Aqidah Ath-Thahawiyah: Matan dan Terjemah
‘Aqidah Ath-Thahawiyah: Matan dan Terjemah
JUDUL ASLI
العقيدة الطحاوية
PENULIS
Abu Ja’far Ath-Thahawi (W.
321 H)
PENERJEMAH
Nor Kandir
PENERBIT
Pustaka
Syabab Surabaya
CETAKAN
Pertama,
1439 H/2017 M
Kedua,
1443 H/2021 M
LISENSI
Gratis
PDF
MUQODDIMAH
PENERJEMAH
Termasuk kutaib
(kitab kecil) ‘Aqidah yang terkenal dan banyak dikaji dan disyarah oleh para
ulama Ahlus Sunnah adalah karya Abu Ja’far ath-Thahawi yang lebih dikenal ‘Aqidah
Ath-Thahawiyah. Kutaib ini
berisi ‘aqidah (keyakinan) ulama Ahlus Sunnah Abu Hanifah, Abu Yusuf Ya’qub,
dan Muhammad Hasan asy-Syaibani serta orang-orang yang mengikuti mereka. Inilah
‘aqidah Ahlus Sunnah yang wajib diyakini.
Perlu diketahui
bahwa di kitab yang penuh manfaat ini, ada tiga poin yang dikomentari oleh para
pensyarahnya, yaitu (1) masalah nama Allah Al-Qodīm dan Ad-Dāim, (2) masalah
arah, dan (3) masalah definisi iman.
Cetakan terbaru
ini mengacu kepada kitab Mutun Tholibil Ilmi karya Syaikh Dr.
Abdulmuhsin Al-Qoshim yang meneliti dari banyak manuskrip dan kitab tersebut
dijadikan acuan hafalan di Masjid Nabawi.
Tanda dalam
kurung [...] bermakna
tambahan lafazh itu tidak ada dalam cetakan Mutun Tholibil Ilmi, begitu
pula penomorannya. Saya juga memandang perlu memberi komentar di footnote
untuk menjelaskan beberapa hal penting. Akan tetapi, sebisa mungkin, saya
sisipkan dalam tanda kurung (...).
Demikian, semoga
Allah menerima dari kita semua. Sholawat dan salam semoga tercurah untuk
Rosulullah ﷺ, para
Sahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik.
Surabaya, 1443
H/2021 M
1. [Muqoddimah]
قَالَ الإِمَامُ أَبُو
جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ:
هَذَا ذِكْرُ بَيَانِ اعْتِقَادِ
أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ عَلَىٰ مَذْهَبِ فُقَهَاءِ المِّلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ
النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الكُوفِيِّ، وَأَبِي يُوسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
الأَنْصَارِيِّ، وَأَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ الحَسَنِ الشَّيْبَانِيِّ رَحْمَةُ
اللهِ عَلَيْهِمْ، وَمَا يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ، وَيَدِينُونَ بِهِ
رَبَّ العَالَمِينَ:
Imam
Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata:
Inilah
penjelasan tentang aqidah
Ahli Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab ahli fiqih agama
ini, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani —semoga
Allah merahmati mereka semuanya— dan apa yang mereka yakini tentang
dasar-dasar agama yang dengannya mereka beragama
kepada Rabb Semesta Alam:
2. [Tentang Allah]
[1] نَقُولُ في تَوحِيدِ
اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوفِيقِ اللهِ: إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ.
[1]
Kami meyakini tentang mentauhidkan Allah, dengan
taufik dari Allah, bahwa:
Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya.
[2] وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ.
[2] Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya.
[3] وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ.
[3] Tidak ada sesuatu pun yang bisa
melemahkan-Nya.
[4] وَلَا إِلٰهَ
غَيْرُهُ.
[4] Tidak ada yang berhak disembah
selain-Nya.
[5] قَدِيمٌ بِلاَ ابتِدَاءٍ،
دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ.
[5] Maha Terdahulu tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir.[1]
[6] لَا يَفْنَى وَلَا
يَبِيْدُ.
[6] Dia tidak akan fana dan tidak akan
binasa.
[7] وَلاَ يَكُونُ إِلَّا
مَا يُرِيدُ.
[7] Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang
Dia kehendaki.
[8] لَا تَبلُغُهُ الأَوْهَامُ،
وَلَا تُدْرِكُهُ الأَفْهَامُ.
[8] Allah tidak bisa dijangkau oleh perenungan dan tidak bisa dijangkau
nalar pikiran.
[9] وَلَا يُشْبِهُ
الأنَامَ.
[9] Dia tidak
menyerupai makhluk.
[10] حَيٌّ لَا
يَمُوتُ، قَيُّومٌ لَا يَنَامُ.
[10] Dia Maha Hidup tidak akan mati, Maha
Berdiri (mengurus makhluk-Nya terus-menerus)
tidak pernah tidur.
[11] خَاِلقٌ بِلاَ
حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلاَ مُؤْنَةٍ.
[11] Dia Maha Pencipta tanpa membutuhkan
(ciptaan-Nya), Maha Pemberi rezeki
tanpa berkurang (kerajaan-Nya).
[12] مُمِيتٌ بِلَا
مَخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلاَ مَشَقَّةٍ.
[12] Dia Maha Mematikan tanpa takut, Maha
Membangkitkan tanpa rasa berat.
[13] مَا زَالَ
بِصِفَاتِهِ قَدِيمًا قَبْلَ خَلْقِهِ، لَمْ يَزْدَدْ بِكَوْنِهِم شَيْئًا لَمْ يَكُنْ
قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ، وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا؛ كَذَلِكَ لَا يَزَالُ
عَلَيْهَا أَبَدِيًّا.
[13] Dia
telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum ada makhluk-Nya. Dengan terciptanya para
makhluk yang sebelumnya tidak ada,
tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Sebagaimana
sifat-sifat-Nya azali (ada sebelum selainnya ada), begitu pula Dia abadi
selama-lamanya.
[14] لَيْسَ مُنْذُ
خَلَقَ الخَلْقَ اسْتَفَادَ اسْمَ «الخَالِقِ»، وَلاَ بِإِحْدَاثِهِ البَرِيَّةَ
اسْتَفَادَ اسْمَ «البَارِي».
[14] Bukan
semenjak Dia menciptakan para makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Khaliq
(Pencipta), dan bukan pula karena baru menciptakan makhluk disandangkan pada-Nya
nama al-Bari (Pencipta).
[15] لَهُ مَعْنَى
الرُّبُوبِيَّةِ وَلَا مَرْبُوبٍ، وَمَعْنَى الخَالِقِ وَلَا مَخْلُوقٍ.
[15] Dia memiliki
sifat Rububiyah (Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemberi rezeki) bukan marbub
(dicipta, dimiliki, diatur), dan juga memiliki sifat al-Khaliq bukan makhluk.
[16] وَكَمَا أَنَّهُ
مُحْيِ المَوْتَى بَعْدَمَا أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الِاسْمَ قَبْلَ إِحْيَائِهم؛
كَذلِكَ اسْتَحَقَّ اسْمَ الخَالِق قَبْلَ إنْشَائِهِمْ.
[16] Sebagaimana
Dia yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi) setelah sebelumnya menghidupkannya,
Dia-pun berhak atas sebutan itu sebelum
menghidupkan mereka, demikian juga Dia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.
[17] ذَلِكَ بِأَنَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيهِ فَقِيرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ
يَسِيرٌ، لاَ يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ، {لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشورى: 11].
[17] Hal itu
karena Dia Mahakuasa
atas
segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu sangat butuh kepada-Nya. Segala urusan
bagi-Nya mudah dan
Dia tidak membutuhkan sesuatu. “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia
dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)
[18] خَلَقَ الخَلْقَ بِعِلْمِهِ.
