Download Arbain Pernikahan – Pustaka Syabab
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-arbain-pernikahan-pustaka-syabab.html
Download Arbain Pernikahan – Pustaka Syabab
Download:
Penerbit :
Pustaka Syabab
Editor : Tim Pustaka Syabab
Layout : Tim Pustaka Syabab
Cetakan :
Pertama
Tahun : Sya’ban 1435 H/Juni 2014 M
Pengantar Penerbit
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji milik Allah Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya,
dan para shahabatnya.
Amma ba’du:
Pada kesempatan ini kami persembahkan
kutaib Arba’in Pernikahan yang berisi 42 poin tentang pemuda, pemudi,
pernikahan, rumah tangga, dan kaidah umum tentangnya yang sangat bermanfaat
bagi siapa saja yang akan menikah ataupun telah berumah tangga. Akhirnya,
selamat membaca!
Semoga shalawat dan salam untuk Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para shahabatnya.[]
Surabaya, 1 Mei 2014
Penerbit
Muqaddimah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ
سَيِّئآتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا
بَعْدُ:
Di dalam kutaib ini, penyusun hanya
mencantumkan hadits maqbul saja meliputi hasan dan shahih, meskipun ada satu
yang dha’if dan satu atsar ‘Umar yang belum penyusun temukan komentar ahli
hadits tentang derajat keabsahannya. Untuk yang dha’if tersebut, penyusun
cantumkan karena sebenarnya ada khilaf tajam di mana sebagian pakar menilainya
shahih yang penyusun singgung dalam Takhrij Luas dan Tahqiq dan juga
takhrij hadits untuk Poin Ke-40. Adapun penilaian para ulama ahli hadits
yang beragam untuk satu hadits, hal ini disebabkan karena ulama ahli hadits
sendiri terbagi menjadi tiga kelompok dalam menyikapi perawi: mutasyaddid
(sangat ketat, seperti Abu Hatim ar-Razi dan Abu Zur’ah ar-Razi), mu’tadil
(pertengahan, seperti Imam al-Bukhari dan an-Nasa`i), dan mutasahil
(longgar, seperti at-Tirmidzi dan al-Hakim). Maka, jangan heran jika suatu
hadits dinilai hasan oleh at-Tirmidzi lalu didha’ifkan oleh ulama setelahnya.
Sengaja penyusun hanya mencantumkan
matannya saja, karena memang awalnya hanya berisi firman Allah dan sabda
Rasul-Nya untuk memudahkan dihafal. Untuk membedakan dengan atsar, penyusun mencantumkan nama shahabat yang
mengucapkannya.
Penyusun menyadari bahwa kutaib ini sangat
jauh dari kesempurnaan. Silahkan kirim ke norkandir@gmail.com.[]
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً
مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
Poin Ke-1: Bahaya Fitnah Wanita
قَالَ تَعَالىَ: وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah ta’ala
berfirman, “Dan
manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” [QS. An-Nisâ` [4]: 28]
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا تَرَكْتُ بَعْدِي
فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak meninggalkan sepeninggalku fitnah
yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi kaum wanita.” [Muttafaqun
‘Alaih]
«إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ
كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ
أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ»
“Sesungguhnya
dunia itu manis lagi hijau dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian berkuasa di
dalamnya lalu Dia melihat apa yang kalian lakukan. Waspadalah kalian terhadap
dunia dan waspadalah kalian terhadap
wanita. Sesungguhnya fitnah pertama Bani Isra`il adalah wanita.” [HR. Muslim (no.
2742)]
«إِنَّ اللّٰهَ
كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ،
فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى
وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ»
“Sesungguhnya
Allah telah menetapkan atas keturunan Adam bagiannya dari zina, yang pasti
dilakukannya tidak mungkin tidak. Zina mata adalah melihat, zina lisan adalah
berbicara, dan jiwa berandai-andai dan berkeinginan, sementara kemaluan membenarkan (mewujudkan)
hal tersebut atau mendustakannya.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-2: Menikah Cara Terbaik Membendung Fitnah Wanita
«إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا
أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا
فِي نَفْسِهِ»
وَفِى رِوَايَةٍ: «فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا»
“Sesungguhnya
wanita menghadap dalam rupa setan dan membelakangi dalam rupa setan pula. Jika
salah seorang dari kalian melihat wanita, hendaklah ia mendatangi (menyetubuhi)
istrinya karena hal
tersebut bisa menolak apa (yang bergejolak) di dalam
jiwanya.” [HR. Muslim (no. 1403)]
Dalam riwayat
lain, “Karena istrinya memiliki yang semisal dimiliki wanita tersebut.”
[Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1158)]
Poin Ke-3: Menikah Sunnah Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan
sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka
istri-istri dan keturunan.” [QS. Ar-Ra’du [13]: 38]
«أَمَا وَاللّٰهِ،
إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلّٰهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي
وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّي»
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang
yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian.
Namun, aku puasa dan tidak puasa, aku shalat malam dan tidur, dan aku menikahi
beberapa wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari
golonganku.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-4: Menikah Memberikan Ketenangan
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Di
antara tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa tenang karena
mereka, dan Dia jadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sungguh pada
demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berfikir.” [QS. Ar-Rûm [30]: 21]
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Mereka (para
istri) adalah pakaian untuk kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian untuk
mereka.” [QS. Al-Baqarah [2]: 187]
Poin Ke-5: Menikah Termasuk Kesempurnaan Iman
«مَنْ
أَعْطَى لِلّٰهِ، وَمَنَعَ لِلّٰهِ، وَأَحَبَّ لِلّٰهِ، وَأَبْغَضَ لِلّٰهِ،
وَأَنْكَحَ لِلّٰهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ إِيمَانُهُ»
“Barangsiapa
yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah,
membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sungguh telah sempurna
keimanannya.” [Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2521)]
Poin Ke-6: Kesempurnaan Agama Bagi Pasutri
«إِذَا
تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللّٰهَ فِي
النِّصْفِ الْبَاقِي»
“Jika seorang
hamba menikah maka dia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah dia
bertakwa kepada Allah di setengah sisanya.” [Hasan:
HR. Al-Baihaqi (no. 5100)]
«مَنْ
رَزَقَهُ اللّٰهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِينِهِ،
فَلْيَتَّقِ اللّٰهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِي»
“Barangsiapa
yang diberi karunia
Allah wanita shalihah, maka sungguh Dia telah membantunya dalam setengah
agamanya. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah di setengah sisanya.” [Shahih:
HR. Al-Hakim (no. 2681)]
Poin Ke-7: Anjuran Menikah dan Penekanan Atasnya
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan
nikahkanlah wanita-wanita sendirian di antara kalian dan orang-orang shalih
dari hamba-hamba lelaki dan perempuan kalian.” [QS. An-Nûr [24]: 32]
«يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
“Wahai para
pemuda! Barangsiapa di antara kalian mampu ba`ah (jima’) maka menikahlah,
karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa
yang belum sanggup, maka hendaklah ia berpuasa karena ia akan menjadi tameng
baginya.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-8: Larangan Menunda Menikah Karena Miskin
إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
“Jika mereka miskin, niscaya Allah akan
menjadikan mereka kaya dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) dan Mahatahu.” [QS. An-Nûr
[24]: 32]
«ثَلَاثَةٌ
حَقٌّ عَلَى اللّٰهِ عَوْنُهُمْ: المُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَالمُكَاتَبُ
الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ»
“Tiga orang yang
pasti Allah tolong, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, budak mukatab
yang ingin menebus dirinya, dan orang yang menikah demi menjaga kehormatan.” [Hasan:
HR. At-Tirmidzi (no. 1655)]
«تَزَوَّجُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَكُمْ بِالْمَالِ»
“Nikahilah oleh
kalian wanita-wanita karena sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta kepada
kalian.” [Shahih: HR. Al-Hakim (no. 2679)]
قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «اَطِيْعُوا اللّٰهَ فِيْمَا
اَمَرَكُمْ بِهِ مِنَ النِّكَاحِ، يُنْجِزُ لَكُمْ مَا وَعَدَكُمْ مِنَ الْغِنَى،
قَالَ تَعَالَى: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
Abu Bakar
ash-Shiddiq (w. 13 H) radhiyallahu ‘anhu berkata, “Taatilah Allah atas
apa yang Dia perintahkan kepada kalian berupa menikah, niscaya Dia akan
menepati apa yang Dia janjikan kepada kalian berupa kekayaan, karena Allah
berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allah akan menjadikan mereka kaya
dari karunia-Nya.’” [Tafsîr Ibnu Abî Hâtim (no. 14449, VIII/2582)]
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «عَجِبْتُ لِمَنِ ابْتَغَى الْغِنَى
بِغَيْرِ النِّكَاحِ، وَاللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
‘Umar bin al-Khaththab
(w. 23 H) radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku heran terhadap seseorang yang
mencari kekayaan tanpa menikah, padahal Allah ta’ala berfirman, ‘Jika
mereka miskin, niscaya Allah akan menjadikan mereka kaya dari karunia-Nya.’”
