya, maka membaca satu ‘ain saja sudah dapat
aku anggap “achievement”.
Strategi lain adalah membuat acara rutin tadarus dengan
suamiku saat kami tiba di rumah, menjelang tidur malam. Saat itu, sekaligus
dalam rangka melatih kemampuan berbahasa Inggris, kami merujuk pada Al-Qur`an
dengan terjemahan bahasa asing tersebut. Pikir aku, “Sambil menyelam minum
air.” Kami berdua bergantian membaca Al-Qur`an masing-masing sepanjang satu
‘ain lalu bergantian membaca terjemahan bahasa Inggrisnya. Strategi ini
ternyata lebih parah, karena tidak membuat aku bertahan dengan keinginan khatam
Al-Qur`an. Akhirnya kami berjalan dengan strategi masing-masing. Suamiku lanjut
dengan caranya sendiri membaca Al-Qur`an selepas shalat tahajud yang
dilakukannya menjelang adzan Subuh. Ini juga kebiasaan yang seringkali
membuatku iri, karena di saat ia shalat dan mengaji, aku biasanya masih
terlelap di peraduan. “Gak enak mau bangunin, kayaknya tidurnya pules banget,
capek ya,” begitu biasanya jawaban suamiku, jika suatu waktu aku minta
dibangunkan untuk bisa shalat tahajud berjamaah dengannya.
Pencarian strategi jitu ini akhirnya berakhir saat aku
terima e-mail berbahasa Inggris dari seorang teman kantor yang isinya sbb:
Why do we read Quran, even we can't
understand Arabic?
An old American Muslim lived on a
farm in the mountains of eastern Kentucky with his young grandson. Each morning
Grandpa was up early sitting at the kitchen table reading his Qur'an. His
grandson wanted to be just like him and tried to imitate him in everyway he
could. One day the grandson asked, "Grandpa, I try to read the Qur'an just
like you but I don't understand it, and what I do understand I forget as soon
as I close the book. What good does reading the Qur'an do?" The
Grandfather quietly turned from putting coal in the stove and replied,
"Take this coal basket down to the river and bring me back a basket of
water." The boy did as he was told, but all the water leaked out before he
got back to the house. The grandfather laughed and said, "You'll have to
move a little faster next time," and sent him back to the river with the
basket to try again. This time the boy ran faster, but again the basket was
empty before he returned home. Out of breath, he told his grandfather that it
was impossible to carry water in a basket, and he went to get a bucket instead.
The old man said, "I don't want a bucket of water; I want a basket of
water. You're just not trying hard enough," and he went out the door to
watch the boy try again. At this point, the boy knew it was impossible, but he
wanted to show this grandfather that even if he ran as fast as he could, the water
would leak out before he got back to the house. The boy again dipped the basket
into river and ran hard, but when he reached his grandfather the basket was
again empty. Out of breath, he said, "See Grandpa, it's useless!"
"So you think it is
useless?" The old man said, "Look at the basket." The boy looked
at the basket and for the first time realized that the basket was different. It
had been transformed from a dirty old coal-basket and was now clean, inside and
out. "Son, that's what happens when you read the Qur'an. You might not
understand or remember everything, but when you read it, you will be changed,
inside and out. That is the work of Allah (Subhanahu wa Ta’ala) in our
lives."
Jadi intinya, memahami isi Al-Qur`an memang memberi nilai plus bagi kita, namun membaca Al-Qur`an “saja” dapat membersihkan diri kita luar dan dalam seperti bersihnya keranjang arang yang diceritakan pada kisah di atas.
Akhirnya, aku berkesimpulan bahwa yang utama adalah niat
yang kuat untuk membakar motivasi kita menuju khatam Al-Qur`an. Berbekal bahan
bakar ini, aku menyiapkan 2 buah Al-Qur`an, satu aku letakkan di meja kamar
dekat tempat tidur di rumah dan yang satu lagi kuletakkan di lemari kantor
dekat komputerku. Modal lain adalah ingatan, karena aku selalu paksa diriku mengingat
surat ke berapa yang sudah aku baca di rumah dan saat aku akan baca Al-Qur`an
di kantor. Dan jangan lupa, pasang target: kapan aku harus khatam? Walaupun
target waktu yang aku tetapkan sudah terlewati, namun dengan target kita tahu
kita ingin mencapai apa.
Hari ini tanggal 3 September 2009 tepat 13 Ramadhan 1430 H
selepas shaat Subuh, aku berhasil menyelesaikan bacaan Al-Qur`an hingga surat
Al-Ikhlas, surat terakhir. Aku khatam Al-Qur`an!!! Suamiku tak lupa memberi
selamat dan doa. Sungguh, rasanya lebih hebat daripada saat aku ujian promosi
S3 awal tahun 2008 lalu.
“Ya Allah, Ya Tuhanku! Rahmatilah aku
dengan Al-Qur`an dan jadikanlah Al-Qur`an bagiku sebagai pemimpin, cahaya,
petunjuk, dan rahmat.
Ya Allah, Ya Tuhanku! Ingatkanlah aku
apa yang aku terlupa dari ayat-ayat Al-Qur`an. Ajarkanlah aku dari Al-Qur`an
apa yang belum aku ketahui. Berikanlah aku kemampuan membacanya sepanjang malam
dan siang, dan jadikanlah Al-Qur`an itu hujjah bagiku, wahai Tuhan Sekalian
Alam.”
Amin.[]
8.Sembuh dari Kelumpuhan Karena Hafal Al-Qur’an
Seorang dokter spesialis luka dalam Riyadh yang bernama
Dr. Khalid Al-Jabir berkisah tentang sahabatnya yang penuh ketabahan dan
keistimewaan. Dia lumpuh karena suatu sebab. Mari kita mendengar kisanya
langsung dari beliau:
Aku memiliki seorang sahabat di Fakultas Militer. Awalnya
dia bergaul dengan teman-temannya dalam segala hal yakni taat kepada Allah,
bagus budi pekertinya, belajarnya, dan bergaulnya. Dia suka melakukan shalat
malam dan menjaga shalat Fajar dan shalat lainnya serta suka berbuat baik.
Sesudah dia lulus dan berbahagia layaknya orang-orang yang
bahagia karena lulus, dia tertimpa sebuah penyakit yang kami sebut influenza.
Akhirnya dia jatuh sakit, hingga ditimpa penyakit di tulang-punggungnya, lalu
dia ditimpa sakit lumpuh dan tidak mampu bergerak.
Sampai-sampai dokter berkata padaku bahwa dilihat dari
keadaanya tersebut sulit diharapkan kesembuhannya. Dan kemungkinan dia bisa
kembali seperti semula dan sembuh total hanya 10%. Lalu aku berkata, “Segala
puji bagi Allah dalam segala keadaan.” Aku memohonkan kesembuhan untuknya,
karena Dia-lah yang mahakuasa atas segala sesuatu. Kemudian aku menjenguknya di
rumah sakit sementara dia beristirahat di atas kasur putih, mengingatkannya
pada Allah dan mendoakan kebaikan baginya, lalu pada saat itu dialah yang
justru mengingatkanku pada Allah!!! Dialah yang bersosial padaku, aku melihat
wajahnya dipenuhi cahaya, tampak cemerlang karena keimanannya.
Aku berkata padanya, “Segala puji bagi Allah atas
keselamatan, aku mohonkan lekas sembuh dari sakitmu, sakit ini mensucikan insya
Allah.” Dia menjawabku dengan ucapan terima kasih dan doa kemudian
berkata-kata, dia tidak mengeluh dan tidak mengadu, dia tidak juga
berkata-kata, “Menurutmu apa yang terjadi padaku wahai Khalid saudaraku?”
Perkataannya sangat enak didengar dan menancap di hatiku sampai-sampai aku
masih hafal sampai sekarang, dia mengatakan ini seraya tersenyum, “Wahai
saudaraku, barangkali Allah mengetahui kecerobohanku dalam menghafal Al-Qur`an,
karena itu dia melumpuhkanku agar aku merampungkan hafalanku, ini adalah suatu
nikmat dari Allah.”
Mahasuci Allah, dari mana asal kalimat ini muncul?
Bagaimana bisa sebuah bencana berubah menjadi nikmat? Sebenarnya imanlah yang
membuat mukjizat setelah anugerah dan pertolongan Allah. Allah selalu benar dan
tepat dalam membalas orang-orang yang sabar dan mau kembali di saat ditimpa
musibah, Dia berfirman:
“Sungguh kita ini milik Allah, dan
kita akan kembali padanya.”
Baginya ada tiga ganjaran, Allah telah berfirman dalam
surat Al-Baqarah ayat 157:
“Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Benar sekali, itu adalah kasih sayang dari Allah,
sanjungan, dan petunjuk menuju jalan yang lurus dan keteguhan pada aturan yang
benar.
Dalam Shahih Muslim dari hadits Shuhaib berupa hadits
marfu:
«عَجَبًا لِأَمْرِ
الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا
لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ»
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mu`min. Seluruh
keadaannya adalah kebaikan baginya. Hal ini hanya ada pada seorang mu`min.
Ketika ia dikaruniai kesengangan ia bersyukur, maka hal itu baik baginya. Dan
ketika ia ditimpa kesedihan, ia bersabar maka hal itu baik baginya.” (HR.
Muslim no. 2999)
Sungguh indah sekali kalimat-kalimat yang telah dia
utarakan. Demi Allah, kalimat tersebut menandingi puluhan kalimat ilmiah karena
tingkatan keimanan, dan mengajari banyak hal dan dalam semua kebaikan. Sungguh
aku benar-benar terkejut dan terkesima atas tingkat keimanannya, kesabaran, dan
keteguhan hatinya biarpun keadaanya sakit parah dan lumpuh. Biarpun dia belum
sampai 6 bulan dari waktu kelulusan, belum berbahagia dengan sebuah status dan
perbuatan yang baru dalam beberapa hari. Demi Allah aku telah mengakui
keimanannya, aku memuji Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung bahwa dalam umat
ini ada seseorang yang semacam dia, hanya pada Allah segala pujian.
Lalu, aku menjenguknya selang beberapa waktu. Di
sekelilingnya ada para kerabat dekat, aku menyapanya dan mendoakannya, lalu
sekali lagi aku melihat dan mendengar hal yang menakjubkan. Setiap kali ada
yang menjenguknya, imannya semakin bertambah. Keponakannya berkata padanya,
“Hendaknya kamu berusaha menggerakkan kakimu, angkatlah!” Dia menjawab, “Segala
puji bagi Allah, aku malu kepada Allah untuk mempercepat kesembuhan, ini sudah
ditakdirkan Allah, Alhamdulillah. Andaikata kesembuhan bukan takdirku, tentunya
Allah telah mengetahui yang terbaik bagiku, karena Dia-lah yang Maha mengetahui
lagi Maha bijaksana.”