[18] Dia
menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya.
[19] وَقَدَّرَ لَهُمْ
أَقْدَارًا.
[19] Dan
menentukan takdir-takdir mereka.
[20] وَضَرَبَ لَهُمْ
آجَالًا.
[20] Dan
menentukan ajal-ajal mereka.
[21] لَمْ يَخْفَ عَلَيهِ
شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِهِمْ قَبْلَ أَنْ خَلَقَهُمْ، وَعَلِمَ مَا هُمْ عَامِلُونَ
قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَهُمْ.
[21] Tiada
sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum
Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia
mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, sebelum menciptakan mereka.
[22] وَأَمَرَهُمْ
بِطَاعَتِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَتِهِ.
[22] Dia
memerintahkan mereka mentaati-Nya
dan melarang mereka bermaksiat
kepada-Nya.
[23] وَكُلُّ شَيْءٍ
يَجْرِي بِتَقْدِيرِهِ ومَشِيئَتِهِ، وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ، لاَ مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ
إِلَّا مَا شَاءَ لَهُمْ، فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ.
[23] Dan
segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti
terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi
mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang
tidak Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.
[24] يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ،
وَيَعْصِمُ ويُعَافِي فَضْلًا، ويُضِلُّ مَنْ يَشاءُ، ويَخْذَلُ وَيَبْتَلِي عَدْلًا.
[24] Dia
memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, juga melindungi dan menjaganya dengan keutamaan-Nya. Dia membiarkan sesat[2]
siapa
yang Dia kehendaki, membiarkannya
hina,
dan mengujinya berdasarkan keadilan-Nya.
[25] وَكُلُّهُم يَتَقَلَّبُونَ
فِي مَشِيئَتِهِ بَيْنَ فَضْلِهِ وَعَدْلِهِ.
[25] Seluruh
makhluk berada di bawah kendali kehendak-Nya di
antara karunia dan keadilan-Nya.[3]
[26] [وَهُوَ مُتَعَالٍ
عَنِ الأَضْدَادِ وَالأَنْدَادِ].
[26] [Dia
mengalahkan semua musuh dan tandingan][4].
[27] لَا رَادَّ لِقَضَائِهِ،
وَلَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلاَ غَالِبَ لِأَمْرِهِ.
[27] Tak
seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.
[28] آمَنَّا بِذَلِكَ
كُلِّهِ، وأَيْقَنَّا أَنَّ كُلًا مِنْ عِنْدِهِ.
[28] Kita
mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang dari-Nya (terjadi karena takdir-Nya).
3. [Tentang Rasulullah]
[29] وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ المُصْطَفَى، وَنَبِيُّهُ المُجْتَبَى، وَرَسُولُهُ المُرْتَضَى.
[29] Sesungguhnya
Muhammad ﷺ adalah hamba-Nya yang terpilih, Nabi-Nya yang terpilih, dan Rasul-Nya yang diridhai.
[30] وَأَنَّهُ خَاتَمُ
الأَنْبِيَاءِ، وَإِمَامُ الأَتْقِيَاءِ، [وَسَيِّدُ المُرْسَلِينَ، وَحَبِيبُ رَبِّ
العَالَمِينَ].
[30] Sesungguhnya
beliau adalah penutup para Nabi, imam
orang-orang bertakwa, [penghulu para rasul, dan kekasih Rabb semesta alam].
[31] وَكُلُّ دَعْوَى
النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ فَغَيٌّ وَهَوًى.
[31] Segala
pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.
[32] وَهُوَ المَبْعُوثُ
إِلَى عَامَّةِ الجِنِّ وَكَافَّةِ الوَرَى بِالحَقِّ وَالهُدَى، [وَبِالنُّورِ وَالضِّيَاءِ].
[32] Beliau
diutus kepada seluruh jin
dan seluruh manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, [cahaya dan kemilau][5].
4. [Tentang
Kalamullah]
[33] وَإِنَّ القُرْآنَ
كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى، مِنْهُ بَدَأَ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ قَوْلًا، وَأَنْزَلَهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ وَحْيًا، وَصَدَّقَهُ المُؤْمِنُونَ عَلَىٰ ذَلِكَ حَقًّا، وأَيْقَنُوا
أَنَّهُ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَىٰ بِالحَقِيقَةِ، لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ كَكَلاَمِ البَرِيَّةِ،
فَمَنْ سَمِعَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ كَلاَمُ البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، وَقَدْ ذَمَّهُ
اللهُ تَعَالَى وَعَابَهُ وَأَوْعَدَهُ بِسَقَرٍ، حَيْثُ قَالَ تَعَالَىٰ: {سَأُصْلِيهِ سَقَرَ} [المدثر: 26]. فَلَمَّا
أَوْعَدَ اللهُ بِسَقَرٍ لِمَنْ قَالَ: {إِنْ
هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ} [المدثر: 25]؛ عَلِمْنَا وأَيْقَنَّا أَنَّهُ
قَوْلُ خَالِقِ البَشرِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلَ البَشَرِ.
[33] Dan
sesungguhnya al-Qur’an adalah Kalamullah. Dari-Nya ia bermula tanpa mempertanyakan bagaimana hakikatnya. Dia menurunkannya kepada
Rasul-Nya sebagai wahyu, dan orang-orang Mukmin membenarkannya dengan
sebenarnya dan mereka menyakini bahwa itu adalah Kalamullah secara hakikat, bukan makhluk seperti
ucapan makhluk. Barangsiapa yang mendengarnya lalu menyangka bahwa itu adalah
ucapan makhluk, maka sungguh dia telah kafir. Sungguh Allah telah mencela,
mengecam, dan mengancam orang tersebut dengan Neraka Saqar, yaitu firman-Nya, “Kelak
Aku akan memasukkannya ke Neraka Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 26)
Ketika Allah mengancam dengan Neraka Saqar seseorang yang
mengatakan, “Al-Qur`an
ini tidak lain adalah ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 25) Maka kami mengetahui dan meyakini
bahwa al-Qur`an adalah ucapan Pencipta makhluk dan tidak ada ucapan makhluk
yang serupa dengannya.
[34] وَمَنْ وَصَفَ اللهَ
تَعَالَى بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، فَمَنْ أَبْصَرَ هَذَا
اعْتَبَرَ، وَعَنْ مِثْلِ قَوْلِ الكُفَّارِ انْزَجَرَ، وَعَلِمَ أَنَّ اللهَ
تَعَالَى بِصِفَاتِهِ لَيسَ كَالبَشَرِ.
[34] Dan
barangsiapa yang mensifati Allah dengan makna sifat
makhluk[6],
maka dia telah kafir. Maka, siapa yang memperhatikan ini akan mengerti, dan ia akan menahan diri dari
menyerupai ucapan orang kafir. Dan dia
mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk.
5. [Tentang
Rukyatullah]
[35] وَالرُّؤْيَةُ حَقٌّ
لِأَهْلِ الجَنَّةِ، بِغَيْرِ إحَاطَةٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ
رَبِّنَا: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
* إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [القيامة: 22، 23]، وتَفْسِيرُهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَهُ
اللهُ تَعَالَىٰ وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الحَدِيثِ الصَّحِيحِ
عَنِ الرَّسُولِ ﷺ فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ
فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا، وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ
مَا يَسلَمُ فِي دِيْنِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ
ﷺ، وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ.