[Tafsîr al-Baghawî (III/410)]
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا: «أَمَرَ اللّٰهُ سُبْحَانَهُ
بِالنِّكَاحِ وَرَغَّبَهُمْ فِيْهِ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُزَوِّجُواْ أَحْرَارَهُمْ
وَعَبِيْدَهُمْ، وَوَعَدَهُمْ فِي ذَلِكَ الْغِنَى فَقَالَ: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
Ibnu ‘Abbas (w.
68 H) radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah memerintahkan menikah dan
mendorong untuk itu, dan memerintah mereka untuk menikahkan orang-orang yang
merdeka dan budak mereka, serta menjanjikan mereka kekayaan pada pernikahan
tersebut karena Allah berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allah akan
menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya.’” [Tafsîr Ibnu Abi Hâtim
(no. 14442, VIII/2581)]
قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ: «الْتَمِسُواْ الْغِنَى فِي
النِّكَاحِ، يَقُوْلُ اللّٰهُ: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu (w. 32 H) berkata, “Carilah kekayaan di dalam pernikahan, karena
Allah berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allah akan menjadikan mereka
kaya dengan karunia-Nya.’” [Tafsîr Ibnu Katsîr (VI/51)]
Poin Ke-9: Doa Istikharah dan Bersandar Kepada Allah
«اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ
مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ
أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ
هَذَا الأَمْرَ [أَوْ قَالَ: النِّكَاحَ] خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي
وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي
وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا
الأَمْرَ [أَوْ قَالَ: النِّكَاحَ] شَرٌّ
لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي
وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الخَيْرَ
حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي»
“Ya Allah, aku
beristikharah (meminta pilihan dan arahan) kepada-Mu dan meminta takdir (baik)
dengan takdir-Mu, dan aku memohon kepada-Mu sebagian karunia-Mu yang agung,
karena Engkau Mahamampu dan aku tidak mampu, dan Engkau Mahatahu dan aku tidak
tahu, dan Engkau Mahatahu yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusan
[atau nikah] ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan berakibat (baik)
dalam urusanku --atau berdoa: urusanku sekarang dan akan datang-- maka
takdirkanlah ia untukku dan mudahkanlah ia untukku kemudian berkahilah ia
untukku. Dan jika Engkau tahu bahwa urusan [atau nikah] ini buruk bagiku dalam
agamaku, kehidupanku, dan berakibat (buruk) dalam urusanku --atau berdoa:
urusanku sekarang dan akan datang-- maka palingkanlah ia dariku dan
palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah kebaikan apapun untukku kemudian
jadikan aku ridha.” [HR. Al-Bukhari (II/57)]
Poin Ke-10: Perhatian dalam Memilih Pasangan
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ
لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita
buruk untuk lelaki-lelaki buruk, dan lelaki-lelaki buruk untuk wanita-wanita
buruk. Dan wanita-wanita baik untuk lelaki-lelaki baik, dan lelaki-lelaki baik
untuk wanita-wanita baik.” [QS. An-Nûr [24]: 26]
«تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ»
“Pilihkanlah
(tempat yang baik) untuk sperma kalian, nikahilah wanita yang sepadan, dan
nikahkanlah (putri-putri kalian) kepada mereka.” [Hasan:
HR. Ibnu Majah (no. 1968)]
Poin Ke-11: Sebaik-Baik Kenikmatan Dunia
«الدُّنْيَا
مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ»
“Dunia adalah
perhiasan dan sebaik-baik perhiasaan dunia adalah wanita shalihah.” [HR. Muslim (no.
1467)]
«حُبِّبَ
إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي
الصَّلَاةِ»
“Telah dijadikan
kecintaanku dari dunia adalah wanita dan wewangian, dan dijadikan kesejukan
mataku dalam shalat.” [Hasan Shahih: HR. An-Nasa`i (no. 3939)]
«أَرْبَعٌ
مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ،
وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ:
الْجَارُ السُّوءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضِّيقُ،
وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ»
“Empat kebahagiaan adalah istri shalihah,
rumah yang luas, tetangga shalih, dan kendaraan nyaman. Dan empat kesengsaraan adalah tetangga yang
jahat, istri yang jahat, rumah yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [Shahih:
HR. Ibnu Hibban (no. 4032)]
Poin Ke-12: Kriteria Wanita Shalihah
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Maka
wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri saat suaminya
tidak ada karena Allah telah menjaganya.” [QS. An-Nisâ`
[4]: 34]
«تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ»
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita (biasanya) dinikahi karena empat
hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Nikahilah karena
agamanya, kalau tidak kamu akan sengsara.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-13: Kriteria Wanita Idaman
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Dan
hendaklah kalian (para istri) tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan
bersolek seperti kaum jahiliyyah
tempo dulu. Kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya.” [QS. Al-Ahzâb [33]: 33]
«خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسَرُّ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا
تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا»
“Sebaik-baik
wanita adalah yang menyenangkan jika suami memandangnya, mentaati suami jika
memerintahnya, dan tidak menyelisihi suami dalam diri dan hartanya.” [Shahih:
HR. Al-Hakim (no. 2682)]
«عَلَيْكُمْ
بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا، وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا،
وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ»
“Hendaklah
kalian menikahi gadis (perawan), karena mereka lebih harum mulutnya, lebih
subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” [Hasan:
HR. Ibnu Majah (no. 1861)]
«تَزَوَّجُوا
الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ [يَوْمَ
الْقِيَامَةِ]»
“Nikahilah
wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah
kalian di
hadapan para umat [pada hari Kiamat].” [Shahih:
HR. Abu Dawud (no. 2050)]
Poin Ke-14: Nazhar dan Dianjurkan Cantik Menurut Kedua Matanya
«انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا»
“Lihatlah wanita
tersebut karena hal tersebut lebih menimbulkan kelanggengan di antara kalian
berdua.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1087)]
Poin Ke-15: Larangan Menikah dengan Paksaan
«لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ
حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ» قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللّٰهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»
“Janda tidak
boleh dinikahkan hingga diminta perintahnya (pendapat/diskusi), dan gadis
tidak boleh dinikahkan hingga diminta izinnya (persetujuannya).” Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinya?” Beliau menjawab, “Diamnya.” [Muttafaqun
‘Alaih]
Poin Ke-16: Dibenci Menolak Lamaran Lelaki Shalih
«إِذَا
خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا
تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ»
“Jika melamar
kepada kalian (para wali wanita) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan
terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [Hasan:
HR. At-Tirmidzi (no. 1084)]
Poin Ke-17: Termasuk Sunnah Mempermudah Pernikahan
«أَحَقُّ
الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوجَ»
“Syarat
yang paling berhak dipenuhi adalah apa yang menyebabkan kemaluan menjadi
halal.” [Muttafaqun ‘Alaih]
«خَيْرُ
النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ»
“Sebaik-baik pernikahan
adalah yang paling mudah.” [Shahih: HR. Abu Dawud (no.
2117)]
«إِنَّ
مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا، وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا،
وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا»
“Termasuk wanita
yang berkah adalah yang mudah lamarannya, mudah mas kawinnya, dan mudah
rahimnya (subur).” [Shahih: HR. Ahmad (no. 24478)]
Poin Ke-18: Tidak Sah Nikah Tanpa Wali, Mahar, dan Saksi
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Nikahilah mereka dengan seizin
keluarga mereka dan berikanlah mahar mereka dengan ma’ruf.” [QS. An-Nisâ` [4]: 25]
«لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ»
“Tidak sah nikah
tanpa wali.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1101)]
Poin Ke-19: Mengumumkan Pernikahan dan Walimah
«أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ»
“Umumkan
pernikahan.” [Hasan Shahih: HR. Ahmad (no. 16130)]
«أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ»
“Adakanlah
walimah meskipun dengan seekor kambing.” [Muttafaqun
‘Alaih]
Poin Ke-20: Masa Bermalam Pengantin Baru
«السُّنَّةُ
إِذَا تَزَوَّجَ البِكْرَ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا، وَإِذَا تَزَوَّجَ
الثَّيِّبَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا»
“Sunnah adalah
jika seseorang menikahi gadis bermalam di sisinya selama tujuh hari dan apabila
menikahi janda bermalam di sisinya selama tiga hari.” [Muttafaqun
‘Alaih]
Poin Ke-21: Doa Untuk Pengantin Baru
«بَارَكَ
اللّٰهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ»
“Semoga Allah
memberikan berkah kepadamu (saat
senang) dan semoga memberi berkah atasmu (saat sedih), dan
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” [Shahih:
HR. Abu Dawud (no. 2130)]
Poin Ke-22: Mendoakan Istri Pengantin Baru
«إِذَا
تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا [ثُمَّ لِيَأْخُذْ
بِنَاصِيَتِهَا وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ فِي الْمَرْأَةِ وَالْخَادِمِ]، فَلْيَقُلِ:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ. وَإِذَا
اشْتَرَى بَعِيرًا فَلْيَأْخُذْ بِذِرْوَةِ سَنَامِهِ وَلْيَقُلْ مِثْلَ ذَلِكَ»
“Jika salah
seorang dari kalian menikahi wanita atau membeli budak, [kemudian hendaklah
memegang ubun-ubunnya dan mendoakan keberkahan untuk istri dan budak tersebut],
maka hendaklah dia berdoa: ‘Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya, dan aku berlindung
kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau ciptakan atasnya.’ Jika
ia membeli unta peganglah punuknya dan berdoalah seperti itu.” [Hasan:
HR. Abu Dawud (no. 2160)]
Poin Ke-23: Doa Saat Bersenggama
«لَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللّٰهِ،
اللّٰهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا،
فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ
أَبَدًا»
“Seandainya
salah seorang dari kalian jika ingin mendatangi keluarganya (menyetubuhi
istrinya) lalu berdoa: ‘Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah setan dari
kami dan jauhkanlah setan dari apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada kami.’