Dalam ucapannya, dia tidak mengharapkan apa-apa kecuali
yang terbaik. Allah telah berfirman:
“Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:261)
Aku melakukan safar untuk menyempurnakan studi, kemudian
setelah tiga bulan aku kembali dan berharap dia masih di rumah meskipun tiada
harapan untuk sembuh. Mungkin dia selalu di kamarnya saat di rumah dan untuk
pindah tempat harus dibopong.
Aku bertanya kepada teman-temannya di rumah sakit, “Apakah
dia sudah keluar? Dan bagaimana keadaannya?” Mereka menjawab, “Orang ini
menakjubkan sekali, dia memiliki tekad dan tujuan yang sangat kuat, selalu
tersenyum dan rela apa yang telah digariskan untuknya. Keadaannya sudah dianggap
baik, dia dipindah ke rehabilitasi untuk pengobatan biasa.”
Aku bergegas menuju ruang rehabilitasi, ternyata dia
sedang duduk di atas kursi goyang di sana, aku lega. Lalu aku berkata padanya,
“Segala puji bagi Allah atas segala keselamatan, Alhamdulillah
perkembanganmu sekarang sudah lebih baik dari pada kemarin.” Dia memutus
perkataanku sambil berkata, “Segala puji bagi Allah, aku beritahu kabar gembira
padamu, aku telah berhasil menyempurnakan menghafal Al-Qur`an.” Lalu aku jawab,
“Mahasuci Allah!” Sungguh menakjubkan orang yang satu ini. Bila aku
menjenguknya, yang aku dapat pastilah faedah keimanan, lalu aku mendoakan dan
memohon anugerah Allah untuknya.
Aku pun berpergian, empat bulan lebih aku tidak bersua
dengannya. Ketika aku kembali, ternyata hal yang tak pernah aku duga sebelumnya
terjadi, namun itu bukan hal yang mengherankan dan bukan hal yang asing bagi
Allah yang mampu menghidupkan tulang-belulang yang telah luluh-lantah. Tahukah
Anda apa yang terjadi? Saat aku sedang shalat di Masjid rumah sakit, tiba-tiba
ada seseorang yang memanggilku, ”Hai Abu Muhammad!” Tahukah Anda siapa yang
memanggil? Tepat sekali, dia adalah teman kami, demi Allah dia adalah teman
dekat yang semula lumpuh, sekarang bisa berjalan dan nampak segar bugar. Itulah
kekuasaan Allah, keimananlah yang memunculkan mukjizat. Allah telah berfirman:
“Allahlah kekasih orang-orang yang
beriman.”
Dia juga berfirman:
“Orang yang bertakwa pada-Nya maka akan dibuatkan jalan
keluar.” Yaitu keselamatan dan kesehatan dari Allah bagi manusia.
Allah juga berfirman,”Seperti demikian akan aku
selamatkan orang-orang yang beriman.”
Benar sekali, dia sudah bisa berjalan dan mendatangiku
seraya menyapa, aku memeluknya erat-erat dan menangis. Ya, aku menangis karena
dua hal, yang pertama karena lega dia sudah sembuh, saking bahagianya sampai
menangis. Yang kedua atas keterbatasan yang kumiliki, betapa banyak nikmat dan
kebaikan yang Allah berikan pada kita tetapi belum kita syukuri, kita tidak
bersungguh-sungguh dalam menghafal Al-Qur`an dan beramal saleh, semuanya adalah
kecerobohan dan penundaan. Aku mohon ampunan kepada Allah.
Bukan hanya itu saja, tetapi Allah telah memberi banyak
hal padanya, diantaranya diterimannya proposal delegasi dalam negeri ke
Universitas Kerajaan Saudi untuk menyempurnakan study ke jenjang yang lebih
tinggi. Ada sebuah kisah pada pengiriman ini, dia telah meminta itu sejak lulus
dari kuliah namun belum ada jawaban. Dan beberapa hari setelah dia sembuh,
Alhamdulillah, permintaannya disetujui saat dia sudah lupa akan hal itu. Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya tersebut hal-hal baik menjadi sempurna.
Lalu sesudah itu dia berkata padaku, “Hai doktor Khalid!
Semua yang telah terjadi merupakan cambuk bagiku apabila aku tidak lekas
mensyukurinya,” aku jawab, “Iya, cambuk bagi kita semua.”
Cerita ini masih belum berhenti. Tujuh tahun kemudian dia
berkunjung kepadaku dalam perjalanannya mengunjungi kakeknya yang sedang
menderita sakit liver. Apa yang kulihat? Aku melihatnya sebagai pemuda yan
bersinar. Allah telah memberinya rizeki berupa promosi menduduki jabatan mayor,
aku memohon kepada Allah agar menjadikannya Mayor (pimpinan) kebaikan, manfaat,
kebaikan dan semoga dia membaguskan semua perilaku kita.[]
Sumber: Kisahku dalam Menghafal Al-Qur'an
karya Muna Said Ulaiwah
9.Kisah Muslimah Khatam Selama Ramadhan
Pengalaman Ummu Zayid, ia menuturkan, “Alhamdulillah,
sesuai dengan kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kuasa-Nya, aku telah khatam
menghafal Al-Qur’an. Berikut pengalamanku, dan aku menghadiahkannya kepada
kalian.
Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Segala puji bagi Allah, pujian yang sebanyak-banyaknya,
sesuai dengan kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kuasa-Nya. Wa Ba’d:
Ini adalah masa-masa indah yang berlalu dengan segala
kisah yang ada di dalamnya. Dan, inilah mimpi yang menjadi kenyataan; dan
kenangan yang selalu menghampiriku. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya tujuan
terbesarku adalah hafal surat Al-Baqarah dan Ali Imran.
Demi Allah, sekali-kali kalian tidak akan percaya bahwa sebenarnya aku adalah orang yang tidak memiliki kesabaran untuk menghafal Al-Qur`an secara keseluruhan. Hal itu disebabkan karena aku menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil dan sangat susah untuk diwujudkan. Dan saat itu, aku masih hidup dengan mempertahankan tujuan yang ingin aku wujudkan sebelumnya, yaitu hafal surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran. Dan aku menganggap bahwa kedua surat itu adalah adalah surat Al-Qur`an yang paling sulit (untuk dihafal); dan aku juga beranggapan bahwa sepertinya sulit sekali untuk mempertahankan hafalan tersebut dalam waktu yang lama. Subhanallah, tak terasa sudah tujuh tahun aku mempertahankan hafalan kedua surat tersebut.
Demi Allah, sekali-kali kalian tidak akan percaya bahwa sebenarnya aku adalah orang yang tidak memiliki kesabaran untuk menghafal Al-Qur`an secara keseluruhan. Hal itu disebabkan karena aku menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil dan sangat susah untuk diwujudkan. Dan saat itu, aku masih hidup dengan mempertahankan tujuan yang ingin aku wujudkan sebelumnya, yaitu hafal surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran. Dan aku menganggap bahwa kedua surat itu adalah adalah surat Al-Qur`an yang paling sulit (untuk dihafal); dan aku juga beranggapan bahwa sepertinya sulit sekali untuk mempertahankan hafalan tersebut dalam waktu yang lama. Subhanallah, tak terasa sudah tujuh tahun aku mempertahankan hafalan kedua surat tersebut.
Ketika bulan Ramadhan datang, tiba-tiba suamiku
mengejutkanku bahwa ia akan beri’tikaf selama 15 hari terakhir Ramadhan di
Masjidil Haram. Tentu kalian mengerti tentang kesulitan yang menimpaku, karena
aku akan ditinggal sendirian bersama anak-anakku. Kami tinggal di daerah yang
jauh dari keluarga, sedang para tetangga di sini semuanya menutup pintu
rumahnya (tidak peduli dengan urusan tetangganya). Aku merasa gembira karena
suamiku akan beri’tikaf. Akan tetapi, manfaat apa yang dapat kupetik dalam
kesendirianku ini? Ketika waktunya telah tiba dan suamiku pergi untuk
beri’tikaf, maka aku merasakan pahitnya kesendirian yang sebenarnya.
Kemudian, aku mengangkat tanganku kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, lalu aku berdoa kepada-Nya dengan doa orang yang tertimpa kesulitan, sedang air mata pun mengalir deras membasahi pipiku, “Wahai Rabbku, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Curahkanlah kepadaku rezeki yang berupa teman-teman yang shalihah, yang lebih baik dari aku. Sehingga, aku bisa meneladani mereka. Ya Allah, berikanlah aku sebaik-baik teman.” Sungguh, doaku segera dikabulkan oleh Rabb yang Maha Pengasih. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Dia telah berfirman dalam kitab-Nya : “…Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…” (Al Mu’min : 60)
Kemudian, aku mengangkat tanganku kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, lalu aku berdoa kepada-Nya dengan doa orang yang tertimpa kesulitan, sedang air mata pun mengalir deras membasahi pipiku, “Wahai Rabbku, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Curahkanlah kepadaku rezeki yang berupa teman-teman yang shalihah, yang lebih baik dari aku. Sehingga, aku bisa meneladani mereka. Ya Allah, berikanlah aku sebaik-baik teman.” Sungguh, doaku segera dikabulkan oleh Rabb yang Maha Pengasih. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Dia telah berfirman dalam kitab-Nya : “…Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…” (Al Mu’min : 60)
Ketika aku duduk di depan komputer sambil mengakses
internet guna mencari situs yang berisikan informasi tentang keajaiban
Al-Qur’an Karim, tiba-tiba mataku tertuju pada situs akademi para penghafal
Al-Qur’an. Sebelumnya, aku tidak tahu bahwa masuknya aku ke dalam komunitas
situs ini adalah pertanda terkabulnya doaku. Aku pun masuk dalam komunitas
situs ini dalam keadaan terharu. Demi Allah yang tiada ilah kecuali Dia, aku
keluar dari situs ini dalam keadaan yang tidak seperti keadaan saat aku masuk,
yaitu keadaan yang belum pernah aku impikan sebelumnya. Setelah itu, pikiranku
pun tertuju untuk beri’tikaf dalam rangka menghafal Al-Qur`an dalam 10 hari
terakhir Ramadhan.
Sungguh, merupakan karunia Allah dan taufik-Nya atasku
adalah aku segera mendaftarkan diri untuk beri’tikaf di akademi para penghafal
Al-Qur`an tanpa keraguan.