[35] Ar-Ru`yah
(melihat Allah di Surga)
benar adanya bagi
penduduk Surga, tanpa meliputi dan membagaimanakan (difahami apa adanya),
sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Kitab Rabb kita, “Wajah-wajah pada hari itu
berseri-seri. Kepada Rabblah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23) Tafsirnya adalah sebagaimana yang
Allah kehendaki dan ketahui. Setiap hadits shahih dari Rasulullah ﷺ tentang hal itu adalah sebagaimana yang beliau sabdakan dan
maknanya sebagaimana yang beliau kehendaki. Kita tidak boleh masuk ke dalam
permasalahan itu dengan mentakwilnya menggunakan akal-akal kita dan tidak pula
mereka-reka menggunakan hawa nafsu kita. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang
selamat dalam agamanya kecuali orang yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ dan mengembalikan ilmu yang belum jelas baginya kepada yang
mengetahuinya.
[36] وَلَا تَثْبُتُ
قَدَمُ الإِسْلَامِ إِلَّا عَلَىٰ ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ، فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ
عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ
خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي المَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الإِيمَانِ، فَيَتَذَبْذَبُ
بَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالإِقْرَارِ وَالإِنْكَارِ،
مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا
مُكَذِّبًا.
[36] Pijakan
Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas taslim (pasrah) dan istislam
(tunduk). Siapa yang menerka suatu ilmu yang ilmu tersebut tersembunyi baginya
dan pemahamannya tidak merasa puas dengan taslim, maka terkaannya itu
akan menghalanginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan makrifat (mengenal
Allah), dan kebenaran iman. Ia akan terkena keraguan antara kafir dan iman,
membenarkan dan mendustakan, menetapkan dan mengingkari, selalu was-was, ragu,
menyimpang, bukan mukmin yang membenarkan juga bukan penentang yang
mendustakan.
[37] وَلَا يَصِحُّ الإِيمَانُ
بِالرُّؤْيَةِ لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنِ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ،
أَوْ تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ، إِذْ كَانَ تَأْوِيلُ الرُّؤْيَةِ وَتَأْوِيلُ كُلِّ
مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوبِيَّةِ؛ بِتَرْكِ التَّأْوِيلِ، وَلُزُومِ التَّسْلِيمِ،
وَعَلَيْهِ دِينُ المُسْلِمِينَ، وَمَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ وَالتَّشْبِيهَ؛
زَلَّ وَلَمْ يُصِبِ التَّنْزِيهَ، فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ وَعَلَا مَوْصُوفٌ
بِصِفَاتِ الوَحْدَانِيَّةِ، مَنْعُوتٌ بِنُعُوتِ الفَرْدَانِيَّةِ، لَيْسَ فِي
مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ البَرِيَّةِ.
[37] Tidak sah
keimanan rukyah ‘melihat Allah’ —bagi penghuni Darus Salam (Surga)— bagi
yang suka membayangkan-Nya dengan keraguan atau mentakwilnya dengan akal.
Karena penafsiran rukyah dan juga penafsiran segala pengertian yang
disandarkan kepada Rabb adalah dengan tanpa mentakwilkannya dan dengan
kepasrahan diri. Itulah agama kaum Muslimin. Barangsiapa yang tidak menghindari
penafian dan tasybih (menyerupakan-Nya dengan makhluk), dia akan
tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri. Sebab, Allah yang Maha
Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal),
tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya
yang menyamai sifat-sifat tersebut.
[38] وَتَعَالَىٰ عَنِ
الحُدُودِ وَالغَايَاتِ، وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لَا
تَحْوِيهِ الجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ.
[38] Maha tinggi
diri-Nya (Allah terbebas) dari batas-batas (seperti timur dan barat), arah-arah
(seperti bawah dan atas), anggota tubuh (seperti tangan dan wajah), organ
(seperti saraf dan urat), dan perangkat-perangkat (seperti tongkat untuk
memukul). Dia tidak dikelilingi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua
makhluk-Nya.[7]
6. [Tentang Isra
dan Mi’roj]
[39] وَالمِعْرَاجُ
حَقٌّ، وَقَدْ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ ﷺ وَعُرِجَ بِشَخْصِهِ فِي اليَقْظَةِ، إِلَى
السَّمَاءِ، ثُمَّ إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللهُ مِنَ العُلَا، وَأَكْرَمَهُ اللهُ
بِمَا شَاءَ، وَأَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، [مَا كَذَبَ الفُؤَادُ مَا رَأَى،
فَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ وَالأُولَى].
[39] Mi’raj
(naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha—tempat tertinggi di langit)
adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan di malam hari dan dinaikan (ke langit)
dengan tubuh jasmani dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang
dikehendaki Allah di langit.
Allah memuliakan beliau sesuai kehendak-Nya dan mewahyukan kepadanya apa yang
hendak Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Semoga Allah melimpahkan
shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di Akhirat.
7. [Tentang
Telaga]
[40] وَالحَوْضُ الَّذِي
أَكْرَمَهُ اللهُ تَعَالَىٰ بِهِ غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ حَقٌّ.
[40] Haudh (telaga) yang dijadikan Allah
kemuliaan baginya sebagai minuman
bagi umatnya benar adanya.
8. [Tentang
Syafaat]
[41]
وَالشَّفَاعَةُ الَّتِي ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ
فِي الأَخْبَارِ.
[41] Syafa’at yang disimpan beliau untuk
mereka adalah benar adanya sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.
9. [Tentang Persaksian
Tauhid dari Keturunan Adam]
[42] وَالمِيثَاقُ
الَّذِي أَخَذَهُ اللهُ تَعَالَىٰ مِنْ آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ.
[42] Perjanjian
yang diambil Allah atas diri Adam dan anak
cucunya (sebelum mereka dilahirkan) benar adanya.
[43] وَقَدْ عَلِمَ اللهُ
فِيمَا لَمْ يَزَلْ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الجَنَّةَ، وَعَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ
النَّارَ، جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِي ذَلِكَ العَدَدِ وَلَا يُنْقَصُ
مِنْهُ.
[43] Semenjak
zaman azali, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya
yang akan masuk Surga dan jumlah yang
akan masuk Neraka secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan ditambah dan
dikurangi.
[44] وَكَذَلِكَ
أَفْعَالُهُمْ فِيمَا عَلِمَ مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا
خُلِقَ لَهُ، وَالأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ، وَالسَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ
اللهِ، والشَّقِيُّ مَنْ شَقِيَ بِقَضَاءِ اللهِ.
[44] Demikian
juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan
mereka perbuat itu (juga tak akan berubah). Setiap pribadi akan dimudahkan
menjalani apa yang sudah menjadi takdirnya,
sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia
adalah orang yang bahagia karena ketetapan Allah dan orang yang sengsara adalah
orang yang sengsara karena ketetapan Allah.
[45] وَأَصْلُ القَدَرِ
سِرُّ اللهِ فِي خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَىٰ ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا
نَبِيٌّ مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الخِذْلَانِ،
وسُلَّمُ الحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالحَذَرَ كُلَّ الحَذَرِ مِنْ
ذَلِكَ نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ طَوَى عِلْمَ القَدَرِ
عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ
يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23]، فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ
حُكْمَ الكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ؛ كَانَ مِنَ الكَافِرِينَ.
[45] Asal
dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki
baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya,
ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah
sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Hati-hatilah dengan kesungguhan dari
seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang
takdir tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak
diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya.
Sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya
tetapi manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).”
(QS. Al-Anbiya [21]: 23) Barangsiapa
yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?” berarti ia menolak hukum
al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang
kafir.