Jika mereka berdua ditakdirkan mendapatkan anak karena persetubuhan tersebut,
maka setan tidak akan membahayakannya selamanya.” [Muttafaqun
‘Alaih]
Poin Ke-24: Larangan Membicarakan Rahasia Ranjang
«إِنَّ
مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللّٰهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ
يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا»
“Sesungguhnya di
antara manusia yang paling buruk tempatnya di sisi Allah pada hari Kiamat
adalah seseorang yang bersenggama dengan istrinya dan sebaliknya, lalu ia
menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim (no. 1437)]
Poin Ke-25: Keutamaan Khusus Bagi yang Menikah Tidak Selainnya
«مَنْ
غَسَّلَ وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ، وَمَشَى وَلَمْ
يَرْكَبْ، فَدَنَا مِنَ الْإِمَامِ وَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ
خُطْوَةٍ أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا»
“Barangsiapa
yang membuat junub (bersenggama hingga membuat istri wajib mandi junub) dan
mandi junub pada hari Jum’at, dan bersegera (mendatangi shalat di awal waktu)
dan pergi (sebelum khutbah dimulai), dan berjalan tidak berkendara, lalu
mendekat kepada imam dan mendengarkan dengan baik dan tidak berbuat sia-sia
(berbicara saat khatib berkhutbah), maka dia mendapatkan setiap langkah pahala
satu tahun puasa dan shalat malam.” [Shahih: HR. Ahmad (no.
16962)]
Poin Ke-26: Indahnya Pacaran Setelah Nikah
«لَمْ
نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ»
“Kami
tidak melihat dua orang yang lebih saling mencintai seperti nikah.” [Shahih:
HR. Ibnu Majah (no. 1847)]
Poin Ke-27: Hak Suami Atas Istri
«لَوْ
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللّٰهِ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي
الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا
نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ»
“Seandainya aku
perintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, tentulah aku
perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi jiwa Muhammad yang berada di
Tangan-Nya, seorang wanita belum dianggap menunaikan hak Rabb-nya hingga
menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya (bersenggama) saat
dia di pelana unta, maka tidak boleh dia menolaknya.” [Hasan
Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 1853)]
«لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ
تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ
غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ»
“Tidak boleh
bagi seorang wanita berpuasa saat suaminya hadir kecuali dengan seizinnya,
tidak boleh memberi izin masuk rumahnya kecuali dengan seizinnya, dan apa yang
disedekahkan tanpa perintah suaminya maka setengahnya (pahala) dikembalikan
kepada suaminya.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-28: Hak Istri Atas Suami
«أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبِ
الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ»
“Kamu memberinya
makan jika kamu makan, kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian, jangan
memukul wajah, jangan memburukkannya, dan jangan memboikotnya kecuali di dalam
rumah.” [Hasan Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2142)]
Poin Ke-29: Berusaha Memahami Karakter Pasangannya
«إِنِّي
لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى» قَالَتْ:
فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: «أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي
رَاضِيَةً، فَإِنَّكِ تَقُولِينَ: لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ! وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ
غَضْبَى، قُلْتِ: لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ!» قَالَتْ: قُلْتُ: أَجَلْ وَاللّٰهِ
يَا رَسُولَ اللّٰهِ، مَا أَهْجُرُ إِلَّا اسْمَكَ
“Sungguh aku
benar-benar tahu kapan kamu sedang ridha kepadaku dan kapan kamu sedang marah
kepadaku.” Aku (‘Aisyah) berkata, “Dari mana Anda tahu itu?” Beliau
menjawab, “Adapun jika kamu sedang ridha kepadaku, kamu berkata, ‘Demi Rabb
Muhammad!’ Dan jika kamu sedang marah kepadaku, kamu berkata, ‘Demi Rabb
Ibrahim!’” Aku berkata, “Benar, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak
menjauhi kecuali namamu.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-30: Perhatian dalam Mendidik Anak dan Melayani Suami
«خَيْرُ
نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ، أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي
صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»
“Sebaik-baik
wanita yang mengendarai unta adalah wanita shalihah Quraiys yang mendidik anak
semenjak kecil dan melayani suami dengan tangannya sendiri.” [HR. Al-Bukhari
(no. 5082)]
Poin Ke-31: Saling Melaksanakan Kewajiban Masing-Masing
«أَلاَ
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ الَّذِي
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ
الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah
bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Imam yang mengurus manusia adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami
adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin (pengurus) bagi rumah suaminya dan anak suaminya
dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Budak adalah
pemimpin bagi harta majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Maka ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” [Muttafaqun
‘Alaihi]
«أَدُّوا إِلَيْهِمْ
حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللّٰهَ حَقَّكُمْ»
“Tunaikanlah kepada mereka hak mereka
dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari (no. 7052)]
Poin Ke-32: Saling Tolong-Menolong dalam Kebaikan
«رَحِمَ
اللّٰهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ
أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. رَحِمَ اللّٰهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ
اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ
الْمَاءَ»
“Semoga Allah
merahmati seorang suami yang bangun di malam hari lalu shalat dan membangunkan
istrinya, jika enggan maka ia percikkan air di wajahnya. Semoga Allah merahmati
seorang istri yang bangun di malam hari lalu shalat dan membangunkan suaminya,
jika enggan maka ia percikkan air di wajahnya.” [Hasan
Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1308)]
Poin Ke-33: Perintah Sabar, Lembut, dan Berbuat Baik Kepada Istri
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan pergaulilah mereka (istri-istri) dengan cara
yang ma’ruf. Jika kamu membenci mereka, boleh jadi kamu membenci sesuatu
sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [QS. An-Nisâ` [4]: 19]
«وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ،
وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ
كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
خَيْرًا»
“Hendaklah
kalian saling berwasiat berbuat baik kepada kaum wanita (istri), karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah
bagian atasnya. Maka jika kamu paksa meluruskannya berarti kamu mematahkannya,
dan jika kamu membiarkanya dia akan selalu bengkok. Oleh karena itu, hendaklah
kalian saling berwasiat berbuat baik kepada kaum wanita.” [Muttafaqun
‘Alaih]
«خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
“Sebaik-baik
kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya dan aku adalah yang terbaik
kepada keluargaku.” [Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 1977)]
«لَا
يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ»
“Lelaki beriman
(suami) tidak boleh membenci wanita beriman (istri). Jika dia membenci satu
akhlaknya, dia tentu senang dengan akhlaknya yang lain.” [HR. Muslim (no.
1469)]
Poin Ke-34: Kebanyakan Istri Binasa Karena Tidak Pandai Bersyukur
«أُرِيتُ
النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ» قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ
بِاللّٰهِ؟ قَالَ: «يَكْفُرْنَ العَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ
أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ:
مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ»
“Neraka telah
diperlihatkan kepadaku, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang
kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah mereka kufur kepada
Allah?” Beliau bersabda, “Mereka kufur kepada suami dan kufur kepada
kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik kepada seorang dari mereka sepanjang
masa lalu melihat sesuatu (yang tidak disukainya) darimu, maka dia akan
berkata, ‘Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sedikitpun (tidak pernah
diperlakukan baik sedikitpun).’” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-35: Bidadari Cemburu dan Marah kepada Istri yang Jahat
«لَا
تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ
الحُورِ العِينِ: لَا تُؤْذِيهِ! قَاتَلَكِ اللّٰهُ! فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ
دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»
“Tidaklah
seorang wanita menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan
bidadari berkata, ‘Jangan engkau menyakitinya! Semoga Allah
memerangimu! Dia hanya
sebentar bersamamu dan akan tiba waktunya berpisah denganmu menuju kepada
kami.’” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1174)]
Poin Ke-36: Keutamaan Nafkah Suami kepada Keluarganya
الم * ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Alif Lâm Mîm. Inilah al-Kitab yang
tidak ada keraguan di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu
orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, menegakkan shalat, dan menafkahkan
sebagian yang kami rezekikan kepada mereka.” [QS. Al-Baqarah [2]: 1-3]
«إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللّٰهِ إِلَّا أُجِرْتَ
عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ»
“Tidaklah
engkau memberi nafkah karena mengharap wajah Allah melainkan engkau akan diberi
pahala, hingga apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” [Muttafaqun
‘Alaih]
«دِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ،
وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى
أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ»
“Satu dinar yang
engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
pembebasan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan
satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar
pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” [HR. Muslim (no.