Sejak pertama aku beri’tikaf, aku merasa kagum dengan para
akhwat yang turut beri’tikaf denganku. Demi Allah, mereka adalah sebaik-baik
saudari di jalan Allah. Mereka menceritakan pengalaman-pengalam mereka dalam
mengahafal Al-Qur’an. Setelah mendengar cerita mereka, aku membayangkan
seakan-akan aku bagaikan makhluk yang berasal dari planet lain. Masuk akalkah
bahwa di antara mereka ada yang hafal Al-Qur`an hanya dalam waktu tiga hari?
Padahal, selama tujuh tahun aku tidak memiliki kecuali dua surat. Setelah itu,
kerinduanku (untuk menghafal) pun bertambah, sementara kesedihan dan
kesempitanku menghilang. Kemudian Allah mengganti kedua perasaan tersebut
dengan ketenangan yang tiada tara.
Aku bertawakkal pada Dzat yang hidup terus-menerus
mengurusi makhluk-Nya atas karunia-Nya yang melimpah. Aku mengambil keputusan
untuk beri’tikaf dalam rangka menghafal Al-Qur`an. Karena sesungguhnya, inilah
amalan yang terbaik di bulan Ramadhan. Aku pun berujar, ‘Sesungguhnya, Ramadhan
kali ini akan berbeda (dengan Ramadhan sebelumnya), dengan izin Allah.’
Aku pun mengambil secarik kertas, lalu kutulis di dalamnya
keuntungan-keuntungan yang akan aku dapatkan dari menghafal Al-Qur`an berupa
nikmat dan kebaikan yang besar, baik di dunia maupun di Akhirat. Begitu pula
dengan nikmat yang lebih besar dari keduanya, yaitu keridhaan Allah terhadapku.
Dengan izin Allah, hanya dalam beberapa saat aku bergabung
dengan mereka, sebaik-baik ummat ini, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam:
“Orang yang paling baik di antara
kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Aku berkhayal, seakan-akan aku bersama para Nabi,
Shidiqqin (orang-orang yang amat teguh kepercayaannya pada kebenaran rasul),
Syuhada, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang paling baik.
Kemudian, aku berkhayal lagi seakan-akan aku menyematkan mahkota di atas kepala
kedua orang tuaku dengan kedua tanganku ini. Aku berkhayal bahwa aku dapat
membebaskan mereka (dari siksa), kemudian aku pun kembali kepada diriku (untuk
membebaskan diri sendiri). Aku juga berkhayal mengenai berbagai kenikmatan yang
Allah anugerahkan kepadaku.
Aku menulis semuanya, dan aku menggantungkan tulisan itu
di tempat yang senantiasa kurawat. Aku pun membawa halaman-halaman (mushaf
Al-Qur`an) yang telah aku putuskan bahwa sekali-kali tidak akan
meninggalkannya; dan akan menjadikannya sebagai teman di dalam eksprimen ini.
Setelah itu, aku pun berwudhu, lalu duduk dan membuka
Al-Qur`an. Aku berkata dengan suara yang hanya terdengar oleh diri sendiri,
‘Sekarang, aku akan menguji kemampuan akalku yang sebenarnya. Dan aku akan
memulainya dengan bertawakkal pada Allah seraya mengulang-ulang firman Allah
Ta’alaa:
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan
Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qamar: 17)
Kemudian, aku memasang alat pengingat untuk mengingatkanku
bahwa aku hafal satu lembar dalam 10 menit. Maka, aku mulai menghafal halaman
demi halaman. Setiap halaman, aku menghafalnya seraya bedoa kepada Allah agar
Dia berkenan memantapkannya pada diriku. Doa yang kupanjatkan adalah, “Ya
Rabbku, aku titipkan pada-Mu apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Maka,
jagalah ia untukku.”
Aku mulai menghafal pada waktu Dhuha sampai Zhuhur, lalu
menghafal lagi sampai jam setengah tiga siang. Setelah itu, aku tidur sebentar
dengan memasang alarm. Ketika alarm berbunyi pada waktu pada jam 3 sore, aku
segera bangun untuk shalat Ashar. Kemudian, aku mulai menghafal sampai datang
waktu Magrib, lalu kulanjutkan hingga sebelum Isya’.
Dari mulai mengahafal selesai, aku tidak berpindah-pindah.
Aku hanya duduk pada satu tempat, hingga tak terasa bahwa aku telah menghafal 3
juz. Ya Allah betapa mulianya Engkau dan betapa besarnya nikmat-Mu. Akan
tetapi, mengapa kami tidak pernah mensyukuri nikmat ini. Aku pun melanjutkan
hafalanku sampai aku selesai menghafal 16 juz Al-Qur`an dalam 6 hari.
Alhamdulillah. Aku bingung, apakah aku akan menyempurnakan hafalanku menjadi 30
juz ataukah mengulang-ulang apa yang telah aku hafal. Kawan-kawan baikku
menasihatiku agar aku menyempurnakan hafalanku dan tak berhenti hanya pada juz
ke-16. Maka, aku pun menyempurnakan hafalanku. Aku yakin bahwa hafalanku tidak
hilang hingga suamiku datang dan kami kembali berkumpul dengan keluarga, karena
aku telah menitipkannya pada Rabbku yang Mulia (agar Dia selalu menjaganya).
Subhanallah, tak terasa aku akan meninggalkan
tempat dimana aku menghafal Al-Qur`an dan berkhalwat (mendekatkan diri) dengan
Rabbku, menuju kehidupan yang melalaikan dan keduniaan yang fana, yang mana
semuanya sedang memfokuskan perhatiannya pada beberapa pertanyaan, “Kue dan
manisan apa yang akan kami persiapkan untuk hari Ied kali ini?” Serta berbagi
hal lainnya, sedang aku masih mengasingkan diri untuk mengahafal Al-Qur`an.
Kemudian, aku pun kembali kepada mereka, sedang aku berharap
bahwa aku dapat mengkhatamkan hafalanku pada hari terakhir di bulan Ramadhan,
serta mendapatkan dua kebahagiaan. Akan tetapi, ketika yang kuharapkan belum
terwujud, cobaan dan ujian dari Rabb semesta alam datang padaku. Apakah aku
akan melanjutkan hafalanku ataukah aku menghentikannya? Akan tetapi,
Alhamdulillah, aku tidak berhenti menghafal.
Mungkin kalian tidak akan percaya bahwa pada suatu hari,
aku tidak dapat menghafal kecuali hanya dua halaman. Bukan karena aku tidak
bisa, akan tapi hal itu karena aku sangat disibukkan dengan sesuatu yang
menimpaku. Keempat anakku semuanya menderita demam tinggi, hingga mereka tidak
bisa tidur sepanjang malam. Oleh karena itu, aku pun banyak begadang malam
untuk menemani mereka. Dan ketika aku merasa kepayahan sedang anakku yang
paling kecil menangis terus-menerus, dan tidak ada seorang pun yang membantu,
akhirnya aku pun jatuh sakit.
Alhamdulillah, walaupun sakit, aku tidak berhenti
melanjutkan hafalanku dan terus berusaha sampai Allah berkenan menyembuhkan
mereka yang sudah lama terbaring sakit. Setelah mereka sembuh, aku bertawakkal
kepada Allah dan aku katakan pada diriku sendiri, ‘akan aku khatamkan hafalanku
yang tersisa 10 juz dalam waktu dekat.’ Alhamdulillah, sungguh Allah telah
memberikan karunia-Nya kepadaku hingga aku dapat menghafalanya dengan cepat.
Sekarang, aku akan menceritakan kepada kalian
moment-moment paling indah dalam hidupku, yaitu moment saat aku mengkhatamkan
Al-Qur`an.
Pada pagi hari ini, aku bermimpi indah. Mimpi itu membawa
kabar gembira bahwa pada hari ini aku akan mengkhatamkan hafalan Al-Qur`an.
Serta merta, aku pun amat bergembira, karena pada hari ini hafalanku yang
tersisa hanya tinggal 3 juz.
Kemudian, aku mulai menghafal. Dan tanpa kusadari, aku
menghafalnya dengan cepat. Satu halaman dapat aku hafal dalam waktu 8 menit,
terkadang hanya 5 menit. Sehingga, ketika waktu menunjukkan jam 9 malam, aku
tidak tahu bahwa waktu itu adalah waktu yang telah aku tunggu-tunggu, yaitu
waktu pengkhataman Al-Qur`an.
Aku terus membaca, akan tetapi aku tidak memperhatikan
bahwa yang tersisa hanya tinggal beberapa halaman. Apakah kalian tahu bagaimana
aku menyadarinya? Sungguh, kalian tidak akan percaya. Aku merasakan perasaan
yang aneh sekali. Perasaan ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan
ini tidak bisa digambarkan karena ia begitu saja menyebar ke seluruh tubuhku.
Perasaan yang berupa ketenangan dan ketentraman. Demi Allah, seakan-akan diriku
akan terbang karena ringannya tubuh. Maka, aku pun menjadi selembar bulu karena
ringannya. Aku merasa heran, hingga aku bertanya pada diriku sendiri, ‘Perasaan
apakah ini?’ jantungku mulai berdetak, seakan-akan ia berkata kepadaku, ‘Semoga
keberkahan terlimpah atasmu. Engkau telah khatam menghafal Al-Qur`an. Al-Qur`an
telah berada di dadamu.’
Tiba-tiba aku tersadar, aku sedang membaca akhir ayat yang
mana dengannya aku mengkhatamkan Al-Qur`an. Maka, aku pun menyungkurkan diriku
ini ke tanah, lalu aku bersujud syukur, sedang air mata kegembiraan jatuh
menetes ke bumi. Kemudian, aku pun berlari menemui suamiku. Aku kabarkan berita
gembira ini dengan penuh sukacita. Lalu, aku pun melihat mushaf yang telah
menemaniku sepanjang perjalananku menghafal Al-Qur`an. Aku menangis sambil
berkata, ‘Wahai mushafku yang tercinta, sungguh, aku telah mendapatkan moment-moment
yang paling indah (dalam hidupku).’ Lalu, aku pun memeluk mushafku itu dengan
erat. Berulang-ulang aku ucapkan, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, sesuai
dengan kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kuasa-Nya. Alhamdulillah, aku telah
khatam menghafal Al-Qur`an sebelum ajal menjemputku.’ Sebelumnya, aku takut
jika aku mati, sedangkan aku belum sempat menghafal Al-Qur`an dengan sempurna.