[46] فَهَذَا جُمْلَةُ
مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَىٰ،
وَهِيَ دَرَجَةُ الرَّاسِخِينَ فِي العِلْمِ؛ لِأَنَّ العِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ
فِي الخَلْقِ مَوْجُودٌ، وَعِلْمٌ فِي الخَلْقِ مَفْقُودٌ، فَإِنْكَارُ العِلْمِ
المَوْجُودِ كُفْرٌ، وَادِّعَاءُ العِلْمِ المَفْقُودِ كُفْرٌ، وَلَا يَثْبُتُ الإِيمَانُ
إِلَّا بِقَبُولِ العِلْمِ المَوْجُودِ، وَتَرْكِ طَلَبِ العِلْمِ المَفْقُودِ.
[46] Inilah
sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terang hatinya dari
kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam
ilmunya. Sebab, ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk
(ilmu maujud/wahyu)
dan ilmu yang tersembunyi baginya (ilmu mafqud/ghaib). Mengingkari ilmu yang
pertama adalah kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga
kekufuran. Keimanan tidak akan sempurna kecuali dengan menerima ilmu yang harus
digapai manusia, dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tersembunyi.
10. [Tentang
Lauhul Mahfuzh dan Pena]
[47]
وَنُؤْمِنُ بِاللَّوْحِ وَالقَلَمِ، وَجَمِيعُ مَا فِيهِ قَدْ رُقِمَ، فَلَوِ اجْتَمَعَ الخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَىٰ
شَيْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَىٰ أَنَّهُ كَائِنٌ، لِيَجْعَلُوهُ غَيْرَ كَائِنٍ؛
لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. وَلَوِ اجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ كَتَبَهُ
اللهُ تَعَالَىٰ فِيهِ أَنَّهُ غَيْرُ كَائِنٍ، لِيَجْعَلُوهُ كَائِنًا؛ لَمْ
يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. جَفَّ القَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ،
وَمَا أَخْطَأَ العَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ، وَمَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ
لِيُخْطِئَهُ.
[47] Kita
juga mengimani adanya al-Lauh al-Mahfudz (lembaran
takdir),
al-Qalam (pena), dan segala yang tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh
makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan akan terjadi
untuk dibatalkannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Seandainya
seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan
tidak akan terjadi untuk direalisasikannya, maka mereka tak akan mampu
melakukannya. Pena untuk mencatat apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat
telah kering. Apa yang tidak menjadi takdir seorang hamba, tidak akan
menimpanya dan apa yang menjadi takdirnya, tidak akan meleset darinya.
[48] وَعَلَىٰ العَبْدِ
أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِي كُلِّ كَائِنٍ مِنْ
خَلْقِهِ، فَقَدَّرَ ذَلِكَ بِمَشِيئَتِهِ تَقْدِيرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا، لَيْسَ
فِيهِ نَاقِضٌ، وَلَا مُعَقِّبٌ وَلَا مُزِيلٌ وَلَا مُغَيِّرٌ وَلَامُحَوِّلٌ، وَلَا
زَائِدٌ وَلَا نَاقِصٌ مِنْ خَلْقِهِ فِي سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ. وَذَلِكَ مِنْ
عَقْدِ الإِيمَانِ وَأُصُولِ المَعْرِفَةِ وَالِاعْتِرَافِ بِتَوْحِيدِ اللهِ تَعَالَىٰ
وَرُبُوبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا} [الفرقان: 2]،
وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَكَانَ أَمْرُ
اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} [الأحزاب: 38]، فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ لِلَّهِ
فِي القَدَرِ خَمِيصًا، وأَحْضَرَ لِلنَّظَرِ فِيِهِ قَلْبًا سَقِيمًا، لَقَدِ الْتَمَسَ
بِوَهْمِهِ فِي فَحْصِ الغَيْبِ سِرًّا كَتِيمًا، وَعَادَ بِمَا قَالَ فِيهِ
أَفَّاكًا أَثِيْمًا.
[48] Wajib
bagi setiap hamba mengetahui bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu
yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang
tak bisa berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi
yang dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, mengurangi,
ataupun menambahnya.
Itulah ikatan keimanan dan
dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan rububiyyah-Nya,
sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur`an:
“Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2) Dan firman-Nya: “Dan ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti terjadi.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 38) Maka celakalah orang yang betul-betul
menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikutsertakan hatinya
yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan
menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi. Akhirnya, karena
perkataannya tentang takdir itu, ia kembali dengan membawa kedustaan dan dosa.
11. [Tentang
Arsy dan Kursi]
[49] وَالعَرْشُ وَالكُرْسِيُّ
حَقٌّ، كَمَا بَيَّنَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ.
[49] ‘Arsy
dan Kursi-Nya adalah benar adanya, sebagaimana yang Allah kabarkan dalam Al-Quran.[8]
[50] وَهُوَ جَلَّ جَلَالُهُ مُسْتَغْنٍ عَنِ
العَرْشِ وَمَا دُوْنَهُ.
[50] Dia
tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawahnya.
[51] مُحِيطٌ بِكُلِّ
شَيْءٍ وفَوْقَهُ، وَقَدْ أَعْجَزَ عَنِ الإِحَاطَةِ خَلْقَهُ.
[51] Dia
menguasai segala sesuatu
dan apa-apa yang ada di atasnya. Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala
sesuatu.
12. [Tentang
Al-Khalil Ibrahim dan Kalimullah Musa]
[52] وَنَقُولُ: إِنَّ
اللهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا،
إِيمَانًا وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا.
[52] Kita
juga meyakini bahwa Allah telah menjadikan
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai
kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa ‘alaihis salam untuk berbicara dengan
sebenar-benarnya ucapan.
13. [Tentang
Rukun Iman]
[53] وَنُؤْمِنُ بِالمَلَائِكَةِ
وَالنَّبِيِّينَ، وَالكُتُبِ المُنْزَلَةِ عَلَىٰ المُرْسَلِينَ، وَنَشْهَدُ
أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَىٰ الحَقِّ المُبِينِ.
[53] Kita
mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para
Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
[54] وَنُسَمِّي أَهْلَ
قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ مُعْتَرِفِينَ،
وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ.
[54] Kita
menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin
dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.
14. [Tentang
Larangan Debat Kusir]
[55] وَلَا نَخُوضُ فِي
اللهِ، وَلَا نُمَارِي فِي الدِّينِ.
[55] Kita
tidak mengolok Allah dan tidak membantah (debat kusir) dalam masalah agama Allah.
[56] وَلَا نُجَادِلُ
فِي القُرْآنِ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ العَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ
الرُّوحُ الأَمِينُ، فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ المُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا ﷺ، كَلَامُ اللهِ تَعَالَىٰ
لَا يُسَاوِيهِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ المَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ،
وَلَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ.
[56] Kita
tidak menyanggah Al-Qur’an, dan kita bersaksi
bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan lewat Ruhul Amin (Jibril), lalu diajarkan kepada
Penghulu para Nabi yaitu Muhammad ﷺ. Ia adalah Kalamullah
yang
tak akan dapat disamakan
dengan ucapan makhluk-makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) kita tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum Muslimin.
15. [Tentang
Mengkafirkan]
[57] وَلَا نُكَفِّرُ
أَحَدًا مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ بِذَنْبٍ، مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ.
[57] Kita
tidak mengkafirkan
Ahli Kiblat (kaum Muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak
menganggapnya halal.
[58] وَلَا نَقُولُ لَا
يَضُرُّ مَعَ الإِيمَانِ ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ.
[58] Namun
kita juga tidak mengatakan bahwa
dosa bersama iman, sama sekali tidak berbahaya
bagi orang yang melakukannya.