995)]
Poin Ke-37: Larangan Mengabaikan Masalah Ranjang Suami
«إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ»
“Apabila seorang
suami mengajak istrinya ke ranjangnya (bersenggama) tetapi ia enggan sehingga
malam tersebut suaminya marah kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga
waktu pagi.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-38: Keutamaan Bersenggama yang Syar’i
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang gaulilah
mereka dan carilah apa (anak) yang telah ditetapkan Allah atas kalian.” [QS. Al-Baqarah [2]: 187]
«وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ»
“Dan dalam
bersenggama salah seorang dari kalian ada sedekah.” [HR. Muslim (no.
1006)]
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «وَاللّٰهِ إِنِّي
لَأُكْرِهُ نَفْسِي عَلَى الْجِمَاعِ، رَجَاءَ أَنْ يُخْرِجَ اللّٰهُ مِنِّي
نَسَمَةً تُسَبِّحُ اللّٰهَ»
“Demi Allah
sungguh aku memaksa jiwaku untuk bersenggama karena berharap Allah akan
mengeluarkan dariku keturunan yang akan bertasbih kepada Allah.” [HR. Al-Baihaqi
(no. 13460)]
Poin Ke-39: Keutamaan Memiliki Anak Shalih
«إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ»
“Jika manusia
meninggal dunia maka terputuslah amal darinya kecuali tiga, yaitu shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” [HR. Muslim (no.
1631)]
«مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوتُ لَهُمَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا
الْحِنْثَ إِلَّا جِيءَ بِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُوقَفُوا عَلَى بَابِ
الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُمُ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ! فَيَقُولُونَ: حَتَّى
يَدْخُلَ آبَاؤُنَا، فَيُقَالُ لَهُمُ: ادْخُلُوا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ
الْجَنَّةَ!»
“Tidaklah dua orang muslim
(orang tua) yang meninggal memiliki
tiga orang anak yang belum baligh melainkan akan
didatangkan pada hari Kiamat hingga berhenti di pintu surga. Dikatakan kepada
mereka, ‘Masuklah kalian ke dalam surga!’ Mereka menjawab, ‘Hingga masuk juga
orang tua kami.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah kalian bersama orang
tua kalian ke dalam surga!’” [Shahih:
HR. Ath-Thabarani (no. 571)]
Poin Ke-40: Wajib Adil Bagi yang Berpoligami
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا
أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kalian
tidak akan mampu untuk adil di antara istri-istri meskipun kalian sangat
menginginkannya.
Maka janganlah kamu terlalu condong (kepada yang kalian cintai) sehingga kalian
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari ketidakadilan), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [QS.
An-Nisâ` [4]: 129]
«اللَّهُمَّ
هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ، فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ»
“Ya Allah inilah
pembagianku yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang
Engkau miliki dan aku tidak memiliki.” [Shahih:
HR. Al-Hakim (no. 2761)]
«إِذَا
كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ
القِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ»
“Jika ada
seorang lelaki yang memiliki dua istri tetapi tidak adil di antara keduanya,
maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan sisi badannya miring.” [Shahih:
HR. At-Tirmidzi (no. 1141)]
Poin Ke-41: Ancaman Meminta Cerai Tanpa Alasan yang Dibenarkan
«أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا
رَائِحَةُ الجَنَّةِ»
“Wanita mana
saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka
haram baginya aroma surga.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no.
1187)]
Poin Ke-42: Keutamaan Berbakti Kepada Suami dengan Balasan Surga
«إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا،
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ!»
“Jika seorang
wanita shalat lima waktu, puasa Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada
suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah dari pintu surga mana saja
yang kamu kehendaki!” [Shahih: Ahmad (no. 1661)]
«أَيُّمَا
امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ»
“Wanita mana
saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya, akan masuk surga.” [Dha’if:
HR. Al-Hakim (no. 7328)]
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
Al-Faqir Ilallah
Nor Kandir
Ya Allah, Siapakah Tulang Rusukku?
Sungguh aneh keinginan si Qais
Mendapatkan Laila si senyum manis
Shalihah, taat, berakhlaq, dan agamis
Seolah-olah ia butiran kecil buah kismis
Inginmu yang
shalihah tapi kamu justru penjahat
Inginmu yang
taat tapi kamu justru suka maksiat
Inginmu yang
hafizhah tapi bacaanmu koran dan surat
Inginmu
seperti Zulaikha, biarkan cermin melihat!
Hey Qais...
Tapi jangan sekali-kali kamu pesimis
Karena di sana ada takdir yang misteris
Maka, selalulah berbenah diri dan optimis
Akan ampunan dan karunia Allah dalam hadis
Hanya saja Allah
menetapkan hukum muhkamat
Sebagaimana
termaktub berikut dalam ayat
Wanita-wanita
taat untuk lelaki-lelaki taat
Dan
wanita-wanita jahat untuk lelaki-lelaki jahat
Takhrij Luas dan Tahqiq
[1] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5096, VII/8), Muslim (no. 2740),
at-Tirmidzi (no. 2780), Ibnu Majah (no. 3998), Ahmad (no. 21746) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 5967) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 564) dalam al-Mu’jam
al-Ausath dan (no. 415) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, al-Baihaqi (no.
2363) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah (no. 154) dalam Mushannafnya,
Abu ‘Awanah (no. 4023) dalam al-Mustakhrâj, al-Bazzar (no. 1255) dalam Musnadnya,
dan Abu Ya’la (no. 972) dalam Musnadnya dari Usamah bin Zaid bin Haritsah
radhiyallahu ‘anhuma.
b. Shahih: HR. Muslim (no.
2742, IV/2098), at-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Majah (no. 4000), Ahmad (no.
11169) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 3221) dalam Shahîhnya, dan
al-Baihaqi (no. 13523) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abu
‘Awanah (no. 4027) dalam al-Mustakhrâj, dan an-Nasa`i (no. 9224) dalam as-Sunan
al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
c. Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6612, VIII/125), Muslim (no. 2657),
Ahmad (no. 7719) dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah (no. 30) dalam Shahîhnya,
Ibnu Hibban (no. 4420) dalam Shahîhnya, dan al-Baihaqi (no. 20747) dalam
as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[2] Shahih: HR. Muslim (no.
1403, II/1021), at-Tirmidzi (no. 1158), Abu Dawud (no. 2151), Ahmad (no. 14537)
dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 5572) dalam Shahîhnya,
ath-Thabarani (no. 2385) dalam al-Mu’jam al-Ausath dan (no. 132) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, Abu ‘Awanah (no. 4028) dalam al-Mustakhrâj, an-Nasa`i (no.
9072) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Daulabi (no. 2093) dalam al-Kunâ
wal Asmâ`, ath-Thahawi (no. 5550) dalam Syarh Musykilul Atsâr, dan
Abu Nu’aim (no. 4544) dalam Ma’rifatush Shahâbah dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
[3] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5063, VII/2), Muslim (no. 1401),
an-Nasa`i (no. 3217), Ahmad (no. 13534) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban
(no. 14) dalam Shahîhnya, al-Baihaqi (no. 2345) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 13448) dalam as-Sunan al-Kubrâ, dan Abu ‘Awanah
(no. 3986) dalam al-Mustakhrâj dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[5] Hasan: HR. At-Tirmidzi
(no. 2521, IV/670), al-Hakim (no. 2694) dalam al-Mustadrâk, Ahmad (no.
15638) dalam Musnadnya, ath-Thabarani (no. 412) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, Abu Ya’la al-Maushili (no. 1485) dalam Musnadnya, Abu
Bakar bin al-Khallal (no. 1616) dalam as-Sunnah, Ibnu Baththah (no. 847)
dalam al-Ibânah al-Kubrâ, dan al-Baihaqi (no. 15) dalam Syu’abul Imân
dari Sahl bin Mu’adz bin Anas al-Juhanni radhiyallahu ‘anhu. Dinilai
hasan oleh al-Albani dan al-Arna`uth, sementara al-Hakim berkata, “Hadits
shahih sesuai syarat al-Bukhari Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,”
dan disetujui adz-Dzahabi dalam at-Talkhîs. Anehnya, Imam at-Tirmidzi
setelah membawakan hadits ini menyatakan, “Hadits mungkar.” [!!!]