Berikutnya, perasaan yang tak bisa aku gambarkan adalah
tiba-tiba aku beranjak pergi ke depan komputer. Lalu, aku memutar CD yang
berisi ucapan-ucapan takbir, yang aku impikan sepanjang masa hafalanku.
Kemudian, aku dan suamiku mendengarkannya dan semuanya merasa gembira.
Ya Allah, segala puji bagi-Mu yang
telah memuliakanku dengan menghafal kitab-Mu. Ya Rabbku, betapa mulia-Nya
diri-Mu. Engkau telah menggantikan kesendirianku dengan sebaik-baik teman yang
menemaniku dalam kehidupanku dan kuburku. Wahai Rabbku, aku berdoa pada-Mu saat
hatiku terkoyak karena kesendirian. Kemudian, Engkau menggantinya dengan
sesuatu yang lebih dari apa yang aku angan-angankan dan aku harapkan. Betapa
mulianya Engkau wahai Rabb Yang Maha Pengasih, Yang telah memberikan karunia
yang menilmpah.
Adapun kalimat terakhir untuk menutup halaman-halaman
indah ini adalah, ‘Aku adalah wanita, sebagaimana wanita lain. Aku memiliki
seorang suami dan anak-anak. Anak-anakku belajar di sekolah khusus dengan
kurikulum yang sangat sulit. Aku hafal Al-Qur`an, akan tetapi, aku tidak
melalaikan tanggung-jawabku sebagai seorang ibu. Aku mendidik anak-anakku dan
berusaha mengajari mereka segala sesuatu. Dan tanggung-jawab yang paling utama
adalah sebagai seorang istri yang berusaha untuk mendapatkan keridhaan
suaminya; tidak mengurangi haknya; dan menunaikan kewajiban-kewajibannya secara
sempurna.
Alhamdulillah, Allah tidak menjadikanku telat untuk
menghafal Al-Qur`an selama-lamanya. Demi Allah, janganlah kalian memberikan
alasan atas tidak hafalnya kalian terhadap Al-Qur`an selama-lamanya. Apalagi
kalian, para gadis yang belum menikah dan belum memiliki tanggung-jawab.
Pertama dan terakhir kalinya adalah berprasangka baiklah
pada Allah, maka Allah akan berprasangka baik sesuai dengan prasangka
hamba-Nya. Karena ketika aku mengira bahwa surat Al-Baqarah dan Ali Imran sulit
sekali untuk dihafal; dan usaha itu akan memakan waktu yang lama, maka Allah
pun memberikanku anugerah sesuai dengan apa yang aku kira, yaitu aku
menghafalnya selama 7 tahun. Hal itu disebabkan karena aku tidak berprasangka
baik pada Allah.
Akan tetapi, ketika aku memasrahkan diri kepada Allah dan
berprasangka baik kepada-Nya, aku berujar pada diriku sendiri, ‘Aku akan
menghafal Al-Qur`an secara sempurna dalam waktu singkat.’ Allah memuliakanku
dengan menghafal kitab-Nya; dan memudahkanku. Allah menunjukiku jalan dan cara
menghafal yang bermacam-macam, yang tidak pernah aku mengerti dan ketahui
sebelumnya.
Wahai orang yang berkeinginan untuk menghafal Al-Qur`an,
bertawakkallah kepada Allah! Bersungguh-sungguhlah dalam berusaha! Dan jujurlah
pada dirimu bahwasanya engkau benar-benar ingin menghafal Al-Qur`an! Serta,
berprasangka baiklah bahwa Allah akan memberikan taufik-Nya atas usahamu. Demi
Allah, engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan dengan segera; dan engkau
akan menjadi bagian dari penghafal kalam yang paling agung, yaitu kalam Rabb semesta
alam. Dia telah berfirman :
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan
Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)[]
10. Suaminya meninggal, Justru Hafal dalam Satu Tahun
Asma’ ibu dari beberapa orang anak ini mesti berjuang
sendiri karena suaminya lebih dulu menghadap Allah -subhanahu wa ta’aala-. Ia
lalu mencurahkan segenap hidup dan waktunya untuk mendidik keluarganya agar
kelak dapat tumbuh dan menjadi bibit yang baik ditengah tengah masyarakat. Ia
sukses mewujudkannya. Tetapi kemudian Ia merasakan waktu senggang yang membunuh
dan hampir saja menyeretnya untuk melakukan hal hal yang biasa dilakukan para
tetangga yang suka berceloteh, adu domba dan melakukan hal hal yang sia sia
lagi buruk. Ia memutuskan untuk meninggalkan teman teman yang seperti ini dan
bergabung bersama halaqoh halaqoh tahfidz Al-Qur’an.
“Benar saja, ternyata kemampuanku dalam menyerap materi
sangat kuat dan hafalanku terus berkelanjutan hingga aku mampu menghafal
Al-Qur’an 30 juz hanya dalam tempo 1 tahun. Aku senantiasa menghafal Al-Qur’an
kapan saja ketika ada waktu kosong. Namun biasanya aku menghafal ketika selepas
shalat Ashar…”
“Aku sampaikan kepada mereka yang mengalami kondisi
seperti kondisiku, hendaknya mereka tidak menyerah atau merasa lemah dengan
segala kepedihan yang mereka hadapi sehingga ia akan menjadi mangsa
keterasingan.”[]
11. Wanita 50 Tahun Ini Hafal Paska Suami Tiada
Ia menghadapi berbagai musibah dan ujian di dalam hidupnya
tapi hal itu justru menambah ketegarannya. Ia memiliki 10 orang anak dan
seorang suami yang berusaha keras untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya.
Tiba tiba suaminya meninggal. Namun ia tidak menangis, berteriak histeris atau
melemparkan dirinya di hadapan berbagai persoalan. Ia kembali kepada Al-Qur’an
dan membentengi diri dengannya.
“Hatiku tertambat dengan Al-Qur’an dan mencintainya. Saat
berhadapan dengannya aku merasakan kenyamanan dan ketenangan. Aku menemukan
metode menghafal yang intinya adalah mengulang bacaan 10 juz setiap dua bulan
hingga aku benar-benar mampu menghafalnya. Setelah itu aku memulai sisa juz
berikutnya hingga mampu menghafal Al-Qur’an secara keseluruhan. Itulah yang
dulu aku kerjakan hingga kini masih terus aku lakukan terhadap Al-Qur’an.
Aku tidak akan pernah meninggalkan waktu sesaat dan sedetikpun kecuali
bersamanya dan terus menekuninya dalam setiap waktu dan banyak berdoa dan
kembali kepada Allah hingga Allah mengaruniakan kepadaku untuk dapat
menghafalnya dengan hafalan yang tertanam kuat.”
Ia juga sangat menaruh perhatian agar anak anaknya mampu
menghafal Al-Qur’an. Cita citanya tersebut terwujud saat ia mendapati
anak-anaknya menjadi dai dan imam masjid hingga mereka saling berlomba untuk
memasuki berbagai dauroh dan halaqoh tahfidz.
Beliau berpesan untuk para wanita penghafal Al-Qur’an
dengan air mata yang berderai dari kedua matanya, “Aku berharap agar
mereka berusaha sungguh-sungguh untuk menghafal Al-Qur’an, tidak mendahulukan
berbagai urusan dunia dan hendaknya mereka mengisi waktu mereka untuk menghafal
dan muraja’ah. Untuk diri aku sendiri aku berharap semoga Allah menganugerahkan
kepadaku untuk dapat memahami tafsiran Al-Qur’an. Aku telah memulai langkah
awal dengan mendengarkan berbagai kaset Syaikh Al-Utsaimin saat menafsirkan
Al-Qur`an.”[]
12. Tidak Dikaruniai Anak, Al-Qur’an Menjadi Pusat Perhatiannya
Ummu Majid, 33 tahun tidaklah menangis, menjerit ataupun
meronta hanya karena tenggelam dalam kesedihan tidak memiliki anak. Bahkan hal
itu menjadikanya punya banyak waktu dan kesempatan luang. Ia larut dengan
Al-Qur’an Al-Kariim, menyambutnya dengan penuh rasa senang dan cinta, menelaah
serta menghafalnya. Sebelum masuk ke sekolah tahfidz dia adalah seorang buta
huruf namun kemudian Allah mudahkan dia menghafal Al-Qur’an secara
sempurna.
“Seorang teman yang memiliki kondisi seperti aku
menyarankan untuk masuk ke sekolah tahfidz Al-Qur’an dan saat itu juga aku
menerima saran itu. Aku memandang hal itu sebagai kesempatan untuk mengisi
waktu luang, menghilangkan kegalauan, menjauhi berbagai forum gosip dan
adu domba serta menjadikannya media untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
jalan menghafal Al-Qur’an.”
“Dulu aku mempunyai banyak waktu kosong. Aku merasa
gelisah dan diliputi oleh berbagai permasalahan. Suamiku mengalami impoten dan
keinginan untuk punya anak menjadi sulit. Aku memeluk Al-Qur’an dan
merasakan dahaga yang amat sangat. Akhirnya Al-Qur’an menjadi kemuliaan
sekaligus petunjuk untuk aku menuju cahaya dan mencintai kebaikan. Dada menjadi
lapang dan Al-Qur’an menjadi satu satunya teman duduk. Segala kesulitan menjadi
terpecahkan dan dada menjadi lapang.
Aku pun pergi ke sekolah tahfidz dan kesibukanku
adalah kesibukan bersama Al-Qur’an yang telah memberikan kecukupan dari
segenap manusia dan dari berbagai pertemuan yang tidak bermanfaat atau
komunitas yang membahayakan. Aku mendapatkan teman-teman sekaligus bekal
yang baik untuk saling berlomba dalam menghafalkan Al-Qur’an.”[]
13. Kehilangan Semua, Justru Jadikan Hafalannya Sempurna
Fathimah 48 tahun, adalah seorang wanita buta huruf.
Meski demikian, ia tetap belajar di sekolah tahfidz dan telah mampu
menghafalkan 15 juz. Kisahnya berawal ketika dirinya dan orang tuanya hijrah ke
Saudi dari salah satu negara tetangga demi kehidupan yang lebih baik. “Ditengah
perjalanan kembali ke Saudi kedua orang tuaku mengalami kecelakaan dan
meninggal seketika itu juga.”