[59] وَنَرْجُو
لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ [أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الجَنَّةَ
بِرَحْمَتِهِ]، وَلَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ، وَنَسْتَغْفِرُ
لِمُسِيئِهِمْ، وَنَخَافُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ.
[59] Kita
berharap orang-orang baik dari kaum Mukminin [diampuni
dan dimasukkan Surga dengan rahmat-Nya], tidak menganggap mereka aman dan
memvonis mereka dengan Surga. Kita juga berharap orang-orang
yang berbuat fajir (kemaksiatan) dari
kalangan Mukminin diampuni dosa-dosa mereka, mengkhawatirkan mereka, dan tidak menjadikan mereka
berputus asa (dari rahmat Allah).
[60] وَالأَمْنُ وَالإِيَاسُ
يَنْقُلَانِ عَنْ مِلَّةِ الإِسْلَامِ، وَسَبِيلُ الحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ القِبْلَةِ.
[60] Merasa
aman (dari siksa) dan putus asa (dari ampunan Allah), keduanya dapat mengeluarkan dari
Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.
[61] وَلَا نُخْرِجُ العَبْدَ
مِنَ الإِيمَانِ إِلَّا بِجُحُودِ مَا أَدْخَلَهُ فِيهِ.
[61] Seorang
hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia
imani.[9]
16. [Tentang
Definisi Iman]
[62]
وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالجَنَانِ.
[62] Iman
adalah pengakuan dengan lisan,
dan pembenaran dengan hati.[10]
[63] وَإِنَّ جَمِيعَ
مَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِي القُرْآنِ وَجَمِيعَ مَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ
ﷺ مِنَ الشَّرْعِ وَالبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ.
[63] Seluruh
yang Allah turunkan dalam Al-Quran dan seluruh diriwayatkan
dengan shahih dari Rasulullah ﷺ berupa syari’at dan bayan (ilmu) adalah benar adanya.
[64] وَالإِيمَانُ
وَاحِدٌ، وَأَهْلُهُ فِي أَصْلِهِ سَوَاءٌ، وَالتَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالتَّقْوَى، وَمُخَالِفَةِ الهَوَى.
[64] Iman
itu satu. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya adalah sama.[11]
Keutamaan
di antara mereka diukur dengan ketakwaan,
menghindari hawa nafsu.
[65] وَالمُؤْمِنُونَ
كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ الرَّحْمٰنِ، وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ الله أَطْوَعُهُمْ
وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ.
[65] Kaum
Mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman. Yang paling mulia di antara mereka
adalah yang paling taat dan paling mengikuti
ajaran
Al-Qur’an.
[66] وَالإِيمَانُ:
هُوَ الإِيمَانُ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِه، وَكُتُبِه، وَرُسُلِه، وَاليَوْمِ الآخِرِ،
وَالقَدَرِ، خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَحُلْوِهِ وَمُرِّهِ، مِنَ اللهِ تَعَالَىٰ.
[66] Iman
adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya,
Hari Akhir, dan Takdir:
baik maupun buruk, manis maupun pahit, semuanya berasal dari Allah.
[67] وَنَحْنُ
مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ، لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ،
وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَىٰ مَا جَاءُوا بِهِ.
[67] Kita
mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para
Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.
17. [Tentang
Dosa Besar]
[68] وَأَهْلُ الكَبَائِرِ
فِي النَّارِ لَا يُخَلَّدُونَ؛ إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ، وَإِنْ لَمْ
يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللهَ عَارِفِينَ. وَهُمْ فِي مَشِيئَتِهِ
وَحُكْمِهِ: إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِهِ، كَمَا ذَكَرَ
عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ: {وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ} [النساء: 48]، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ
فِي النَّارِ بِعَدْلِهِ، ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِهِ وَشَفَاعَةِ
الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِهِ، ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَىٰ جَنَّتِهِ،
وَذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَىٰ مَوْلَى أَهْلَ مَعْرِفَتِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ
فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نُكْرَتِهِ، الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِهِ،
وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وَلَايَتِهِ. اللَّهُمَّ يَا وَلِيَ الإِسْلَامِ وَأَهْلِه،
مَسِّكْنَا بِالإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ بِهِ.
[68] Para
pelaku dosa besar,
jika masuk Neraka, mereka tak akan kekal di
dalamnya, asal mereka mati dalam keadaan bertauhid.
Meskipun pula, mereka
belum bertaubat,
tetapi mereka menemui Allah (mati)
dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan
Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka diampuni dan dimaafkan dosa-dosa
mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla: “Dia mengampuni dosa (yang tingkatannya) di bawah (dosa) syirik
bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48 & 116). Dan jika Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya
di Neraka dengan keadilan-Nya, lalu Allah akan mengeluarkan mereka
darinya dengan rahmat-Nya atau
dikeluarkaan dengan syafa’at orang yang berhak memberi
syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke Surga-Nya. Hal itu karena Allah adalah pelindung bagi siapa yang mengenal-Nya. Dia pun tidak menjadikan keadaan
mereka (beriman) di dunia dan di Akhirat sama dengan mereka yang tidak mengenal-Nya. Yaitu mereka yang luput,
tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak dapat memperoleh hak perlindungan-Nya. Wahai Dzat yang menjadi pelindung bagi Islam dan pemeluknya,
teguhkanlah kami di atas
Islam sampai bertemu dengan-Mu.
18. [Tentang
Shalat di Belakang Fajir dan Mubtadi]
[69] وَنَرَى
الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ، وَعَلَىٰ مَنْ
مَاتَ مِنْهُمْ.
[69] Kami
menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang imam (pemimpin) yang shalih maupun yang fasik
dari kalangan Ahli Kiblat dan
menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.
[70] وَلَا نُنْزِلُ
أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا، وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا
بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ؛ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ،
وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَىٰ.
[70] Kita
tak boleh memastikan mereka masuk Surga atau Neraka.
Kita juga tidak boleh bersaksi bahwa mereka itu
kafir, musyrik, atau munafik, selama semua itu tidak
tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada
Allah Ta’ala.
19. [Tentang
Memberontak dan Membunuh]
[71] وَلَا نَرَى
السَّيْفَ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ ﷺ إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ.
[71] Kita
tidak boleh memerangi
seorang pun dari ummat Muhammad ﷺ, kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.[12]
[72] وَلَا نَرَى الخُرُوجَ
عَلَىٰ أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلَا نَدْعُو
عَلَيْهِمْ، وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ
طَاعَة اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَةً، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة،
وَنَدْعُوا لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالمُعَافَاةِ.
[72] Kita
tidak boleh memberontak para pemimpin dan penguasa kita, meskipun mereka berbuat zhalim. Kita tidak mendoakan keburukan bagi
mereka dan tidak berlepas diri dengan
tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang
dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat
maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka berupa kebaikan jiwa dan kesehatan.
[73] وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ
وَالجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالخِلَافَ وَالفُرْقَةَ.
[73] Kita
tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari kesendirian, perselisihan, dan perpecahan.
[74] وَنُحِبُّ أَهْلَ
العَدْلِ وَالأَمَانَةِ، ونَبْغَضُ أَهْلَ الجَوْرِ وَالخِيَانَةِ.
[74] Kita
mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim
dan khianat.
20. [Tentang
Ucapan Allahu A’lam]
[75] وَنَقُولُ: اللهُ
أَعْلَمُ، فِيمَا اشْتَبَهَ عَلَيْنَا عِلْمُهُ.
[75] Kita
mengucapkan Allahu
A’lam[13] terhadap
sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita.