[6] Hasan: HR. Al-Baihaqi
(no. 5100, VII/340) dalam Syu’abul Imân. Dinilai hasan al-Albani dalam Misykâtul
Masyâbih (no. 3096).
b. Shahih: HR. Al-Hakim
(no. 2681, II/175)
dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 972) dalam al-Mu’jam al-Ausath,
dan al-Baihaqi (no. 5101) dalam Syu’abul Imân dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan
oleh keduanya dan ‘Abdurrahman di sini adalah Ibnu Zaid bin ‘Uqbah al-Azra`
Madani seorang yang tsiqah dan aman.” Dinilai shahih adz-Dzahabi dalam at-Talkhîs.
[7] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Muslim (no. 1400, II/1018), al-Bukhari (no. 5066),
at-Tirmidzi (no. 1081), Abu Dawud (no. 2046), an-Nasa`i (no. 2239), Ibnu Majah
(no. 1845), Ahmad (no. 3592), Ibnu Hibban (no. 4026) dalam Shahîhnya,
ath-Thabarani (no. 517) dalam al-Mu’jam ash-Shaghîr dan (no. 1163) dalam
al-Mu’jam al-Ausath dan (no. 10027) dalam al-Mu’jam al-Kabîr,
al-Baihaqi (no. 2344) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no. 8453) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 3987) dalam al-Mustakhrâj, al-Bazzar (no.
1476) dalam Musnadnya, Abu Ya’la (no. 5192) dalam Musnadnya,
al-Humaidi (no. 115) dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 489) dalam Sunannya,
dan Ibnul Jarud (no. 672) dalam al-Muntaqâ dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu.
Fuad Abdul Baqi
berkata, “Makna yang shahih ba`ah adalah jima’, maka artinya: barangsiapa yang
mampu berjima’ dengan kesanggupan memberi nafkah maka menikahlah, dan
barangsiapa yang mampu berjima’ tetapi tidak mampu memberi nafkah maka
puasalah.” [Ta’liq Shahîh Muslim (II/1018)]
[8] Hasan: HR. At-Tirmidzi
(no. 1655, IV/184), an-Nasa`i (no. 3120), Ibnu Majah (no. 2518), Ahmad (no.
7416) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4030) dalam Shahîhnya,
al-Hakim (no. 2678) dalam al-Mustadrâk, al-Baihaqi (no. 13456) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Abdurrazzaq (no. 9542) dalam Mushannafnya, Abu Ya’la (no.
6535) dalam Musnadnya, Ibnul Jarud (no. 979) dalam al-Muntaqâ,
Ibnu Abi ‘Ashim (no. 83) dalam al-Jihâd, Abu Nu’aim (VIII/388) dalam al-Hilyah,
dan Ibnul Mubarak (no. 225) dalam Musnadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu. Dinilai hasan oleh at-Tirmidzi, al-Albani, al-Arna’uth, dan Husain
Salim Asad. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih sesuai syarat Muslim tetapi tidak
dikeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi.
[9] Shahih: HR. Al-Bukhari
(tanpa nomor, II/57)
juga no. 6382 & 7390 tetapi dengan lafazh yang kurang lengkap, at-Tirmidzi
(no. 480), Abu Dawud (no. 1538), an-Nasa`i (no. 3253), Ibnu Majah (no. 1383),
Ahmad (no. 14707) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 887) dalam Shahîhnya,
ath-Thabarani (no. 1303) dalam ad-Du’â`, al-Baihaqi (no. 830) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 4921) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah
(no. 29403) dalam Mushannafnya, al-Bukhari (no. 703) dalam al-Adâb
al-Mufrâd, Ibnu Abi ‘Ashim (no. 421) dalam as-Sunnah, dan al-Khathib
al-Baghdadi (no. 1715) dalam al-Jâmi’ dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhuma dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajari kami istikharah untuk semua urusan seperti mengajari kami al-Qur`an
seraya bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian menginginkan suatu perkara,
maka shalatlah dua rakaat selain shalat fardhu lalu berdoalah:....’” Lafazh dalam
kurung tambahan penyusun dan silahkan lihat redaksi al-Bukhari (no. 7390), Abu
Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban di atas. Boleh pula hajatnya disebut di akhir
doa.
[10] Hasan: HR. Ibnu Majah
(no. 1968, I/633), al-Hakim (no. 2687) dalam al-Mustadrâk, al-Baihaqi
(no. 13758) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3788) dalam Sunannya,
dan Ibnu Abid Dunya (no. 131) dalam an-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. Al-Haitsami
dalam az-Zawâ`id menyebutkan bahwa di dalam sanadnya ada al-Harits bin
‘Imran al-Madani yang dikatakan Abu Hatim, “Tidak kuat,” dan adz-Dzahabi
mengomentarinya muttaham (tertuduh berdusta). Adapun al-Albani menilai hadits
hasan dan al-Hakim hadits shahih. Allahu a’lam.
[11] Shahih: HR. Muslim (no.
1467, II/1090), an-Nasa`i (no. 3232), Ahmad (no. 6567) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 4031) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 8639) dalam al-Mu’jam
al-Ausath dan (no. 49) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, al-Baihaqi (no.
2350) dalam as-Sunan ash-Shaghîr, Abu ‘Awanah (no. 4504) dalam al-Mustakhrâj,
al-Bazzar (no. 2441) dalam Musnadnya, dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 148)
dalam az-Zuhd dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
b. Hasan Shahih: HR. An-Nasa`i
(no. 3939, VII/61), Ahmad (no. 12294) dalam Musnadnya, ath-Thabarani
(no. 5203) dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi (no. 13454) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 4020) dalam al-Mustakhrâj, Abu Ya’la (no.
3530) dalam Musnadnya, dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 234) dalam az-Zuhd,
dan al-Hakim (no. 2676) dalam al-Mustadrâk tanpa lafazh ad-dunya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dinilai hasan
shahih oleh al-Albani dan shahih oleh al-Hakim atas syarat Muslim dan disetujui
adz-Dzahabi.
c. Shahih: HR. Ibnu Hibban
(no. 4032, IX/340-341) dalam Shahîhnya dan Abu Nu’aim (VIII/388) dalam al-Hilyah
dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih al-Albani
(no. 282) dalam ash-Shahîhah dan Syu’aib al-Arna`uth berkata, “Sanadnya
shahih sesuai syarat al-Bukhari.”
[12] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5090, VII/7), Muslim (no. 1466), Abu
Dawud (no. 2047), an-Nasa`i (no. 3230), Ibnu Majah (no. 1858), Ahmad (no.
9521), Ibnu Hibban (no. 4036) dalam Shahîhnya, al-Baihaqi (no. 2349)
dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no. 13466) dalam as-Sunan al-Kubrâ,
ad-Daruquthni (no. 3802) dalam Sunannya, ad-Darimi (no. 2216) dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4010) dalam al-Mustakhrâj,
Abu Ya’la (no. 6578) dalam Musnadnya, dan Abu Nu’aim (VIII/383) dalam al-Hilyah
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[13] Shahih: HR. Al-Hakim
(no. 2682, II/175) dalam al-Mustadrâk, an-Nasa`i (no. 3231), Ahmad (no.
7421) dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi (no. 13477) dalam as-Sunan
al-Kubrâ dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih atas syarat Muslim
tapi tidak dikeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi. Adapun al-Albani dengan
sanad dalam an-Nasa`i menilainya hasan shahih.
b. Hasan: HR. Ibnu Majah
(no. 1861, I/598) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1947) dalam al-Ahâd wal Matsâni
dari ‘Abdurrahman bin Salim bin Utbah bin ‘Uwaim bin Saidah al-Anshari dari
ayahnya dari kakeknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Haitsami
menyebutkan dalam az-Zawa`id bahwa di dalamnya ada perawi Muhammad bin
Thalhah yang tidak diambil sebagai hujjah oleh Abu Hatim tetapi Ibnu Hibban
menggolongkannya dalam perawi tsiqah tetapi kadang keliru hafalannya, dan juga
ada ‘Abdurrahman bin Salim bin Utbah yang dikatakan al-Bukhari bahwa haditsnya
tidak sah. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani. Anjuran menikahi gadis atas
janda masyhur dan shahih dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2050, II/220), an-Nasa`i (no. 3227), Ibnu Hibban (no. 4056) dalam Shahîhnya,
al-Hakim (no. 2685) dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 508) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 13475) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abu
‘Awanah (no. 4018) dalam al-Mustakhrâj, dan Abu Nu’aim (III/61) dalam al-Hilyah
dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu. Tambahan dalam kurung dari
al-Baihaqi (no. 2351) dalam as-Sunan ash-Shaghîr. Dinilai hasan
shahih oleh al-Albani dan shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, sementara
Syu’aib berkata, “Sanadnya kuat.”