Akhirnya ia diurus tetangganya meski kondisi tetangganya
itu juga sangat sulit. Ia kemudian menikahkan Fathimah dengan seorang lelaki
yang baik agama dan akhlaqnya hingga dikaruniai dua orang anak. Tidak lama kemudian,
suaminya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
“Aku hidup di sebuah kamar yang sangat sederhana sekali,
sumbangan dari salah seorang dermawan. Aku punya sebuah radio kecil yang aku
gunakan untuk mendengarkan siaran Al-Qur’an Al-Kariim. Aku selalu menirukan
bacaan Qorii yang tengah membaca beberapa ayat. Akhirnya aku mulai
mengulang-ulang bacaan setelah membeli beberapa buah kaset. Hafalanku mulai
bertambah setelah membeli beberapa buah kaset. Saat itu aku mampu menghafal
hingga 10 juz. Lalu aku pergi ke sebuah sekolah tahfidz, mengikuti beberapa
ujian dan ternyata aku mendapat nilai excellent.
Aku tidak pernah mengecap bangku sekolah dan tidak pernah
pula belajar baca tulis, namun aku seringkali pergi ke Masjidil Haram dan
meminta dari sebagian huffazh perempuan di sana untuk mengajar, melatih dan
mengujiku terutama karena aku memiliki kemampuan menghafal dan memahami yang
kuat. Mereka memberikan pelayanannya kepadaku tanpa merasa terganggu berat
ataupun bosan.”
Fathimah lalu terhenti sejenak dan mulai terisak menangis,
“Aku teringat saat-saat kehilangan ayah, keluarga, dan orang orang yang telah
mengasuh serta membimbingku. Namun, ketika aku segera mendengarkan bacaan
Al-Qur’an, maka perasaanku berubah. Aku merasa ridho terhadap taqdir dan ketentuan
Allah.”
“Aku berpesan kepada setiap orang yang bertambah umurnya
dan masih memiliki banyak kesalahan, untuk segera meluruskan perjalanannya dan
menempuh jalan keselamatan dan memanfaatkan sisa-sisa umurnya untuk melakukan
amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb semesta alam sehingga akan
dimudahkan baginya jalan menuju Surga. Di dalam Al-Qur’an terkandung
kenikmatan, kebahagiaan, kasih sayang, dan ketenangan. Bila ia dibaca dengan
hati yang hidup dan akal pikiran yang penuh kesadaran serta menyelami
ayat-ayatnya, maka di dunia akan mendapatkan kelapangan hidup dan di Akhirat
kelak akan meraih Surga.”[]
14. Ummu Muhammad Hafal Al-Qur’an Selama 7 tahun
Ummu Muhammad hanyalah tamatan sekolah dasar. Setelah
anak-anaknya menikah, maka ia menghadapi kondisi kesepian dan waktu kosong.
Saah seorang tetangganya menyarankan agar ia mengikuti sekolah tahfidz. Ia
berfikir, ia hanyalah wanita tua 50 tahun buta huruf yang tak tahu baca tulis.
Namun ia segera tersadar bahwasanya para Shahabat Ridhwanulloh ‘Alayhim
mampu menghafal Al-Qur’an sedang mereka telah berusia lanjut. Maka ia teguhkan
pendiriannya dan bergabung dengan sekolah tahfidz. Di luar dugaan, ia mampu
mengkhatamkan Al-Qur’an, meski butuh 7 tahun.[]
15. Meski Sibuk Ngurus Rumah, Ummu Zaid Hafal dalam Satu Bulan
Ummu Zaid, seorang ibu rumah tangga ketika menceritakan
pengalamannya dalam menghafal Al-Qur’an, beliau menutup cerita dengan kata-kata
yang bisa menjadi nasihat untuk kita semua, terutama untuk ibu rumah tangga.
Belum pupus harapan bagi kalian untuk menjadi penghafal Kitabullah. Berikut
nasihat beliau yang aku kutip dari buku Hafal Al-Qur’an dalam Sebulan.
Untuk menutup halaman-halaman yang indah ini, aku sampaikan pada kalian bahwa
aku adalah wanita, sebagaimana wanita lainnya. Aku memiliki suami dan
anak-anak. Anak-anakku belajar di sekolah khusus dengan kurikulum pelajaran
yang sangat sulit. Aku hafal Al-Qur’an, tapi aku tidak melalaikan tanggung
jawabku sebagai seorang ibu. Aku didik anak-anakku dan berusaha mengajari
mereka segala sesuatu. Bahkan tanggung jawabku yang paling utama adalah sebagai
seorang istri yang berusaha untuk mendapatkan keridhaan suami, tanpa mengurangi
haknya dan dengan menunaikan kewajiban-kewajibanku secara sempurna.
Alhamdulillah, Allah tidak menjadikanku telat dalam menghafal Al-Quran. Demi
Allah, janganlah kalian beralasan atas tidak hafalnya kalian terhadap Al-Quran.
Apalagi kalian adalah para gadis yang belum menikah dan belum memikul tanggung
jawab. Pertama dan terakhir kalinya adalah berprasangka baik pada Allah. Karena
dengan begitu, Allah akan berprasangka baik sesuai dengan persangkaan
hamba-Nya. Pada awalnya, aku mengira bahwa surat Al-Baqarah dan Ali Imran
sangat sulit untuk dihafal, dan usaha itu akan memakan waktu yang lama. Dan
Allah pun memberiku anugrah sesuai dengan apa yang kusangka, yakni menghafalnya
selama 7 tahun. Itu karena aku tidak berprasangka baik pada Allah.
Namun setelah itu, ketika aku berpasrah diri pada Allah
dan berprasangka baik terhadap-Nya, aku berujar pada diri sendiri, “Aku akan
menghafal Al-Quran secara keseluruhan dalam waktu yang singkat.” Allah pun
memuliakanku dengan menghafal Kitab-Nya, bahkan memudahkanku. Allah menunjuki
jalan dan cara menghafal yang bermacam-macam, yang tidak pernah kumengerti dan
kuketahui sebelumnya. Wahai orang yang berkeinginan untuk menghafal Al-Qur’an,
bertawakallah pada Allah! Bersungguh-sunguhlah dalam berusaha! Dan jujurlah
pada dirimu, bahwasanya engkau benar-benar ingin menghafal Al-Qur’an! Serta,
berprasangka baiklah bahwa Allah akan memberi taufik-Nya atas usahamu! Demi
Allah, engkau akan memperoleh apa yang kau ingin dengan segera. Dan engkau akan
menjadi bagian dari penghafal kalam yang paling agung, yaitu kalam Rabb semesta
alam. Dia telah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran itu untuk
pelajaran. Maka, adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 17)
Subhanallah, mereka yang mengenalku mengira bahwa aku selalu mengawasi
anak-anakku. Tetapi tanpa perlu kujelaskan dengan kata-kata, mereka akan
mengetahui hal yang sebenarnya.
Suatu hari, ketika aku sedang duduk, anakku yang belum
genap 2 tahun berjalan mendekati meja yang di atasnya terdapat mushaf yang
biasa kugunakan untuk menghafal. Ia mengenali mushaf itu, dan membawanya
padaku. Ia menyerahkan padaku sembari mengucapkan beberapa patah kata, “Mata,
Quran,” (bahasa arab, ‘mata = kapan’). Seakan-akan ia berucap, “Bacalah wahai
ibu, dalam waktu dekat ibu kan selesai mengkhatamkannya.” Subhanallah, pada
hari itu tidak ada perhatiannya selain mencariku dan mencari ayahnya. Jika mushaf
tidak terdapat di tangan kami, maka ia berlari untuk mengingatkan kami.
Subhanallah. Dengan karunia Allah, akhirnya selesai 30 juz.[]
16. Menghafal Al-Qur’an Saat Umur 70 Tahun
Berikut ini adalah salah satu pengalaman nyata yang dimuat
dalam sebuah majalah. Mari kita simak bersama!
Ummu Shalih. 82 tahun, mulai menghafal Al-Qur`an pada
usianya yang ke-70. Tamasyanya ke taman hafalan Al-Qur`an, sungguh sangat
menginspirasi. Cita-citanya yang tinggi, kesabaran, dan juga pengorbanannya
patut kita teladani. Inilah hasil wawancara dengan Ummu Shalih.
Motivasi apa yang mendorong Anda
untuk menghafalkan Al-Qur`an pada umur yang setua ini?
Sebenarnya, cita-citaku untuk menghafal Al-Qur`an sudah
tumbuh sejak kecil. Kala itu ayah selalu mendoakanku agar menjadi hafizhah
Al-Qur`an seperti beliau dan juga seperti kakak laki-lakiku. Dari hal itulah,
aku mampu menghafal beberapa surat kira-kira 3 juz.
Ketika usiaku menginjak 13 tahun, aku menikah. Tentu
setelah itu aku tersibukkan dengan urusan rumah dan anak-anakku. Ketika aku
dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, suamiku wafat. Karena ketujuh buah hatiku
masih kecil-kecil, maka seluruh waktuku tersita untuk mengurusi dan mendidik
mereka.
Ketika mereka sudah dewasa dan berkeluarga, maka waktuku
pun kembali luang. Dan hal yang pertama kali aku tunaikan adalah mencurahkan
tenaga dan waktuku untuk mewujudkan cita-cita agungku yang tertunda untuk
menghafal Kitabullah Azza wa Jalla.
Bagaimana awal perjalanan Anda dalam
menghafal?
Aku mulai menghafal kembali ketika putri bungsuku masih
duduk di bangku Tsanawiyah (SMP). Dia salah satu putriku yang paling dekat
denganku, dan dia sangat mencintaiku. Sebab kakak-kakak perempuannya telah
menikah dan disibukkan dengan kehidupan baru mereka. Sedangkan dia (putri
bungsuku) tinggal bersamaku. Dia sangat santun, jujur, dan mencintai kebaikan.
Putri bungsuku pun bercita-cita untuk menghafal Al-Qur`an,
terlebih ketika ustadzahnya menyemangati dirinya. Dari sinilah, aku dan juga
putri bungsuku menghafal Al-Qur`an, setiap hari 10 ayat.
Bagaimana metode yang Anda gunakan
untuk menghafal?
Setiap hari, kami hanya menghafal 10 ayat saja. Ba’da
Ashar, kami selalu duduk bersama. Putriku membaca ayat, kemudian aku
menirukannya hingga 3 (tiga) kali. Setelah itu putriku menerangkan makna
dari ayat-ayat yang kami baca. Lantas membaca kembali ayat-ayat tersebut hingga
3 (tiga) kali.
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke sekolah putriku
mengulangi ayat-ayat tersebut untukku. Tak cukup itu saja, aku pun menggunakan tape
recorder untuk mendengar murattal Syaikh Al-Hushairi, dan aku mengulanginya
hingga 3 (tiga) kali. Aku pun mendengar murattal tersebut pada sebagian besar
waktuku.