21. [Tentang
Mengusap Khufain]
[76] وَنَرَى المَسْحَ
عَلى الخُفَّيْنِ، فِي السَّفَرِ وَالحَضَرِ، كَما جَاءَ فِي الأَثَرِ.
[76] Kita
berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu/kaos kaki) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian), sebagaimana dijelaskan dalam beberapa
riwayat.[14]
22. [Tentang
Haji dan Jihad Bersama Pemimpin]
[77] وَالحَجُّ وَالجِهَادُ
فَرْضَانِ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي الأَمْرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، بَرِّهِمْ
وَفَاجِرِهِمْ، إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ، لَا يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلَا
يَنْقُضُهُمَا.
[77] Jihad
dan ibadah haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri dari kaum Muslimin, baik yang shalih maupun yang
fasik, hingga hari Kiamat. Keduanya tak
dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.
23. [Tentang
Malaikat Pencatat]
[78] وَنُؤْمِنُ بِالكِرَامِ
الكَاتِبِينَ، وَأَنَّ اللهَ قَدْ جَعَلَهُمْ عَلَيْنَا حَافِظِينَ.
[78] Kita
mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah
telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.
24. [Tentang
Malaikat Maut]
[79] وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ
المَوْتِ المُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ العَالَمِينَ.
[79] Kita
juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.
25. [Tentang
Adzab Kubur]
[80] وَبِعَذَابِ القَبْرِ
لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلًا، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ فِي قَبْرِه عَنْ رَبِّهِ
وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ، عَلَىٰ مَا جَاءَتْ بِهِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَعَنِ الصَّحَابَة رَضِيَ
اللهُ عَنهُمْ أَجْمَعِينَ.
[80] Kita
pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga
pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kuburnya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Rasul-Nya berdasarkan riwayat-riwayat
dari Rasulullah ﷺ serta para sahabat rodhiyallahu
‘anhum ajmain.
[81] وَالقَبْرُ
رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ، أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النِّيرَانِ.
[81] Alam
kubur adalah taman-taman Surga atau
jurang-jurang Neraka.
26. [Tentang
Hari Kebangkitan]
[82] وَنُؤْمِنُ
بِالبَعْثِ وَجَزَاءِ الأَعْمَالِ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَالعَرْضِ وَالحِسَابِ، وَقِرَاءَةِ
الكِتَابِ، وَالثَّوَابِ وَالعِقَابِ، وَالصِّرَاطِ وَالمِيزَانِ.
[82] Kita
juga mengimani Hari Kebangkitan dan
balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, kita juga mengimani ‘ard (ditampakkannya amal perbuatan) dan hisab[15],
pembacaan catatan amal, pahala
dan siksa, shirat (jembatan yang
membentang di punggung Neraka menuju Surga), dan al-mizan (timbangan).
27. [Tentang
Kekekalan Surga dan Neraka]
[83] وَالجَنَّةُ
وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ، لَا تَفْنَيَانِ أَبَدًا وَلَا تَبِيدَانِ، وَإِنَّ
اللهَ تَعَالَىٰ خَلَقَ الجَنَّةَ وَالنَّارَ قَبْلَ الخَلْقِ، وَخَلَقَ لَهُمَا
أَهْلًا، فَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى الجَنَّةِ فَضْلًا مِنْهُ، وَمَنْ شَاءَ
مِنْهُمْ إِلَى النَّارِ عَدْلًا مِنْهُ، وَكُلٌّ يَعْمَلُ لِمَا قَدْ فُرِغَ
لَهُ، وَصَائِرٌ إِلَى مَا خُلِقَ لَهُ.
[83] Surga dan Neraka
adalah
dua makhluk yang tidak akan
lenyap selamanya dan tidak akan binasa. Sesungguhnya Allah
telah menciptakan Surga dan Neraka
sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun
sudah menentukan penghuni bagi keduanya. Siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Surga maka
itu karunia dari-Nya dan siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Neraka
maka itu keadilan dari-Nya. Masing-masing manusia beramal sesuai takdirnya dan
menjadi sesuai untuk apa penciptaannya.
28. [Tentang
Takdir Baik dan Buruk]
[84] وَالخَيْرُ وَالشَّرُّ
مُقَدَّرَانِ عَلَىٰ العِبَادِ.
[84] Kebaikan
dan keburukan seluruhnya telah
ditakdirkan atas para hamba.
[85] وَالِاسْتِطَاعَةُ
ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا الِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الفِعْلُ - مِنْ
نَحْوِ التَّوْفِيقِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُوصَفُ المَخْلُوقُ بِهِ -: فَهِيَ
مَعَ الفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالوُسْعِ،
وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الآلَاتِ: فَهِيَ قَبْلَ الفِعْلِ، وَبِهَا
يَتَعَلَّقُ الخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286].
[85] Kemampuan itu ada dua: (pertama)
kemampuan yang menyebabkan terjadi perbuatan —semacam
taufik yang tidak bisa dilakukan oleh
makhluk— ia terjadi menyertai perbuatan. (Kedua) adapun kemampuan dalam arti
kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, ia terjadi sebelum melakukan amalan[16].
Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Tidaklah Allah membebani
seseorang melainkan
sebatas kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
[86] وَأَفْعَالُ العِبَادِ
خَلْقُ اللهِ، وَكَسْبٌ مِنَ العِبَادِ.
[86] Perbuatan-perbuatan
para hamba adalah makhluk Allah, sementara usaha dari para hamba.
[87] وَلَمْ
يُكَلِّفْهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ إِلَّا مَا يُطِيقُونَ، وَلَا يُطِيقُونَ إِلَّا
مَا كَلَّفَهُمْ، وَهُوَ تَفْسِيرُ«لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»،
نَقُولُ: لَا حِيلَةَ لِأَحَدٍ وَلَا تَحَوُّلَ لِأَحَدٍ وَلَا حَرَكَةَ لِأَحَدٍ
عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ إِلَّا بِمَعُونَةِ اللهِ، وَلَا قُوَّةَ لِأَحَدٍ عَلَىٰ
إِقَامَةِ طَاعَةِ اللهِ وَالثَّبَاتِ عَلَيْهَا؛ إِلَّا بِتَوْفِيقِ اللهِ.
[87] Allah
hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Mereka pun memang tidak akan mampu
melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian
kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tidak ada upaya bagi seorang pun, dan tidak ada gerakan bagi seorang pun, juga tidak ada daya bagi
seorang pun dari (menjauhi) maksiat melainkan dengan pertolongan
Allah. Tidak ada kekuatan bagi seorang
pun untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah melainkan dengan taufik (pertolongan)
Allah.
[88] وَكُلُّ شَيْءٍ
يَجْرِي بِمَشِيئَةِ اللهِ تَعَالَىٰ وَعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، غَلَبَتْ
مَشيئتُهُ المَشِيئَاتِ كُلَّهَا، وَغَلَبَ قَضَاؤُهُ الحِيَلَ كُلَّهَا، يَفْعَلُ
مَا يَشَاءُ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ أَبَدًا، [تَقَدَّسَ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ وَحِينٍ،
وتَنَـزَّهَ عَنْ كُلِّ عَيْبٍ وَشَيْنٍ]: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23].
[88] Segala
sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, ilmu-Nya, keputusan-Nya, dan takdir-Nya. Kehendak-Nya mengalahkan seluruh kehendak. Takdirnya
mengalahkan seluruh upaya. Dia berbuat sekehendak-Nya tanpa zhalim selama-lamanya. Dia tersucikan dari semua
keburukan dan kejahatan, dan tersucikan dari segala aib dan kekurangan.