[14] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1087, III/389), an-Nasa`i (no. 3235), Ibnu Majah (no. 1865), Ahmad (no.
18137) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4043) dalam Shahîhnya,
al-Hakim (no. 2697) dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 1052) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 2353) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no.
13488) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3621) dalam Sunannya,
Abdurrazzaq (no. 10335) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 17388)
dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2218) dalam Sunannya, Abu
‘Awanah (no. 4036) dalam al-Mustakhrâj, Abu Ya’la al-Maushili (no. 3438)
dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 516) dalam Sunannya,
Ibnul Jarud (no. 675) dalam al-Muntaqâ, dan ath-Thahawi (no. 4282) dalam
Syarh Ma’ânil Atsâr dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih
oleh al-Albani dan al-Hakim dan berkata, “Hadits shahih sesuai syarat Syaikhan
tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi.
[15] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5136, VII/17), Muslim (no. 1419), at-Tirmidzi
(no. 1107), Abu Dawud (no. 2092), an-Nasa`i (no. 3265), Ibnu Majah (no. 1871),
Ahmad (no. 7131) dalam Musnadnya, ath-Thabarani (no. 8820) dalam al-Mu’jam
al-Ausath, al-Baihaqi (no. 2394) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no.
13682) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3574) dalam Sunannya,
Abdurrazzaq (no. 10286) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2232) dalam Sunannya,
Abu ‘Awanah (no. 4238) dalam al-Mustakhrâj, Abu Ya’la al-Maushili (no.
6013) dalam Musnadnya, dan Ibnul Jarud (no. 707) dalam al-Muntaqâ
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[16] Hasan: HR. At-Tirmidzi
(no. 1084, III/386-387), Ibnu Majah (no. 1967), al-Hakim (no. 2695) dalam al-Mustadrâk,
dan ath-Thabarani (no. 446) dalam al-Mu’jam al-Ausath. Dinilai hasan
oleh al-Albani dan dinilai shahih oleh al-Hakim dan berkata, “Ini hadits shahih
sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari Muslim.”
[17] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2721, III/190-191), Muslim (no.
1418), at-Tirmidzi (no. 1127), Abu Dawud (no. 2139), an-Nasa`i (no. 3281), Ibnu
Majah (no. 1954), Ahmad (no. 17302) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no.
4092) dalam Shahîhnya, al-Baihaqi (no. 2562) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 14430) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abdurrazzaq
(no. 10613) dalam al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah (no. 16451) dalam Mushannafnya,
ad-Darimi (no. 2249) dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4227) dalam Mustakhrâjnya,
Abu Ya’la al-Maushili (no. 1754) dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no.
658) dalam Sunannya, Ibnu Abi ‘Ashim (no. 2584) dalam al-Ahâd wal Matsânî, an-Nasa`i (no.
5506) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ar-Ruyani (no. 163) dalam Musnadnya,
dan ath-Thahawi (no. 4862) dalam Musykilul Atsâr dari ‘Uqbah bin
‘Amir radhiyallahu ‘anhu.
b. Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2117, II/238), ath-Thabarani (no. 724) dalam al-Mu’jam al-Ausath,
ad-Daulabi (no. 599) dalam al-Kunâ wal Asmâ`, al-Qadha’i (no. 599) dalam
Musnad asy-Syihab, dan al-Hakim (no. 2742) dalam al-Mustadrâk
dengan lafazh khairu ash-shadâq “sebaik-baik mahar”. Dinilai shahih
al-Albani dan al-Hakim atas syarat al-Bukhari Muslim dan disepakati
adz-Dzahabi.
c. Shahih: HR. Ahmad (no.
24478, 41/27-28) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 4095) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 469) dalam al-Mu’jam
ash-Shaghîr dan (no. 3612) dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi
(no. 14357) dalam as-Sunan al-Kubrâ, dan Abu Nu’aim (III/163) dalam al-Hilyah
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Urwah bin az-Zubair bin Awwam berkata, “Aku
berpendapat bahwa termasuk awal kesialan wanita adalah mahal mas kawinnya.” Dinilai shahih
oleh al-Hakim atas syarat Muslim dan disepakati adz-Dzahabi.
[18] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1101, III/399), Abu Dawud (no. 2085), Ibnu Majah (no. 1881), Ahmad (no.
19518), Ibnu Hibban (no. 4077) dalam Shahîhnya, al-Hakim (no. 2710)
dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 681) dalam al-Mu’jam al-Ausath,
al-Baihaqi (no. 2368) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no. 13611) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3514) dalam Sunannya, dan ath-Thayalisi
(no. 525) dalam Musnadnya dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.
Dinilai shahih oleh al-Albani dan al-Hakim serta adz-Dzahabi.
Dalam riwayat
shahih dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
«لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
“Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” [Shahih: HR. Al-Baihaqi
(no. 2383, III/21) dalam as-Sunan ash-Shaghîr. Dinilai shahih al-Albani
dan al-Baihaqi]
[19]] Hasan Shahih: HR. Ahmad (no.
16130, XXVI/53) dalam Musnadnya, al-Hakim (no. 2748) dalam al-Mustadrâk,
ath-Thabarani (no. 5145) dalam al-Mu’jam al-Ausath dan (no. 235) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 2591) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no.
14686) dalam as-Sunan al-Kubrâ, dan Abu Nu’aim (VIII/328) dalam al-Hilyah
dari ‘Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Dinilai hasan oleh
al-Arna`uth, hasan shahih oleh al-Albani, dan shahih oleh al-Hakim dan
adz-Dzahabi.
b. Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5167, VII/24), Muslim (no. 1427),
at-Tirmidzi (no. 1933), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa`i (no. 3351), Ibnu Majah
(no. 1907), Ahmad (no. 12685) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4060)
dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 164) dalam al-Mu’jam al-Ausath
dan (no. 728) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 2576) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 14360) dalam as-Sunan al-Kabîr, ath-Thayalisi
(no. 2242) dalam Musnadnya, Abdurrazzaq (no. 10410) dalam Mushannafnya,
Ibnu Abi Syaibah (no. 17159) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2108)
dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4150) dalam al-Mustakhrâj,
al-Bazzar (no. 1004) dalam Musnadnya, Abu Ya’la (no. 3348) dalam Musnadnya,
al-Humaidi (no. 1252) dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 609) dalam
Sunannya, Ibnul Ja’ad (no. 1463) dalam Musnadnya, Ibnul Jarud
(no. 726) dalam al-Muntaqâ, Imam Malik (no. 47) dalam al-Muwaththâ`,
ath-Thahawi (no. 3019) dalam Musykilul Atsâr, dan Ibnul Muqri`
(no. 1187) dalam Mu’jamnya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[20] Muttafaqun
‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 5213, VII/34), Muslim (no.
1461), at-Tirmidzi (no. 1139), Abu Dawud (no. 2124), ath-Thabarani (no. 9011)
dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi (no. 2615) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 14761) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abdurrazzaq
(no. 10643) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 16949) dalam Mushannafnya,
Abu ‘Awanah (no. 4309) dalam al-Mustakhrâj, Abu Ya’la al-Maushili (no.
4011) dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 778) dalam Sunannya,
Ibnul Jarud (no. 724) dalam al-Muntaqâ, ath-Thahawi (no. 4323) dalam Ma’ânil
Atsâr, dan
Ibnul Muqri` (no. 463) dalam Mu’jamnya dari Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[21] Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2130,
II/241), at-Tirmidzi (no.
1091), Ibnu Majah (no.
1905), Ahmad (no. 8956) dalam Musnadnya, al-Hakim (no. 2745) dalam al-Mustadrâk,
al-Baihaqi (no. 13841) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Darimi (no. 2220)
dalam Sunannya, Abu Ya’la al-Maushili (no. 325) dalam Mu’jamnya, dan Sa’id bin
Manshur (no. 522) dalam Sunannya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih
oleh al-Albani dan al-Hakim dan berkata, “Hadits shahih sesuai syarat Muslim
tapi tidak dikeluarkannya,” dan disepakati adz-Dzahabi.
[22] Hasan: HR. Abu Dawud
(no. 2160, II/248-249), al-Hakim (no. 2757) dalam al-Mustadrâk,
ath-Thabarani (no. 940) dalam ad-Du’â`, an-Nasa`i (no. 9998) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, dan Ibnu as-Sunni (no. 600) dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Tambahan dalam kurung dari Abu
Sa’id, kata Abu Dawud. Dinilai hasan oleh al-Albani tetapi shahih oleh al-Hakim
dan adz-Dzahabi dengan redaksi yang berbeda.
[23] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 7396, IX/119), Muslim (no. 1434), at-Tirmidzi (no.