Kami menetapkan hari Jum’at, khusus untuk mengulangi
kembali ayat-ayat yang kami hafal selama satu pekan. Demikian seterusnya, aku
dan putri bungsuku selalu menghafal ayat-ayat Al-Qur`an dengan cara tersebut.
Kapan Anda selesal menghafal seluruh
Al-Qur`an?
Kira-kira 4,5 tahun berjalan aku sudah hafal 12 Juz dengan
cara yang telah aku sebutkan. Kemudian putriku pun menikah. Ketika suaminya mengetahui
kebiasaan kami, dia pun mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan rumahku untuk
memberikan kesempatan kepadaku dan putriku untuk menyempurnakan hafalan kami.
Semoga Allah membalas kebaikan menantuku dengan kebaikan
yang lebih baik. Dialah yang selalu menyemangati kami, bahkan terkadang dia
menemani kami untuk menyimak hafalan kami, menafsirkan ayat-ayat yang kami
baca, dan juga memberikan pelajaran-pelajaran berharga kepada kami.
Tiga tahun kemudian, putriku tersibukkan dengan urusan
anak-anaknya dan pekerjaan rumahnya. Sehingga tidak bisa melazimi
kebiasaan yang telah kami jalani. Putriku pun merasa khawatir hafalanku menjadi
terbengkalai. Maka, putriku pun mencarikan untukku seorang ustadzah agar dapat
menemaniku menyempurnakan hafalanku.
Dengan taufik Allah Azza Wajalla aku pun telah
purna menghafalkan seluruh Al-Qur`an. Semangat putriku pun masih membara untuk
menyusulku menjadi hafizhah Al-Qur`an. Bahkan, tidak mengendur sedikit
pun.
Cita-cita Anda sangat tinggi, dan
Anda pun telah mewujudkannya. Siapakah sosok wanita di sekitar Anda yang selalu
mendukung Anda?
Motivasi aku telah jelas dan terang. Putri-putriku, juga
para menantu perempuanku pastinya selalu mendukungku. Walau hanya satu jam,
kami sepakat untuk mengadakan pertemuan sepekan sekali. Dalam pertemuan itu
kami menghafal beberapa surat, dan saling menyimak hafalan. Terkadang pertemuan
itu pun macet. Tetapi kemudian mereka bersepakat kembali untuk bertemu. Aku
yakin, niat mereka semua sangat baik.
Tak ketinggalan pula, cucu-cucu perempuanku yang selalu
memberikan kaset-kaset murattal Al-Qur`an. Hingga aku pun selalu memberi mereka
bermacam-macam hadiah.
Awalnya, tetangga-tetanggaku juga tidak simpatik dengan
cita-citaku. Mereka selalu mengingatkanku betapa sulitnya menghafal di usia yang
daya ingatnya telah lemah. Tetapi ketika mereka melihat kebulatan tekadku,
akhirnya mereka pun berbalik mendukung dan menyemangatiku. Ada di antara
tetanggaku yang juga ikut tersulut semangatnya untuk menghafal, dan sedikit
demi sedikit hafalannya pun mulai bertambah.
Ketika tetangga-tetanggaku mengetahui bahwa aku telah
purna menghafal seluruh Al-Qur`an, mereka pun sangat berbahagia. Hingga kulihat
air mata bahagia menetes di pipi mereka.
Sekarang, apakah Anda merasa
kesulitan untuk muraja’ah (mengulangi) hafalan?
Aku selalu mendengarkan murattal Al-Qur`an, dan
menirukannya. Demikian juga ketika shalat, aku selalu membaca beberapa surat
panjang. Terkadang pula aku meminta salah seorang putriku untuk menyimak
hafalanku.
Di antara putra-putri Anda, adakah yang
juga hafizh seperti Anda?
Tak ada satu pun dari mereka yang hafal keseluruhan
Al-Qur`an. Tetapi, insya Allah mereka selalu berusaha mencapai cita-cita
menjadi hafizh. Semoga Allah menyampaikan mereka pada hal tersebut dengan
bimbingan-Nya.
Setelah hafal Al-Qur`an, apakah
terpikirkan bagi Anda untuk menghafal hadits?
Saat ini, aku telah hafal 90 hadits, dan aku tetap
berkeinginan untuk melanjutkannya, Insya Allah. Aku menghafalnya dengan
mendengarkan dari kaset. Pada setiap akhir pekan, putriku membacakan untukku 3
(tiga) hadits. Sekarang, aku telah mencoba untuk menghafal hadits lebih banyak
lagi.
Setelah kurang lebih 12 tahun Anda
disibukkan dengan menghafal Al-Qur`an, perubahan apa yang Anda rasakan dalam
kehidupan Anda?
Benar, aku merasakan perubahan yang mendasar dalam diri
aku. Walau sebelum menghafal–untuk Allah segala puji—aku selalu menjaga diri
untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah disibukkan dengan menghafalkan Al-Qur`an, justru
aku merasakan kelapangan hati yang tak terkira, dan sirnalah seluruh kecemasan
dalam diriku. Aku pun tidak pernah menyangka akan terbebas dari perasaan
khawatir terhadap urusan-urusan yang menimpa anak-anakku.
Moral dan spiritku benar-benar terangkat. Hingga aku pun
rela berpayah-payah untuk mewujudkan kerinduanku dalam mewujudkan cita-citaku.
Inilah nikmat terbesar yang diberikan oleh Sang Khaliq Azza Wajalla
kepadaku sebagai wanita tua, suami pun telah tiada, dan juga anak-anaknya pun
mulai berkeluarga.
Di saat wanita lanjut usia lainnya terjebak dalam
angan-angan dan lamunan. Tetapi aku —segala puji hanya untuk Allah— tidak
merasakan hal yang demikian. Aku benar-benar tersibukkan dengan urusan besar
yang memiliki faedah di dunia dan Akhirat.
Ketika itu, apakah Anda tidak
berpikir untuk mendaftarkan diri pada sebuah pesantren penghafal Al-Qur`an?
Pernah beberapa wanita yang mengusulkan kepadaku, tapi aku
adalah wanita yang terbiasa untuk berdiam diri di dalam rumah dan jarang sekali
keluar rumah. Alhamdulillah, karena putriku telah mencukupi segalanya dan
membantuku dalam segala urusan. Sungguh, putriku benar-benar tidak ada duanya.
Aku pun telah banyak mengambil pelajaran darinya.
Apa yang terkesan dalam diri Anda
tentang putri bungsu Anda yang telah membimbing dan mendampingi Anda?
Putri bungsuku telah memberikan pelajaran mengagumkan
dalam kebaikan dan kedermawanan yang keduanya sulit ditemui pada zaman
sekarang. Terlebih dia mendampingiku menghafal Al-Qur`an pada usia muda.
Padahal, usia ini adalah usia labil yang mudah terombang-ambing dan tergoda
dengan keadaan yang menjerumuskan.
Tidak seperti umumnya teman-teman seusianya, putriku
memaksakan diri untuk meluangkan waktunya untuk mendampingiku. Dia pun
mengajari dan mendampingiku dengan tekun, sabar, dan penuh kelembutan. Suaminya
pun demikian —semoga Allah senantiasa menjaganya— selalu menolong dan telah
memberikan bantuan yang begitu banyak. Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan
kepada mereka berdua dan menyejukkan pandangan mata mereka dengan anak-anak
yang shalih.
Apa saran Anda kepada wanita yang
telah lanjut usia, dan menginginkan untuk dapat menghafalkan Al-Qur`an, tetapi
terhalang oleh rasa khawatir dan merasa tidak mampu untuk melaksanakannya?
Aku katakan, “Jangan berputus asa terhadap cita-cita yang
benar. Teguhkanlah keinginanmu, bulatkan tekadmu, dan berdoalah kepada Allah di
setiap waktu. Kemudian, mulailah sekarang juga. Setelah umurmu berlalu dan kau
curahkan seluruhnya untuk memenuhi tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga,
mendidik anak, dan mengurus suami. Maka sekarang saatnyalah Anda memanjakan
diri. Bukan berarti kemudian memperbanyak keluar rumah, memuaskan diri dengan
tidur, bermewah-mewah, dan banyak beristirahat. Tetapi memanjakan diri dengan
amal shalih. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon khusnul
khatimah.
Nasihat Anda terhadap para remaja?
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Nikmat Allah
berupa kesehatan, dan banyaknya waktu luangmu, maksimalkanlah untuk menghafal
kitab Allah Azza Wa Jalla. Inilah cahaya yang akan menyinari hatimu,
hidupmu, dan kuburmu setelah engkau mati.
Jika kalian masih memiliki ibu, bersungguh-sungguhlah
dalam membimbingnya menuju ketaatan kepada Allah. Demi Allah, tidak ada nikmat
yang lebih dicintai seorang ibu kecuali seorang anak shalih yang mau menolongnya
untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.[]
Sumber: Hafal Al-Qur’an Tanpa Nyantri karya Abdud Daim Al-Kahil, Pustaka
Arafah, Cet I, Maret 2010, halaman 129-137
17. Singkat Cerita, Kuselesaikan dalam 7 Tahun
“Setiap kali aku teringat Al-Qur’an maka aku dipenuhi
perasaan gembira dan bahagia. Tahun demi tahun berlalu, hingga aku mampu
menghafal Al-Qur’an secara sempurna selama 7 tahun. Aku meneruskan perjalanan
ini dan menyempurnakannya dengan mengikuti 6 kali perlombaan.
Aku berpesan kepada saudaraku Muslimah yang tengah
menghafal Al-Qur’an, hendaknya mereka mentadabburi Al-Qur’an dan mempelajari
kandungannya sehingga mereka tidak mendapatkan beban karenanya dan juga
mendapatkan syafaat bagi mereka di Akhirat kelak. Juga aku ingatkan kepada
saudara-saudaraku yang belum menghafal Al-Qur’an, agar mereka senantiasa
mengingat ingat keutamaan menghafal Al-Qur’an serta pahala yang akan diraih
oleh penghafalnya. Sebab kedudukan di Surga akan berada di akhir ayat Al-Qur’an
yang dibaca.”[]
18. Koma 15 Tahun dan Keluarga Al-Qur’an
Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415
H, ia berkata:
Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.
Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.
Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi.
Sehingga ia berangkat kerja selama sepekan (di tempat kerjanya) dan pulang
tinggal bersama kami sepekan.
Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah berusia
4 tahun…
Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H
tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh ia
mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke rumah
sakit, dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada
kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah
rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami, terlebih lagi kedua orang
tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri
kami (Asmaa') tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya
telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya.