“Tidaklah
Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya
tentang apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)
29. [Tentang Doa
dan Sedekah untuk Si Mayit]
[89] وَفِي دُعَاءِ
الأَحْياءِ وَصَدَقَاتِهم مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَات.
[89] Do’a
dan sedekah orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit.
[90] وَاللَّهُ تَعَالَىٰ
يَسْتَجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَقْضِي الحَاجَاتِ.
[90] Allah
Ta’ala mengabulkan
segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.
[91] وَيَمْلِكُ كُلَّ
شَيْءٍ، وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ، وَلَا غِنَى عَنِ اللهِ تَعَالَىٰ طَرْفَةَ
عَيْنٍ، وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنِ اللهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ؛ فَقَدْ كَفَرَ وَصَارَ
مِنْ أَهْلِ الحَيْنِ.
[91] Dia
memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejap pun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa
butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejap pun, dia telah kafir dan termasuk
orang yang binasa.
30. [Tentang
Allah Benci dan Ridha]
[91] وَاللَّهُ
يَغْضَبُ وَيَرْضَى، لاَ كَأَحَدٍ مِنَ الوَرَى.
[92] Allah
benci dan ridha, tetapi sifat tersebut tidak mirip sama sekali dengan sifat makhluk.
31. [Tentang
Sahabat]
[93] وَنُحِبُّ
أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَلَا نُفْرِطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ
مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الخَيْرِ
يَذْكُرُهُمْ، وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ
وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ.
[93] Kita
mencintai para sahabat Nabi ﷺ, namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di
antaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari
mereka. Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang
menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam
kebaikan. Mencintai mereka adalah agama,
keimanan, dan ihsan, sementara
membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.
[94] وَنُثْبِتُ الخِلَافَةَ
بَعْدَ رَسُولِ اللهِ ﷺ أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ﭬ، تَفْضِيلًا لَهُ
وَتَقْدِيمًا عَلَىٰ جَمِيعِ الأُمَّةِ، ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ ﭬ، ثُم لِعُثْمَانَ ﭬ، ثُمَّ لِعَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ ﭬ، وَهُمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشدُونَ وَالأَئِمَّةُ المَهْدِيُّونَ.
[94] Kita
mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah ﷺ. Yang pertama adalah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu karena keutamaannya dan keterdahuluannya atas semua umat Islam.
Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu ‘Utsman
bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu. Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.
[95] وَإِنَّ العَشَرَةَ
الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَبَشَّرَهُمْ بِالجَنَّةِ، نَشْهَدُ لَهُمْ
بِالجَنَّةِ، عَلَىٰ مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَقَوْلُهُ الحَقُّ،
وَهُمْ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَطَلْحَةُ،
وَالزُّبَيْرُ، وَسَعْدٌ، وَسَعِيدٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو
عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ، وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ، رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.
[95] Sepuluh
orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni
Surga, kita akui sebagai penghuni Surga berdasarkan persaksian Nabi ﷺ, dan
perkataan beliau adalah
benar. Mereka adalah: Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubair [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi
Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah sebagai orang terpercaya
umat ini radhiyallahu ‘anhum.
[96] وَمَنْ أَحْسَنَ
القَوْلَ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَأَزْوَاجِهِ [الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ
دَنَسٍ]، وَذُرِّيَّاتِهِ [المُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ]؛ فَقَدَ بَرِئَ مِنَ
النِّفَاقِ.
[96] Barangsiapa
yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi ﷺ dan
istri-istri beliau [yang
bersih dari segala noda]
serta anak cucu beliau [yang
suci dari segala najis],
maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.
32. [Tentang Tabiin]
[97] وَعُلَمَاءُ
السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ - أَهْلِ الخَيْرِ
وَالأَثَرِ، وَأَهْلِ الفِقْهِ وَالنَّظَرِ - لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالجَمِيلِ،
وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَىٰ غَيْرِ السَّبِيلِ.
[97] Para
‘ulama As-Salaf terdahulu (para
sahabat) dan yang sesudah mereka dari
kalangan Tabi’in —baik ahli kebaikan, ahli
hadits, ahli fiqih, maupun
ahli ushul— mereka semuanya harus disebut dengan baik. Barangsiapa yang
menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan yang benar.
33. [Tentang
Wali Allah]
[98] وَلَا نُفَضِّلُ
أَحَدًا مِنَ الأَوْلِيَاءِ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ [عَلَيْهِمُ
السَّلَامُ]، وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيعِ الأَوْلِيَاءِ.
[98] Kita
tidak mengutamakan salah seorang pun
di antara para wali Allah di atas seorang dari para Nabi ‘Alaihimus Sallam.
Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama
dibanding seluruh para wali.
[99] وَنُؤْمِنُ بِمَا
جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِم، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِم.
[99] Kita
mengimani adanya karomah-karomah mereka
dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi yang tepercaya.
34. [Tentang Tanda Kiamat]
[100] وَنُؤْمِنُ بِـ[أَشْرَاطِ
السَّاعَةِ: مِنْ] خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى بْنِ مَرْيَمَ [عَلَيْهِ
السَّلامُ] مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا،
وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأَرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا.
[100] Kita
juga mengimani adanya [tanda-tanda
hari Kiamat berupa]
keluarnya Dajjal dan
turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari
langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah
(binatang yang dapat berbicara seperti
manusia) dari kediamannya.
35. [Tentang
Dukun dan Tukang Ramal]
[101] وَلاَ نُصَدِّقُ
كَاهِنًا وَلاَ عَرَّافًا، وَلاَ مَنْ يَدَّعِي شَيْئًا يُخَالِفُ الكِتَابَ
والسُّنَّةَ وإجْمَاعَ الأُمَّةِ.
[101] Kita
tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang
yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum Muslimin.
36. [Tentang
Jamaah dan Perpecahan]
[102] وَنَرَى
الجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا، والفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا.
[102] Kita
meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah
haq dan kebenaran, sementara pepecahan
adalah penyimpangan dan siksaan.
37. [Tentang
Agama Para Nabi]
[103] وَدِينُ اللهِ
فِي الأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِينُ الإِسْلَامِ، قَالَ اللهُ تَعَالَىٰ:
{إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلَامُ}
[آل عمران: 19]، وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَرَضِيتُ
لَكُمُ الإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3].
[103] Agama
Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) Dia juga berfirman: “Dan
telah Aku ridhai
Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
[104] وَهُو بَيْنَ
الغُلُوِّ والتَّقْصِيرِ، وَبَيْنَ التَّشْبِيهِ والتَّعْطِيلِ، وَبَيْنَ الجَبْرِ
وَالقَدَرِ، وَبَيْنَ الأَمْنِ وَالإِيَاسِ.
[104] Islam
itu berada di antara sikap berlebih-lebihan (guluw) dan sikap meremehkan (taqshir), antara tasybih (menyerupakan
sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan ta’thil (menafikkan/meniadakan makna/lafazh sifat-sifat itu), antara Jabariyah (kaum yang beranggapan manusia dipaksa takdir)
dan Al-Qadariyah (kaum
yang beranggapan keburukan bukan takdir),
dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari rahmat
Allah.