1092), Abu Dawud (no. 2161), Ibnu Majah (no. 1919), Ahmad (no. 1867) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 983) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 7534) dalam al-Mu’jam
al-Ausath dan (no. 12195) dalam al-Mu’jam al-Kabîr dan (no. 941)
dalam ad-Du’â, al-Baihaqi (no. 13844) dalam as-Sunan al-Kubrâ,
ath-Thayalisi (no. 2828) dalam Sunannya, Abdurrazzaq (no. 10465) dalam Mushannafnya,
Ibnu Abi Syaibah (no. 17152) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2258)
dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4280) dalam al-Mustakhrâj,
al-Humaidi (no. 526) dalam Musnadnya, Ibnul Ja’ad (no. 822) dalam Musnadnya,
an-Nasa`i (no. 8981) dalam as-Sunan al-Kubrâ, dan al-Lalika`i (no. 338)
dalam Syarhul Ushûl dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
[24] Shahih: HR. Muslim (no.
1437, II/1060), Ibnu Abi Syaibah (no. 17559) dalam Mushannafnya, dan Abu
Nu’aim (X/236) dalam al-Hilyah dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu
‘anhu.
[25] Shahih: HR. Ahmad (no.
16962, XXVIII/161-162) dalam Musnadnya, Abu Dawud (no. 345), an-Nasa`i
(no. 1381), Ibnu Majah (no. 1087), Ibnu Khuzaimah (no. 1758), Ibnu Hibban (no.
2781) dalam Shahîhnya, al-Hakim (no. 1042) dalam al-Mustadrâk,
ath-Thabarani (no. 1452) dalam al-Mu’jam al-Ausath dan (no. 585) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 615) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no.
5878) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ath-Thayalisi (no. 1210) dalam Musnadnya,
Abdurrazzaq (no. 5566) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 4990)
dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 1588) dalam Sunannya, dan
ath-Thahawi (no. 2167) dalam Syarh Ma’ânil Atsâr dari Aus bin Aus
ath-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Hakim, al-Albani,
al-Arna`uth, dan Husain Salim Asad. Penyusun berkata, “Ini hadits yang luar biasa dan dalil
atas kemurahan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Allah menggabungkan pahala dalam
amal yang dicintai-Nya dan pelakunya.”
[26] Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1847, I/593), al-Hakim (no. 2677) dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani
(no. 3153) dalam al-Mu’jam al-Ausath dan (no. 10895) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 2347) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dan (no.
13453) dalam as-Sunan al-Kubrâ, dan Tamam (no. 816) dalam al-Fawâ`id dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dinilai shahih oleh al-Albani dan al-Hakim
sesuai syarat Muslim.
[27] Hasan Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1853, I/595), Ahmad (no. 19403) dalam Musnadnya, dan Ibnu Hibban
(no. 4171) dalam Shahîhnya dari ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu
‘anhu. Dinilai hasan oleh al-Arna`uth dan hasan shahih oleh al-Albani.
b. Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5195, VII/30), Muslim (no. 1026),
Ahmad (no. 8188), Ibnu Hibban (no. 4170) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani
(no. 282) dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi (no. 7850) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, dan
Abdurrazzaq (no. 7886) dalam Mushannafnya dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[28] Hasan Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2142, II/244-245), Ahmad (no.
20013) dalam Musnadnya, a-Nasa`i (no. 9126) dalam as-Sunan al-Kubrâ,
Ibnu Majah (no. 1850), Ibnu Hibban (no. 4175) dalam Shahîhnya, al-Hakim
(no. 2764) dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 1034) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, dan
Abdurrazzaq (no. 12584) dalam Mushannafnya dari
Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu. Abu
Dawud berkata: “memburukkannya” adalah seperti kamu mendoakan istrimu, “Semoga
Allah memburukkanmu.” Hadits
ini umum mencakup tidak boleh menisbatkan keburukan atas
perbuatan, ucapan, dan fisik istri.
Hadits ini
dinilai hasan oleh al-Arna`uth dan hasan shahih oleh al-Albani. Sebenarnya
sanad yang masyhur memakai khithab “huwa” dan sanad ini
shahih sebagaimana penilaian al-Albani sendiri, al-Hakim, dan adz-Dzahabi.
Adapun sanad 3 pertama (Abu Dawud, Ahmad, dan an-Nasa`i) yang memakai khithab “anta” tidak mencapai
shahih, tapi hasan.
[29] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari
(no. 5228, VII/36), Muslim (no. 2439), Ahmad (no. 24318) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 7112) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 121) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 19814) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abu Ya’la
al-Maushili (no. 4893) dalam Musnadnya, an-Nasa`i (no. 9111) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, al-Ajurri (no. 1891) dalam asy-Syari’ah, dan Abu Nu’aim
(IX/227) dalam al-Hilyah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[30] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5082, VII/6), Muslim (no. 2527),
Ahmad (no. 7650) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 6268) dalam Shahîhnya,
ath-Thabarani (no. 4211) dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi (no.
14716) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah (no. 32401) dalam Mushannafnya,
Abu Ya’la (no. 6673) dalam Mushannafnya, al-Humaidi (no. 1078) dalam Musnadnya,
Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1533) dalam as-Sunnah, Ibnu Abi Hatim (no. 3488)
dalam Tafsirnya, dan Abdurrazzaq (no. 400) dalam Tafsirnya dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[31] Muttafaqun
‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 7138, IX/62), Muslim (no. 1829),
at-Tirmidzi (no. 1705), Abu Dawud (no. 2928), Ahmad (no. 4495) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 4489) dalam Shahîhnya, al-Baihaqi (no. 16637) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 7027) dalam al-Mustakhrâj, Abu Ya’la
al-Maushili (no. 5831) dalam Musnadnya, Ibnul Jarud (no. 1094) dalam al-Muntaqâ,
al-Bukhari (no. 206) dalam al-Adâb al-Mufrâd, Ibnu Abi ‘Ashim (no. 749)
dalam al-Ahâd wal Matsânî, an-Nasa`i (no.
9128) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnul Muqri` (no. 47) dalam Mu’jamnya,
ath-Thahawi (no. 17706) dalam Musykilul Atsâr, dan Abu Nu’aim
(VIII/281) dalam al-Hilyah dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
b. Shahîh: HR. Al-Bukhari (no.
7052, IX/47),
at-Tirmidzi (no. 2190), Ahmad (no. 3641) dalam Musnadnya, ath-Thabarani
(no. 10073) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, ath-Thayalisi (no. 295) dalam Musnadnya,
dan Abu Nu’aim (IV/146)
dalam al-Hilyah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini
merupakan kaidah terbesar dalam berumah tangga yang sakinah dan mawaddah, di
mana tiap pasangan menjalankan kewajibannya masing-masing tanpa menuntut
hak-hak untuk dirinya, Allah nanti yang akan menggantinya dengan yang lebih
baik atau justru pasangannya akan sadar sendiri dan menunaikan hak-hak
pasangannya. Dengan begitu akan tercipta keluarga yang harmonis dan penuh rasa
cinta. Sebenarnya, asal hadits ini berbicara tentang penguasa yang zhalim.
Allahu ‘alam.
[32] Hasan Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 1308, II/33), an-Nasa`i (no. 1610), Ibnu Majah (no. 1336), Ahmad (no.
7410) dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah (no. 1148) dalam Shahîhnya,
Ibnu Hibban (no. 2567) dalam Shahîhnya, al-Hakim (no. 1164) dalam al-Mustadrâk,
dan al-Baihaqi (no.
799) dalam as-Sunan ash-Shaghîr dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Dinilai hasan shahih oleh al-Albani dan dinilai shahih oleh al-A’zhami dan
al-Hakim atas syarat Muslim. Al-Arna`uth berkata, “Sanadnya kuat.”
[33] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5185, VII/26), Muslim (no. 1468),
at-Tirmidzi (no. 1188), Ahmad (no. 9524) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban
(no. 4179) dalam Shahîhnya, al-Hakim (no. 7334) dalam al-Mustadrâk, ath-Thabarani (no. 283) dalam al-Mu’jam al-Ausath,
al-Baihaqi (no. 14722) dalam al-Mu’jam al-Kubrâ dan (no. 8348)
dalam Syu’abul Imân, Ibnu Abi Syaibah (no. 19272) dalam Mushannafnya,
ad-Darimi (no. 2268) dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4495) dalam al-Mustakhrâj,
al-Humaidi (no. 1202) dalam Musnadnya, an-Nasa`i (no. 9095) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, dan
Ibnu Mandah (no. 75) dalam at-Tauhid dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
b. Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1977, I/636), Ibnu Hibban (no. 4186) dalam Shahîhnya, al-Hakim (no.
7327) dalam al-Mustadrâk dengan lafazh “lin nisâ`”, dan ath-Thahawi (no.
2523) dalam Syarh Musykilul Atsâr dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma. Dinilai shahih oleh al-Albani, al-Hakim, dan adz-Dzahabi.
c. Shahih: HR. Muslim (no.
1469, II/1091), Ahmad (no. 8363) dalam Musnadnya, al-Baihaqi (no. 14727)
dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 4493) dalam al-Mustakhrâj,
dan Abu Ya’la (no.