Kami senantiasa bergantian menjenguknya di rumah sakit,
dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima
tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya
melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa
diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku
tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang
benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak
anjuran tersebut.
Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas
muka bumi ini. Ia dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka
membiarkannya tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah
kehendaki.
Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri
kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz Al-Quran hingga akhirnya iapun
menghafal Al-Qur'an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah
mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku terkadang
menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam membisu.
Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa
shalat pada waktunya, ia shalat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum
7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah
putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya,
demikian juga kakeknya rahimahullah.
Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia
meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya. Pada suatu hari
di tahun 1410 H, putriku berkata kepadaku: “Ummi biarkanlah aku malam ini tidur
bersama ayahku.” Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun mengizinkannya.
Putriku bercerita, “Aku duduk di samping ayah, aku membaca
surat Al-Baqarah hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun
tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun
dari tidurku lalu aku berwudhu dan shalat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.
Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk,
sedangkan aku masih di tempat shalatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku,
‘Bangunlah…! Bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah) terjaga?
Bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah
tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini?’ Akupun bangun. Seakan-akan
aku mengingat sesuatu yang terlupakan. Lalu akupun mengangkat kedua tanganku
(untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air
mata-. Aku berkata dalam do'aku, ‘Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)...,
Yaa 'Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir
(Yang Maha Besar)…, Yaa Mut'aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha
Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba
dari hamba-hamba-Mu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami
memuji Engkau…, kami beriman dengan keputusan dan ketetapan-Mu baginya… Ya
Allah…, sesungguhnya ia berada di bawah kehendak-Mu dan kasih sayang-Mu..,
Wahai Engkau yang telah menyembuhkan Nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah
mengembalikan Nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari
perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan
keselamatan bagi Nabi Ibrahim… Sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya. Ya
Allah… Sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi
sembuh… Ya Allah milik-Mu lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku,
angkatlah penderitaannya.” Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun
tertidur sebelum subuh.
Tiba-tiba ada suara lirih menyeru, “Siapa engkau? Apa yang
kau lakukan di sini?” Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke
kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi
melihat ke kanan dan ke kiri, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku.
Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun
dan memeluknya karena gembira dan bahagia, sementara ayahku berusaha menjauhkan
aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, "Ittaqillah…(Takutlah engkau
kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!". Maka aku berkata kepadanya,
"Aku ini putrimu Asmaa'.” Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk
segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat
apa yang terjadi merekapun keheranan.
Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab
yang tidak fasih- : "Subhaanallah…". Dokter yang lain dari Mesir
berkata, "Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang
yang telah kering…". Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah
terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis dan
berkata:
اللهُ
خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ
‘Sungguh Allah adalah Penjaga Yang
terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang shalih. (QS. Yusuf)
Demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan
kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan
shalat Dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan shalat Duha atau
tidak?’
Sang istri berkata, “Maka suamiku Abu Asmaa' akhirnya
kembali lagi bagi kami sebagaimana biasnya yang aku mengenalinya, sementara
usianya hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra,
Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha suci Allah
Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah menjaga
putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan menganugerahkan keikhlasan
bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku…meskipun ia dalam
keadaan koma…
Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do'a.
Sesungguhnya tidak ada yang menolak takdir kecuali do'a. Barang siapa yang menjaga
syari'at Allah maka Allah akan menjaganya.
Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua,
dan hendaknya kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala
sesuatu, di tangan-Nya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selain-Nya yang
ikut mengatur.
Ini adalah kisahku sebagai 'ibroh (pelajaran), semoga
Allah menjadikan kisah ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa
seluruh jalan telah tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab
dan pintu-pintu keselamatan telah tertutup.
Maka ketuklah pintu langit dengan do'a, dan yakinlah
dengan pengabulan Allah. Demikian dan Alhamdulillahi Robbil 'Aaalamiin.[]
Sumber:
http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html , diterjemahkan oleh
Dr. Firanda Andirja, Lc., MA
19. Si Buta yang Dimuliakan Karena Al-Qur’an
Dahulu, sebelum ada vaksinasi, cacar adalah salah satu
penyakit yang tersebar di mana-mana, dan atas kehendak Allah Yang Maha Hidup
dan Maha Mengurus segala sesuatu, sering kali (penyakit cacar itu)
mengakibatkan kematian di kalangan masyarakat.
Di antara mereka ada yang terjangkit bencana ini; seorang
lelaki berumur 6 tahun dari sebuah dusun di utara kota Buraidah di wilayah
Al-Qashim. Peristiwa ini terjadi di abad 14 H. Akibatnya, ia mengalami kebutaan
total dan berwajah bopeng.
Anak ini tinggal di tengah saudara-saudaranya yang bekerja
sebagai petani di sawah. Dia sering berlari-lari di belakang mereka, hendak
mengejar mereka saat berjalan bersama. Akan tetapi, tentu saja hal ini sering
kali menyebabkannya tersandung dan terjerembab di mana-mana, lalu terluka.
Namun, ia segera bangkit mengejar arah datangnya suara mereka, lalu ia menabrak
pohon di mana-mana, sementara saudara-saudaranya hanya menertawainya ketika ia
jatuh, bahkan (mereka) mengejeknya, “Buta …! Buta …!”
Mereka tidak peduli dan tidak menanyakan apabila dia tidak
ada dan (mereka) bersikap acuh kalau dia ada di tengah mereka. Bahkan, di kala
orang tuanya tidak ada dirumah, sering kali ia menjadi bulan-bulanan
saudara-saudaranya, yaitu ketika dia disuruh berjalan lalu terantuk dan
terjatuh, maka ia menjadi bahan tertawaan. Meskipun demikian, dia termasuk anak
yang lincah dan gerakannya ringan. Kemauannya keras dan mempunyai ketabahan,
dan Allah telah mengaruniakan kepadanya kecerdasan dan kemauan yang keras. Dia
selalu berupaya melakukan apa saja yang dia mau. Dia ingin mengerjakan lebih
banyak daripada yang dilakukan orang normal.
Ayahnya adalah orang yang miskin. Dia memandang anaknya
yang buta ini hanya menjadi beban saja, karena dia tidak mendapatkan manfaat
dan keuntungan darinya sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.
Suatu hari, salah seorang temannya datang ke rumah. Sudah
beberapa tahun mereka tidak jumpa. Dia lalu mengadukan kepada temannya tersebut
perihal anaknya yang buta bahwa anak itu tidak berguna, bahkan mereka
sekeluarga selalu sibuk mengurus dan melayaninya, sehingga menghambat sebagian
pekerjaan mereka. Tamu tersebut menyarankan agar anak itu dikirim ke Riyadh
agar mendapat jaminan makanan dari jamuan yang selalu diadakan oleh Ibnu Sa’ud (Setelah
keamanan dalam negeri di seluruh Jazirah Arab terkendali di tangan Raja Abdul
‘Aziz Rahimahullah, dia mengadakan jamuan khusus untuk memberi makan
kaum fakir miskin dan orang orang terlantar. Pada masa itu, jamuan tersebut
sangat terkenal), sehingga (ia) akan selalu bertemu dengan orang orang yang
mengasihinya setiap saat.
Ide tersebut diterima dengan baik oleh ayahnya. Ketika ada
seorang tukang unta tampak sedang membuat kayu ke atas punggung untanya yang
biasanya menjual barang dagangan di Riyadh, ayahnya menghampiri tukang unta dan
berkata, “Aku hendak menitipkan anakku ini padamu. Bawalah dia pergi ke Riyadh
dan aku beri kamu dua riyal, dengan syarat: kamu taruh dia di masjid, dan kamu
tunjukkan di mana letak jamuan makan dan sumur masjid agar dia bisa minum dan
berwudhu, dan serahkan dia kepada orang yang mau berbuat kebajikan kepadanya.”
Berikut ini penuturan kisah sang anak setelah (ia) dewasa,
Aku dipanggil ayahku Rahimahullah. Pada waktu iu,
umurku baru mendekati 13 tahun. Beliau berkata, “Anakku, di Riyadh itu ada
halaqah-halaqah ilmu, ada jamuan makan yang akan memberimu makan malam setiap
hari, dan lain sebagainya. Kamu akan betah disana, insya Allah. Kamu akan ayah
titipkan pada orang ini. Dia akan memberitahu kamu apa saja yang kamu inginkan.”
Tentu saja, aku menangis keras-keras dan mengatakan,
“Benarkah orang sepertiku tidak memerlukan lagi keluarga? Bagaimana mungkin aku
berpisah dengan ibuku, saudara-saudara, dan orang orang yang aku sayangi?
Bagaimana aku akan mengurus diriku di negeri yang sama sekali asing bagiku,
sedangkan di tengah keluargaku saja aku mengalami kesulitan? Aku tidak mau!”
Aku dibentak oleh ayahku. Beliau berkata kasar kepadaku.
Selanjutanya, beliau memberiku pakaian-pakaianku seraya berkata, “Tawakal
kepada Allah dan pergilah. Kalau tidak, kamu akan aku begini dan begini.”
Suara tangisku makin keras, sementara saudara-saudaraku
hanya diam saja di sekelilingku. Selanjutnya, aku dibimbing oleh si tukang unta
sambil menjanjikan kepadaku hal-hal yang baik-baik dan meyakinkan aku bahwa aku
akan hidup enak di sana.
Aku pun berjalan sambil tetap menangis. Tukang unta itu
menyuruh aku berpegangan pada ujung kayu di bagian kelakang unta. Dia berjalan
di depan unta, sedangkan aku di belakangnya, sementara suara tangisku masih tetap
meninggi. Aku menyesali perpisahanku dengan keluargaku.
Setelah lewat sembilan hari perjalanan, tibalah kami di
tengah kota Riyadh. Tukang unta itu benar-benar menaruh aku di masjid dan
menunjukkan aku letak sumur dan jamuan makan. Akan tetapi aku masih tetap tidak
menyukai semuanya dan masih merasa sedih. Aku menangis dari waktu ke waktu.
Dalam hati, aku berkata, “Bagaimana mungkin aku hidup di suatu negeri yang aku
tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenal siapa pun? Aku berangan-angan,
andaikan aku bisa melihat, pastilah aku sudah berlari entah kemana, ke padang
pasir barangkali. Akan tetapi, atas rahmat Allah, ada beberapa orang yang
menaruh perhatian kepadaku di masjid itu. Mereka menaruh belas kasihan
kepadaku, lalu mereka membawaku kepada Syeikh Abdurrahman Al-Qasim Rahimahullah
dan mereka katakan, ‘Ini orang asing, hidup sebatang kara.’”