[105] فَهَذَا دِينُنَا
وَاعْتِقَادُنَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَنَحْنُ بُرَآءُ إِلَى اللهِ مِنْ كُلِّ
مَنْ خَالَفَ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ، وَنَسْأَلُ اللهَ تَعَالَىٰ أَنْ
يُثَبِّتَنَا عَلَىٰ الإِيمَانِ، وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ، وَيَعْصِمَنَا مِنَ الأَهْوَاءِ
المُخْتَلِفَةِ، وَالآرَاءِ المُتَفَرِّقَةِ، وَالمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ، مِثْلِ
المُشَبِّهَةِ، [وَالمُعْتَزِلَةِ]، وَالجَهْمِيَّةِ، وَالجَبَرِيَّةِ، وَالقَدَرِيَّةِ،
وَغَيْرِهِا، مِنَ الَّذِينَ خَالَفُوا [السُّنَّةَ وَ]الجَمَاعَةَ، وَحَالَفُوا
الضَّلَالَةَ، وَنَحْنُ مِنْهُمْ بُرَآءُ، وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ
وَأَرْدِيَاءُ.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ،
وَإِلَيْهِ المَرْجِعُ وَالمَآبُ.
[105] Inilah
agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri dengan kembali
kepada Allah dari
setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon
kepada Allah untuk menetapkan diri kita
di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari
pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang
beraneka ragam, dan madzhab-madzhab yang jelek, seperti: Musyabbiah, [Mu’tazilah,] Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah,
Al-Qadariyyah, dan
lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah (Jamaah Sahabat)
dan
bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut
kami adalah orang-orang sesat dan jahat.
[1] (قَدِيمٌ) bukan termasuk sifat Allah karena tidak disebutkan secara
pasti sebagai nama Allah dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Makna al-Qadim secara
bahasa ‘Arab adalah yang mendahului sesuatu baik sebelumnya ia didahului
olehnya atau tidak, seperti firman Allah:
{وَالْقَمَرَ
قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ} [يس: 39]
“Dan Kami telah menentukan peredaran bulaan. Sehingga (setelah
dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti bentuk tandan yang
mendahului.” (QS. Yasin [36]: 39).
Untuk itu nama ini
tidak boleh dipakai untuk nama Allah karena nama Allah sifatnya tauqifi
(ditetapkan nash). Akan tetapi Ibnul Qayyim dalam al-Bada-i’ membolehkan
penamaan ini dengan alasan:
باب الأخبار أوسع من باب
الصفات التوقيفية
“Bab kabar lebih
luas (boleh dipakai) daripada bab sifat yang tauqifi.”
Yang lebih hati-hati, menggunakan lafazh Quran dan hadits sudah mencukupi,
yaitu Al-Awwāl untuk Al-Qodīm, dan Al-Akhīr untuk Ad-Dāim.
[2] Ada yang menerjemahkan “menyesatkannya”, dan terjemahan “membiarkan sesat” lebih
utama, karena yang pertama terjemah harfiyah dan kedua terjemah tafsiriyah. Hal
ini karena Allah tidak pernah memaksa hamba sesat: kafir, murtad, zolim.
[3] Yakni, yang bisa beramal sholih, itu murni karena pertolongan Allah, karena
Allah yang memberinya akal sehat, kekuatan, dimudahkan langkahnya, dihindarkan
dari rintangan. Sementara jika ia berbuat kesalahan dan dosa, Allah tidak
memaksanya sehingga adil jika Allah menghukumnya, kecuali jika Allah mengampuninya.
[4] Tambahan ini tidak terdapat di penelitian Syaikh Abdul Muhsin Qosim, begitu
seterusnya lafazh dalam [...].
[5] Yakni Quran dan Sunnah atau ilmu dan amal.
[6] Seperti memahami pendengaran Allah seperti manusia yang tidak mampu mendengar
jarak jauh, memahami ilmu Allah seperti makhluk yang tahu jika sudah terjadi,
semua ini adalah kekufuran.
[7] Ucapan “Dia tidak di kelilingi oleh enam
penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya” maksudnya adalah Allah tidak
sebagaimana makhluk-Nya yang membutuhkan arah. Ini benar dan Imam ath-Thahawi
beraqidah Ahlus Sunnah yang lurus dan berusaha dengan ungkapannya ini membantah
kaum Musyabbihat (kaum yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Yang
beliau ingkari adalah penyerupaan dengan makhluk, bukan mengingkari keberadaan
sifat Allah. Akan tetapi ungkapan-ungkapan ini (anggota badan, organ, enam
arah, dll) tidak dikenal di kalangan Ahlus Sunnah dan ayat “Tidak ada yang
serupa dengan-Nya” sudah mencukupi untuk membantah kaum Musyabbihat. Cukup
katakan Allah di atas Arsy dan Allah memiliki Tangan, sebagaimana yang dikatakan Al-Quran dan Hadits, tanpa menyerupakannya
dengan makhluk.
[8] ‘Arsy adalah makhluk terbesar Allah menurut para ulama dan Allah
tinggi di atas ‘Arsy (tidak menempel). Sementara Kursi adalah tempat meletakkan
dua telapak kaki Allah (tidak melazimkan menempel karena Allah tidak menyatu
dengan makhluk-Nya). Perbandingan besarnya Kursi dengan ‘Arsy adalah
seperti gelang di lempar di padang pasir yang luas. Sementara perbandingan
Kursi dengan 7 langit-bumi seperti itu pula. Mahabesar Allah.
[9] Pembatal iman tidak hanya menentang, tetapi ada banyak, misalnya istihza
(mengolok simbol-simbol agama).
[10] Yang benar, amal bagian dari iman, sebagian
amal masuk pokok iman dan sebagian lagi sebagai penyempurna. Madzhab Hanafi
menganggap pokok iman semua orang beriman adalah sama, yang membedakan
tingkatan mereka adalah ketaqwaan. Adapun madzhab yang tiga, mereka sepakat
bahwa pokok iman tiap orang berbeda-beda, kita tidak mengatakan bahwa pokok iman
kita sama dengan imannya Jibril dalam satu tingkatan.
[11] Pokok iman tidak sama antara masing-masing orang. Pokok iman para Rosul
tentu berbeda dengan orang awam, pokok iman orang taat berbeda dengan orang
fasiq.
[12] Contoh yang boleh diperangi adalah pemberontak, dan contoh yang boleh
dibunuh adalah murtad, pezina yang sudah menikah, orang yang membunuh jiwa,
tetapi jika dipergok pemimpin dan pemimpin yang berhak menjatuhkan hukuman
bukan rakyat.
[13] Artinya: hanya Allah yang tahu atau Allah lebih tahu.
[14] Orang yang suci lalu memakai kaos kaki atau sepatu yang menutupi mata kakinya
lalu batal wudhunya, ia boleh hanya mengusap bagian tersebut dengan tangan yang
dibasahi air, tanpa perlu melepasnya, saat berwudhu. Durasi untuk mukim, sehari
semalam; dan untuk musafir tiga hari tiga malam. Perhitungan awal dimulai dari
memakai sepatu atau kaos kaki tersebut.
[15] Hisab ringan atau ardh adalah dosa ditampakkan dan hamba disuruh mengakui
tetapi Allah ampuni, sementara hisab berat (munaqosyah) mirip dengan ardh,
bedanya Allah mencelanya dan menghukumnya, tidak diampuni.
[16] Mudahnya, seseorang ingin sholat atau tidur lalu ia memilih sholat. Dilihat
dari kemampuan ia memilih, ia dinamakan kemampuan hamba, dan manusia tidak
dipaksa dalam hal ini, dan ini sebelum terlaksananya sholat tersebut. Sementara,
ditinjau dari terwujudnya sholat (bagaimanapun keadaan orang tersebut) disebut
taufiq, dan ia terjadi berbarengan dengan perbuatan. Yang pertama adalah
perbuatan hamba dan ia makhluk, sementara peristiwa kedua adalah atas taufik
Allah, dan taufik (pertolongan Allah dalam beramal) adalah sifat Allah bukan
mahluk.
syukron
BalasHapus