6418) dalam al-Musnadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[34] Muttafaqun ‘Alaih: HR.
Al-Bukhari (no. 29, I/15),
Muslim (no. 884), at-Tirmidzi (no. 2602), Ahmad (no. 2086), ath-Thabarani (no.
12765) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, al-Baihaqi (no. 14719) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, ath-Thayalisi (no. 872) dalam Musnadnya, dan Ibnul Ja’ad
(no. 3044) dalam Musnadnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
[35] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1174, III/468), Ibnu Majah (no. 2014), Ahmad (no. 22101), ath-Thabarani
(no. 224) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, Abu Nu’aim (no. 86) dalam Shifatul
Jannah dan (V/220) dalam al-Hilyah, dan Ibnu Abi Dawud (no. 77)
dalam al-Ba’ts dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani.
[36] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 56, I/20), Muslim (no. 1628),
at-Tirmidzi (no. 2116), Abu Dawud (no. 2864), Ahmad (no. 1480) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 4249) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani (no. 1147) dalam al-Mu’jam
al-Ausath, dan
al-Baihaqi (no. 2319) dalam as-Sunan ash-Shaghîr
dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
b. Shahih: HR. Muslim (no.
995, II/692), Ahmad (no. 10119)
dalam Musnadnya, ath-Thabarani (no. 9079) dalam al-Mu’jam al-Ausath,
al-Baihaqi (no. 15697) dalam as-Sunan al-Kubrâ, al-Bukhari (no. 751)
dalam al-Adâb al-Mufrâd, an-Nasa`i (no. 9139) dalam as-Sunan al-Kubrâ,
dan Ibnu Abid Dunya (no. 9) dalam an-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[37] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3237, IV/116), Muslim (no.
1436), Abu Dawud (no. 2141), Ahmad (no.
9671) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4173) dalam Shahîhnya,
ath-Thabarani (no. 8072) dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi (no.
14708) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ath-Thayalisi (no. 2580) dalam Sunannya,
Ibnu Abi Syaibah (no. 17133) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2274)
dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4296) dalam Sunannya, Abu Ya’la
al-Maushili (no. 6196) dalam Musnadnya, an-Nasa`i (no. 8921) dalam as-Sunan
al-Kubrâ, dan
Abu Nu’aim (II/259) dalam al-Hilyah dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[38] Shahih: HR. Muslim (no.
1006, II/697), Ahmad (no. 21363) dalam Musnadnya, al-Baihaqi (no. 11440)
dalam as-Sunan al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 4031) dalam al-Mustakhrâj,
dan al-Bukhari (no.
227) dalam al-Adâb al-Mufrâd dengan redaksi-redaksi yang sedikit berbeda
dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu.
b. Diriwayatkan
al-Baihaqi (no. 13460, VII/126) dalam as-Sunan al-Kubrâ dan Ibnu Abid
Dunya (no. 392) dalam an-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl.
[39] Shahih: HR. Muslim (no.
1631, III/1255), at-Tirmidzi (no. 1376), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa`i (no.
3651), Ibnu Majah (no. 242), Ahmad (no. 8844) dalam Musnadnya, Ibnu
Khuzaimah (no. 2494)
dalam Shahîhnya, Ibnu Hibban (no. 3016) dalam Shahîhnya, ath-Thabarani
(no. 1250) dalam ad-Du’â`, al-Baihaqi (no. 2331) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 12635) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Darimi (no.
578) dalam Sunannya, dan Abu ‘Awanah (no. 5824) dalam al-Mustakhrâj
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
b. Shahih: HR.
Ath-Thabarani (no. 571, XXIV/225) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, Ahmad (no.
10622) dalam Musnadnya, al-Baihaqi (no. 7144) dalam as-Sunan al-Kubrâ,
dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 3304) dalam al-Ahâd wal Matsânî dari Habibah radhiyallahu
‘anha. Syu’aib al-Arna`uth berkata, “Shahih sesuai syarat al-Bukhari
Muslim.”
[40] Shahih: HR. Al-Hakim
(no. 2761, II/204) dalam al-Mustadrâk, at-Tirmidzi (no. 1140), Abu Dawud
(no. 2134), an-Nasa`i (no. 3943), Ibnu Majah (no. 1971), Ahmad (no. 25111),
Ibnu Hibban (no. 4205) dalam Shahîhnya, al-Baihaqi (no. 2608) dalam as-Sunan
ash-Shaghîr dan (no. 14745) dalam as-Sunan al-Kubrâ, Ibnu Abi
Syaibah (no. 17540) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2253) dalam Sunannya,
dan ath-Thahawi (no. 232) dalam Syarh Musykilul Atsâr dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. Ismail
al-Qadhi berkata, “Yakni hati, hadits ini tentang keadilan di antara para
istri.”
Dinilai shahih
oleh Husain Salim Asad dan al-Hakim sesuai syarat Muslim dan disepakati
adz-Dzahabi. Syu’aib al-Arnauth berkata, “Para perawinya orang-orang
tsiqah,” tetapi al-Albani menyendiri menilainya dha’if dalam Dha’if Abu
Dawud (no. 370), al-Irwâ` (no. 2018), dan at-Targhîb
(III/79). Hadits ini derajatnya sesuai dengan yang dikatakan Husain Salim Asad,
al-Hakim, adz-Dzahabi, dan Syu’aib al-Arnauth karena dibutuhkan untuk
menjelaskan ayat dalam surat an-Nisa` di atas. Allahu a’lam.
b. Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1141, III/439), Abu Dawud (no. 2133), an-Nasa`i (no. 3942), Ibnu Majah
(no. 1969), Ahmad (no. 7936) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4207)
dalam Shahîhnya, al-Hakim (no. 2759) dalam al-Mustadrâk,
al-Baihaqi (no. 2610) dalam as-Sunan ash-Shughrâ dan (no. 14738)
dalam as-Sunan al-Kubrâ, ath-Thayalisi (no. 2576) dalam Musnadnya,
Ibnu Abi Syaibah (no. 17548) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2252)
dalam Sunannya, Ibnul Jarud (no. 722) dalam al-Muntaqâ, dan ath-Thahawi (no.
234) dalam Musykilul Atsâr dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Yakni, wajib adil dalam nafkah, jatah bergilir, dan materi.
Dinilai shahih
oleh al-Albani dalam al-Irwâ` (no. 2017), Shahîh Abû Dâwûd (no.
1851), dan at-Targhîb (III/79), juga Syu’aib al-Arnauth, Husain Salim
Asad, dan al-Hakim seraya berkata, “Hadits shahih atas syarat Syaikhan tetapi
tidak dikeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi.
[41] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1187, III/485), Abu Dawud (no. 2226), Ibnu Majah (no. 2055), Ahmad (no.
22379), Ibnu Hibban (no. 4184), al-Hakim (no. 2809) dalam al-Mustadrâk,
ath-Thabarani (no. 5469) dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi (no.
14860) dalam as-Sunan al-Kubrâ, ad-Darimi (no. 2316) dalam Sunannya,
Ibnul Jarud (no. 748) dalam al-Muntaqâ, dan ar-Ruyani (no. 631) dalam Musnadnya
dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani, Husain Salim
Asad, dan Syua’ib al-Arna`uth. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih sesuai syarat
al-Bukhari Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan disepakati
adz-Dzahabi.
[42] Shahih: HR. Ahmad (no. 1661, III/199) dalam Musnadnya dan
ath-Thabarani (no. 8805) dalam al-Mu’jam
al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh
Syu’aib al-Arna`uth.
b. Dha’if: HR. Al-Hakim
(no. 7328, IV/191) dalam al-Mustadrâk, at-Tirmidzi (no. 1161),
ath-Thabarani (no. 884) dalam al-Mu’jam al-Kabîr, Ibnu Abi Syaibah (no.
17123) dalam al-Mushannaf, Abu Ya’la (no. 6903) dalam Musnadnya,
al-Baihaqi (no. 8370) dalam Syu’abul Imân, dan Ibnu Abid Dunya (no. 532)
dalam an-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl. Dinilai dha’if oleh al-Albani dalam Sunan
at-Tirmidzi, tetapi at-Tirmidzi sendiri menilainya hasan gharib sedangkan
al-Hakim menilainya shahih dan disetujui adz-Dzahabi.
Makna hadits ini
pun memungkinkan dha’if dan shahih. Jika dipahami masuk surganya istri
tergantung keridhaan suami secara mutlak maka keliru dan bathil karena masuk
surga menjadi urusan Allah mutlak, adapun jika maksudnya suami ridha atas
ketaatan istri kepadanya karena memenuhi hak-hak suaminya sehingga suami merasa
senang kepadanya dan menjadikan Allah ridha kepadanya kemudian hal ini
menyebabkannya masuk surga, maka ini makna yang benar. Allahu a’lam.[]
bismillah...
BalasHapusizin share
bismillah...
BalasHapusizin share