Syaikh menghampiri aku, lalu menanyai siapa namaku dan
nama julukanku, dan dari negeri mana. Kemudian, beliau menyuruh aku duduk di
dekatnya, sementara aku menyeka air mataku. Beliau berkata, “Anakku, bagaimana
ceritamu?” Kemudian, aku pun menceritakan kisahku kepada beliau.
“Kamu akan baik baik saja, insya Allah. Semoga Allah
memberimu manfaat dan membuat kamu bermanfaat. Kamu adalah anak kami dan kami
adalah keluargamu. Kamu akan melihat nanti hal-hal yang menggembirakanmu di
sisi kami. Kamu akan kami gabungkan dengan para pelajar yang sedang menuntut
ilmu dan akan kami beri tempat tinggal dan makanan. Di sana ada saudara-saudara
di jalan Allah yang akan selalu memperhatikan dirimu.”
Aku menjawab, “Semoga Allah memberi Tuan balasan yang
terbaik, tetapi aku tidak menghendaki semua itu. Aku ingin Tuan berbaik hati
kepadaku, kembalikan aku kepada keluargaku bersama salah satu kafilah yang
menuju Al-Qashim.”
Syaikh berkata, “Anakku, coba dulu kamu tinggal bersama
kami, barangkali kamu akan merasa nyaman. Kalau tidak, kami akan mengirim kamu
kembali kepada keluargamu, insya Allah.”
Selanjutnya, Syaikh memanggil seseorang lalu berkata,
“Gabungkan anak ini dengan Fulan dan Fulan, dan katakan kepada mereka,
perlakukan dia dengan baik.”
Orang itu membimbing dan membawaku menemui dua orang teman
yang baik hati. Keduanya menyambut kedatanganku dengan baik dan aku pun duduk
di sisi mereka berdua, lalu aku ceritakan kepada mereka berdua keadaanku dan
mengatakan bahwa aku tidak betah tinggal di sini karena harus berpisah dari
keluargaku. Tak ada yang dilakukan kedua temanku itu selain mengatakan kepadaku
perkataan yang menghiburku. Keduanya menjanjikan kepadaku yang baik-baik dan
bahwa kami akan sama-sama mencari ilmu, sehingga aku sedikit merasa tenteram
dan senang kepada mereka. Keduanya selalu bersikap baik padaku. Semoga Allah
memberi mereka dariku balasan yang terbaik. Akan tetapi, aku sendiri belum juga
terlepas dari kesedihan dan keenggananku tinggal di sana. Aku masih tetap
menangis dari waktu ke waktu atas perpisahanku dengan keluargaku.
Kedua temanku itu tinggal di sebuah kamar dekat masjid.
Aku tinggal bersama mereka. Keseharianku selalu bersama mereka. Pagi-pagi
benar, kami pergi shalat Subuh, lalu duduk di masjid mengikuti pengajian
Al-Qur’an sampai menjelang siang. Syaikh menyuruh kami menghafal Al-Qur’an.
Sesudah itu, kami kembali ke kamar, istirahat beberapa saat, makan ala
kadarnya, kemudian kembali lagi ke pengajian hingga tiba waktu Zuhur. Barulah
setelah itu, kami istirahat, yakni tidur siang (qailulah), dan sesudah shalat
Ashar kami kembali lagi mengikuti pengajian.
Demikian yang kami lakukan setiap hari hingga akhirnya
mulailah aku merasa betah sedikit demi sedikit, makin membaik dari hari ke
hari, bahkan akhirnya Allah melapangkan dadaku untuk menghafal Al-Qur’an,
terutama setelah Syaikh–Rahimahullah–memberi dorongan dan perhatian
khusus kepadaku. Aku pun melihat diriku mengalami kemajuan dan menghafal hari
demi hari. Sementara itu, Syaikh selalu mempertajam minat para santrinya.
Pernah suatu kali, beliau berkata, “Kenapa kalian tidak meniru si Hamud itu?
Lihatlah bagaimana kesungguhan dan ketekunannya, padahal ia orang buta!”
Dengan kata-kata itu, aku semakin bersemangat, karena
timbul persaingan antara aku dan teman-temanku dalam kebaikan. Oleh karena itu,
kurang dari satu setengah bulan, Allah Ta’ala telah mengaruniai aku
ketenteraman dan ketenangan hati, sehingga dapatlah aku menikmati hidup baru
ini.
Setelah tujuh bulan lamanya aku tinggal di sana, aku
katakan dalam diriku, “Subhanallah, betapa banyak kebaikan yang terdapat dalam
hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sementara diri kita melalaikannya!
Kenapa aku harus sedih dan menangisi kehidupan yang serba kekurangan di tengah
keluargaku, yang ada hanya kebodohan, kemiskinan, kepayahan ketidakpedulian,
dan penghinaan, sedangkan aku merasa menjadi beban mereka?”
Demikianlah kehidupan yang aku jalani di Riyadh setiap
harinya, sehingga kurang dari sepuluh bulan aku sudah dapat menghafal Al-Qur’an
sepenuhnya, alhamdulillah. Kemudian, aku ajukan hafalanku itu kehadapan Syaikh
sebanyak dua kali. Selanjutnya, Syaikh mengajak aku pergi menemui para guru
besar, yaitu Syaikh Muhammad bin Ibrahim dan Syaikh Abdul Latif bin Ibrahim.
Aku diperkenalkan kepada mereka. Kemudian, guruku itu berkata, “Kamu akan ikut
bergabung dalam halaqah-halaqah ilmu. Adapun murajaah Al-Qur’an, dilakukan
sehabis shalat Subuh, kamu akan dipandu oleh Fulan. Sesudah Magrib, kamu akan
dipandu oleh Fulan.”
Sejak saat itu, mulailah aku menghadiri halaqah-halaqah
dari para guru besar itu, yang bisa menimba ilmu dengan kesungguhan hati.
Materi pelajaran yang diberikan meliputi Akidah, Tafsir, Fikih, Ushul Fikih,
Hadits, Ulumul Hadits, dan Fara’idh. Seluruh materi diberikan secara teratur,
masing-masing untuk materi tertentu.
Sementara itu, aku sendiri, hari demi hari semakin merasa
betah, semakin senang, dan tenteram hidup di lingkungan itu. Aku benar benar
merasa bahagia mendapat kesempatan mencari ilmu. Sementara itu, agaknya orang
tuaku di kampung selalu bertanya kepada orang-orang yang bepergian ke Riyadh,
dan tanpa sepengetahuanku beliau mendapat berita-berita tentang perkembanganku.
Demikianlah, Alhamdulillah, aku berkesempatan untuk terus
mencari ilmu dan menikmati taman-taman ilmu. Setelah tiga tahun, aku meminta
izin kepada guru-guruku untuk menjenguk keluargaku di kampung. Kemudian, mereka
menyuruh orang untuk mengurus perjalananku bersama seorang tukang unta. Dengan
memuji Allah, aku pun berangkat hingga sampailah aku kepada keluargaku. Tentu
saja, mereka sangat gembira dan kegirangan menyambut kedatanganku, terutama
Ibuku–Rahimahallah–. Mereka menanyakan kepadaku tentang keadaanku dan
aku katakan, “Aku kira, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih
bahagia selain aku.”
Ya, kini mereka melihatku dengan senang dan santun.
Demikian pula, aku melihat mereka menghargai dan menghormati aku, bahkan
menyuruhku mengimami shalat mereka. Aku menceritakan kepada mereka
pengalaman-pengalaman yang telah aku alami selama ini. Mereka senang
mendengarnya dan memuji kepada Allah.
Setelah beberapa hari berada di lingkungan keluargaku, aku
pun meminta izin untuk pergi meninggalkan mereka kembali. Mereka bersikeras
memintaku untuk tetap tinggal, tapi aku segera mencium kepada ayah-bundaku. Aku
meminta pengertian dan izin kepada keduanya, dan Alhamdulillah mereka
mengizinkan. Akhirnya aku kembali ke Riyadh meneruskan pelajaranku. Aku makin
bersemangat mencari ilmu.”
Adapun dari teman-temannya yang seangkatan, ada di
antaranya yang menceritakan, “Dia sangat rajin dan bersemangat dalam mencari
ilmu, sehingga dikagumi guru-gurunya dan teman-teman seangkatannya. Sangat
banyak ilmu yang dia peroleh. Adapun hal yang sangat ia sukai adalah apabila
ada seseorang yang duduk bersamanya dengan membacakan kepadanya sebuah kitab
yang belum pernah ia dengar, atau ada orang yang berdiskusi dengannya mengenai
berbagai masalah ilmu. Dia memiliki daya hafal yang sangat mengagumkan dan daya
tangkap yang luar biasa.
Tatkala umurnya mencapai 18 tahun, dia diperintahkan oleh
guru didiknya dihadapan santri-santri kecil dan agar menyuruh mereka
menghafalkan beberapa matan kitab.
Ketika Fakultas Syariah Riyadh dibuka, beberapa orang
gurunya menyarankan dia mengikuti kuliah. Dia mengikutinya, dan dengan demikian
dia, termasuk angkatan pertama yang dihasilkan oleh fakultas tersebut pada
tahun 1377 H. Kemudian, dia ditunjuk menjadi tenaga pengajar di Fakultas
Syariah di kota itu.
Pada akhir hayatnya, dia pindah mengajar di fakultas yang
sama di Al-Qashim, dan lewat tangannya muncullah sekian banyak mahasiswa yang
kelak menjadi hakim, orator, guru, direktur, dan sebagainya.
Pada tiap musim haji, dia tergabung dalam rombongan pada
mufti dan da’i, di samping kesibukannya sebagai pebisnis tanah dan rumah,
sehingga dia bisa memberi nafkah kepada keluarganya dan saudara saudaranya, dan
dapat pula membantu kerabat-kerabatnya yang lain.
Adapun saudara saudaranya yang dulu sering mengejeknya
semasa kecil, kini mereka mendapatkan kebaikan yang melimpah darinya, karena
sebagian mereka, ada yang kebetulan tidak pandai mencari uang.
Betapa banyak karunia dan nikmat yang terkandung pada
hal-hal yang tidak disukai dari diri kita. Akan tetapi, firman Allah yang Maha
Agung tentu lebih tepat,
عَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ
خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu
tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)[]
Sumber: Obat Penawar Hati yang Sedih karya
Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-’Utsaimin, Penerbit: Darus Sunnah.
***
Assalamu'alaikum
BalasHapus